Nabi Saw adalah Rasul utusan Allah. Tanpa dirinya tidak akan
pernah ada langit dan bumi. Sekaligus beliau adalah salah seorang anak yang
dilahirkan sebagaimana manusia lainnya. Pada beliau segala yang dapat
dipikirkan dan yang melampaui pikiran terkandung. Pada diri Nabi Saw.
terkandung segala manifestasi dari Nama-nama yang indah. Keseimbangan antara
Pengasih dan Penyayang, Jamal dan Jalal, Zahir dan Bathin, lengkap pada diri
beliau.
Prinsip kontradiksi
tidak berlaku dalam alam yang melampaui pikiran. Sebab hukum itu hanya berlaku
dalam kategori pikiran. Dalam ruang cinta, semuanya adalah hal-hal positif.
Langit dengan bumi, siang dengan malam semua adalah satu kesatuan. Para Nabi
dan kaum sufi adalah orang-orang yang telah hidup di dalam cinta. Karena
itu segala yang mereka lakukan adalah
aktualisasi dari cinta. Sesuatu yang tampak pahit dalam pandangan umum, adalah
manis dalam sufi. Sesuatu yang dianggap keluhan dalam pandangan umum hanyalah
sebuah kisah dalam sufi.
Maka
rintihan-rintihan para nabi dan kaum sufi dalam pandangan umum sebenarnya dalam
pandangan ahli cinta itu adalah ekspresi kebahagiaan.
Kukeluhkan jiwa dari jiwaku, namun sebenarnya
aku tidak mengeluh: aku cuma berkisah.
Hatiku bilang tersiksa oleh-Nya, dan
kutertawakan seluruh dalihnya.
Sufi adalah orang yang tidak dapat
menemukan partikularitas maupun kategori saat diri mereka lenyap ke dalam
cinta. Namun mereka tidak sama sekali tidak mengetahui bahwa kategori dan
partikularitas itu nyata. Tetapi cara mereka memaknai partikularritas itu
berbeda dengan orang-orang umumnya. Mereka menyadari prularitas sebagai Sifati,
keberagaman Nama yang masing-masing memiliki batasan. Batas-batas atau aspek
relatif bagi yang Mutlak, dalam ranah ini adalah penguat kemutlakan itu
sendiri.
Zat yang tidak
terbatas pada satu sisi adalah Mutlak sekaligus relatif karena Dia membatasi
Diri-Nya sendiri. Hal inilah yang diketahui sufi sehingga mereka mengakui
pluralitas sekaligus ketunggalan. Kemampuan seorang sufi seperti Jalaluddin
Rumi dalam mengekspresikan paradoks ini adalah bagian dari bukti kedalaman
batinnya. Sufi seperti Ibn 'Arabi juga mengakui hal ini dengan sistem Tasybih
dan Tanzih.
Engkau ciptakan 'aku' dan 'kita' supaya
memainkan puji-pujian bersama diri-Mu
Hingga seluruh 'aku' dan 'engkau' dapat
menjadi satu jiwa serta akhirnya lebur dalam sang Kekasih.
Tuhan mengenal
Diri-Nya sebagai Zat Mutlak. Sekaligus Dia mengenal Diri-Nya sebagai
entitas-entitas terbatas melakui makhluk-Nya. Dengan adanya pengetahuan model
kedua ini, maka sebenarnya hal ini adalah penegasan bahwa Pengetahuan-Nya tidak
terbatas. Dia memuji Diri-Nya dengan kemutlakan-Nya, sekaligus Dia memuji
Diri-Nya dengan Nama-namanya melalui makhluk-Nya.
Oleh sebab itu,
rintihan orang-orang suci seperti sufi sejatinya adalah puji-pujian Tuhan
kepada diri-Nya sendiri. Sebab segala tindakan mereka adalah tindakan murni
yang merupakan tindakan Tuhan.
Rintihan ini adalah
kesadaran bahwa realitas sejati adalah satu. Kesatuan adalah yang diidam-idamkan
kaum sufi. Dalam pandangan umum, sebuah pernikahan boleh saja hanya dilihat
sebagai bertemunya dua orang manusia berlawanan jenis yang merupakan peristiwa
biasa sesuai dengan naluri manusia yang lumrah terjadi di alam. Tetapi dalam
pandangan kaum sufi, seperti Jalaluddin Rumi, pernikahan adalah sebuah lambang
yang menggetarkan jiwa mereka karena itu adalah sebuah simbol penyatuan sejati.
Tentang pernikahan
Jalaluddin Rumi menggubah sajak yang indah:
Betapa bahagia saat kita duduk di istana, kau
dan aku.
Dua sosok dan dua
tubuh namun hanya satu jiwa, kau dan aku.
Harum semak dan
senandung burung 'kan menebarkan pesona pada saat kita memasuki taman, kau dan
aku.
Bintang-bintang nan
beredar kan sengaja menatap kita lama-lama: bagi mereka, kita kan menjadi
bulan, kau dan aku.
Kau dan aku, yang tak
terpisahkan lagi, 'kan bersatu dalam kenikmatan puncak.
Bercanda ria serta
bebas dari percakapan dungu, kau dan aku.
Burung-burrung yang
terbang di langit 'kan menatap iri karena kita tertawa riang gembira, kau dan
aku.
Sungguh ajaib, kau dan
aku, duduk di sudut yang sama di sini, pada saat yang sama berada di Irak dan
Khurasan, kau dan aku. Penyatuan adalah sesuatu yang sangat
dahsyat bagi seorrang sufi. Karena itu setiap melihat sebuah penyatuan di dunia
ini, hati mereka selalu bergetar sebab itulah yang mereka idamkan. Tetapi
penyatuan yang mereka maksud tentunya adalah penyatuan antara diri mereka
dengan Tuhan. Mereka telah terpisahkan dari Tuhan pada saat kelahiran ke dunia
ini.
Jalaluddin Rumi
manggambarkan perpisahan ini umpama seorang pemuda yang tinggal di sebuah kota
selama bertahun-tahun. Ketika tertidur, ia menemukan kota lain yang penuh
dengan kebaikan dan keburukan. Anehnya, dia tidak pernah mengatakan kota lain
itu adalah tempat yang asing baginya. Sebaliknya pemuda itu merasa nyaman
dengan kota barru itu dan melupakan kota tempat dia berasal sesungguhnya.
Demikianlah gambaran Jalaluddin Rumi terrhadap umumnya manusia yang lupa dengan
kampung asalnya, umpama bintang yang tetutup awan. Manusia lelap dengan alam
debu yang sesungguhnya adalah sebuah mimpi.
Tetapi tidak demikian
dengan sufi dan para nabi. Mereka adalah orang-orang yang senantiasa sadar
dengan hakikat eksistensi alam materi ini dan selalu menyerukan kepada manusia
untuk sadar bahwa alam ini hanyalah umpama mimpi dan alam sesungguhnya adalah
berada pada sebelum dan sesudah kematian. Untuk itu mereka mengingatkan bahwa
selagi berada di alam dunia, manusia harus mempersiapkan diri sebaik-baiknya.
Alam materi adalah bagian dari persiapan jiwa menuju kesempurnaannya. Hidup di
dunia harus dipandang sebagai simbol-simbol yang menggambarkan fakta sebenarnya
yang berada di alam metafisika. Persis seperti mengamati buih yang merupakan
gejala dari fenomena lautan. Persis seperti terbangnya debu-debu yang merupakan
gajala dari angin. Dan penggerak dari fenomena-fenomena hanya dilihat melalui
penglihatan batin. Untuk itulah sufi mengajak kepada suluk dan nabi mengajak
kepada syariat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar