1. Sofis dan Sokrates
Kita
sebut zaman Sokrates, Plato dan Aristoteles sebagai logosentris karena mereka
mempertanyakan orientasi alam oleh kosmosentris: menjadikan alam sebagai objek
kajian tidak akan menyelesaikan persoalan sebab alat untuk mengolah data-data
alam adalah pikiran manusia. Karena itu, baik Sokrates, Plato maupur
Aristoteles, melakukan fokus pada intelek manusia. Sementara itu, Sokrates
sebagai tokoh pertama logosentrisme meretas jalan itu dengan menghadapi para
sofis.
Situasi sosial dan
politik di Yunani beberapa abad sebelum Masehi sama seperti Indonesia saat ini
yang penuh dengan pejabat yang pandai bersilat lidah, membohongi rakyat,
mengesankan yang salah menjadi benar dan menjadikan yang benar sebagai
pesakitan. Keahlian membodohi rakyat ini terus saja dikembangkan bahkan disusun
sistem kaderisasi yang matang. Partai politik adalah lembaga yang didirikan
untuk membina orang-orang yang pandai menciptakan kesan yang salah menjadi
benar dan yang benar menjadi salah.
Di Yunani, kalangan
Sofis terkesan persis seperti para Tuan Kelabu dalam buku cerita Momo karya Michael Ende. Keahlian mereka
beretorika diawali dengan kepentingan upaya mengesankan segala sesuatu pada
masyarakat sesuai perspektif tertentu supaya pemahaman masyarakat terkaburkan.
Dengan begitu kebobrokan mereka menjadi tertutupi, tidak terekspos. Kala di
pengadilan, yang diputuskan menang adalah siapa yang pandai beretorika dan
mempengaruhi opini para hakim. Jadi kebenaran ditentukan pada keahlian
beretorika, bukan fakta yang sebenarnya terjadi.
Kaum Sofis menjadikan
keahlian ini sebagai profesi untuk bertahan hidup. Mereka suka dibayar untuk
membenarkan kepentingan tertentu di pengadilan.Keahlian ini juga diajarkan pada
anak-anak pejabat sebagai bekal menguasai rakyat di kemudian hari.
Sokrates datang dan
menyadari Sofisme adalah paham yang keliru. Dia melawan kaum sofis dengan cara
yang unik. Dia hanya mengajukan pertanyaan atas setiap argumen kaum
sofis.Pertanyaan-pertanyaan Sokrates ternyata cukup mampu menguak
argumentasi-argumentasi kaum sofis bahwa fondasinya sangat rapuh persis seperti
istana pasir. Sokrates bukanlah filsuf yang gemar menulis sebagaimana filsuf
lainnya. Ajarannya menyangkut etika, seperti yang dia katakan sendiri, dia
tidak punya urusan dengan ilmu alam. Dia menyindir kaum sofis dengan mengatakan
satu-satunya pengetahuan yang ia miliki hanyalah menyampaikan kebenaran.
Lembaga semacam otoritas agama
menyatakan tidak ada yang lebih bijaksana dari pada Sokrates. Sokreates merasa
bingung dan pergi mengatakan mungkin Dewa keliru. Sekali lagi ini adalah bentuk
sindirannya. Cerita ini semakin mengesankan bahwa Sokrates hanyalah tokoh imajiner
ciptaan Plato yang sebenarnya tidak pernah ada secara nyata. Lagi pula, hanya
lisan Platolah yang mampu menyampaikan sesuatu cerita secara sangat hidup dan
betul-betul mencengkeram imajinasi pembacanya. Bahkan saya masih yakin Atlantis
yang dia kisahkan itu hanyalah sebuat setting bangsa imajiner sebagai setting
gagasannya mengenai sosiologi dan politik yang ia rumuskan. Sokrates sendiri
mungkin persis seperti 'Zarathustra' dalam imajinasi Nietzsce dan 'Al-Mustafa'
dalam karya Kahlil Gibran.
Sokrates
diceritakan mengguncang iman orang Yunani waktu itu yang mendewakan matahari
dan bulan dengan mengatakan matahari hanyalah batu dan bulan adalah pasir. Tapi
ternyata kini telah terbukti pernyataannya itu benar.
Sokrates memiliki konsistensi
tinggi, keyakinan teguh.Dia menyentil kaum sofis dengan mengatakan bahwa selaku
mantan serdadu, dia harus senantiasa sigap. Ketika Dewa memerintahkannya
mencari dan menyampaikan kebenaran, maka dia tidak mungkin mengingkarinya
dengan mengikuti manusia (kaum sofis).Karena kaum sofis yang penipu itu sudah
banyak dirugikan maka kaum sofis yang dekat dengan penguasa berhasil dalam
konspirasinya menyeret Sokrates ke pengadilan dengan tuduhan telah mempengaruhi
anak muda, menyesatkan mereka dari kebenaran.
Di
pengadilah Sokrates mengatakan dia tidak berhak membela dirinya. Cara itu
adalah mengemis meminta belas kasihan, sementara pengadilan harus memutuskan
sesuatu berdasarkan kebenaran. Di sini Sokrates meyindir lambaga peradilan yang
telah terbudayakan memberikan keputusan berdasarkan argumentasi yang paling
fasih.
Dalam
pandangan Sokrates, kematian adalah semacam tidur yang panjang atau pespisahan
jiwa dengan raga, dan jiwa itu akan abadi setelah mati. Jadi, kalau di dunia
ini mengajukan pertanyaan dapat membuat seseorang dibunuh, maka di alam setelah
mati orang akan kekal, maka dia berencana mengajukan banyak pertannya di alam
kekal nanti (Russel, 2004:120). Sebab itulah dia tidak takut mati, bahkan dia
meminum racun sebelum eksekusi atas dirinya dilaksanakan. Dia tidak ingin hukum
pincang ala sofis yang memutuskan eksekusi untuk dirinya. Cara ini adalah
pembuktian pada manusia bahwa kebenaran itu harganya adalah nyawa. Dia mati
karena mempertahankan keyakinan kukuh yang ia miliki.
Sokrates juga dikenal
sebagai individu yang sederhana dan militan. Dia hanya bertelanjang kaki ke
mana-mana. Ketika menjadi militer, dia dapat bertahan di tengah cuaca seekstrim
apapun dan dalam kondisi seperti bagaimanapun ketika teman-temannya yang lain
telah tumbang.
Kehadiran Sokrates
sebagai masa awal tumbangnya pemikiran kaum sofis. Sokrates berhasil
mengarahkan pemikiran kepada jalan yang rasional, terbukti, teruji dan dapat
diterima akal sehat. Pemikiran filsafat sepeti ini setidaknya baru matang
setelah Aristoteles menyusunnya secara sistematis.
2. Plato
Plato menyerap dengan baik dialog-dialog
Sokrates sehingga dia mampu mendokumentasikannya dengan baik dalam tulisan. Ia
juga menuliskan ajaran-ajaran para filof Yunani zaman Kosmosentris.
Kecakapannya dalam menulis membuatnya juga dikenal dengan ahli sastra. Plato
mencoba mensintesakan ajarran Herakleitos dengan ajaran Perminides. (Achmadi
2009, h. 50) Dari kajiannya ini muncullah sistematisasi dua sarana perolehan
pengetahuan yakni yang tetap yang disebut rasio dan yang terus bergerak disebut
empirik. Misalnya banyak segitiga di alam empirik. Tetapi hanya ada satu
segitiga di dalam Rasio.
Dengan sudut pandang tertentu, Plato seperti
Immanuel Kant yang merespon dua arus intelektual masa sebelum dirinya. Plato
mengatakan ajaran Herakleitos benar, menurut realitas indrawi. Dan Perminides
benar dalam realitas konsep. Dua eksistensi ini harus didudukkan secara
proporsional. Kegagalan memproporsionalkan ini akan mengakibatkan debat panjang
dalam sejarah intelektual yang takkan ditemukan penyelesaiannya, persis seperti
kritik-kritik Francis Bacon kepada Aristoteles. Secara umum, segala perdebatan
dalam filsafat Barat Modern adalah kegagalan dalam memposisikan eksistensi
eksternal dengan eksistensi alam rasio.
Dalam pandangan Plato, hanya idea
saja realitas yang benar-benar ril. Segala fenomene realitas eksternal hanyalah
jelmaan alam ide yang sifatnya relatif. Eksistensi dalam alam ide bukanlah
sebatas eksistensi konseptual tetapi lebih dari itu eksistensinya adalah nyata.
Penolakan-penolakan kaum empirik atas eksistensi ril alam ide biasanya karena
mereka eksistensi ide itu menurut mereka adalah eksistensi konseptual saja.
Dalam filsafat Islam, persoalan ini nantinya diperjelas dengan sangat baik oleh
Mulla Sadra.
Selain membahas tentang
metafisika, Plato juga menulis tentang semua hal dalam karya-karyanya.
Salahsatu karya terenting Plato adalah Republik.
Dalam Republik, Plato melancarkan
kritik dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan dan sindiran-sindiran melalui
dialog antara tokoh. Bahasannya meliputi hamper semua hal termasuk politik.
Asal usul didirikannya negara
adalah untuk memenuhi berbagai kebutuhan ummat manusia. (Plato, Republik,
Yogyakarta: Narasi, 2015, h.73). Sebab tidak ada orang yang mampu memenuhi
segala kebutuhan dirinya oleh dirinya sendiri.
Misalnya dalam sebuah negara ada
lima orang. Orang pertama sebagai petani harus menyediakan makanan untuk lima
orang. Orang kedua sebagai penenun harus menenun lima pasang pakaian. Orang
ketiga sebagai nelayan harus menyediakan ikan untuk lma orang. Orang keempat
sebagai penyedia air bersih harus menyediakan air untuk lima orang. Dan orang
kelima sebagai pedagang harus mampu mendistribusikan semua kebutuhan itu untuk
lima orang. Bisa saja satu orang dapat menyediakan untuk dirinya sendiri semua
kebutuhannya, tetapi cara itu tidak akan efektif, karena akan ada orang lain
yang tidak mampu melakukan kelima kegiatan itu sekaligus. Demi efektivitas,
fokus lebih diutamakan. Untuk itulah negara didirikan untuk menjamin
terpenuhinya kebutuhan semua orang.
Dari sistem yang diuraikan
ini, satu kesan dapat diambil bahwa pengangguran benar-benar menjadi beban bagi
negara.
Bila kebutuhan di sebuah negara
tidak dapat terpenuhi, atau negara lainnya memiliki kelebihan, maka
diberlakukanlah sistem ekspor-impor dengan aturan-aturan yang disepakati.
Dalam pandangan Plato, negara itu
dibentuk oleh orang-orang yang kuat. Tiap negara memiliki sistem pemerintahan
sendiri-sendiri. Ada sistem demokrasi, ada otoriter dan ada aristokrasi. Orang
kuat itu menetapkan standar keadilan dan kebenaran dalam sistem yang mengikat
dalam hukum. Pemerintah menegakkan peraturan itu kepada rakyat. Dalam
menjalankannya, pemerintah mendapatkan tiga model bayaran yakni uang, jabatan
dan hukuman bila mengabaikan pekerjaan.
Menurut
Plato, Setiap orang yang tidak jujur akan mendapatkan keuntungan. Misalnya
mereka hanya perlu mengeluarkan uang yang lebih sedikit daripada yang
seharusnya dalam membayar pajak. Dengan demikian dia dapat memiliki uang lebih
banyak dapipada orang yang jujur sehingga dia dianggap orang yang lebih kaya.
''... keadilan adalah kebaikan
dan kebijaksanaan, sedangkan ketidak adalan adalah sifat buruk dan kebodohan,
...'' (Plato, 2015 h. 43). Keadilan merupakan keunggulan jiwa dan ketidakadilan
merupakan kecacatan jiwa. Jiwa yang adil akan hidup dengan baik dan jiwa yang
tidak adil akan mengalami kesengsaraan. Yang hidup dengan baik akan diberkati
dan yang sengsara akan merana. Yang adil akan bahagia, yang tidak adil akan
sengsara.
Bagi Plato, orang yang adil akan merasakan
akibat keadilannya pada setiap momen hidupnya. Dia dapat tidur dengan nyenyak
ketika di rumah dan dapat berinteraksi dengan nyaman dengan orang-orang. Semua
ini berangkat dari keluhuran jiwa. Jiwa yang tenag menyebabkan dia jujur. Jiwa
yang tenang pula yang membuatnya nyenyak beristirahat dan nyaman berinteraksi.
(Menjadi sebab dan akibat hanya pada tataran realitas: jujur (sebab) dan nyaman
(akibat). Atau keluhuran jiwa (sebab) dan kejujuran (akibat). Kausalitas hanya
perspektif.
Dalam pandangan Plato,
pendidikan bukanlah sebatas pengujian antara tahu dengan tidak tahu. Sebab
sistem seperti ini adalah sikap anjing: Anjing akan baik pada yang dia tahu,
dia kenal, sekalipun tidak pernah berbuat baik padanya. Sebaliknya anjing akan
jahat pada yang tidak dia tahu, tidak dia kenal, sekalipun orang itu adalah
orang baik dan akan berbuat baik padanya. (Plato, h. 84) Lembaga
pendidikan harus intens menyensor, mengawasi dan mengontrol buku ajar dan
pengajar supaya selalu sesuai dengan prinsip idiologi negara yang tentunya
harus berlandaskan pada pengembangan jiwa.
Pada akhir buku kedua Republik, Plato mengemukakan kritik
terhadap cara pandang manusia dalam melihat hubungan antara kerja Tuhan dengan
manusia. Dia melontarkan sindiran-sindiran dalam melontarkan kitiknya.
Menurutnya sangat banyak dongeng tentang Tuhan yang tidak hanya tidak
masuk akal tetapi merugikan bila diceritakan terutama pada anak-anak.
Pada bagian awal
buku ketiga Republik, Plato
mengatakan beberapa karya sastra tertentu perlu dihindari. Ada karya yang
mendoktrinkan sikap berserah diri kepada musuh dan menerima perbudakan daripada
memilih jalan melawan dan mati sia-sia. Sebab kehidupan setelah mati jauh lebih
menyakitkan daripada kekejaman paling parah yang dialami di dunia. Menurut
Plato, doktrin ini sangat berbahaya karena menerima pembudakan adalah sikap
yang tidak dapat diterima manusia. Menurutnya mati dengan terhormat dalam
perjuangan jauh lebih mulia daripada menjadi budak.
Plato
mempertanyakan keahlian tertentu yang dimiliki seseorang adalah menyatu dengan
jiwanya ataukah dia ahli karena hanya berlakon atau pantomim. Hal ini sangat
penting karena hasil dari suatu usaha, tidak hanya perlu ditinjau dari segi
tampilan atau aksidennya tetapi yang lebih penting adalah kualitas yang lebih
mementingkan substansi.
Pikiran-pikiran
praktis dan tindakan selalu harus diekspesikan seuai dengan irama masyarakat
sebab mereka tidak dapat terlaksana bila bertentangan dengan irama yang sedang
berlaku. Ini bukan berarti hanya menjadi pelengkap atau lenyap dalam sebuah
orkes. Tetapi ini merupakan satu-satunya jalan yang dijadikan langkah awal
menuju perubahan. Masyarakat tidak akan manggut kepada alien.
Seperti emas yang
hanya bisa dibuktikan kemurniannya di atas tungku api, demikian juga seorang
pemuda perlu diuji dengan beberapa cara supaya dapat mengetahui bahwa dia
adalah seorang yang benar-benar tangguh.
Pandangan Plato tentang persoalan-persoalan sosial tidak memiliki
banyak perbedaan dengan muridnya, Aristiteles. Perbedaan mendasar Plato dengan
muridnya adalah pembalikan konsep ide Plato. Bagi Aristoteles, yang ril
bukanlah alam ide tetapi yang ada pada realitas inderawi. Pandangan inilah yang
membuatnya menjadi filosof yang palig berpengaruh dalam bidang logika.
3.
Aristoteles
Aristoteles
adalah ilmuan terbesar sepanjang masa. Karyanya mencakup seluruh bidang
pengetahuan yang pernah diteliti manusia. (Jonathan Barnes, Aristoteles Bapak Ilmu Politik, Jakarta:
Pustaka Utama Grafiti, 1993, h. 4). Tampaknya tidak ada penulis yang lebih
produktif daripada Aristoteles. Dia adalah peletak dasar logika. Suatu ilmu
yang mengatur prinsip berfikir. Seluruh disiplin ilmu, selama melibatkan
manusia sebagaj subjek, tidak bisa menghindar dari logika. Karena ini merupakan
perangkat utama yang digunakan manusia untuk menelaah apapun.
Lahir di Macedonia pada 384 SM dan meninggal
enam puluh dua tahun kemudian, dikatakan karya Aristoteles berjumlah seratus
tujuh puluh judul sekalipun yang yersisa hanya empat puluh tujuh. (Michael
Hart, Seratus Tokoh Yang Paling
Berpengaruh dalam Sejarah, Pustaka Jaya, Jakarta, 1994, h. 103-104).
Sebagaimana umumnya filosof, pemikirannya
membuat sebagian besar masyarakat risih. Guna menghindari respek berlebihan
masyarakat, Aristoteles memilih hijrah ke sebuah desa terpencil kampung ibunya.
Di sana ia tetap meneruskan penelitian bersama beberapa rekannya. Dia juga
gemar memberikan pengajaran kepada siapa saja yang haus ilmu pengetahuan.
Di
pengasingannya, Aristoteles menulis tentang berbagak hal termasuk tentang
karakter hampir semua jenis hewan yang dikenal manusia. Dia meneliti hewan yang
hidup di darat maupun laut. Dia menulis ensiklopedia panjang tentang
organ-organ berserta fungsinya serta berbagai karakter hewan. Dia menulis
laporannya berdasarkan fakta empiris yang dia amati, berdasarkan akurasi
rasional formal dan bahkan melaporkan anekdot dari mulut para pemburu.
(Jonathan, h. 19).
Karena pola pelaporannya ini,
Aristoteles dikritik oleh para ilmua setelahnya. Terutama pada zaman mutakhir,
laporan-laporan Aristoteles ditertawakan. Para ilmuan menuntuk sebuah laporan
tidak hanya berdasarkan pengamatan prilaku tetapi melalui riset laboratorium.
Ilmuan juga menolak pelaporan sifat-sifat hewan menggunakan metode logika formal
karena bagi ilmuan modern, logika formal tidam sesuai dengan realitas empiris.
Apalagi dengan sumber anekdot. Ilmuan modern pasti mentertawakannya. Di atas
semua itu, tampaknya Aristoteles telah mengetahui reaksi tersebut, tetapi dia
tidak ambil pusing. Sebab bila dibandingkan dengan khazanah keilmuan pada
masanya, semua laporan Aristoteles bertujuan untuk membangunkan orang-orang
dari tidur dogmatis yang diliputi takhayul.
Di
samping itu, Aristoteles tertarik dengan sistem teorema geometris dan aksioma
matematika. Menurutnya geometri dapat diterapkan pada sains sehingga setiap
objek dapat didefenisikan. Dia menyatakan aksioma dapat menjadi pembukti bahwa
setiap segmen sains memiliki akar yang sama; atau setidaknya dapat dijelaskan
dengan sistem yang sama.
Aristoteles
membagi pengetahuan menjadi tiga bagian yaitu pengetahuan produktif,
pengetahuan teoritis dan pengetahuan praktis. (Jonathan, h. 41) Pengetahuan
produktif adalah pengetahuan yang menghasilkan suatu pengembangan seperti karya
seni, pertanian dan rekayasa. Sementara pengetahuan teoritis adalah pengetahuan
yang tidak berorientasi lain kecuali untuk kebenaran konseptual semata.
Aristiteles membagi pengetahuan teoritis kepada tiga bidang yaitu matematika,
ilmu pengetahuan alam dan teologi. Sebagaimana murid Plato yang lain,
Aristoteles banyak belajar tentang prinsip+prinsip matematika. Namun demikian,
Aristiteles mengaku bahwa dirinya tidaklah begitu pakar dengan disiplin ini.
Adapun yang dimaksud dengan ilmu pengetahuan alam adalah melingkupi zoologi,
botani dan astrologi. Ilmu ini dikenal juga dengan istilah 'fisika' yang
berasal dari kata Yunani 'phusike'.
Adapun semua ranah fisika ini menurut Aristoteles tidaklah lebih penting karena
bukan merupakan substansi primer. Menurutnya, substansi primer adalah
‘’keilahian’’. Dia membahas masalah penting ini dalam tema teologi dan
menurutnya ini lebih penting daripada fisika.
Kajian Aristoteles yang dianggap sangat
penting oleh para filosof setelahnya adalah mengenai metafisika dan logika. Kedua
disiplin ini telah dibahas oleh ratusan filosof dan menjadikan tema ini menjadi
semakin samar dan membingungkan dibandingkan uraian Aristoteles sendiri.
Objek
diakursus ini adalah wujud sebagaimana wujud (being qua being). Maksudnya, penelitiannya berfokus pada segala hal
yang memiliki wujud. Yang diteliti bukanlah partikularnya, tetapi ke-ada-annya.
Karena sifatnya ini, maka fokus penelitian tentang wujud sebagai wujud disebut
sebagai metafisika. Wujud sebagai wujud memang bukanlah realitas fisik, tetapi
adalah dasar daripada segala realitas yang dapat diindrai. Metafisika bersama
logika oleh para pengkaji Ariatiteles dimasukkan menjadi bagian teologi yang
merupakan bagian dari pengetahuan teoritis.
Logika merupakan perangkat atau alat utama
untuk mempelajari segala disiplin keilmuan. Logika adalah disiplin keilmuan
untuk menyusun dan membuktikan benar atau salahnya sebuah pernyataan. Semua
kalimat memang mengandung makna. Tetapi tidak semua kalimat adalah pernyataan.
Pernyataan baik bersifat afirmasi atau membenarkan atau negasi atau menyangkal.
Mekanismenya adalah dengan menjadikan sebuah kalimat menjadi proposisi yang
kemudian diolah menjadi sebuah term.
Berikut terdapat empat tipe proposisi
sederhana: 1. Afirmatif universal yaitu membenarkan predikat yerhadap setiap
subjek. 2. Negatif universal yaitu menyangkal predikat terhadap setiap subjek.
3. Afirmatif partikular yaitu membenarkan predikat terhadap beberapa subjek.
Dan 4. Negatif partikular yaitu yang menyangkal predikat terhadap beberapa subjek.
(Jonathan, h. 49). Proposisi sederjanya adalah tersusun dari term berupa subjek
dan objek. Bisa berupa afirmatif atau negatif. Sifatnya bisa asertorik,
apodeiktik, atau juga problematik.
Kekeliruan Aristoteles mungkin
adalah menerapkan logika formal pada realitas aktual. Mungkin inilah alasannya
bergelut dengan botani, zoologi atau bahkan mungkin politik. Dia memaksakan
logika formal pada semua realitas. Dia ingin membuktikan logika formal melalui
realitas.
Penerapan logika formal pada zoologi, botani,
politik dan sebagainya banyak mengalami kekeliruan bila ditinjau melalui
analisa saintifik. Sistem logika Aristoteles memang menjadi pembantu yang
sangat penting bagi ilmu pengetahuan. Namun logika tidak dapat diterapkan
langsung pada fenomena realitas. Tetapi logika tepatnya diterapkan untuk
menyusun konsep yang dapat diterapkan sebagai acuan dasar untuk menganalisa
realitas. Logika adalah fondasi epistemologi. Epistemologi untuk diterapkan
pada penyusunan teori sebagai bekal penelitian.
Untuk memahami tujuan konseptualisasi
pengetahuan Aristoteles yang kaku (baca: formal) itu, cara pandang kita harus
sedikit tidak kaku. Sistem logika yang diterapkan Aristoteles adalah aksioma
yang harus menjadi landasan segala teori. Supaya aksioma dapat dicapai,
diperlukan penjelasan. Penjelasan ini disebut sebagai kausalitas. Kausalitas
atau sebab-akibat dalah bahasa Yunani disebut 'aitia' yang juga berarti
'penjelasan'.
Suatu dasar teori pengetahuan
untuk dibuktikan validitasnya diatur oleh Aristoteles melalui kausalitas. Kalau
menterjemahkan maksud Aristoteles secara kaku, maka yang terjadi adalah tasalsu atau ad infinitum, yaitu penjelasan yang berputar-putar lalu kembali
seperti rantai. Untuk itu, kita harus memahami bahwa 'aitia' yang dimaksud Aristoteles
bukanlah perjelasan yang menyebabkan pembuktian aksioma menjadi melinting.
Tetapi yang ia maksud adalah menemukan esensi daripada suatu aksioma. Esensi
yang dimaksud di sini adalah menemukan unsur dasar pembentuk suatu terma yang
mana bila esensi ini dilepas, maka runtuh segala eksistensinya. Misalnya terma
'manusia' ketika dijelaskan menjadi 'hewan yang berfikir'. Maka tentang
'manusia' yang menjadi esensi adalah 'berfikir'. Sebab bila tiada berfikir,
sama sekali bukan manusia. Esensi juga hanya berlaku pada kekhususan
(differensia) yang menjadikannya berbeda dari suatu keumuman (genus)di atasnya.
Bila berusaha membuktikan suatu aksioma bukan
dengan cara berusaha menemukan esensinya, maka yang terjadi adalah tasalsul.
Misalnya 'sapi'. Dijelaskan sebagai hewan bertandu. Ditanya lagi kenapa
bertanduk. Dijawab karena giginya terbatas. Ditanya kenapa giginya terbatas.
Dijawab karena perutnya ada empat. Ditanya lagi kenapa perutnya empat. Dijawab
lagi karena giginya terbatas. Ditanya lagi kenapa giginya terbatas. Dijawab
lagi karena perutnya empat. Cara begini tidak membuktikan apapun tentang sapi.
Bagi sistem Aristoteles. Aksioma harus menjadi
universal karena dengan demikian penjelsan pengetahuan dapat dilanjutkan. Oleh
karena itu, baginya universalia tidak dapat punah karena itu darinya adalah
esensi.
Sebelum dapat menemukan esensi sesuatu
(thing/syay'i). Kita harus menemukan kepastian sesuatu. Sesuatu yang dimaksud
haruslah tidak dapat dipisahkan dan mempunyai kemandirian. Ketika sesuatu telah
ditemukan, maka dirumuskanlah kategori kepadanya. Dalam filsafat aristoteles,
kategori ada sepuluh. Salahsatunya adalah substansi, yang merupakan dasar dari
sesuatu. Dasar yang dimaksud adalah sesuatu yang bukan penyamatan/tempelan.
Sembilan lainnya adalah kuantitas, kualitas, relasi, tempat, waktu, kondisi,
kepemilikan, aktif dan pasif. Kesembilan insiden adalah predikat daripada
subjeknya yaitu substansi.
Aristoteles
menyusun teori seperti ini diinspirasikan dari para pendahulunya. Para
pendahulunya ini ada yang menyataka, misalnya air atau api sebagai substansi
semesta. Namun oleh Aristoteles menganggap air atau api adalah 'sesuatu'
sehingga bukanlah substansi sebab air maupun api daat diberi kategori juga.
Demikian pula Aristoteles tidak tertarik menjadikan atom, sebagaimana gagasan
Herakleitos sebagai 'sesuatu' karena tidak bisa didemonstrasi. Dia juga
menyanggah teori angka Pythagoras. Menurutnya angkat tidak dapat diterapkan
sebagai 'sesuatu' karena angka tidak berhubungan dengan benda konkrit. Aristoteles
juga menolak konsep Plato. Plato menyatakan sesuatu yang konkrit berasal dari
yang abastrak yang tidak berhubungan dengan sesuatu yang konkrit. Aristoteles
berpendapat sebaliknya. Sesuatu yang abstrak menurutnya adalah diambil dari
yang konkrit.
Penentuan substansi adalah yang terpenting
dari penentuan sembilan kategori lainnya. Bila telah dapat ditentukan kesepuluh
kategorinya, barulah 'sesuatu' dapat disahkan.
Sesuatu pada dirinya adalah akibat sekaligus
menjadi sebab. Artinya, sesuatu tersebut adalah aktualitas dari potensi sesuatu
yang lain sebelum menjadi sesuatu. Dan sesuatu itu adalah adalah potensi untuk
menjadi sesuatu yang lain. Hal ini terjadi karena setiap sesuatu yang semuanya
berada di dalam ruang dan waktu mengikuti hukum gerak. Dalam sistem Dalam filsafat Aristoteles, gerak terjadi
karena tiga faktor yaitu, penggerak, aktivitas pergerakan dan objek yang
bergerak. Objek yang bergerak terjadi dalam empat kategori. Pertama adalah
substansi. Yang menjadikan sesuatu mengada dan musnah. Misalnya sebuah patung
yang mengada bila dipahat dan musnah ketika dihancurkan. Kedua adalah kualitas.
Misalnya lilin yang berubah menjadi cair bila panas dan membeku bila dingin.
Ketiga adalah kuantitas. Misalnya sebuah pohon yang tumbuh. Keempat adalah tempat.
Bagi
Aristoteles, aktualitas harus mendahului potensialitas. Karena setiap yang
aktual haruslah adalah sebuat potensi bagi aktualitas sesuatu yang lain.
Materialitas dan bentuk adalah bagian dari substansi yang berarti bila berubah,
maka otomatis sesuatu menjadi sesuatu yang lain. Namun hal ini akan sulit
diterima oleh sains modern karena kemampuan mereka menyelidiki materi lebih
dalam. Namun segala konsep yang disusun Aristoteles tidak perlu dilihat dari
perspektif sains. Maksud dan tujuan Aristoteles adalah untuk menyusul logika
formal. Dia ingin menentukan 'sesuatu' berdasarkan kualifikasi kategori.
Sesuatu bukanlah sesuatu yang lain. Ini adalah
prinsip identitas non kontradiksi. Sesuatu tidak dapat menjadi sesuatu yang
lain pada waktu bersamaan.
Dengan mengamati penjelasan konsep geraknya,
maka dapat diketahui bahwa tiapa sesuatu hanya mungkin ada, tidak adan dan
mungkin (berpotensi) mengada. (Bambang Q-Aness & Radea Juli A. Hambali, Filsafat untuk Umum, Jakarta: Kencana,
2003, h. 196)
Aristoteles
menuai banyak kritik akibat kekeliruannya dalam menyahikan contoh-contoh. Tanpa
memberikan contoh memang penjelasan logika akan semakin sulit. Namun contoh
juga sangat sering menyesatkan pemahaman. Seperti dalam teorinya tentang
kausalitas. Aristoteles menuai banyak sekali sanggahan.
Sesuatu yang mengada dipastikan memiliki
sebab. dalam filsafat Aristoteles, ada empat jenis sebab. Pertama adalah sebab
materi. Sebab ini adalah untuk menjelaskan keberadaan sesuatu. Misalnya patung
terbuat dari perunggu. Kedua adalah sebab formal. Sebab ini untuk menjelaskan
keadaan sesuatu. Misalnya gerhana matahari karena bulan menutupi. Ketiga adalah
sebab efesien, yaitu sebab yang membedakannya. Misalnya anak berbeda dengan
ayah. Sebab keempat adalah sebab final. Sebab ini dapat dijelskan secara formal
namun akan menimbulkan banyak sanggahan ketika contohnya diterapkan. misalnya
orang berjalan supaya/agar/demi sehat. Sehat ini hanya berada dalam estimasi
pikiran dan sebabnya diterapkan pada kondisi material menyebabkan banyak kritik
muncul. Karena 'supaya', 'agar' dan 'demi' hanyalah sasaran penerapan. Dengan
keadaan ini, Aristoteles sendiri terpaksa menerima bahwa banyak akibat di alam
tidak dapat ditentukan sebabnya. Hal ini karena ketergesaan Aristoteles memaksakan
hukum pikiran diterapkan pada alam. Memang eksistensi yang ada dalam pikiran
dengan eksistensi pada realitas material memiliki perbedaan.
Alasan lainnya karena Aristoteles
sedang merintis sebuah sistem berfikir yang dapat menghapus mitologi.
Menurut Aristoteles, pengetahuan bersumber
dari persepsi. Namun persepsi bukanlah pengetahuan. Pengetahuan itu sendiri
adalah realitas empiris. Perdebatan ini adalah tentang sumber mana yang lebih
primer antara pengindraan dengan pemikiran. Sebagian kalangan menklaim bahwa
observasi indra adalah lebih primer daripada konsepsi pikiran. Sebagian lagi
sebaliknya menganggap konsepsi pikiran adalah lebih primer daripada obserfasi
indra. Aristoteles sendiri sebagai seorang logikawan menyatakan bahwa sebaik
apapun indra mengobserfasi sesuatu, tetapi keputusannya tetap bergantung pada
persepsi pikiran. Namun sebagai seorang ilmuan yang melakukan observasi, dia
tidak dapat menerima persepsi pikiran. Sebab pikiran atau persepsi sering
keliru memberi keputusan atas observasi yang sifatnya konkrit sementara pikiran
mengenal sesuatu melalui abstraksi umum.
Sekalipun
filsafat yang dibangun Aristoteles seluruhnya adalah untuk mengganti mitos
dengan akal sehat, namun dia juga sangat menghargai warisan yang telah
ditinggalkan tradisi Yunani itu. Tampaknya Aristoteles sadar walau bagaimanapun
filsafat yang ia bangun adalah termasuk dalam alur sejarah yang dalam hal ini
sejalan dengan tradisi mitos sebelumnya.
Dalam tradisi mitologi Yunani, substansi
segala sesuatu adalah dewa. Dewa ini secara maknawi berada di atas segala
materi, selanjutnya pemahaman 'di atas' dirubah menjadi benda-benda yang ada di
langit seperti bintang, bilan, planet, komet, matahari dan lainnya.
Aristoteles dalam studi astronominya berusaha
membuktikan bahwa benda-benda langit itu adalah seperti mineral, tumbuhan dan
hewan yang ada di bumi juga. Dalam filsafatnya, Aristoteles berusaha
menjelaskan substansi setiap sesuatu selain materi dan bentuk, juga jiwa.
Jiwa yang dalam bahasa Yunani adalah 'psuche'
berarti adalah sesuatu yang menggambarkan karakteristik dari sesuatu. Tingkatan
jiwa yang diklasifikasi Aristoteles adalah menurut karakteristiknya. Nabati
sifatnya membutuhkan makanan dan bergerak tumbuh. Hewan selain membutuhkan
makanan dan gerak tubuh juga melakukan gerak perubahan tempat dan berpersepsi.
Dan manusia selain memiliki apa yang dimiliki hewan dan tumbuhan juga memiliki
pikiran. Jadi antara tumbuhan, hewan dan manusia berbeda tingkatan jiwanya.
Bagi
Aristoteles, jiwa dengan raga adalah organik. Karena itu adalah hal yang salah
ketika mencoba membedakan atau menyamakan (karena tidak berbeda) antara jiwa
dengan raga. Baginya jiwa dipelajari melalui aktualitasnya pada raga.
Aristoteles tidak sependapat dengan pandangan Plato yang menyatakan jiwa telah
mengada sebelum adanya raga dan tetap akan kekal setelah raga musnah.
Bila
kita telah dapat memaklumi sikap Aristoteles antara sistem logika formal yang
ia susun lalu dia mengira dapat diterapkan pada observasi saintifik, maka kita
akan memaklumi pandangannya tentang sistem kerja jiwa dalam kegiatan
intelektual baik dalam penalaran maupun imajinasi. Aristoteles mengakui
tindakan intelektual bukanlah tidakan material tetapi tindakan jiwa namun objek
kegiatan tersebut adalah material. Untuk mengatasi persoalan ini, Aristoteles
membedakan antara intelek aktif dengan intelek pasif.
Intelek pasif bertugas menerima segala
informasi dari benda. Sementara itu intelek aktif bertugas melepaskan bentuk
lalu mebstraksi informasi itu. (Filsafat untuk Umum, h. 200). Mengabstraksi
menurut Aristoteles adalah melepaskan kekhususan menuju keumuman. Menurutnya,
intelek aktif ini sifatnya kekal.
Dengan cara ini, Aristoteles menyusun prinsip
logika yang disebut silogisme. Dari kekhususan dicari esensi yang berupa
keumuman. Kekhususan disebut premis minor dan keumuman disebut premis mayor.
Dari kedua hal ini ditarik sebuah kesimpulan.
Cara ini merupakan prinsip penentuan identitas
(A adalah A) yang dapat menunjukkan kontradiksi (A bukan bukan A) sehingga
dapat menolak kesalahan penyimpulan. Sistem ini juga dapat dipakai untuk
menjelaskan sesuatu sebagai aksioma.
Banyak
sekali komentator Aristoteles yang menyusun argumentasi dengan mengatasnamakan
Aristoteles namun bila ditelisik, maka pandangan mereka itu berbeda jauh dengan
nama filosof yang mereka jual itu. Hal ini biasanya terjadi karena justifikasi
buah pikir Aristoteles dilakukan karena kurangnya kedalaman penelitian. Hal ini
menyebabkan kosakata yang yang dipakai Aristoteles dimaknai berbeda.Persoalan lainnya
karena mengetahui buah pikir Aristoteles melalui komentatornya.
Diantara
sekian banyak kosakata yang membuat komentatornya berkesimpulan berbeda dengan
maksud Aristoteles sendiri misalnya teologi. Kata yang dimaknai sebagai
'teologi' yang dipakai Aristoteles adalah 'telos' yang sebenarnya bermakna
'sasaran'. Makna ini sesuai dengan uraian Aristoteles yaitu tentang kondisi
makhluk hidup. Menurut Aristoteles, segala makhluk hidup sesuai antara
konsumsi, bentuk fisik dan tingkah lakunya. Semua kesesuaian ini memiliki
sasaran finalnya. Sasaran final ini harus ada supaya tidak terjadi tasalsul
dalam penjelasan (atau menyusun sebab-akibatnya).
Pembahasan
Aristoteles mengarah secara spesifik tentang manusia. Dia menjelaskan bagaimana
pola hidup manusia pula harus disesuaikan dengan kondisi lingkungannya. Manusia
memiliki kelebihan berupa intelek. Intelek ini harus dioptimalkan dalam rangka
penyesuaian diri dengan lingkungan.
Dalam
bersosialisasi, menurut Aristoteles, manusia harus memiliki prinsip kebebasan.
Karena itu, satu individu perlu memberikan ruang kapada individu yang lain
supaya memiliki kebebasan. Sebagian peneliti menganggap Aristoteles tidak
berpendapat demikian karena dia mendukung perbudakan. Padahal yang dimaksud
Aristoteles adalah, dia mempercayai adanya satu orang bekerja kepada yang lain.
Baginya,
dalam urusan kepentingan bersama, harus dibuat sebuah kesepakatan bersama. Keputusan
bersama inilah yang disebut sebagai undang-undang.
Aristoteles juga memberi
perhatian khusus terhadap sains praktis. Sains praktis yang dia maksud adalah
seni. Seni bisa merupakan karya tangan seperti pertukangan dan seni pahat.
Sementara seni tulis adalah sastra. Menurutnya, sastra harus mampu menggugang
emosi sekaligus memancing nalar.
Pasca Aristoteles, muncullah aliran
Hellenisme, Patristik dan Skolastik yang membahas berbagai persoalan. Kita
menamai periode pasca Aristoteles dengan Antropomorsentrisme karena sasaran
utama mereka berfilsafat adalah manusia. Periode ini berakhir pada masa
patristic karena pusan orientasi filsafat mereka berubah nejadi kajian
ketuhanan yang kita mania Teosentrisme. Kita sebut semua itu berakhiran ‘isme’
bukan karena itu adalah aliran idiologi, tetapi semata karena periodesasinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar