Emha Ainun Najib atau
Cak Nun mengatakan sila pertama Pancasila, yang menjadi dasar NKRI tidak layak
bagi ummat beragama. Menurutnya, redaksi 'ketuhanan' itu bukanlah ajaran yang
mengajarkan untuk taat kepada Tuhan tetapi kepada sifatNya saja.
Dia menjelaskan,
ketuhanan yang diajarkan Pancasila sama seperti sifat kepanasan, tetapi tidak
menawarkan api. Dan sama seperti manisnya saja tetapi tidak menawarkan gula.
Kesimpulan dia, Pancasila itu bukan menawarkan Tuhan tetapi sifatnya saja.
Pernyataan Cak Nun
ini membingungkan. Sebab pernyataan demikian, secara logika menuntut zat. Jadi
kalau zat yang dia tuntut, bagaimana yang seharusnya bila Zat Tuhan yang
dituntut?
Bila menuntut ZatNya,
berarti menuntut WujudNya. Bila WujudNya yang diaktualisasikan, maka
menuscayakan kesirnaan wujud-wujud lain termasuk wujud manusia. Sebab mustahil
Wujud yang tak terbatas bersanding dengan wujud terbatas karena meniscayakan
yang tak terbatas menjadi terbatas.
Pernyataan Cak Nun
tentu saja berkonsekuensi pada kehadiran Wujud tak terbatas dan melenyapkan
wujud-wujud lainnya. Sehingga manusia tidak memiliki wujud sama sekali. Manusia
hanya boleh melaksanakan apapun yang menyatakan eksistensi diri. Hal ini
berarti manusia harus mengaktualisasikan segala amal Tuhan. Tidak melempar
kecuali Tuhan yang melempar. Tuhan menjadi tangan, kaki dan segala anggotanya
sebab kedirian manusia harus lenyap.
Hanya begini saja
cara menafsirkan maksud Cak Nun. Dan cara ini berarti adalah mengaktualisasi
segala Sifat Tuhan. Dengan demikian, redaksi 'Ketuhanan' tidak keliru. Karena
segala amal yang dilakukan manusia adalah amal Tuhan Yang Maha Esa. Rupanya
hanya terjadi perbedaan redaksi saja.
Jadi kritik Cak Nun
adalah kritik sindiran. Dan biasanya beginilah cara dia menggugah orang-orang.
Wallahu'alam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar