Link Download

Minggu, 09 Agustus 2015

Bhinneka Tunggal Ika: Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi Islam Nusantara

Keberagaman mucul dari satu. Satu itu mengandung keberagaman. Seperti sesuatu bila dihadapkan ke beberapa cermin, maka sesuatu itu akan tampak banyak. Pada hakikatnya dia adalah satu tetapi muncul beragam. 
Demikian juga angka. Angka sejati adalah satu. Namun dalam satu itu mengandung potensi keberagaman. Mengaktualnya potensi itu ketika menjadi angka dua, tiga dan seterusnya. Pada dua, tiga dan seterusnya itu adalah aktualisasi dari satu.
Seperti dari tanah di buatkan kendi, cangkir, piring dan sebagainya. Bila ditinjau pada setiap benda beragam itu, maka secara mendalam, maka tidak ditemukan kecuali tanah. Tetapi bila dilihat maka ada beragam benda.
Demikian analagi-analogi sufi yang menggambarkan satu adalah beragam dan keberagaman itu adalah satu. Penjelasan ini integral dengan sistem penjelasan logika-filsafat yang digambarkan oleh Mulla Sadra.
Mulla Sadra menerangkannya melalui sistem subjek-predikat. Menurutnya, predikat bila ditinjau pada dirinya, dia adalah sebuah predikat yang terpisah dari subjek. Tetapi bila diamati secara keseluruhan subjek-predikat, maka sebenarnya predikat-predikat seberapapun banyaknya, ini bergantung secara mutlak kepada subjek. Misalnya Ahmad berdiri, Ahmad duduk. Berdiri maupun duduk sama sekali tidak dapat eksis tanpa Ahmad. Analisa epistemologi ini untuk menerangkan bahwa makhluk-makhluk yang beragam sebenarnya adalah semacam predikat-predikat atau bayangan-bayangan dari Wujud Allah yang Satu. Semuanya bergantung secara mutlak kepada Allah.
Allah, dalam sistem epistemologi Ibnu Sina diterangkan sebagai Wujud Mutlak (Wajib al-Wujud), sementara makhluk-makhluk dikatakan sebagai wujud-wujud bergantung (mumkin al-wujud). Formula inilah yang diformulasikan kembali oleh Mulla Sadra dengan merevisi konsep ini dengan sistem yang telah diterangkan di atas.
Mula Sadra juga memanfaatkan sistem gradasi cahaya Syihabuddin Suhrawardi dengan menggantikan gradasi cahaya itu sebagai gradasi wujud setelah melakukan formulasi sedemikian rupa. Tingkatan-tingkatan wujud semuanya bergantung secara hirarkis pada Wujud Mutlak. Formula ini dapat dijadikan penerang bahwa segala makhluk sebenarnya adalah berasal dari Wujud yang Satu. Perbedaan antara mereka hanyalah pada tingkatan wujud. Karena itu, harmonosasi antar makhluk sangat dibutuhkan karena kita semua adalah wujud yang bergantung.
Dari epistemologi ini, dapat menjadi kesadaran aksiologis bagi masyarakat Nusantara untuk membangun keselarasan, baik dengan makhluk-makhluk mineral, nabati, hewani dan sesama manusia.
Masyarakat Nusantara yang kaya dengan mineral yang subur dan berharga, nabati yang berguna, hewan-hewan yang paling beragam dibandingkan semua negara yang ada di dunia serta keberagaman suku dan agama. Semua insan perlu insaf akan ontologi dan maklum akan epistemologi sehingga dapat membangun kesadaran aksiologis yang beradab dalam mengelola mineral, sadar akan pelestarian nabati, peduli dalam melindungi hewani serta bekarhlakul karimah dalam menyikapi keberagaman warga Nusantara dan dunia.
Akhlakul karimah ini dibangun dengan kesadaran gradasi cahaya atau hirarki wujud. Setiap warga harus sadar bahwa latar belakang, pengetahuan, budaya dan cara panda yang berbeda itu adalah sebuah keniscayaan dari Allah.
Dengan mengedepankan akhlakul karimah, maka pendekatan-pendekatan yang dilakukan dalam upaya penginsyafan dan penyadaran mendalam akan menampuh cara cara yang bijak.
Inilah prinsip ideal Islam Nusantara yang berbasis ontologi, epistemologi dan aksiologi dalam membangun Nusantara dan dunia yang rukun dan harmonis.
Wallahu a'lam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar