Kristen
Otentisitas dibuktikan dengan beberapa cara. Salah satu cara terpenting atau memang terutama adalah bahasa. Agama Kristen tidak memiliki otentisitas. Di setiap wilayah tertentu, ajaran Kristen memakai bahasa yang berbeda. Tampaknya para pengajar awal Kristen tidak peduli pentingnya otentisitas bahasa dari ajaran asli Injil. Bisa jadi pula ini dilakukan secara sengaja supaya otentisitas itu hilang. Asumsi ini tampaknya ada benarnya. Agama yang dibawa Isa itu sejak awal ditolak. Isa hanya memiliki beberapa orang pengikut. Namun akhirnya mereka semua berkhianat. Jadi, ajaran Isa nyaris tidak memiliki pengikut.
Sepeninggalan Isa, ada beberapa orang yang antusias menghimpun kembali ajaran Isa. Ajaran Isa sebagian besarnya berisi pesan akan datangnya juru selamat akhir zaman yang melaluinya kesempurnaan ajaran Tuhan disampaikan. Jadi inti utama ajaran Isa adalah ajakan mempersiapkan diri menyambut Nabi akhir zaman.
Oleh para pengajar Kristen awal pesan ini dijadikan kesempatan untuk mempersiapkan sebuah tandingan atau komunitas untuk melawan ajaran penyempurna yang dijanjikan itu.
Di Indonesia, dan mungkin beberapa wilayah lainnya, ajaran Kristen hampir seluruhnya memakai bahasa serapan Arab. Bahasa Indonesia menyerap bahasa Arab pada masa Islam yang menjadi agama terahir penyempurna itu didakwahkan di Nusantara. Ini menjadi bukti yang sangat jelas bahwa ajaran Kristen di Indonesia baru dimulai setelah agama Islam benar-benar memasuki sendi kebudayaan Nusantara.
Di Spanyol dan Latin, ajaran Islam juga lebih dahulu berkembang, tetapi dibumi hanguskan oleh penguasa. Lumayan kita masih dapat menemukan bukti Islam pernah berjaya di Spanyol. Sayangnya kita sama sekali belum punya bukti ilmiah kejayaan Islam pernah terjadi di Amerika Selatan. Islam di Amerika Selatan dihanjurkan hingga tidak bersisa sama sekali. Semua orang Islam yang tidak mahu pindah ke agama Kristen dibakar ditanam hidup-hidup. Semua literatur dan bangunan berkaitan dengan Islam dimusnahkan hingga tak berjejak. Prilaku ini juga terjadi di Spanyol pada masa penghapusan Andalusia Muslim. Tindakan di Amerika Selatan adalah mengikuti tidakan di Spanyol ketika Spanyol berekspansi ke arah Barat. Sementara tetangganya Portugal berekspansi ke Timur, negara-negara seperti India dan Indonesia diekspansi secara militer, merubah kebudayaan mereka dan memaksa mereka memeluk Kristen. Sebenarnya, di bagian-bagian Indonesia yang banyak penganut Kristen seperti pesisir selatan Sumatera Utara, Utara sulawesi dan Papua, Islam telah terlebih dahulu mendominasi. Sebagaimana Amerika Selatan dan Spanyol, Islam disingkirkan. Karena itulah, istilah-istilah Islam banyak pakai dalam ajaran Kristen di Indonesia dan beberapa negara lainnya. Sebab bahasa masyarakat ketika Kristen diajarkan, sudah terlebih dahulu menggunakan bahasa-bahasa Arab yang dipakai masyarakat ketika menerima Islam sebelumnya.
Sebagaimana bermula agama ini dijadikan sebagai alat mereguk kekuasaan dan kekayaan oleh sebagian kecil orang. Agama dan Tuhan memang sangat mudah dijual. Orang akan melakukan apapun kalau kulitnya bertulis nama Tuhan.
Isi ajaran Injil semakin lama semakin aneh, ditulis sesuai orientasi si pengarang. Sekalipun mungkin pada periode awalnya Injil ditulis dengan tulus hanya berniat restu Tuhan, namun semakin lama, ajarannya semakin dipelisitir. Sebagian kecil orang yang benar-benar berorientasi ketuhanan semata harus bersusah payah menyaring Injil untuk menemukan ajaran murninya. Usaha ini persis seperti mencari sebiji jarum dalam tumpukan jerami: memungkinkan, tetapi sangat sulit.
Ambiguitas mendominasi ajaran Injil. Mereka yang punya niat tulus terpaksa membuat penafsiran sedemikian rupa untuk dapat menemukan ajaran Injil sejati. Mereka sering harus mengadopsi aroma Hindu, Budha dan Islam ketika melakukan usaha itu.
Misalnya ketika berusaha menemukan spiritualitas Kristen dalam etos kerja. Rhonda mengaku mengambil inspirasi dari Wallace. Prosesnya adalah berdoa, menunggu dan menerima. Sikap ini adalah sikap umum yang belum tentu adalah murni ajaran Kristen. Dalam terminologi Hindu, Budha dan Islam juga terdapat ajaran seperti ini.
*
Agama-agama besar memiliki prinsip-prinsip ajaran yang sama. Ide-ide dasar intelektualitasnya juga mengambil inspirasi yang mirip. Seperti dalam ajaran Islam yang mengakui air sebagai hal yang sangat penting, baik dalam artian konkrit maupun ideal. Doktrin sufisme Islam, yang merupakan bagian kreatifitas penting ditinjau dari segi intelektualitas dan kreativitas, melihat air sebagai substansi penting kehidupan. 'Ayan tsabitah dikatakan sebagai sebagai sumber dari segala realitas semesta. Demikian pula Thales melihat air sebagai substansi kehidupan. Dalam ajaran Katolik, air dijadikan sebagai lambang wajah feminim Tuhan sebagai Bunda Ilahi. Air identik dengan simbol fenimim. Sebelum lahir ke dunia, manusia tinggal di dalam air selama sembilan bulan.
Feminim dan maskulin adalah simbol yang melekat pada setiap agama besar. Kedua bagian ini merupakan warisan tradisi intelektual manusia. Dalam agama Kristen, Bunda Agung dan Tuhan Bapa, eksistensi keduanya merupakan dua wajah Tuhan Kudus yang seimbang. Dalam Islam, Jamal yang merupakan simbol feminim dan Jalal merupakan simbol maskulin dianggap sebagai manifestasi utama sifat Tuhan yang dari keduanya sifat-sifat lainnya muncul.
Simbol-simbol esensial, yang tampak sama dalam pemakaian kata atau benda sebagai sebuah analogi yang sama dalam pemaknaannya sekalipun satu sama lain belum pernah bersentuhan, dianggap oleh beberapa relijius Kristen sebagai akibat dari jiwa yang memiliki interkoneksi.
Spiritualitas Kristen sangat meyakini bahwa apapun yang kita inginkan, bila dikonsenterasikan dengan baik atau diberi fokus yang tegas, maka akan terealisasi dalam kehidupan, Asas keyakinan ini tampaknya adalah karena pada ajaran murni Kristen, jiwa dengan raga atau materi dengan immateri adalah satu kesatuan utuh tanpa sekat. Keinginan yang sifatnya immaterial akan mewujud dalam realitas karena immateri merupakan penggerak bagi materi. Pandangan mengenai keinginan yang dapat mewujud dalam pandangan masyarakat Kristen hari ini tampak janggal sehingga kerap disanggah kemungkinannya karena dunia Kristen hari ini terlalu materialistik. Antara jiwa dengan raga dalam paham Kristen hari ini dilihat sebagai dua entitas terpisah. Masalah ini memiliki latar belakang yang cukup rumit terkait sejarah intelektualitas Kristen.
Dalam beberapa sisi, Kristen memiliki sejarah survival yang lebih rumit, dalam beberapa sudut pandang, dibandingkan saudara dekatnya, Islam. Ketika Isa (Yesus) masih berdakwah, dia ditolak habis-habisan oleh kaumnya. Sepeninggalannya. Nyaris tidak ada pengikut. Hanya beberapa kalangan intelektual yang menaruh perhatian terhadap sabda-sabda Yesus. Mereka mendokumentasikannya dengan susah payah. Oleh penguasa yang melihat dapat mengambil keumtungan, Kristen dipaksakan kepada rakyatnya. Karena pendekatan demikian, ajaran ini dimodifikasi sedemikian rupa supaya mendukung penuh ajaran sang penguasa. Sebagian intelektual memilih menuruti keinginan penguasa karena beberapa pertimbangan; keselamatan dan pilihan supaya ajaran Yesus tetap eksis. Sebagian intelektual lain memilik menolak. Kaum yang menolak sebagian dibinasakan dan sebagian berhasil melarikan diri. Ajaran-ajaran yang masih agak murni yang berhasil diselamatkan tidak memiliki banyak pengikut. Karena itu tidak mengherankan, sekalipun masih dalam masa perintisan, agama Kristen sudah memiliki banyak versi.
Umumnya penganut Kristen tidak memusingkan perpecahan ini, sebab bagi mereka yang sakral dalam Kristen adalah sosok Yesusnya, bukan kitab sucinya. Di samping memang beberapa kalangan intelektual masih menyerukan pemurnian Kristen hingga hari ini. Mereka memilih mendirikan ordo-ordo inklusif sebagai bagian upaya menjaga kemurnian Kristen. Dan sejarah membuktikan secara berulang kali bahwa mereka selalu ditentang dan ingin dibinasakan oleh kalangan Gereja.
Gereja adalah warisan dari ajaran yang dipertahankan untuk melanggenggan penguasa tertentu. Para pastur Gereja sangat nyaman dengan sistem itu karena mereka berposisi layaknya priyanyi. Mereka adalah penentang utama ajaran ordo-ordo inklusif. Sebab ordo-ordo itu bernuansa penentangan atas ajaran Gereja.
Sejaran pertentangan antara Ordo dengan Gereja mirip dengan sejarah pertarungan antara teolog/fukaha dengan sufi/filosof illuminasi dalam Islam. Gereja mendakwahkan agama dengan sistem yang berpaku pada pikiran rasional. Rasionalitas mendominasi Gereja dan teolog sekalipun mereka memproklamirkan diri sebagai penjaga kemurnian kitab suci. Namun sekalipun mereka mengaku mengacu pada kitab suci, namun frame pemikiran mereka tetaplah bersandarkan pikiran rasional.
Sementara itu, Ordo dan sufi lebih menekankan aspek batin daripada ajaran agama. Mereka tidak melihat akal pikiran sebagai elemen yang begitu penting bagi ajaran agama. Mereka lebih menyerukan pada dimensi batin atau makna yang terkandung dalam simbol ritual maupun kitab suci.
Terkait sejarah kekuasaan, posisi Gereja dengan teolog tampak identik. Di sisi lain, Ordo dan sufi tampak sejalan. Gereja dan teolog dalam cara pandang tertentu adalah hasil binaan penguasa. Penguasa menetakkan veto supaya ajaran agama disesuaikan dalam rangka mendukung penguasa. Pada segmen penetapan hukum-hukum, dalam Islam, demikian Kristen kalangan fukaha harus mengeluarkan fatwa yang mendukung penguasa. Sementara kaum sufi harus menyingkir karena dituduh sebagai benalu bagi agama, yang sebenarnya adalah ancaman bagi eksistensi penguasa. Sufyan al-Tsawsi, Hallaj, Syihabuddin Suhrawardi, Siti Jenar, Hamzah Fansuri adalah beberapa diantara sufi yang disingkirkan akibat dianggap mengancam penguasa. Dalam dunia Kristen, riwayat kelam ini juga tidak kalah tragis dialami oleh Ordo.
*
Terkait dengan iritasi filsafat Yunani terhadap agama Kristen dan Islam, kebetulah ada dua jalur yang diapresiasi secara terpisah oleh teolog dan sufi atau Gereja dengan Ordo. Plato dan Aristoteles adalah dua tokoh utama dengan pola pandang berseberangan. Pola ajaran Aristoteles yang rasional dan realistis lebih diapresiasi oleh teolog dan Gereja. Turunan ajaran ini mudah dipahami dan dimodivikasi sehingga bisa dimodivikasi tergantung keinginan Gereja dan penguasa. Sementara ajaran Plato bernuansa idealis cenderung diapresiosi Ordo dan sufi.
Separatisasi idealitas dan realitas sebenarnya tidak perlu terjadi. Alasannya bisa beragam. Salah satu alasan kuatnya adalah pemikir besar sebelum kedua filosof besar itu yaitu Pyttagoras, membangun ajaran ideal dan real secara bersamaan. Namun sebagian yang pendek akalnya memilih berfokus pada ajaran realnya saja karena mudah dipahami. Sebagian'lagi yang memahami keduanya memilih mengabdi pada ajaran odeal karena mereka melihat yang ideal itulah yang lebih menjanjikan.
Dalam menuju zaman modern, Rene Descartes membuat separatisasi ajaran ideal dengan real menjadi semakin parah. Dia menyatakan jiwa dengan raga sebagai unsur yang harus dipisah satu sama lain. Sebelumnya ajaran Thomas Aquinas dan Averroes yang becorak Aristotelian telah mendahului dikhotomi jiwa dengan raga.
Rene Dscarter juga banyak belajar dari kedua filosof tersebut. Ditambah lagi, secara diam-diam Descartes banyak menyerap gagasan Al-Ghazali yang juga berfondasi pada logika Aristotelian. Jadinya sekularisme di Kristen Barat semakin tidak terbendung. Seiring perkembangan teknologi, agama, yang dianggap sebagai sombol jiwa semakin tersisihkan hingga tinggal setengah hari pada hari minggu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar