Link Download

Senin, 08 Juni 2015

Sejaah Sains Barat Modern Alfred

Sejarah Modern Sains Alfred
 Emosi tampaknya tidak dapat menjadi fondasi. Sebenarnya dia memang bukan landasan. Lihat saja Naturalisme Eropa abad Pertengahan. Mereka menaruh ketakjuban yang tinggi pada alam. Namun karena emosi memang bukanlah konsistensi, maka paradigma Naturalisme perlahan pudar hingga menjadi salahsatu yang berandil dalam prinsip penaklukan alam. Ujung-ujungnya adalah eksploitasi.
 Du uju kita memang sering melihat kerusakan. anehnya, di setiap jantung, pada setiap akarnya, kita menemukan idealitas yang sangat tinggi. Segala macam idiologi, agama atau prinsip-prinsip lain, selalu mengajarkan sebuah idealitas yang tinggi dan keselarasan yang baik atas realitas.
 Di Eropa, Bruno memiliki prinsip yang sangat baik dan hampir semua sari ajarannya adalah pencerahan yang luar biasa. Demikian juga dengan Hume maupu Rosseau. Bila memisahkan semua tokoh ini dengan situasi Eropa masa kini, rasanya sulit dipercaya bahwa mereka adalah orang Barat.
 Idealitas orang orang besar nan idealis di Eropa mirip dengan prinsip-prinsip yang dianut masyarakat Timur. Namun kenapa Barat begitu materialis dan pragmatis, padahal bapak materialisme sendiri sangat idealis?
 Mungkin spekulasi awal akan mengarahkan pada anggapan bahwa prinsip materialistis masyarakat Barat adalah watak bawaan orang barat sendiri. Kerusakan Timur dewasa ini juga diakibatkan oleh pengaru Barat.
 Menurut pandangan Alfred North Whitehead dalam Sains dan Dunia Modern, (Bandung, Nuansa, 2005, h. 14) ada juga hal positif yang diwariskan Barat kepada Timur yaitu sains dan pandangan ilmiahnya. Bukti dari sumbangsih Barat itu tetap eksis di Timur hingga haru ini, menurut Whitehead adalah pandangan ilmiah dan saintifik merupakan keyakinan instingtif manusia. Memang benar demikian. Dan bahkan Timur pada zaman dahulu memiliki peran yang sangat besar dalam perkembangan sains terutama oleh orang Persia.
 Ghirah ilmiah Persia menyebar ke Timur dan Barat dengan model yang berbeda. Yunani yang menjadi wakil Barat menerima ghirah Persia dengan pola materialistik. Sementara India menerima ghirah tersebuh denga pola Idealistik. Perbedaan pola ini menurut saya adalah karena watak masyarakatnya yang berbeda.
 Memandang dua perbedaan ini tentu tidak boleh secara literal. Sebab Timur juga punya watak materialistik dan Barat juga punya watak idealistik. Tetapi dominasi adalah penegasan hal ini.
*
Suatu informasi, apapun modelnya, bila sampa kepada sasaran, maka sasaran tersebut akan menyesuaikan dengan horosonnya. Sebab ini adalah sistem umum keja pikiran manusia, yaitu generalisasi. Proses penerimaan informasi ini disebut abstraksi. Karakteristi Timur adalah mengedepankan makna atau ibrah dari suatu informasi. Sementara Barat lebih mengedepankan akurasi data atau fakta. Sains dibangun dengan model kedua. Pada masalah pertama, karena terlalu subjektif, maka tidak dianggap sebagai bagian dari sains. Sains menuntut objektivitas. Sebab dalam objektivitas, segala bentuk kesalahan mental dapat ditepis. Tetapi dalam ranah ini masalah muncul. Matematika yang sebagai prinsip abstraksi paling akurat, bila dikaji lebih medalam akan menimbulkan beberapa pertanyaan.
 Pertanyaan terpenting adalah bagaimana hal konkrit pada realitas eksternal dapat sesuai dengan pikiran setelah dilakukan abstraksi. Jawabannya dapat dilacak dari seorang bapak matematika dari Yunani bernama Pytagoras. Model Pytagoras tampaknya adalah penerapan sistem abstrak pikiran pada realitas. Jadi realitas adalah penderita dari pikiran. Dominasinya adalah pikiran. Rrealitas hanya menjadi semacam pelampiasan dari sistem abstrak yang ada dalam pikiran.
 Tampak sistem ini sangat membantu karena matematika adalah sistem berbasis pikiran. Jadi ''tidak perlu'' akurasi eksternal, yang penting pikiran dapat menjalankan sistemnya sendiri. Menurut Whitehead, kemajuan sains Eropa abad pertengahan karena matematika telah dikembalikan pada karakter asalnya yaitu ''generalisasi'' setelah sebelumnya dihambat oleh Aristotelian yang terlalu berfokus pada kategorisasi.
 Sistem logika Aristotelian memang terlalu rumit dan prosedural. Hal ini mempengaruhi paradigma matematika. Padahal alat utama sains adalah matematika. Sistem kategoria Aristotelian dinilai berbahaya karena bila aksioma atau postulat yang dibangun tidak tepat sasaran, maka pasti akan menyebabkan kekelirual praktis, sekalipun sering secara teknis kekeliruan itu tidak terdeteksi. Padahal sains sangat bergantung pada eksistensi material/eksternal.
 Peta penalaran matematis murni, memastikan akomodasi abstraksi dan verivikasi postulat abstrak merupakan tiga komponen yang harus dipilah dengan jeli untuk melakukan sebuah kritik terhadap argumen yang didasarkan pada penerapan matematika pada masalah terkait fakta. Eksistensi eksternal dan kategori konseptual harus terpetakan dengan baik. Tujuannya adalah memudahkan dalam usaha generalisasi dan tidak menimbulkan ketimpangan saat generasisasi dilakukan.
*
  Seperti Ouspensky yang susah payah meluruskan persoalan hukum tetap matematika dengan hukum tak terbatas matematika, Whitehead juga disibukkan dengan persoalan serupa dengan wacana berbeda. Turunan dari segala problem itu termasuk dalam persoalan basis paradigma sains.
 Bacon menyatakan bahwa induksi adalah sistem yang paling tepat untuk menemukan kebenaran. Kebenaran yang dimaksud adalah akurasi justifikasi realitas eksternal dalam satu sudut segmen terpisah. Alasannya adalah bila akurasi setiap segmen terpenuhi, bila diakumulasi maka akan ditemukan satu kesatuan yang akurat.      
 Kritik yang muncul atas sistem Bacon ini adalah, sejauh mana realitas eksternal yang terus bergerak dapat ditetapkan sehingga dapat dipastikan sebagai sesuatu yang fixed. Karena fixed inilah yang dapat dijadikan sebagai aksioma.
 Problematika ini akan menjadi persoalan yang tidak akan selesai sampai kapanpun. Kecuali.
 Kecuali kita kembali ke seribu tahun yang lalu tepatnya di tanah para guru ilmu pengetahuan yakni Persia. Tepatnya kepada pemikiran filsafat Ibn Sina. Penafsiran atas Ibn Sina diteruskan melalui lisan Ibn Rusyd dan dialah yang menginspirasi kekeliruan Barat hingga besok.
 Penafsiran atas Ibn Sina yang tepat bukan di tanah Spanyol itu, tetapi adalah di dalam rumah Persia sendiri, tepatnya pada tangan Nasruddin Thusi. Sayangnya, Barat tidak mengenal dia. Mereka hanya mengenal penafsir Ibn Sina di kawasan Barat, Maimonedes, Aquinas dan Ibn Rusyd sendiri. Kalaupun kita kembali kepada Ibn Sina sendiri, masalah juga tidak akan selesai. Filosof yang oleh Barat hanya dikenal sebagai pakar kedokteran itu memang sulit dipahami pemikiran logika-filsafatnya. Beberapa sarjana Barat lebih memilih kembali ke Aristoteles ketika bersentuhan dengan logikanya. Masalahnya adalah, Aristoteles sendiri inkonsisten.
 Logika yang diuraikan Ibn Sina sangat sulit dipahami bila merujuk kepada karya orisilnya. Penguraian klasifikasi eksistensi (wujud) dan esensi (mahiyah) tidak dijelaskan secara eksplisit olehnya, apakah dia berada pada wilayah pikiran (inteleksi, dhihni) atau di wilayah eksternal (khariji). Akhirnya para penafsirnya akan berspekulasi sendiri lalu melakukan improfisasi berdasarkan penafsiran masing-masing. Ibn Rusyd yang menganggap perbedaan berada di wilayah eksternal. Pemahaman ini telah mempengaruhi pemikiran Eropa dari Spanyol ke Italia lalu ke Prancis hingga keseluruh Eropa dalam berbagai formulasi termasuk mempengaruhi dualitas kaku dunia dan akhirat, jiwa dengan materi hingga sekularisme Eropa.
 Di Timur kekeliruan yang tidak jauh berbeda mempengaruhi Al-Ghazali sehingga dia mempuat kritik yang kurang tepat sasaran, demikian pula denga Syihabuddin Suhrawardi. Barulah ketika Nasruddin Thusi muncul, penafsiran yang tepat dilakukan. Dengan itu sanga membantu Mulla Sadra menyusun sebuah konklusi filsafat sepanjang masa.  
  Sayangnya pemikiran cemerlang Mulla Sadra tidak hanya kurung terkenal di Eropa tetapi di Timur pula, gagasannya kurang ditekuni. Di Timur, pemikiran teologis Al-Ghazali berhasil mempengaruhi mayoritas masyarakat muslim terutama mereka yang awwam karena gagasan-gagasannya mudah sekali dipahami.
 Semua masalah penting dan substansial ilmu sebenarnya telah diselesaikan Mulla Sadra. Masalah-masalah yang sedang dipusingkan Barat sebenarnya sudah selesai melalui tangan Mulla Sadra. Kalau Barat tidak mahu menekuni Mulla Sadra dengan hati yang jernih dan konsisten, mereka hanya akan menjadi seperti anjing yang mengejar ekornya sendiri hingga hari kiamat.
 Parahnya lagi Timur, yang sibuk mempelajari cara mengejar ekor sendiri yang didemonstrasikan dan diadvokasikan Barat. Barat memiliki penyakit tertentu. lalu penyakit mereka itu terus didemonstrasikan, sehingga Timur merasa penyakit Barat juga menjangkit mereka. Lalu Barat membuat obat anti nyeri sementara. Lalu Timur ikut mengkonsumsi anti nyeri itu. Padahal mereka tidak sakit. Timur hanya mengira mereka sakit. Akibat demonstrasi berlebihan oleh Barat. Akhirnya Barat yang bingung itu menuai dwi keuntungan daripada menjual penyakit sekaligus menjual obat.
 Whitehead termasuk orang yang harus terjebak dengan kebingungan Barat. Sekalipun demikian, dia paham makna dasar dari hakikat materi. Dia percaya bahwa materi hanya proyeksi pikiran. Akhirnya menegaskan menegaskan bahwa materi tidak bermakna. Namun penegasan ini tidak sepenuhnya tepat. Banar materi adalah proyeksi. Tetapi hakikat sebenarnya dari realitas eksternal bukanlah kekacauan, kita tidak boleh menyimpulkan demikian. Dia harus mengakui tidak mengetahuinya sebab, perangkat yang dipakai hanyalah indra dan pikiran. Kedua perangkat ini tidak mampu mengenal realitas eksternal.   Hakikat realitas eksternal bukanlah ini atau itu, ini atau itu (ke-apa-an) adalam murni konsepsi pikiran. Whitehead lebih mengarah ketika mengatakan tiap titik dari ruang adalah bagian dari keseluruhannya (h. 79). Ini mengindikasikan bahwa realitas eksternal diakui tidak terbatas. Makna ini penting karena 'tidak terbatas' adalah berarti tidak terjangkau indra dan pikiran.
 Ketika Berkeley mengatakan tanpa indra, persepsi juga dapat dilakukan. Maka pertama kita perlu meluruskan kosakata. Mungkin maksud Berkeley adalah tanpa mempersepsi kesadaran dapat terjadi. Karena persepsi itu adalah aktivitas yang berkaitan langsung dengan indera. Bila pelurusan ini diterima, maka yang dimaksudkan Berkeley adalah hal yang telah tuntas dalam diskursus filsafat Islam.
 Dalam filsafat Islam, sebelum terjadinya persepsi yang berbuah pada jawaban atas keapaan (whatness, mahiyah) kesadaran akan ke-ada-an (existence, wujud) mendahului. kesadaran akan eksistensi merupakan kesadaran primirdial atau disebut dengan kesadaran prakonseptual. Misalnya bayi yang baru lahir dibakar. Dia akan sadar akan sesuatu yang mengada. Namun dia belum mampu menciptakan konsep api.
 Dalam filsafat Islam pula terdapat dua model eksistensi yaitu eksistensi eksternal dan eksistensi konseptual. Dua sistem eksistensi ini bila mampu dipahami dengan baik, maka seluruh perdebatan filsafat di Barat pada era modern tidak perlu terjadi.
 Pandangan Whitehead mirip dengan Popper. Nama terakhir ini menyatakan bahwa realitas metafisika adalah tidak terbatas. Gagasan yang didapat melalui metafisika difansifikasi dalam prosesnya menjadi objektif. Whitehead juga menawarkan pandangan yang hampir sama. Dia menyatakan realitas eksternah tidak tetap dan tidak terbatas. Abstraksi akan realitas kesternal dapat dilakukan supaya mendapatkan sebuah lokasi sederhana. hal yang dimaksud ini tampaknya adalah eksistensi pikiran. Sementara alam metafisik yang dimaksud Popper adalah realitas eksternal sebagaimana adanya.
   Perdebatan mengenai ruang dan waktu seharusnya juga tidak perlu terjadi bila telah mendalami prinsip materi primer, substansi beserta perangkatnya dan sembilan aksiden lain.
 Eksistensi konseptual dan eksistensi eksternal sangat perlu dipisahkan supaya tidak menimbulkan kekacauan pengkajian. Karakteristik keduanya sangat berbeda. Eksistensi konseptual adalah eksistensi yang berimplikasi sementara eksistensi eksternal adalah sesuatu yang belum diketahu. Maksud berimplikasi adalah tidak dapat berdiri sendiri. Misalnya 'Ali' dalam eksistensi pikiran tidak berdiri sendiri tetapi berkonsekuensi sebagai ayahnya Hasan atau Suaminya Fatimah.
 Whitehead menawarkan konsep pengetahuan-diri sebagai usaha untuk mengetahui hakukat realitas yang bersembunyi dibalik materi yang dipersepsi. Namun sayang, kemampuan terjauh dari estimasi Whitehead hanya kemampuan untuk menyadari hubungan antar entitas.
 Pemikir Inggris ini, sebagaimana kebanyak pemikir lain, apalagi mereka yang terlalu erat dengan fisika dan ilmu logika, akan sangat sulit menerima bahwa materi hanyalah produksi indra dan pikiran kita. Misalnya, mereka akan mempertanyakan bukankah realitas semesta tidak bergantung pada eksistensi manusia. Bukti yang mereka tawarkan, misalnya, fosil dinosaurus. Mereka akan mengatakan bahwa dinosaurus adalah bukti bahwa tanpa manusia, semesta eksis, jadi tidak mungkin semesta adalah produk pikiran dan indra manusia. Bila pertanyaan ini muncul, maka berarti mereka belum mampu membedakan mana realitas eksternal dan mana objek persepsi. Fosil dinosaurus, buku dihadapan kita, adalah konstruksi mental atas realitas eksternal. Realitas eksternal pada dirinya sendiri sama sekali berbeda dengan persepsi indra dan pikiran. Sayangnya, Whitehead tidak terlalu serius membahas persoalan yang masuk ke ranah filsafat ini, pembahasannya dalam buku yang dibahas ini hanyalah mengulas sejarah perkembangan sains modern secara kronologis. Persoalan ini lebih diseriusi oleh Ouspenski, dia menawarkan konsep Plotinus tentang kesatuan subjek dengan objek dalam mengatasi persoalan ini.
 Kalangan Romantisme, yang diinspirasikan oleh Berkeley, dengan salah seorang tokoh pentingnya bernama Rosseau, lebih nenekankan abstraksi nilai dalam mengamati alam. Mereka tidak terlalu mementingkan akurasi persepsi, bagi mereka, cerapan nilai jauh lebih penting. Filsafat nilai ini lebih dekat dengan konsep epistemologi Plotinus. Sebab nilai bukanlah materi. Disadari maupun tidak, apresiasi atas nilai telah mengakui bahwa subjek juga bukanlah materi.
 Whitehead tampaknya percaya bahwa ada satu kekekalan pada materi. Sayangnya dia berusaha menemukannya realitas yang sapat dipersepsi. Akhirnya dia mengatakan bahwa kekekalan itu adalah atom. Padahal dalam sistem filsafat Aristotelian, kekekalan yang ada pada materi bukanlah pada objek yang dapat dipersepsikan. Dianya adalah pada ranah konseptual yaitu materi primer. Materi primer adalah suatu potensi kekal yang merupakan cikal bakal aktualisasi materi. Proses dari potensialitas menuju aktualitas juga terjadi pada tataran konsep. Pergerakan ini adalah mengikuti daripada sistem kerja pikiran. Eksistensi eksistensi eksternal maupun eksistensi pikiran keduanya digambarkan dalam konsep pikiran. Tetapi uniknya, pikiran mampu membedakan keduanya. Sebab, eksistensi eksternal, tidak dapat diketahui sama sekali.
 Perdebatan di Barat adalah perdebatan posisi eksistensi eksternal dan eksistensi pikiran. Keduanya berbeda, memiliki keunikan masing-masing. Perdebatan tentang teori kuantum maupun teori relativitas sebenarnya adalah turunan dari masalah ketidakpercayaan pada dua eksistensi dimaksud. Karakteristik teori kuantum adalah konsep yang identik dengan eksistensi pikiran. Sementara teori relativitas mirip eksistensi eksternal.
 Di Barat, Pasca Rene Descartes, para intelektuaknya terpisah menjadi dua golongan, katakanlah duagolongan ini adalah realis dan idealis. Kaum realis lebih berfokus pada data-data indrawi sementara kaum idealis lebih berfokus pada pengetahuan-pengetahuan yang tidak konkrit. Perpecahan ini menimbukan pemberontakan sains atas filsafat yang diprakarsai oleh kaum realis. Pemisahan filsafat dengan sains menyebabkan sains menjadi parsial atau dikhotomis antar tiap segmennya. Sains kehilangan kontrol dan orientasi nilai. Sains telah menjadi ilmu alat yang murni tanpa mempertimbangkan aspek-aspek yang berkaitan, baik ssecara langsung maupun tidak langsung.
 Di Barat modern, filsafat hanya menjadi milik pemikiran subjektif. Sementara pemikiran objektif telah murni terlepas darinya.(h. 158) Whitehead melaporkan bahwa perceraian antara filsafat dengan sains terjadi karena bapak filsafat barat modern, Rene Descartes membagi dua model pengetahuan yaitu pengetahuan perseptual dan pemahaman. Basis pemahaman menurutnya adalah jiwa dan basis pengetahuan adalah badan. Dikhotomi ini merasuki pemikiran banyak pemikir barat setelahnya. (h. 161). Dikhotomi jiwa dengan badan melahirkan dua oposisi yakni Leibniz dan Spinoza. Sebenarnya, dikhotomi ini telah bermula sejak peninggalan Pytagoras yang melahirkan oposisi antara Plato dengan Aristoteles.
 Kekacauan epistemologi Barat berangkat dari kekacauan epistemologi Descartes. Para pemikir Muslim abad ke-20, terutama yang bermazhab Sadrian, mengatakan Descartes memandang eksistensi baru muncul setelah adanya esensi. Hal ini memang benar. Tetapi eksistensi yang muncul setelah esensi adalah eksistensi yang murni milik pikiran. Sebelum esensi, sesuatu yang primordial adalah eksistensi. Eksistensi ketika diterima pikiran terbagi menjadi esensi dan eksistensi. Dalam filsafat islam, posisi esensi dan eksistensi dibahas dengan sangat rapi dan radikal. Dengan dibuatnya hukum: pada dirinya sendiri, tidak bersyarat dan bersyarat pada sesuatu.
 Whitehead adalah intelektual yang jenius. Dia mampu memformulasikan filsafat dengan cara yang berbeda dan menyuguhkannya bagi saintis. Bagi pembelajar filsafat mungkin jalan yang dia pilih terlalu teknis, padahal dalam sistem logika-filsafat sistemnya begitu ringkas. Namun kita harus pahami bahwa dia sedang berbicara pada mereka yang berada pada lingkungan sains.
 Pola penerangan matematikawan ini sebenarnya adalah untuk menjelaskan prinsip-prinsip dasar filsafat. Dia mampu menyuguhkan prinsip-prinsip filsafat dalam perspektif saintifik. Karena itu, dalam menjelaskan prinsip dasar materi, misalnya, dia melalukannya melalu sisten filsafat materialisme. Sekalipun demikian, kita dapat menilai dia tidaklah penganut materialisme murni. Bahkan dia sedang berusaha mengembalikan fungsi filsafat ke tempatnya yang tinggi dengan tetap mengapresiasi dan tidak mengganggu fungsi sains. Pada bagian-bagian akhir Bab IX, usahanya ini tampak jelas. Whitehead mengharapkan setelah dirinya ada seorang filosof besar yang sedikit banyak menguasai sains untuk mensintesakan problem dikhotomi berbagai aliran epistemologi Barat sejak Rene Descartes atau bahkan mungkin sejak Plato-Aristoteles.
 Antara realis dan idealis, keduanya mempercayai universal dan partikular. Bedanya adalah, idealis mengakui yang konkrit muncul dari universal. Sementara realis mengakui universalia adalah berasal dari abstraksi realitas konkrit.
 Dalam menjelaskan status benda konkrit, Whitehead menisbahkannya kepada status metafisisnya yang bersifat kekal. Namun dalam memformulasikan potensialitasnya dalam metafisika menjadi aktualitas konkrit, Whitehead memformulasikannya dengan cara yang hampir sepenuhnya asumtif. Dia ingin mengelabosasikan filsafatnya dengan cara prinsip materi primer Aristoteles, namum jalan yang ia tempuh lebih mirip sistem illuminasi (lihat hal,186).
 Sistem abstraksi yang dikembangkan dalam tadisi filsafat diadopsi dan diselaraskan oleh agama-agama terutama Islam dan Kristen. Kedua agama ini memformulasikan filsafat Yunani ke dalam ajarannya. Ajaran Aristoteles yang bebas dari asumsi agama ditafsirkan secara relijius oleh para filosofnya.  
 Namum ajaran ini hanya diikuti oleh segelintir orang saja secara tertutup. Sisanya adalah kaum realis. Kalangan ini lebih membuat masyarakat umum tertarik karena hasilnya dapat dirasakan secara langsung. Kalangan inilah yang berhasil mengembangkan beragam teknologi yang membuat dunia berubah menjelang abad keduapuluh.
 Kalangan realis melahirkan banyak saintis yang bekerja secara fokus bada satu spesifikasi disiplin secara sangat fokus. Antar tiap disiplin hampir tidak saling mengenal. efek samping yang dilahirkan adalah munculnya dikhotomi yang sangat luar biasa antar tiap disipliN. Efek ini berbahaya bagi manusia karena dapat membuat mereka inkhusif, manusia kehilangan simpati.      


Tidak ada komentar:

Posting Komentar