Link Download

Senin, 08 Juni 2015

asyarian

Asy'arian
 Gurun pasir, pedang, wanita dan agama adalah empat simbol yang melekat dalam ingatan masyarakat Arab.
 Wanita adalah simbol pembalasan. Seperti cermin: apa yang dilakukan itulah yang kembali.
 Tidak ada pengabdian tanpa pengorbanan. Dalam hal ini, pedang adalah lambang dari hidup dan mati: mati yang dihindari dan mati yang dicari. Dekatnya kehidupan dengan kematian adalah penampakan dari padang pasir kemiskinan mutlak.
 Wanita dalam semua tradisi menjadi simbol pengabaian dan penindasan secara batiniah oleh gemerlap perjuangan dan politik. Sinta,Bunda Suci, Maya Ibu semua Buddha dan Fathimah az-Zahra. Adalah marti yang sebenarnya adalah martir yang dilupakan.
 Perselisihan para sahabat pada masa-masa awal sejarah Islam adalah prinsip pada satu cita-cita yakni kemajuan Islam sekalipun cara pandang berbeda diakibarkan oleh subjektivitas manusia. Ini adalah ''kekeraskepalaan suci'' (Scoun, Bandung: Mizan, 1995, h. 98-99). Dalam persoalan ini, Fathimah dapat menjadi simbol lahir dan batin. Perselisihan Fathimah dengan para sahabat Nabi Saw bukanlah sekedar sebuah perselisihan darah dan materi tetapi juga menyangkut cara pandang tentang Tuhan.
 Bila dalam Kristen kemaksuman (apostolis) berhubungan langsung dengan teologi, maka menurut Scoun, kemaksuman ini berhubungan langsung dengan politik. Sementara teologi adalah yang berlangsung kemudian. Pandangan Scoun ini benar bila merujuk pada teologi yang telah disusun dan didokumentasikan dalam tulisan. Tetapi bila memaknai teologi secara mendasar yaitu pemaknaan manusia akan Tuhan, maka pandangan teologis inilah yang justru mengukutsertakan persoalan kemaksuman dalam bagiannya.
 Bila mempercayai kemaksuman Ali dan keturunannya, di samping adanya kemaksuman seperti Abu Bakar, maka perlulah dimaknai bahwa pertentangan Ali dengan dengan tiga Khalifah Rasyidin lainnya dan dengan Umayyah adalah pergolakan antara lahir dengan batin Islam. Pandangan mendalam dan halus dalam pertentangan ini perlu ditinjau.
 Pergulatan dengan hasrat dan ambisi yang dialami dimensi lahir adalah hal yang tidak bisa dihindarkan dan membuat dimensi batin semakin memberontak. Namun perlu dilihat bahwa kita hidup di alam dunia materi yang mana kita tidak bisa lepas sama sekali darinya kecuali mati dalam arti yang sebenarnya. Sememntara itu Allah telah berjanji untuk melindungi ''batang tubuh'' Islam.
 Ajaran Syi'ah, adalah ajaran esoteris. Namun ketika pengamalnya adalah orang-orang yang kurang amal dan kurang ilmu, pelaksanaan ajaran ini menjadi aneh. Sementara dalam dunia Sunni, ajaran esoteris hanya diamalkan oleh orang-orang tertentu yang secara alamiah dan Ilahiyah telah melalui berbagai proses penyeimbangan keilmuan dan amalan secara bertahap. Bagi kita orang Sunni, segala amalan Syiah perlu dilihat dengan kacamata yang tidak parsial dan tidak literal. Sebab sangat banyak ilmu yang bisa didapat daripada sibuk menjadi hakim gadungan dengan klaim kesesatan bagi saudara kita itu.  Dalam lingkungan kita juga melihat teman-teman kita yang memutuskan menjadi Syiah bukanlah orang yang berpandangan materialis dan pragmatis tetapi mereka telah melalui proses pencarian lahir dan batin. Proses mereka ini mirip seperti proses orang-orang yang menjadi muallaf. Sekalipun saudara Syiah memiliki ketahanan ekonomi yang sangat kuat, baik akibat kesadaran mereka yang sangat tinggi dalam membayar zakat maupun dari dana khumus, tetapi mereka tidak pernah mengiming-imingi orang Sunni dengan materi.
 Timbulnya perbedaan antara Sunni dan Syi'ah pada awal mulanya adalah peringatan Nabi Saw bahwa beliau meninggalkan dua perkara yaitu Al-Qur'an dan Sunnah. Hal pertama sudah jelas. Hal kedua ini, menurut kalangan Syi'ah adalah keluarganya. Dan maksud keluarga ini, sebagaimana melalui beberapa Hadits lainnya adalah Ali dan Fathimah.
 Orang Syiah tidak mengalami banyak masalah dengan Hadits-hadits yang ada karena mereka memiliki formula filterisasi Hadits dengan sangat ketat. Sementara orang Sunni sering menemukan kontadiksi antara satu Hadits dengan Hadits lainnya. Sekalipun orang Syiah juga tidak benar-benar lepas dari persoalan yang sama ini, tetapi mereka kerap melakukan penta'wilan sehingga mereka menemukan titik terang atas persoalan yang dihadapi.
 Makna dari Sunnah juga tidak melulu tentang ucapan, diam, sikap dan keputusan Nabi Saw tetapi juga maksud batin dari segala hal tersebut. Inkonsistensi Sunnah akan selalu ditemukan bila dipandang secara lahiriyah semata. Kita harus ingat bahwa segala sikap Nabi Saw akan berbeda pada orang yang berbeda. Tugas cerdas kita adalah mengambil nilai, bukan melulu cara dari aktualisasi lahiriyah Sunnah tersebut terutama pada hal-hal yang mengandung unsur ambiguitas maupun kontradiktif.
 Dalam persoalan konflik Sunni-Syiah, tampak kedua belak pihak bersikeras atas perspektif masing-masing. Ketika Nabi Saw mengamanahkan Ali untuk dijadikan pengganti beliau, kalangan tertentu menyimpulkan bahwa Ali harus menjadi kepala negara. Sehingga baiat atas ketika khalifaurrasyidin sebelum Ali dianggap sesat. Padahal sejarah telah menunjukkan bahwa keturunana Ali memang telah dan akan menjadi pemimpim ummat manusia, baik itu sebagai kepala negara, ulama atau lainnya. Hampir semua kerajaan Islam telah dipimpin oleh para Sayyid atau Syarif adalah bukti nyata bahwa perkataan Nabi Saw adalah benar. Di Dunia Melayu, gelar mereka bisa berubah ubah: Maulana, Tun, Wan, Raden, Teuku, Tuanku, Shah, dan sebagainya. Dalam hal ini, pasca kolonialisme, segala gelar-gelar Melayu itu perlu ditinjau kembali karena Belanda dapat mengutak-atik para raja dan hulu balang bila tidak mengikuti keinginan mereka.  Kepemimpinan ekstrim Muawwiyah sebenarnya bukanlah kezaliman terhadap Syiah, tetapi adalah sebuah aktualisasi fisik Islam yang membuat jiwanya terluka. Sebenarnya, Sunni juga menuai kesakitan yang sama dengan Syiah dalam sistem Ummayyah. Namun karena penguasa merupakan penentang dinasti Ali, maka pandangan umum menganggapnya sebagai Sunni.
 Seluruh jiwa dan raga Islam sebenarnya diuntungkan akibat Ummayyah. Perluasan Islam ke Barat akan tampak sulit bila mengedepankan kalangan-kalangan tertindas yakni sufi-sufi Islam baik Sunni napun Syi'ah. Sementara ke Barat perluasan Islam menempuh jalur politik dan militer sesuai dengan watak dan kondisi Barat waktu itu, Islam dikembangkan ke Timur oleh kalangan sufi.
 Sistem ajaran sufi yang membawa simbol-simbol universal lebih mudah diterima pribumi karena mereka menemukan Islam sebagai kawan, sebagai bagian dari ajaran mereka. Dengan coraknya ini, disebutlah kemudian Islam di Timur belum sempurna karena secara lahiriyah praktek-praktek bawaan masyarakat masih belum digantikan oleh ''sorban Arab''.    
 Kalangan sufi, baik Sunni maupun Syiah, tidak mempersoalkan tampilan lahiriyah atau praktik-praktik alamiah masyarakat. Sebab mereka sadar bahwa segala tindakan lahiriyah masyarakat merupakan cara mereka untuk menyesuaikan diri dengan alamnya. Mereka hanya memasukkan hal-hal prinsipil dari Islam, yang sebenarnya pengingat masyarakat akan keberadaan primordialnya.
 Ketika Islam telah menjadi esensi masyarakat, terutama di dunia Timur, datanglah kalangan Muslim lainnya menafsirkan Al-Qur'an dan Hadits secara literal dan parsial. Mereka menentang segala ajaran yang tidak berbau Arab. Mereka memaksakan pemaknaan literal kepada masyarakat dengan mengatasnamakan pemurnian Islam. Ajaran ini tentunya tertolak dalam masyarakat Syi'ah karena mereka berpandangan esoterik.
 Sistem radikal yang ekstrim ini diajarkan oleh sistem teologi Asy'arian. Sebagaimana kebingunan mereka dalam memahami Hadits, sebagaimana diformulasikan oleh Ibn Hanbal, dalam persoalan memahami hal paling inti dari Islam yakni metafisikanya, aliran ini juga tampak dilematis. Ketika mengatakan Tuhan tidak terbatas sehingga dia tidak membutuhkan apapun, dilema pertama dihadapi yakni dalam memposisikan sifat-sifatNya. Akhirnya sifat-sifat Tuhan ini diformulasikan mirip dengan sifat-sifat makhuk sekalipun biasanya pada kesimpulannya mereka mencantumkan ''Wallau'alam''. Ketika mengatakan Tuhan Maha Kuasa, maka kekuasaannya dianalogikan seperti kekuasaan raja yang segala keputusannya tidak boleh dipertanyakan. Bagi mereka, Tuhan menciptakan keburukan, ketidakadilan dan kecurangan hanya untuk manusia sementara Dia sendiri lepas dari sifat-sifat buruk itu. Padahal, bila ditinjau dari segi bagaimana pikiran manusia bekerja, dan sistem ini akan mengalami banyak masalah bila ditinjau dari sistem ini, yang tidak memiliki mustahil dapat memberi. Sanggahan sederhananya adalah: Tuhan memiliki sifat-sifat buruk itu tetapi tidak berlaku bagi DiriNya karena segala keburukan itu lenyap dalam KebaikanNya. (Scoun, Islam dan Filsafat Perenial, Bandung: Mizan, 1995, h. 126).
 Pendukung Asy'arian lainnya yakni Al-Ghazali sering inkonsisten dalam pernyataannya. Dia sendiri telah mengakui bahwa antara satu bukunya dengan bukunya yang lain dibaca menurut tingkatan orang. Tetapi dunia akademik, apalagi sistem metafisika tidak dapat menerima hal ini. Pertama Al-Ghazali mengatakan tindakan Tuhan menciptakan keburukan adalah hal yang ''tidak boleh'' dipertanyakan manusia. Pada kesempatan lain dia memberi jawaban hal itu ''tidak dapat'' diketahui manusia. Menegaskan manusia tidak boleh bertanya adalah penentangan atas prinsip alamiah.
 Sistem ajaran Al-Ghazali akan bernasib seperti Kristen bila tidak diantisipasi oleh Ibn 'Arabi. Tokoh inilah yang sebenarnya lebih layak digelar sebagai penghidup kembali Islam sebab inti ajaran Islam adalah batinnya. Sufi kelahiran Spanyol ini mengatakan segala makhluk adalah dari Tuhan dan tentunya adalah baik sesuai sumbernya. Hanyalah perspektif atau sudut atau cara pandang manusia saja yang melabelkannya baik ataupun buruk.
 Namun memang demikianlah pola panda Asy'arian: parsialistik mereka menyebabkan mereka inkonsisten. Dan sikap demikian benar-benar tidak dapat diterima secara akademik dan adalah kekacauan metafisika. Namun ajaran ini sangat populer bagi masyarakat umum. Mereka menginginkan ajaran yang mudah mereka pahami. karena mereka memang tidak punya banyak waktu untu menelaah secara mendalam dan kritis apalagi merenungkannya.
 Asy'arian seperti Al-Ghazali, Ibn Taimiyah dan lainnya memang mampu memberikan pelayanan yang baik pada masyarakat umum. Mereka memberi pelayanan ekstra dalam menjawab persoalan-persoalan aksidental yang mereka hadapi. Dan memang perlu diterima bahwa dengan masuknya ajaran Asy'arian kepada masyarakat umum, pemula menjadi mudah mempelajari Islam.
 Pengakuan realnya keburukan dalam paradigma Asy'arian menyebabkan munculnya pandangan yang menyatakan bahwa segala tindakan yang buruk adalah lepas dari metafisika. Tuhan dianggap tidak hadir dalam tindakan-tindakan ini. Dualitas menjadi pandangan yang tidak dapat dielakkan. Demikian pula dalam persoalan pengetahuan. Doktrin Asy'arian mengklaim manusia hanya mengetahui segelintir hal saja dan selainnya adalah murni dari wahyu dalam Kitab Suci. Pandangan demikian telah menyebabkan sekularisasi pengetahuan.
 Sekularisasi pengetahuan ini memperparah cara pandang rasional atas segala tindakan Tuhan. Ketika dikatakan Tuhan menciptakan apa saja sekehendaknya. Dengan pandangan tertentu pengetahuan manusia, yang telah dibedakan dengan pengetahuan Tuhan, tindakan seperti ini akan dianggap sebagai kesewenang-wenangan. Dan kesewenang-wenangan merupakan tanda dari ketidaksempurnaan. Pandangan eksoteris memang memuaskan akal sejenak, namun akan menimbulkan banyak problematika intelektual bila dihadapkan dengan perenungan yang mendalam. Asal mula dari masalah ini adalah pemisahan radikal antara Pencipta dengan makhluk ciptaannya.
 Antara realitas luar dengan realitas pikiran memiliki perbedaan prinsipin yang mendasar sekalipun pada permukaan keduanya secara sekilas tampak serupa. Realitas pikiran menggeneralkan realitas luar untuk disesuai kan dengan karakteristiknya. Pikiran bekerja dengan abstraksi yang menggeneralkan partikularitas realitas luar. Sistem ini menyebabkan pandangan atas realitas luar menjadi tidak sesuai dengan yang diketahui pikiran. Sistem ini ketika dihadapkan pada pandangan atas realitas metafisik akan menjadikan realitas metafisik terdistorsi dalam sistem kategorisasi pikiran.
 Mu'tazilah memang telah diformulasikan kembali oleh Asy'arian sehingga paradoksal yang kental dan ekstrimisme radikan telah sedikit dinetralkan. Namun Asy'arian tidak sepenuhnya mampu menjawab problem kategorisasi materialitas dengan spiritualitas.   Pada elemen mendasarnya, dalam ajaranAsy'arian ditemukan inkonsistensi antara Zat dengan Sifat-sifat. Sekalipun telah melawan Mu'tazilah yang mengabaikan Sifat-sifat, Asy'arian mencoba merangkul kembali Sifat-sifat dengan formula yang masih bercorak rasionalistik. Akibatnya Sifat dengan Zat dan Sifat dengan Sifat menjadi inkonsisten. Formula yang dipakai ini menimbulkan banyak keganjilan. Metafisika menjadi formula bercorak antropomorsentris. Hasilnya adalah mampu membangkitkan emosi dan semangat aksidental tetapi membingungkan dalam kajian metafisik.
 Sistem Asy'arian, ketika menjelaskan persoalan material, akan menyebabkan tasalsul. Dan melakukan lompatan ketika ditanya posisi Tuhan akannya. Sementara ketika menjelaskan metafisika, akan menyebabkan tidak munculnya alasan kejadian alam materi dan ketika harus menjelaskan fenomena materi, akan memberikan jawabab sederhana: takdir, kehendak atau sebagainya.
 Tak pelak lagi model argumentasi seperti ini menyebabkan nasib Islam seperti Kristen yang membuat sebagian masyarakatnya menjadi sekuler.  
 Jawaban atas kekacauan formulasi ini dijawan dengan bijak oleh Ibn 'Arabi. Dia menyatakan bahwa segala realitas berada dalam status eksistensi. Karenanya semuanya adalah baik. Segala potensi manusia adalah dari Tuhan dan karenanya adalah baik. Tindakan-tindakan yang dilakukan akan dinilai buruk bila berlawanan dengan fitrah. Para pelaku tindakan ini tetap berada dalam lindungan Tuhan. Sementara surga dan neraka adalah konsekuensi alamian dari tindakan.
 Namun demikian ajaran Ibn 'Arabi tidak dapat diajarkan kepada semua masyarakat karena bila yang mengamalkannya adalah mereka yang belum menempuh proses pengetahuan dan pengamalan yang sistematis, malah akan menyebabkan Islam terdistorsi secara radikal.  Sistem esoterik seperti ini belakangan dapat kita jumpai dalam masyarakat Syiah. Aliran ini sebenarnya adalah aliran esoteris murni, namun karena masyarakat umumnya tidak memiliki bekal yang baik, maka tampaklah ajaran ini sebagai ajaran yang aneh sehingga dianggap sesat oleh mayoritas masyarakat Muslim (Sunni). Wallahu'alam.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar