Link Download

Selasa, 05 Mei 2015

Tertium Organum Ouspensky

Untuk mengetahui sesuatu yang belum diketahui, kita harus berangkat melalui sesuatu yang telah diketahui. Sesuatu yang telah diketahui itu harus dapat dipastikan kebenarannya supaya dapat menghantarkan pada sesuatu yang benar juga. Oleh karena itu kita perlu memastikan apa yang telah kita ketahui itu. Sesuatu yang pasti kita ketahui adalah kesadaran. Itulah landasan pijakan. Namun apa itu kesadaran? Kesadaran adalah sesuatu yang tidak dapat dipastikan. Dianya merupakan sesuatu prakonseptual. Dia hanya bisa dirasakan, tidak bisa dijabarkan. Eksistensi kesadaran sifatnya pasti.
segala sesuatu yang ingin diketahui letaknya berada diluar kesadaran itu. Untuk menangkap pengetahuan di luar diri, yang dapat kita andalkan hanyalah kesadaran. Ketika kesadaran akan menangkap objek diluar, maka kesadaran turun pada tingkatan tertentu membentuk konsepsi dasar yaitu kesadaran ruang dan kesadaran waktu. Segala objek itu barulah dapat dipahami melalui payung ruang-waktu. Kita hanya dapat mengakui mengetahui realitas yang berada di luar diri kita itu melalui perangkat di dalam diri (ruang-waktu). Namun demikian, bagaimakah kita dapat mengetahui realitas luar itu sebagaimana adanya. Artinya tanpa melibatkan subjektifitas diri (ruang-waktu). Immanuel Kant mengatakan hal itu mustahil. Karena segala fenomena hanya memungkinkan dikenal melalui ruang dan waktu yang diproyeksikan oleh pikiran, maka sebenarnya fenomena sebagaimana adanya tidak dapat diketahui. Melalui ruang yang merupakan properti pikiran, segala 'apa' diketahui. Namun properti ini membuat 'ada' menjadi tidak diketahui?
Karena kesadaran spasial (ruang) adalah proyeksi pikiran. Maka berarti setiap individu memiliki kesadaran ruang yang berbeda. Oleh sebab itu, tidak dapat dipastikan sebuah kesadaran ruang yang pasti. Secara teori, kesadaran ruang ini dapat disebut sama bagi setiap individu, namun pada tataran praktis, pasti berbeda. (Peter Demianovich Ouspensky, Tertium Organum, Jakarta: Inisiasi Press, 2005, h. 19)
Secara konseptual, keradaran ruang itu tidak terbatas. Namun secara praktis, kesadaran ruang kita terbatas pada tiga dimensi yaitu berat, panjang dan lebar. Tiga dimensi ini adalah aktivitas pikiran dalam menerima informasi indra. Bila ada dimensi lainnya, maka tentunya itu adalah kreasi pikiran. Ketika beberapa individu diarahkan untuk melakukan kreasi yang sama menurut panduan yang telah ditetapkan, maka mungkin antara satu individu dapat memahami kreasi individu yang lain, namun pemahaman ini hanya bersifat pemakluman atau simpati. Hakikatnya setiap individu apan berbeda secara praktis. Kalaupun semuanya sama, itu hanyalah karena panduannya sangat detail, namun ''properti'' kesadaran sendiri sangatlah berbeda satu sama lain.
Memang benar tiga dimensi muncul dari penggabungan dari satu, satu, satu dimensi. Dan penggabungan itu dilakukan oleh pikiran karena bila tidak, maka mungkin yang dapat diketahui hanya satu dimensi. Namun satu dimensi tidak dapat diabstaksi pikiran karena begitulah pikiran bekerja. Abstraksi tiga dimensi oleh pikiran melahirkan 'sesuatu' yang dipahami dan menjadi jawaban untuk pertanyaan 'apa'.
Persoalan ini dapat dipikahkan menjadi eksistensi yang terbagi dalah dua hal. Pertama adalah eksistensi (ke-ada-an) pada pikiran dan eksistensi (ke-ada-an) pada realitas luar atau indrawi. Pada realitas indrawi, eksistensinya mendahului esensi (ke-apa-an). Karena itulah satu dimensi yang merupakan bukti eksistensinya lebih utama tidak dapat ditanformasi menjadi pemahaman pikiran (harus tiga dimensi) karena bagi pikiran, esensi (tiga dimensi bagi perspektif realitas luar) lebih mendasar daripada eksistensi.
Ouspenski menggugat kemapanan 'sesuatu' yang diakui di luar dengan menggugat substansinya. Menurutnya substansi setiap sesuatu adalah hanya proyeksi dalam sistem pikiran. Dengannya dia menyekak eksistensi materi.
Properti dasar 'sesuatu' memang adalah penerapan pikiran. Tetapi ketika menggugatnya, artinya kita menggugat seluruh bangun (kategori) 'sesuatu' sehingga segala fenomenya hanyalah proyeksi pikiran. Penolakan atas hal yang dibangun pikiran berarti menggugat pikiran itu sendiri. Sehingga apapun proyeksi pikiran, termasuk konsep nilai menjadi sama statusnya dengan materi yaitu: ilusi). Menggugat hukum pikiran dengan menggunakan hukum pikiran sama dengan menggugat ketiadaan dengan ketiadaan.
Pada Bab I Tertium Organum, Ouspenski Mempertanyakan status eksistensi fenomena. Bab II dia menegasikan eksistensinya. Apa yang akan dia bahas selanjutnya?
Ouspenski mengakatan pada titik tidak mungkin membayangkan garis, pada sebuah garis tidak mungkin membayangkan permukaan dan pada permukaan tidak mungkin membayangkan kepadatan. Maka dalam hal ini dia telah mencampuraduk antara eksistensi eksternal (material) dengan eksistensi mental (pikiran). Padahal keduanya tidak boleh dicampuraduk. Banyak alasannya, salahsatunya adalah hukum keduanya memang berbeda. Dalam hukum material, sebuah titik adalah 'sesuatu' tersendiri. Demikian pula garis. Eksistensinya adalah pasti.Titik bukan garis, garis bukan titik. Sementara bagi hukum pikiran, garis adalah aktualitas dari titik dan potensialitas bagi permukaan.
Ouspenski mengatakan pada titik, garis tidak dapat dibuktikan. Melalui garis, permukaan tidak dapat dibuktikan. Melalui permukaan, kepadatan tidak dapat dibuktikan. Melalui caranya ini, Ouspenski ingi membuktikan bahwa ruang dimensi keempat tidak dapat dibayangkan melalui ruang tiga dimensi. Sepertinya dia ingin membuktikan dimensi keempatnya memungkinkan ada sekalipun bukan berada pada ruang tiga dimensi. Dan tentu saja ini hanya sebuah asumsi. Tetapi Ouspenski cukup sadar bahwa dimensi keempatnya ini tidak berada pada tiga dimensi. Artinya, dimensi keempat bukanlah ''properti'' indrawi atau material.
Kita mengamati 'sesuatu' melalui waktu yang diroyeksi pikiran. Maka 'sesuatu' itu adalah berada pada kelenyapan masalalu dan harapan masa depan. Dengan begitu kita tidak pernah mampu memahami 'sesuatu' sebagai eksistensi yang utuh. 'Sesuatu' yang telah dipahami berubah seketika menjadi sesuatu yang lain.
Menurut Ouspensi, (h. 52). Gerak berada di dalam waktu. Gerak muncul dari sensasi waktu. Dengan sensasi waktu, gerak dipahami. Sensasi gerak muncul dari perpindahan satu sensasi ruang ke sensasi ruang lain. Akhir dari sebuah permukaan adalah ether. Dan ether ini menjadi pendahuluan bagi ether permukaan yang lain. Ether mirip seperti ruang. Ether bukan sebuah substansi, seperti penghubung antar permukaan. Sementara waktu adalah dimensi keempat. (h.54).
Pandanga ini adalah kekaburan logika. Untuk menjelaskan apapun, logika harus dikedepankan karena dia adalah instrumen dasar. Ouspenski telah mengacaukan hukum logika sekaligus hukum materi. Dengan mencampuraduk kedua hukum ini, dia semakin jauh dari ketertiban ilmu pengetahuan apapun. Dia telah semakin jauh meninggalkan kaidah dua eksistensi yang perlu ditempatkan pada wilayah masing-masing yaitu eksistensi material (maqulat) dan eksistensi pikiran (ma'qulat). Sebuah pengulangan atas kekeliruan yang perlah diperbuat Aristoteles dalam praktik penelitian ilmiahnya.
Ouspenski menegaskan bahwa dimensi keempatnya adalah pemersatu segala tiga dimensi. Mirip seperti konsep linga sahira dalam filosofi Timur. Satu individu beribah setiap detiknya. Namun keseluruhan dirinya dapat dipahami dalam sebuah linga sahira.
Dimensi keempat mirip dengan konsep abstraksi differensia kepada spesies. Segala tiga dimensi adalah pintu masuk, atau penerapan dari empat dimesi (h. 68) Jadi dimensi keempat tidak mungkin sama. Namun demikian, Ouspenski menganjurkan pengenalan atas dimensi keempat melalui tiga dimensi dengan cara menghilangkan sistem baku yang berlaku pada tiga dimensi. Ouspenski ingin membuktikan bahwa terdapat alam lain selain alam yang kita persepsikan ini. Dia memberikan beragam analogi dalam usaha membuktikan keyakinannya itu. Bab empat Tertium Organum seluruhnya berbicara tentang analogi eksistemsi dimensi keempat atau alam lain selain alam ini. Salah satu analoginya adalah keberadaan makhluk yang hanya memahami alam dua dimensi. Sehingga bila lima jari dari sebuah tangan diletakkan di atas meja, makhluk dua dimensi akan melihat lima fenomena terpisah. Namun bila diajak memahami alam tiga dimensi (anggap saja makhluk itu mampu) maka dia akan memiliki sebuah paradigma baru. Analogi-analogi Ouspenski sekalipun akan menuai banyak masalah bila dihadapkan dengan logika, setidaknya tujuannya dapat dipahami, yaitu ingin membuktikan bahwa ada alam lain selain alam ini.
Ouspenski menggunakan matematika sebagai sarana membuktikan keberadaan alam lain selain alam ini atau yang ia sebut sebagai alam empat dimensi. Tampaknya usaha ini akan sulit diterima karena matematika adalah sistem pikiran yang murni. Memang benar banyak fenomena yang dapat diwakili atau diejawantah matematika, namun sangat banyak yang tidak. Misalnya matematika tidak dapat membedakan sebuah lingkaran yang diputar. Contoh ini adalah juga sebagai bukti bahwa matematika tidak mampu menangkap keseluruhan dari kategori dari sesuatu di alam.
Memperbandingkan sistem matematika dengan karakter pikiran dalam pandangan Kant juga tidak baik. Sebab karakter sesuatu yang dicerap pikiran dalam pandangan Kant adalah karakter sesuatu yang telah dilepaskan dari realitas luarnya dan telah menjadi sesuatu dalam perspektif pikiran.
Memang benar masyarakat, terutama mereka yang berparadigma posotivistik akan sulit menerima kebijakan pikiran sebab mereka lahir dari embrio empirisme. Namun mereka tidak dapat menolak matematika. Dan sangat benar mereka sangat anti dengan analogi. Analogi laris manis di dunia Timur. Dan sistem ini telah terbukti efektif dalam menjelaskan eksistensi alam selain alam ini.
Proses pengetahuan manusia dirumuskan Ospensiki secara bertahap yaitu sensasi, persepsi dan konsepsi. Tindakan umum manusia baru terjadi setelah melalui ketiga proses ini. Tindakan ini disebut tindakan rasional. Sementara tindakan otomatis adalah tindakan yang tidak memerlukan konsepsi kembali karena telah menjadi kebiasaan atau telah dilakukan berulang-ulang. Karena dalam setiap tindakannya secara umum melalui tiga tahap tersebut, maka berlakulah 'bingung' bagi manusia.
Tindakan yang melalui proses sensasi dan persepsi saja disebut insting. Secara umum diakui tindakan ini dilakukan hewan. Hewan tidak memiliki konsepsi. hewan bertindak melalui instingnya.
Karena tidak mampu menyusun konsepsi, maka hewan tidak menggunakan logika. Logika yang dimaksud adalah logika sebagaiman telah dirumuskan Aristoteles. Ouspenski mengatakan mungkin saja hewan dapat mengetahui A adalah A, tetapi hewan sulit membadekan A adalah bukan -A. Karena kesulitan ini, otak hewan menjadi lebih sibuk daripada manusia. Dalam mengingat dan membedakan sesuatu, manusia memiliki sistem abstraksi yang baik (differensia, spesies, genus). tetapi hewan tidak. Karena ketidak mampuan konsepsi, Ouspenski meyakini hewan tidak melihat secara tiga dimensional. Alasan dia adalah untuk melihat secara tiga dimensi, harus menjadikan dua dimensi sebagai satu konsep lalu menghubungkannya sehingga dimensi ketita disadari. Karena ketidak mampuan konseptualisasi, maka melihat secara tiga dimensi adalah mustahil. Hewan dapat saja menangkap dimesi ketita, tetapi kabur, persis seperti dimensi waktu yang ditangkap manusia.
Sesuatu sebagaimana adanya tetap saja tidak mampu diketahui manusia sekalipun manusia memiliki kemampuan pengenalan dimensi yang lebih tinggi. Salah satu kemampuan mengenal sesuatu adalah melalui kehidupannya. Keunikan dari kehidupan adalah kemampuan mereproduksi diri dan kemampuan beradaptasi dengan iritasi.
Pengenalan sesuatu adalah pengenalan eksistensinya melalui analogi dengan diri kita sendiri, manifestasinya dalam aksi dan dari kompulan kata (konsep?) (h. 186)
Dengan demikian, sesuatu yang dianggap hidup bukanlah melalui geraknya yang dapat diamati. Sebab gerak adalah ilusi. Sesuatu bergerak karena adanya pelepasan energi. Namum ini adalah sebagai teori saja, motif yang lebih besar terjadinya gerak adalah hal lain. Misalnya sebuah doktrin atau puisi atau retorika memiliki kemampuan yang jauh lebih besar dalam menghasilkan gerak daripada pelepasan energi.
Namun demikian, gerak dan kehidupan hanyalah motif untuk mengenal aksiden-aksiden eksistensi. Substansinya tetap saja tidak dapat diketahui.
Orang-orang positivisme mengakui dengan mengamati fenomena sesuatu telah mengetahui realitas. Namun oleh kalangan idealis seperti Ouspenski, mereka dilihat tidak lebih dari seorang primitif yang menemukan sebuah arloji, mempreteli alat-alatnya. Mereka berhasil menjelaskan kaca, perigi, jarum-jarum dan sebagainya, namun mereka tidak dapat memahami makna sebenarnya dari sebuah arloji.
Ouspenski mengaku usaha positivisme dan sumbangannya bagi kemanusiaan memiliki banyak guna. Namun yang disayangkan adalah sikapnya yang tidak mengakui eksistensi di luar daripada yang dapat diindrai.
Nomena yang merupakan sesuatu sebagaimana adanya memang tidak dapat diketahui. Namun tidak dapat diingkari bahwa fenomena merupakan bayangan dari nomena. Analoginya seperti seniman yang mampu melihat fonomena yang lebih dalam daripada yang dapat dilihat orang umum. Pandangan tentang fenomena oleh manusia digambarkan Ouspensky seperti analogi manusia gua yang dilukiskan Plato. Untuk mengenal sesuatu sebagaimana adanya, perlu informasi jujur dari orang yang pernah keluag gua atau keluar sendiri dari gua.
untuk memiliki kemampuan menatap sinar matahari di luar gua, seseorang harus dapat melatih diri meninggalkan kebiasaan memandang hanya dalam gelap. Melepaskan diri dari kebiasaan hanya melihat bayangan dan kegelapan harus dengan dua cara secara simultan. Pertama dengan membiasakan diri menerima teori teori tentang kondisi terang di luar gua. Kedua adalah dengan membiasakan diri melepaskan kecenderungan terhadap kegapan dan bayangan. Cara terakhir ini sering dianalogikan dengan kematian.
Makna sejati dari kematian adalah lepas dari segala ketertarikan dunia tanpa syarat. Dengan pengetahuan dan latihan diri dapat dituntun untuk nyaman dengan tidak tertarik dengan segala unsur duniawi. Ouspenski sepakat bahwa kematian memiliki hubungan yang sangat erat dengan cinta. Kematian adalah pintu masuk ke dalam cinta. Cinta tidak memiliki syarat apapun kecuuali tidak tertarik terhadap apapun kecuali cinta itu sendiri.
Kalangan positivis memandang cinta dengan cara berbalik. Mereka mengakui eksistensi cinta. Namun bagi mereka, cinta harus dapat difungsikan untuk kelangsungan kehidupan. Pandangan ini mungkin dipengaruhi oleh cara pandang terhadap cinta sama dengan energi. Sehingga bagi mereka, energi haruslah bertransformasi menjadi wujud yang lain. Memang benar cinta sebagaimana kita ketahui memiliki kandungan untuk menggerakkan seperti energi. Makanya cinta dilihat sebagai pertemuan dua insan berlawanan jenis yang mewujud menjadi keturunan. Namun juga cinta ini dapat menghasilkan wujud lain seperti karya seni dan sastra atau lainnya. Dala, hal ini seorang filosof terkenal dari Yunani pernah mengatakan. ''Menikahlah engkau, bila bahtera rumahtanggamu selamat hingga pulau harapan, dimu akan bahagia. Namun bila bahreramu karan. Kamu akan menjadi filosof'' Makna dari ungkapan ini adalah cinta yang memang meliputi segenap insan akan terus eksis bersamanya dalam bentuk apapun.
Manusia dapat menemukan secuil nomena dari gejala psikisnya. Psikis menemukan aktualisasinya melalui pikiran. Pikiran merupakan cermin psikis. Pikiran memiliki karakter yang sangat menguntungkan yaitu dapat membentuk analogi dari psikis. Itu adalah kelebihan. Kekurangannya adalah, pikiran membentuk analogi dari keterbatasannya. Pikiran bersifat monistik dan parsial sebagaimana sistem Newtonian. Sehingga apapun dari psikis benar-benar tidak sama dengan apa yang dipahami pikiran. Materi adalah bentukan pikiran. Demikian pula ruang dan gerak. Semuanya adalah bentukan pikiran. Demikian juga bahasa. Oleh karena itu, bahasa yang baik adalah puisi sebab dia memberi ruang kreatif yang lebih luas kepada pikiran yang lain untuk bereksplorasi.
Maka manusia hidup dalam dua dunia. Pertama adalah dunia fenomena dan pertama adalah nomena. Kant, sekalipun mengatakan mustahilnya manusia memahami nomena, namun pada satu kesempatan dia pernah mengatakan bahwa manusia hidup dalam nomena. Dirinya berhubungan dan bahkan menyatu dengan nomena yang tidak terbatas. Hegel berusaha mengeksplorasi nomena. Namun tidak banyak membantu. Oleh karena itu, sebagaimana solusi melihat keluar gua, kita perlu memiliki pengetahuan yang benar tentang teori nomena. Yaitu dengan mempelajari teori-teori dari analogi mereka yang jujur yang mengaku pernah keluag gua. Kedua adalah dengan melatih diri selama di dalam gua dengan panduan teori dan panduan latihan yang benar.
Bila sebuah batu dibelah, maka menjadi dua buah batu. Namun bila seekor siput dibelah, maka tidak dapat menjadi dua ekor siput. Ouspenski mengatakan alasannya karena siput memeiliki kesadaran akan dirinya. Kesadaran ini bagi manusia adalah kesadaran tingkat pertama yaitu kesadaran tubuh. Kesadaran kedua manusia adalah kesadaran jiwa. Meliputi sensasi, persepsi, konsepsi, pikiran, emosi dan hasrat. Ketiga adalah kesadaran yang tidak dikenal. Meliputi kesadaran, kehendak dan hal-hal yang masih sebagai potensialitas.
Manusia memahami sesuatu tidak lebih dari cara pandang tiga dimensionalnya. Karena itu, kesadaran yang dimiliki oleh manusia tentunya berbeda dengan makhluk lain. Pemahaman kesadaran yang harus memiliki jasad juga tidak akurat. Namun demikian, kesadaran nomenal yang tidak berbatas yang eksistensinya tidak terjangkau pola pandang tiga dimensional juga tidak dapat dibantah. Namun kesadaran yang maha luas ini tidak boleh dianggap memiliki jasad sebagaimana manusia yang untuk memahami alam tiga dimensi membutuhkan perangkat-perangkat material seperti indra dan otak. Sebab perangkat-perangkat tiga dimensional ini bila ditinjau kembali maka akan kembali pada kenyataan bahwa dianya hanyalah ilusi.
Setiap ajaran kadang memiliki definisi yang berbeda terhadap tujuan kehidupan. Salah satu tujuan yang dianggap sangat mulia adan orang banyak menganggap mereka adalah orang yang sangat baik adalah mereka yang mengabdikan diri pada ilmu pengetahuan. Mereka dianggap mulia karena memberikan banyak manfaat bagi manusia. Mereka menghasilkan alat untuk memudahkan kerja dan memberikan seni untuk mewarnai hidup. Namun ini semua adalah sarana bagi tujuan hidup yang lebih tinggi.
Pola pandang tiga dimensional melihat segalahan secara parsial. Mereka mempertentangkan pengetahuan dengan emosi, intelektualitas dengan agama, hasrat dengan keinginan atau lainnya. Padahal semua kategori ini adalah adalah satu tungkatan dari segala kesadaran manusia. Tidak ada yang parsial diantara semua itu. Emosi dan pengetahuan berjalan bersama. Intelektualitas menghantarkan pada spiritualitas. Dan lainnya.
Emosi pada tingkat pertama adalah penyelamatan diri. Pada tingkatan ini, bila tidak dikembangkan dengan baik akan mengarah pada sikap monopoli, iri, dengkin dan sombong. Tingkatan selanjutnya adalah kepedulian sesama. Semama pada awal masih meliputi mulai dari keluarga, famili, suku dan bangsa. Selanjutnya adalah seluruh manusia. Namun kepedulian ini akan bergerak untuk kepedulian kepada seluruh tata sistem alam. Tetapi sikap ini perlu terus ditingkatkan supaya moralitas tidak hanya mengabdi pada moralitas semata. Moralitas memiliki tujuan yang lebih jauh yaitu menangkap makna dari setiap aktivitas pengabdian untuk mengelamatkan Diri secara universal. Seni dapat menjadi sinyal petunjuk bila kita telah mampu menangkap makna dari simbil seni dan ajaran agama. Tujuan akhirnya adalah Kebenaran Mutlak. Kesalahan pada tingkat intelektualitas dan moralitas dapat berakibat pada kesalahanggapan akan Kebenaran Mutlak ini. Tindakan ekstrim sangat sering terjadi pada orang yang salah memahami Kebenaran Mutlak, Dia memaksakan kebenaran yang diyakini kepada orang lain secara buta. Orang sering tidak bisa membedakan fanatisme dengan kebenaran.
Kebenaran Mutlak tidak bisa diperoleh melalui data-data sebanyak apapun dari sistem penginderaan objektif. Sistem posivistik secanggih apapun bahkan tidak dapat menjadi andalan untuk mengetahui isi pikiran seseorang sekalipun ia telah dapat terbang ke bulan dan mengukur massa atom. Sistem positivis yang hanya membenarkan sesuatu berdasarkan objektivitas memiliki masalah basar. Ia telah dapat membangun sebuah patung keramik besar tetapi kakinya hanya dari lumpur. Lumpur itu adalah keyakinan akan kepastian realitas materi tiga dimensional yang sebagaimana sepanjang uraian ini telah dibuktikan kekeliruannya. Sebenarnya segala hal yang dianggap objektif adalah subjektivitas. Segalanya bergantung pada persepsi individual. Tiga dimensional, spasial dan waktu itu murni subjektif. Dan semua materi yang dipersepsi bergantung pada spasial dan waktu.
Pengetahuan melalui penalaran atau gagasan-gagasan merupakan bagian dari kesadaran yang tidak terbatas. Kesadaran akan selalu eksis bagaimanapun kondisi seseorang. Dalam tidur kesadaran tetap eksis dengan cara yang lain. Demikian juga setelah jasad di tanam dalam tanah, kesadaran akan tetap eksis. Kesadaran primordial manusia adalah kesadaran akan eksistensi. Sementara data pengetahuan indrawi maupun penalaran hanyalah tambahan-tambahan bagi kesadaran eksistensi. Oleh karena itu, sebenarnya kesadaran yang memisahkan subjek yang mengetahui dengan objek yang diketahui hanyalah bagian dari karakteristik pikiran. Sejatinya subjek dan objek adalah satu. Gagasan ini diperkenalkan oleh Plotinus.
Ouspensky (h. 334) menegaskan tiga tingkatan pengetahuan. Pertama adalah opini, yang melalui proses penginderaan. Kedua adalah sains, yang melalui proses dialektika. Dan ketiga adalah pencerahan yang datang melalui intuisi.
Intuisi merupakan pancaran langsung dari Zat yang tidak terlukiskan. Zat ini merupakan sumber segala sesuatu. Darinya kesadaran muncul hingga ke beragam model seperti dialektika dan opini. Cara terbaik untuk memperoleh pengetahuan adalah melalui pengetahuan langsung atau intuisi.
Dengan keluar dari pikiran yang terbatas, situasi ekstase dapat dicapai. Situasi ini adalah hilangnya pikiran dan hilang dalam Tak Terbatas. Keindahan seni, ketundukan pada agama dan filsafat dapat menghantarkan pada jalan ini. Dan tentu saja seni, filsafat dan agama yang dilaksanakan secara benar saja yang dapat menghantarkan pada situasi ini. Dalam pengalaman ini, subjek dan objek menjadi satu. Dualitas sirna. Tidak mengalami apapun kecuali keseluruhan yang tidak terbatas.
Pada Bab XX, Ouspensky ternyata memiliki cara tersendiri untuk keluar dari problem perdebatan antara Aristoteles dengan Bacon. Cara yang ia tempuh akan tampak rumit bagi kita yang kurang familiar dengan matematika. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. Penjelasan ini muncul adalah karena para pemikir Barat umumnya tidak mengenal Ibn Sina. Filosof yang dikenal di Barat dengan nama Avicenna ini sebenarnya telah membuat kategori eksistensi pada realitas eksternal dengan eksistensi konseptual. Sekali lagi, Bacon menyanggah logika Aristoteles adalah karena ketidak jelasan Aristoteles dalam memperlakukan eksistensi konseptual yang telah ia susun dengan baik dengan sepuluh kategorinya. Bila diamati dengan baik, maka kategori konseptual Aristoteles ini adalah mutlak pembakuan eksistensi hanya pada tataran konseptual semata. Waktu telah manjadi bagian dari kategori konseptual sehingga A tidak mungkin menjadi bukan A sebagaimana argumen Bacon. A yang mungkin menjadi bukan A hanyalah pada realitas ekstenal atau di alam sebab A pada sistem Aristoteles telah dikunci. Sekali lai, kekeliruan ini muncul akibat kecerobohan Aristoteles memperlakukan konsep yang telah ia kunci sebagai konsep dia pakai sebagaimana tindakan atas realitas eksternal. Lagi pula, Ibn Sina yang telah mengurahkan perbedaan eksistensi mental dengan eksistensi eksternal juga tidak begitu tegas dan jelas memberikan differensia sehingga para pengkaji pemikirannya banyak yang mejadi keliru dalam memahami ajarannya. Al-Ghazali, Maimonedes, Ibn Rusyd, Suhrawardi, Aquinas dan beberapa yang lain pembaca karyanya menjadi salah paham. Barulah Nashruddin Thusi yang mampu memahami pokok pikiran Ibn Sina yang kabur ini dengan jelas. Namun tampaknya, termasuk Ouspensky sendiri tidak mngetahui perdebatan yang terjadi dalam dunia filsafat Islam ini. Padahal kalau dia sudah paham masalah dia menjadi semakin mudah. Hal ini terbukti dengan jalan yang berbeda yang ia tempuh dalam menyelesaikan problem perdebatan Aristoteles dengan Bacon. Tujuan utamanya tentu untuk meyakinkan kita bahwa ada alam tak terbatas di balik alam tiga dimensional.
Pertama-tama Ouspenski mengajak kita untuk percaya bahwa alam tiga dimensi ini hanyalah ilusi yang dikonstruksi pikiran. Selanjutnya dia mengajak untuk membiasakan diri meninggalkan alam tiga dimensional dan melatih diri supaya nyaman dengan alam dibalik alam tiga dimensional.
Ouspensky mengekak mati keabsahan sistem pengetahuan intelektual, baik itu matematika maupun logika. Matematika sebagai sains penjumlahan yang mengkaji kuantitas dan logika sebagai sains konsep yang mengkaji kuantitas, keduanya adalah limitasi pikiran atas realitas fenomenal. Limitasi memperkenalkan pada tiap sesuatu. Generalisasi lalu menimbulkan relasi-relasi. Relasi-relasi ini adalah hukum fundamental. Baik itu aksioma Aristotelas:
A adalah A
A Bukan -A
Segala sesuatu A atau bukan -A
maupun aksioman Bacon:
Apa yang A akan menjadi A
Apa yang bukan -A akan menjadi bukan -A
Segala sesuatu akan menjadi A atau bukan -A
Sekalipun sistem Aristoteles sebenarnya hanya layak sebagai sistem konseptual, tidak layak dipakai sebagai aksioma sains, sebaliknya aksioma Baconlah yang lebih layak menjadi sains sebab sesuatu yang diobserfasi secara indrawi mestilah merupakan sesuatu yang tidak statis sebagaimana indra mengamati fenomena. Atau banyak perbedaan lain antara kedua aksioma di atas. Terlepas dari segala perbedaannya, keduanya hanyalah sebuah sistem logika yang sebenarnya identik menurut cara pandang konsep. Yang mana konsep merupakan ekspresi dari pandangan atas realitas fenomenal. Namun kita sepakat bahwa tidak semua hal dapat dikonseptualisakan. Nilai seni, moral, keyakinan agama dan banyak hal lainnya tidak dapat dikonseptualisasi.
Aksioma Aristoteles dan Bacon di atas benar-benar identik dalam cara pandang aksioma matematika. Matematika dan logika adalah reseptifitas pikiran atas pengamatan indra. Aksioma matematika hanya berlaku pada bangun yang terbatas dan konstan. Demikian pula logika yang hanya berkaitan dengan konsep. Aksima matematika tidak benar dalam relasi dengan bangun yang tidak terbatas atau beragam. Demikian pula logika yang tidak benar dalam relasi dengan seni, moral maupun iman.
Matematika hanya mengambil simbol tertentu dari realitas fenomenal. Yang ambil hanyalah gambarnya saja sebagai analogi sementara sistemnya murni milik pikiran. (Namun tanpa gambar, pikiran akan sulit bekerja.)
Sebuh garis, baik sepanjang satu inci maupun satu meter adalah sama yaitu dari titik yang tidak terbatas. Karena ketidakpastian dalam tinjauan realitas ini, maka yang pasti dalam matematika hanya jumlah yang terbatas. Batasan ini muncul dari penyimpulan atau limitasi yang dibuat sendiri oleh pikiran. Limitasi ini harus dalam satu moemen ruang yang waktu tertentu. Matematika konstan ini sebenarnya semu. Sebab dia adalah proyeksi ruang dan waktu yang muncul dari persepsi pikiran. Maka matematika konstan itu adalah semu.
Bila dalam aksioma matematika semua bangun sama dengan dirinya sendiri, maka dalam teorema matematika Ouspensky, satu bangun tidak dapat sama dengan dirinya sendiri. Bila dalam aksioma matematika bagian lebih kecil dari keseluruhan, maka dalam teorema matematika Ouspensky, sebagian dapat sama atau bahkan lebih besar daripada keseluruhan. Bila dalam teorema matematika konstan dua bangun secara terpisah sama dengaN yang ketiga sama satu dengan yang lain, maka dalam teorema matematika Ouspensky salah satu dari dua bangun yang sama dapat lebih besar secara tak terbatas dari yang lain, juga, semua bangun berbeda sama di antara mereka sendiri.
Demikian pula konsep logika. keduanya hanya tangkapan atas fenomena yang terus bergerak. Oleh sebab itu, aksioma keduanya tidak equal dengan realitas.
Hukum konstan matematika tampaknya memang identik dengan konsep eksistensi mental Ibn Sina. Dan sistem matematika jumlah transfinite identik dengan konsep eksistensi eksternal. Sekalipun jalan yang ditempuh Ouspenski berbeda dengan Ibn Sina dan filosof besar Persia lainnya yakni Mulla Sadra, secara umum, pemikir Rusia ini tepat dalam menyusun perbedaan kategori eksistensi sehingga dia tidak keliru ketika menawarkan sistem pengetahuan pasti yakni intuisi.
Noumena, sebagai eksistensi yang nyata hanya dapat dicapai dengan membuang sistem logika kita. Eksistensinya telah digambarkan dengan sangat indah dalam berbagai literatur klasik. Namum oleh manusia modern hanya dianggap sebagai bagin dari mitos dan anekdot.
Perasaan takut, merasa terlempar, kepanikan dan kehampaan adalah perasaan-perasaan campur-aduk yang muncul saat akan memasuki alam tak terbatas noumena. Sensasi cahaya dan kenikmatan dialami dalam satu momen. Segala yang tampak kontradiksi pada alam dunia fenomena, akan menjadi simultan dalam nomena. Cahaya dan kegelapan akan muncul sekaligus. Ketakutan dan kenikmatan dirasakan bersamaan. Di sana, sebagian bisa sama atau lebih besar daripada keseluruhan. Parakdoksal adalah yang berlaku di dasana.
Di alam nomena, yang berlaku adalah logika baru yang tidak sama dengan logika kita. Yang berlaku di sana bukan logika deduktif maupun induktif. Namanya bisa logika intuitif, logika infinitas atau logika ekstase. Dan Ouspenski menamai logika ini sebagai Tertium Organum. Bagi pencetusnya, logika ini sebenarnya bersifat lebih mendasar daripada aksioma Bacon atau Aristoteles. Ouspensky mengaku aksioma Tertium Organum tidak dapat diungkapkan dalam bahasa kita yang sangat miskin. Namun bila dipaksakan, maka mungkin bentuk aksiomanya adalah demikian:
A adalah A dan bukan -A
atau
Segala sesuatu adalah A sekaligus bukan -A
atau
Segala sesuatu adalah semua
(h. 372)
Bahasa verbal kita adalah sistem yang diatur berdasarkan landasan parsialitas. Oleh karena itu, setiap perkataan sebenarnya adalah kebohongan. Oleh karena itu, sikap yang diperlukan adalah, sebagaimana filosofi Cina, buang kail, ambil ikannya. Maksudnya, jangan percaya pada perkataan, tetapi tangkaplah maknanya. Karena berbahayanya bahasa kita, kebenaran akan mustahil disampaikan. Dengan alasan ini, kebenaran yang tingga biasanya disampaikan melalui sistem paradoksal.
Kondisi kebenaran, yaitu nomena, sama sekali tidak sama dengan alam tiga dimensional, tidak sama dengan sistem logika maupun aksioma matematika. Bila di alam fenomena sebab mendahului akibat dan tidak dapat eksis bersamaan, namun di alam nomena, sebab dan akibat eksis bersama. Nomena tidak dapat diukur dengan jam, hari, bulan dan tahun. Di sana segala sesuatu tidak dapat diukur dengan properti tiga dimensional. Di sana tidak berlaku besar-kecil. Di sana tidak ada batas bagi keluasannya. Materi dan gerak tidak ada di sana. Kematian tidak ada di sana, yang adalah adalah kehidupan, kesadaran yang tidak dapat dijelaskan. Segala sesuatu yang subjektif adalah objektif, yang objektif adalah subjektif di alam nomena. Dunia fenomena adalah persepsi terbatas kita, karena itu fenomena dengan nomena tidak dapat dipertentangkan. Pemahaman yang utuh terhadap nomena adalah mustahil kecuali memahami secara langsung. Yang mampu kita lakukan hanyalah memikirkannya dengan bantuan mereka yang telah pernah mengamlaminya.
Pengalaman mistik diumpamakan seperti kemabukan karena pada saat itu pikiran normal hilang. Pengalaman di sana bercampur aduk. Sebagian bisa menjadi keseluruhan, demikian sebaliknya. Visi di sana penuh paradoks. Kenikmatan dan kebahagiaan dirasakan bersamaan. Persis seperti orang yang sedang dimabuk cinta. Dan memang demikian adanya.
Dalam ajaran Hindu, Brahman merupakan eksistensi tertinggi, menyeluruh. Ungkapan ''engkau adalah seni'' merupakan penegasan bahwa jiwa merupakan Realitas Menyeluruh. Realitas ini tidak memiliki awal dan tak memiliki akhir. Tidak pula dia menjadi bagian dan keseluruhan. Dia tidak dapat diubah dan perubahan tidak berlaku padanya. Di adalah Tunggal, tidak dua karena bila lebih dari satu dia akan memiliki batas. Padahal itu mustahil bagiNya.
Dalam ajaran mistisme Kristen sebagaimana ajaran St. Paul, jiwa dengan Tuhan tidak memiliki batasan. Dia hanya dapat dikatakan berada dalam Tuhan. Ajaran Brahman menegaskan bahwa jiwa tidak dapat disebut sebagai bagian daripada Tuhan. Sebab Dia tidak memiliki bagian. Plotinus juga mengadopsi prinsip yang sama (h.391)
Untuk menuju dunia yang unik ini, Max Muller mengatakan bahwa agama adalah jalannya. Sebab agama adalah jembatan antara yang tampak dengan yang tak tampak. Di samping itu, dunia yang disebut dunia mistik ini memberi pengetahuan tentang dunia nyata beserta sekuruh karakteristiknya. Uniknya dari pengalaman ini adalah, sekalipun para mistikus ini tidak pernah berjumpa ataupun berinteraksi, namun ekspresi dari pengalaman mereka biasanya sangat identik. Pengalaman ini tidak logis, namun super logis, atau, Ouspensky menyebutnya tertium organum. Orang orang yang pernah mengalami pengalaman ini ketika kembali pada situasi normal akan dengan lebih lapang dan berbahagia dalam menjalani kehidupan biasa mereka.
Guru, yang merupakan analogi kehidupan spiritual menyatakan bahwa bagi orang yang pernah mengalami pengalaman spiritual yang tinggi, maka Tuhan akan mendengan dan melihat melalui dirinya. Pengalaman ini akan membuat seseorang meninggalkan keinginan, pikiran dan estimasi individual kemanusiaan yang bersifat material. Pengalaman ini akan membersihkan seseorang dari seluruh ketertarika duniawi. Tiada yang diinginkan olehnya kecuali kenikmatan bersatu dengan Yang tak terbatas. Yang mengalami akan menjadi bijak. Orang bijak mendatangi batin, bukan lahir, memegang yang subjektif dan menghindari yang objektif. Orang bijak itu menyampaikan instruksi tanpa kata. Orang bijak akan meninggalkan segala hal pada segala bidang naturalitas mereka. Mereka bertindak tanpa aksi. Sebab mereka sadar bahwa tang berbicara adalah yang tidak tahu dan hanya yang diam yang mengetahui. Ilmu yang sebenarnya bukanlah yang mampu diekspresikan dalam kata. Ilmu sebenarnya adalah sifat konsentrasi pikiran batin, yang merupakan ekspresi utuh dari segala realitas semesta. Yang merupakan ccahaya dari Yang Mutlak.
Bagi pengikut Kristen yang mengalami pengalaman ini, trinitas akan tampak pada kesatuan. Bahwa Tuhan adalah satu dan tak terbatas. Trinitas hanya tampak pada pandangan rendah. Dia tidak dapat diartikulasikan karena Dia bukan genus, bukan spesies, bukan differensia. Dia juga bukan jumlah dan bukan peristiwa. Dia juga tidak berdimensi. Sehingga bila kita ingin menyebutkan dia, maka semuanya hanyalah akurasi pikiran dan hanya tepat dengan nama-nama yang paling indah (h. 415). Dalam istilah Taoisme, ''Tao yang dapat diekspresikan ke dalam kata bukanlah Tao''.
Dalam mistisme Islam yang disebut dengan tasawuf, ajarannya adalah penentangan atas materiaalisme, fanatisme sempit dan tafsif literal atas Al-Qur'an. Ekspesi tasawuf sering disampaikan melalui puisi-puisi yang bernilai metafor tinggi. Tidur adalah simbol meditasi, minyakwangi adalah simbol harapan kebaikan ilahi, ciuman dan pelukan adalah keterpesonaan dan kesalehan, anggur adalah pengetahuan spiritual. (h. 426).
Dalam mistisme Hindu, hewan merupakan simbol puncak-puncak ekspresi alam. Wisnu adalah elang, siwa sebagai sapi jantan, Indra adalah gajah, Durga adalah macan, Rama adalah kerbau, Ganesha adalah tikus, Agni sebagai biri-biri, Subrananyia sebagai merak, dan Kama atau dewa cinta adalah burung betet. (h. 439).
Semua analogi ini adalah eksperi dari pancara keindahan Yang Mutlak. Namun pada hakikatnya Dia adalah Satu.
Materialisme benar-benar telah menghancurkan sisi substansial manusi. Dengan hanya mengedepankan bagian kulit manusia, melalui paradigma keilmuan kaki lumpurnya, materialisme menjanjikan kesejahteraan yang hanya berorientasi sampul, bukan isi. Teori sesial yang dibangun materialisme telah memaksa manusia untuk yakin bahwa kebutuhan manusia hanya perut dan bawah perut. Materialisme menjanjikan kesehatan fisik manusia dengan pelayanan yang menurutnya luar biasa. Tetapi pada tataran inipun, tidak ada satupun paradigma itu yang berhasil diwujudkan. Propaganda materialisme memaksa manusia untuk percaya bahwa kesenangan duniawi adalah puncak kebahagiaan sejati. Namun hati ini lihatlah kehancuran yang dihasilkan. Lebih dari separuh permukaan bumi telah dieksploitasi dengan sangat kejam. Meraka juga menakuti manusia akan bahaya alien sebagai alasan untuk menciptakan senjata pemusnah massal. Proyek-proyek semu telah dibangun dengan meyakinkan masyarakat dunia bahwa bahaya itu ada di depan mata. Namun sebenarnya semua adalah ilusi daripada kekacauan psikologi para pemuka materialisme. Seluruh masyarakat dunia ditipu oleh provoksasi mereka yang menganut penyakit semacam psikopatis.
Nenek moyang kita dahulu membangun seluruh intelektualitasnya dengan Tertium Organum. Mereka hidup bahagia setiap detiknya tanpa mengeluhkan persoalan apapun yang menimpa diri mereka terkait alam tiga dimensional.
Dengan menerima Tertium Organum, maka kebenaran sejato akan didapatkan, bila tetap berpaku pada sistem pemikiran logis formal, maka kita hanya akan seperti beberapa orang buta yang memegang bagian tertentu dari gajah. Dan sebanyak apapun orang buta yang telah pernah memegang bagian tertentu dari gajah, tetap saja tidak dapat menghasilkan sebuah kesimpulan sebuah gajah yang utuh. Sistem pengetahuan intuitif ala Tertium Organum adalah sebuah pengetahuan yang tidak sebagats logika dan emosi, tetapi abstraksi keduanya plus satu illuminati.
Penyatuan orang-orang buta bisa merupakan analogi dari pengumpulan setiap bidang sains yang sangat spesifik maupun himpunan karya-karya terbaik sepenjang sejarah. Hal kedua ini sangat penting karena dia mirip dengan sistem evolusi intelektual. Sistem evolusi memang tampak sangat akurat. Memang benar demikian karena sistem ini sangat identik dengan cara kerja pikiran manusia. Namun evolusi hanya sesuai untuk dianggap mirip dengan sistem kerja pikiran. Namun sebenarnya tidak layak disamakan dengan sistem kerja pikiran, baik dalam menalar konsep-konsep maupun membentuk kategori, baik kategori pikiran maupun sistem abstraksi dari indra, karena sangat berbeda. Para ilmuan, sebagaimana Aristoteles sendiri terjebak dengan sistem evolusi yang sulit ditolak pikiran karena kemiripannya dengan cara kerja sesuatu yang menjadi alat utama dalam usaha apapun yang memerlukan pikiran, yaitu pikiran itu sendiri. Padahal evolusi sama sekali tidak identik dengan eksistensi indrawi maupun penalaran. Sebenarnya sistem evolusi sangat merusak sains maupun pengetahuan lain. Tetapi evolusi selalu diandalkan untuk menutupi celah dalam proses inteleksi dan persepsi.
Membaca Ouspenski ini perlu sangat hati-hati. Karena bila gegabah, kita akan beranggapan bahwa persepsi indrawi dan nalar logika sama sekali tidak penting. Hal ini memang berulang laki dia kemukakan dalam karya ini. Namun bila hati-hati, maka kita akan menemukan ajakannya untuk melihat materi, logika dan Tertium Organum sebagai sesuatu yang sejalan. Dia menolak sistem dualitas. Dan ini adalah benar karena selama manusia mengindra dan bernalar, maka eksistensi materi dan logika adalah jalan atau semacam kunci nemuju Tertium organum.
Dalam ajaran tasawuf, maka alam adalah manifestasi dari keindahan Tuhan. Manusia mengabstraksikan nalarnya untuk menangkap tanda keindahan Tuhan melalui alam.
Wallahu'alam.
Matang Raya, Peusangan, Selasa 28 April 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar