Jawa diusir dari Aceh hanya untuk mengikuti prinsip (atau idiologi) teoritis pemberontakan yang dibangun Muhammad Hasan Tiro. Prinsipnya adalah perlawanan GAM adalah melawan Jawa. Jadi, prinsip pemberontakan Hasan Tiro bukanlah perang jihad atau perang menegakkan hukum Islam atau iming-iming Islam lainnya tetapi adalah perlawanan untuk membebaskan diri dari Jawa. Hasan Tiro sendiri mengatakan masyarakat Aceh memang telah Islam sehingga Aceh dengan Islam tidak dapat dipisahkan, sehingga tidak perlu perang beralas agama. Dengan prinsip chauvanisme, bukan Islam, maka perlawanan Hasan Tiro mendapat dukungan penuh dari Amerika dan Barat. Dan ada lalasan lain.
Namun yang berkembang di dalam masyarakat di Aceh tanpaknya tidak demikian. Antusiasme masyarakat yang menyebabkan perlawanan Hasan Tiro digjaya adalah karena masyarakat ingin Islam tegak dan itu diyakini sangat sulit terlaksana bila bergabung dengan Indonesia. Di tambah lagi, Pancasila yang tidak merasuki jiwa mayoritas masyarakat Aceh telah dianggap sebagai berhala yang statusnya antitesa dengan Islam. Mayoritas ulama di Aceh membenarkan hal ini.
Disamping alasan agama, mayoritas masyarakat yang hidup secara tradisional dibuat cemburu dengan gaya hidup masyarakat pekerja perusahaan-perusahaan besar yang beroperasi di Aceh. Sehingga mereka menganggap diri mereka miskin ketika secara sengaja maupun tidak, memperbandingkan diri mereka dengan masyarakat pekerja perusahaan-perusahaan itu.
Berdirinya perusahaan-perusahaan yang memberdayakan kekayaan alam di Aceh juga menyebabkan masyarakat yang tidak medapatkan lowongan pekerjaan di perusahaan-perusahaan itu menjadi sakit hati dan menjadikan ini sebagai sarana provokasi. Pada saat pembebasan lahan atau ganti rugi apapun ataupun urusan perizinan sekup kemukiman, ketika dimulainya proyek pembangunan perusahaan-perusahaan besar itu, pemerintah, alih-alih adil, malah memberi ganti rugi berlebihan kepada masyarakat. Namun karena porsi ganti rugi didapatkan oleh mereka yang punya lahan luas dan posisi penting, mulai dari perdusunan hingga ke atasnya, maka mereka yang mendapatkan porsi sedikit atau tidak sama-sekali merasa marah dan sakit hati.
Adapun porsi besar didapatkan oleh mereka para keturunan hulubalang. Mereka punya lahan yang luas serta posisi penting karena kewibawaan dan keilmuannya.
Kewibawaan dan keilmuan ini, serta mereka yang telah dikenal baik saat negosiasi pembebasan lahan, perizinan dan sebagainya, membuat para keturunan hulubalang dengan mudah digaet perusahaan-perusahaan. Dan hal ini menyebabkan mereka yang tidak mendapatkan jatah pembesan, perizinan dan peluang kerja semakin marah.
Sementara para keturunan hulubalang semakin digjaya, baik dengan harta pembebasan, perizinan dan pekerjaan; pula mereka dapat menyekolahkan anak-anak mereka semakin baik. Kelak anak-anak ini kan mendapatkan posisi yang lebih bergengsi karena kemampuan dan keterampilannya. Sementara itu mereka yang sakit hati tidak ada yang diwariskan kecuali dendam sehingga mereka menerima provokasi sebagai kebenaran.
Perusahaan-perusahaan besar yang beroperasi di Aceh adalah berada di bawah kendali Amerika Serikat dan beberapa negara besar lainnya. Amerika ingin mendapatkan untung sebanyak-banyaknya dengan mengeluarkan modal sesedikit-sedikitnya. Sekalipun demikian, dalam paradigma bisnisnya, profesionalisme dan objektivesme mereka kedepankan supaya jalannya perusahaan-perusahaan tetap stabil. Sekali lagi, ini juga menjadi alasan kenapa para keturunan hulubalang mendapatkan posisi yang baik.
Amerika ingin supaya pajak dan bagi hasil yang dibayar ke Indonesia seminimal mungkin. Sebagaimana biasanya, strateginya adalah dengan menurunkan ahli pengintaian ke daerah-daerah didirikannya perusahaan-perusahaan. Setelah ditemukan barisan sakit hati dalam lingkungan masyarakat. Lalu ahli propaganda diturunkan. Tugasnya adalah memberikan arahan secara senyap kepada barisan sakit hati untuk memberikan perlawanan. Perlawanan ini diarahkan kepada pemerintah Indonesia. Bibit sakit hati yang disemai ini diimplementasikan dalam pemeberontakan dengan maksud memberikan tekanan kepada Jakarta.
Tekanan ini dimanfaatkan Amerika kepada Jakarta supaya menyepakati negosiasi yang menguntungkan Amerika itu. Hasan Tiro, sadar atau tidaknya dia, dimanfaatkan secara langsung maupun tidak langsung menjadi tokoh yang menekan Jakarta.
Padahal Pemerintah Indonesia (baca: Jakarta) sudah sangat objektif kepada Aceh. Kepada putera-puterinya yang berkemampuan, diberikan posisi di perusahaan-perusahaan dimaksud. Namun memang yang berkemampuan ini adalah para keturunan hulubalang. Bagi masyarakat Aceh diberikan pendidikan dan kesehatan gratis serta fasilitas-fasilitas yang tidak diberikan kepada orang-orang di kawasan lain Indonesia.
Namun masyarakat Aceh tidak mampu mengetahui kekhususan yang diberikan ini. Pertama karena mereka memperbandingkan diri mereka dengan masyarakat pekerja perusahaan-perusahaan. Kedua karena provokasi dan propaganda berjalan dengan baik sehingga mereka memperbandingkan diri mereka pula dengan kondisi kehidupan masyarakat di negara-negara yang sudah sangat maju seperti Amerika Serikat, Prancis, Jerman, Jepang dan sebagainya. Dengan demikian mereka gagal mengetahui perlakuan negara kepada masyarakat di luar Aceh. Sehingga tidak mempu memperbandingkannya. Akibatnya mereka selalu mengeluh dan rasa sakit hati terus saja bersemi.
Salah satu bukti Amerika memperalat Hasan Tiro dan masyarakat sakit hati, terlepas mereka sadar atau tidak, adalah dengan diadakannya perdamaian antara Indonesia dengan barisa sakit hati setelah sumberdaya alam hampir habis dan perusahaan-perusahaan menjelang gulung tikar.
Dampaknya adalah, barisan sakit hati yang dimanfaatkan itu terus menderita akibat dampak perlawanan. Anak-anak mereka tidak dapat sekolah. Sehingga nantinya nasib mereka susah diubah. Berbarengan dengan itu, anak-turunan hulubalang, sekalipun perusahaan-perusahaan besar itu tutup di Aceh, terus saja mengembangkan diri sehingga memperoleh posisi yang baik di manapun di Indonesia dan luar negeri karena mereka berkemampuan, karena mereka sekolah dengan baik. Wallahu'alam.
Disamping alasan agama, mayoritas masyarakat yang hidup secara tradisional dibuat cemburu dengan gaya hidup masyarakat pekerja perusahaan-perusahaan besar yang beroperasi di Aceh. Sehingga mereka menganggap diri mereka miskin ketika secara sengaja maupun tidak, memperbandingkan diri mereka dengan masyarakat pekerja perusahaan-perusahaan itu.
Berdirinya perusahaan-perusahaan yang memberdayakan kekayaan alam di Aceh juga menyebabkan masyarakat yang tidak medapatkan lowongan pekerjaan di perusahaan-perusahaan itu menjadi sakit hati dan menjadikan ini sebagai sarana provokasi. Pada saat pembebasan lahan atau ganti rugi apapun ataupun urusan perizinan sekup kemukiman, ketika dimulainya proyek pembangunan perusahaan-perusahaan besar itu, pemerintah, alih-alih adil, malah memberi ganti rugi berlebihan kepada masyarakat. Namun karena porsi ganti rugi didapatkan oleh mereka yang punya lahan luas dan posisi penting, mulai dari perdusunan hingga ke atasnya, maka mereka yang mendapatkan porsi sedikit atau tidak sama-sekali merasa marah dan sakit hati.
Adapun porsi besar didapatkan oleh mereka para keturunan hulubalang. Mereka punya lahan yang luas serta posisi penting karena kewibawaan dan keilmuannya.
Kewibawaan dan keilmuan ini, serta mereka yang telah dikenal baik saat negosiasi pembebasan lahan, perizinan dan sebagainya, membuat para keturunan hulubalang dengan mudah digaet perusahaan-perusahaan. Dan hal ini menyebabkan mereka yang tidak mendapatkan jatah pembesan, perizinan dan peluang kerja semakin marah.
Sementara para keturunan hulubalang semakin digjaya, baik dengan harta pembebasan, perizinan dan pekerjaan; pula mereka dapat menyekolahkan anak-anak mereka semakin baik. Kelak anak-anak ini kan mendapatkan posisi yang lebih bergengsi karena kemampuan dan keterampilannya. Sementara itu mereka yang sakit hati tidak ada yang diwariskan kecuali dendam sehingga mereka menerima provokasi sebagai kebenaran.
Perusahaan-perusahaan besar yang beroperasi di Aceh adalah berada di bawah kendali Amerika Serikat dan beberapa negara besar lainnya. Amerika ingin mendapatkan untung sebanyak-banyaknya dengan mengeluarkan modal sesedikit-sedikitnya. Sekalipun demikian, dalam paradigma bisnisnya, profesionalisme dan objektivesme mereka kedepankan supaya jalannya perusahaan-perusahaan tetap stabil. Sekali lagi, ini juga menjadi alasan kenapa para keturunan hulubalang mendapatkan posisi yang baik.
Amerika ingin supaya pajak dan bagi hasil yang dibayar ke Indonesia seminimal mungkin. Sebagaimana biasanya, strateginya adalah dengan menurunkan ahli pengintaian ke daerah-daerah didirikannya perusahaan-perusahaan. Setelah ditemukan barisan sakit hati dalam lingkungan masyarakat. Lalu ahli propaganda diturunkan. Tugasnya adalah memberikan arahan secara senyap kepada barisan sakit hati untuk memberikan perlawanan. Perlawanan ini diarahkan kepada pemerintah Indonesia. Bibit sakit hati yang disemai ini diimplementasikan dalam pemeberontakan dengan maksud memberikan tekanan kepada Jakarta.
Tekanan ini dimanfaatkan Amerika kepada Jakarta supaya menyepakati negosiasi yang menguntungkan Amerika itu. Hasan Tiro, sadar atau tidaknya dia, dimanfaatkan secara langsung maupun tidak langsung menjadi tokoh yang menekan Jakarta.
Padahal Pemerintah Indonesia (baca: Jakarta) sudah sangat objektif kepada Aceh. Kepada putera-puterinya yang berkemampuan, diberikan posisi di perusahaan-perusahaan dimaksud. Namun memang yang berkemampuan ini adalah para keturunan hulubalang. Bagi masyarakat Aceh diberikan pendidikan dan kesehatan gratis serta fasilitas-fasilitas yang tidak diberikan kepada orang-orang di kawasan lain Indonesia.
Namun masyarakat Aceh tidak mampu mengetahui kekhususan yang diberikan ini. Pertama karena mereka memperbandingkan diri mereka dengan masyarakat pekerja perusahaan-perusahaan. Kedua karena provokasi dan propaganda berjalan dengan baik sehingga mereka memperbandingkan diri mereka pula dengan kondisi kehidupan masyarakat di negara-negara yang sudah sangat maju seperti Amerika Serikat, Prancis, Jerman, Jepang dan sebagainya. Dengan demikian mereka gagal mengetahui perlakuan negara kepada masyarakat di luar Aceh. Sehingga tidak mempu memperbandingkannya. Akibatnya mereka selalu mengeluh dan rasa sakit hati terus saja bersemi.
Salah satu bukti Amerika memperalat Hasan Tiro dan masyarakat sakit hati, terlepas mereka sadar atau tidak, adalah dengan diadakannya perdamaian antara Indonesia dengan barisa sakit hati setelah sumberdaya alam hampir habis dan perusahaan-perusahaan menjelang gulung tikar.
Dampaknya adalah, barisan sakit hati yang dimanfaatkan itu terus menderita akibat dampak perlawanan. Anak-anak mereka tidak dapat sekolah. Sehingga nantinya nasib mereka susah diubah. Berbarengan dengan itu, anak-turunan hulubalang, sekalipun perusahaan-perusahaan besar itu tutup di Aceh, terus saja mengembangkan diri sehingga memperoleh posisi yang baik di manapun di Indonesia dan luar negeri karena mereka berkemampuan, karena mereka sekolah dengan baik. Wallahu'alam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar