Untuk mengetahui sesuatu yang belum diketahui, kita harus
berangkat melalui sesuatu yang telah diketahui. Sesuatu yang telah diketahui
itu harus dapat dipastikan kebenarannya supaya dapat menghantarkan pada sesuatu
yang benar juga. Oleh karena itu kita perlu memastikan apa yang telah kita
ketahui itu. Sesuatu yang pasti kita ketahui adalah kesadaran. Itulah landasan
pijakan. Namun apa itu kesadaran?
Kesadaran adalah sesuatu yang tidak dapat dipastikan. Dianya merupakan sesuatu
prakonseptual. Dia hanya bisa dirasakan, tidak bisa dijabarkan. Eksistensi
kesadaran sifatnya pasti.
segala sesuatu yang
ingin diketahui letaknya berada diluar kesadaran itu. Untuk menangkap
pengetahuan di luar diri, yang dapat kita andalkan hanyalah kesadaran. Ketika
kesadaran akan menangkap objek diluar, maka kesadaran turun pada tingkatan
tertentu membentuk konsepsi dasar yaitu kesadaran ruang dan kesadaran waktu.
Segala objek itu barulah dapat dipahami melalui payung ruang-waktu. Kita hanya
dapat mengakui mengetahui realitas yang berada di luar diri kita itu melalui
perangkat di dalam diri (ruang-waktu). Namun demikian, bagaimakah kita dapat
mengetahui realitas luar itu sebagaimana adanya. Artinya tanpa melibatkan
subjektifitas diri (ruang-waktu). Immanuel Kant mengatakan hal itu
mustahil. Karena segala fenomena hanya
memungkinkan dikenal melalui ruang dan waktu yang diproyeksikan oleh pikiran,
maka sebenarnya fenomena sebagaimana adanya tidak dapat diketahui. Melalui ruang
yang merupakan properti pikiran, segala 'apa' diketahui. Namun properti ini
membuat 'ada' menjadi tidak diketahui?
Karena kesadaran
spasial (ruang) adalah proyeksi pikiran. Maka berarti setiap individu memiliki
kesadaran ruang yang berbeda. Oleh sebab itu, tidak dapat dipastikan sebuah
kesadaran ruang yang pasti. Secara teori, kesadaran ruang ini dapat disebut
sama bagi setiap individu, namun pada tataran praktis, pasti berbeda. (Peter
Demianovich Ouspensky, Tertium Organum, Jakarta: Inisiasi Press, 2005, h. 19)
Secara konseptual,
keradaran ruang itu tidak terbatas. Namun secara praktis, kesadaran ruang kita
terbatas pada tiga dimensi yaitu berat, panjang dan lebar. Tiga dimensi ini
adalah aktivitas pikiran dalam menerima informasi indra. Bila ada dimensi
lainnya, maka tentunya itu adalah kreasi pikiran. Ketika beberapa individu
diarahkan untuk melakukan kreasi yang sama menurut panduan yang telah
ditetapkan, maka mungkin antara satu individu dapat memahami kreasi individu
yang lain, namun pemahaman ini hanya bersifat pemakluman atau simpati. Hakikatnya
setiap individu apan berbeda secara praktis. Kalaupun semuanya sama, itu
hanyalah karena panduannya sangat detail, namun ''properti'' kesadaran sendiri
sangatlah berbeda satu sama lain.
Memang benar tiga
dimensi muncul dari penggabungan dari satu, satu, satu dimensi. Dan
penggabungan itu dilakukan oleh pikiran karena bila tidak, maka mungkin yang
dapat diketahui hanya satu dimensi. Namun satu dimensi tidak dapat diabstaksi
pikiran karena begitulah pikiran bekerja. Abstraksi tiga dimensi oleh pikiran
melahirkan 'sesuatu' yang dipahami dan menjadi jawaban untuk pertanyaan 'apa'.
Persoalan ini dapat
dipikahkan menjadi eksistensi yang terbagi dalah dua hal. Pertama adalah
eksistensi (ke-ada-an) pada pikiran dan eksistensi (ke-ada-an) pada realitas luar
atau indrawi. Pada realitas indrawi, eksistensinya mendahului esensi
(ke-apa-an). Karena itulah satu dimensi yang merupakan bukti eksistensinya
lebih utama tidak dapat ditanformasi menjadi pemahaman pikiran (harus tiga
dimensi) karena bagi pikiran, esensi (tiga dimensi bagi perspektif realitas
luar) lebih mendasar daripada eksistensi.
Ouspenski menggugat
kemapanan 'sesuatu' yang diakui di luar dengan menggugat substansinya.
Menurutnya substansi setiap sesuatu adalah hanya proyeksi dalam sistem pikiran.
Dengannya dia menyekak eksistensi materi.
Properti dasar
'sesuatu' memang adalah penerapan pikiran. Tetapi ketika menggugatnya, artinya
kita menggugat seluruh bangun (kategori) 'sesuatu' sehingga segala fenomenya
hanyalah proyeksi pikiran. Penolakan atas hal yang dibangun pikiran berarti
menggugat pikiran itu sendiri. Sehingga apapun proyeksi pikiran, termasuk
konsep nilai menjadi sama statusnya dengan materi yaitu: ilusi). Menggugat
hukum pikiran dengan menggunakan hukum pikiran sama dengan menggugat ketiadaan
dengan ketiadaan.
Pada Bab I Tertium
Organum, Ouspenski Mempertanyakan status eksistensi fenomena. Bab II dia
menegasikan eksistensinya. Apa yang akan dia bahas selanjutnya?
Ouspenski mengakatan
pada titik tidak mungkin membayangkan garis, pada sebuah garis tidak mungkin
membayangkan permukaan dan pada permukaan tidak mungkin membayangkan kepadatan.
Maka dalam hal ini dia telah mencampuraduk antara eksistensi eksternal
(material) dengan eksistensi mental (pikiran). Padahal keduanya tidak boleh
dicampuraduk. Banyak alasannya, salahsatunya adalah hukum keduanya memang
berbeda. Dalam hukum material, sebuah titik
adalah 'sesuatu' tersendiri. Demikian pula garis. Eksistensinya adalah
pasti.Titik bukan garis, garis bukan titik. Sementara bagi hukum pikiran, garis
adalah aktualitas dari titik dan potensialitas bagi permukaan.
Ouspenski mengatakan
pada titik, garis tidak dapat dibuktikan. Melalui garis, permukaan tidak dapat
dibuktikan. Melalui permukaan, kepadatan tidak dapat dibuktikan. Melalui
caranya ini, Ouspenski ingi membuktikan bahwa ruang dimensi keempat tidak dapat
dibayangkan melalui ruang tiga dimensi. Sepertinya dia ingin membuktikan
dimensi keempatnya memungkinkan ada sekalipun bukan berada pada ruang tiga
dimensi. Dan tentu saja ini hanya sebuah asumsi. Tetapi Ouspenski cukup sadar
bahwa dimensi keempatnya ini tidak berada pada tiga dimensi. Artinya, dimensi
keempat bukanlah ''properti'' indrawi atau material.
Kita mengamati
'sesuatu' melalui waktu yang diroyeksi pikiran. Maka 'sesuatu' itu adalah
berada pada kelenyapan masalalu dan harapan masa depan. Dengan begitu kita
tidak pernah mampu memahami 'sesuatu' sebagai eksistensi yang utuh. 'Sesuatu'
yang telah dipahami berubah seketika menjadi sesuatu yang lain.
Menurut Ouspensi, (h.
52). Gerak berada di dalam waktu. Gerak muncul dari sensasi waktu. Dengan
sensasi waktu, gerak dipahami. Sensasi gerak muncul dari perpindahan satu
sensasi ruang ke sensasi ruang lain. Akhir dari sebuah permukaan adalah ether.
Dan ether ini menjadi pendahuluan bagi ether permukaan yang lain. Ether mirip
seperti ruang. Ether bukan sebuah substansi, seperti penghubung antar
permukaan. Sementara waktu adalah dimensi keempat. (h.54).
Pandanga ini adalah
kekaburan logika. Untuk menjelaskan apapun, logika harus dikedepankan karena
dia adalah instrumen dasar. Ouspenski telah mengacaukan hukum logika sekaligus
hukum materi. Dengan mencampuraduk kedua hukum ini, dia semakin jauh dari
ketertiban ilmu pengetahuan apapun. Dia telah semakin jauh meninggalkan kaidah
dua eksistensi yang perlu ditempatkan pada wilayah masing-masing yaitu
eksistensi material (maqulat) dan eksistensi pikiran (ma'qulat). Sebuah
pengulangan atas kekeliruan yang perlah diperbuat Aristoteles dalam praktik
penelitian ilmiahnya.
Ouspenski menegaskan
bahwa dimensi keempatnya adalah pemersatu segala tiga dimensi. Mirip seperti
konsep linga sahira dalam filosofi Timur. Satu individu beribah setiap
detiknya. Namun keseluruhan dirinya dapat dipahami dalam sebuah linga sahira.
Dimensi keempat mirip
dengan konsep abstraksi differensia kepada spesies. Segala tiga dimensi adalah
pintu masuk, atau penerapan dari empat dimesi (h. 68) Jadi dimensi keempat tidak mungkin sama.
Namun demikian, Ouspenski menganjurkan pengenalan atas dimensi keempat melalui
tiga dimensi dengan cara menghilangkan sistem baku yang berlaku pada tiga
dimensi. Ouspenski ingin membuktikan
bahwa terdapat alam lain selain alam yang kita persepsikan ini. Dia memberikan
beragam analogi dalam usaha membuktikan keyakinannya itu. Bab empat Tertium
Organum seluruhnya berbicara tentang analogi eksistemsi dimensi keempat atau
alam lain selain alam ini. Salah satu analoginya adalah keberadaan makhluk yang
hanya memahami alam dua dimensi. Sehingga bila lima jari dari sebuah tangan
diletakkan di atas meja, makhluk dua dimensi akan melihat lima fenomena
terpisah. Namun bila diajak memahami alam tiga dimensi (anggap saja makhluk itu
mampu) maka dia akan memiliki sebuah paradigma baru. Analogi-analogi Ouspenski
sekalipun akan menuai banyak masalah bila dihadapkan dengan logika, setidaknya
tujuannya dapat dipahami, yaitu ingin membuktikan bahwa ada alam lain selain
alam ini.
Ouspenski menggunakan
matematika sebagai sarana membuktikan keberadaan alam lain selain alam ini atau
yang ia sebut sebagai alam empat dimensi. Tampaknya usaha ini akan sulit
diterima karena matematika adalah sistem pikiran yang murni. Memang benar
banyak fenomena yang dapat diwakili atau diejawantah matematika, namun sangat
banyak yang tidak. Misalnya matematika tidak dapat membedakan sebuah lingkaran
yang diputar. Contoh ini adalah juga sebagai bukti bahwa matematika tidak mampu
menangkap keseluruhan dari kategori dari sesuatu di alam.
Memperbandingkan
sistem matematika dengan karakter pikiran dalam pandangan Kant juga tidak baik.
Sebab karakter sesuatu yang dicerap pikiran dalam pandangan Kant adalah
karakter sesuatu yang telah dilepaskan dari realitas luarnya dan telah menjadi
sesuatu dalam perspektif pikiran.
Memang benar
masyarakat, terutama mereka yang berparadigma posotivistik akan sulit menerima
kebijakan pikiran sebab mereka lahir dari embrio empirisme. Namun mereka tidak
dapat menolak matematika. Dan sangat benar mereka sangat anti dengan analogi.
Analogi laris manis di dunia Timur. Dan sistem ini telah terbukti efektif dalam
menjelaskan eksistensi alam selain alam ini.
Proses pengetahuan
manusia dirumuskan Ospensiki secara bertahap yaitu sensasi, persepsi dan
konsepsi. Tindakan umum manusia baru terjadi setelah melalui ketiga proses ini.
Tindakan ini disebut tindakan rasional. Sementara tindakan otomatis adalah
tindakan yang tidak memerlukan konsepsi kembali karena telah menjadi kebiasaan
atau telah dilakukan berulang-ulang. Karena dalam setiap tindakannya secara
umum melalui tiga tahap tersebut, maka berlakulah 'bingung' bagi manusia.
Tindakan yang melalui
proses sensasi dan persepsi saja disebut insting. Secara umum diakui tindakan
ini dilakukan hewan. Hewan tidak memiliki konsepsi. hewan bertindak melalui
instingnya.
Karena tidak mampu
menyusun konsepsi, maka hewan tidak menggunakan logika. Logika yang dimaksud
adalah logika sebagaiman telah dirumuskan Aristoteles. Ouspenski mengatakan
mungkin saja hewan dapat mengetahui A adalah A, tetapi hewan sulit membadekan A
adalah bukan -A. Karena kesulitan ini, otak hewan menjadi lebih sibuk daripada
manusia. Dalam mengingat dan membedakan sesuatu, manusia memiliki sistem
abstraksi yang baik (differensia, spesies, genus). tetapi hewan tidak. Karena
ketidak mampuan konsepsi, Ouspenski meyakini hewan tidak melihat secara tiga
dimensional. Alasan dia adalah untuk melihat secara tiga dimensi, harus
menjadikan dua dimensi sebagai satu konsep lalu menghubungkannya sehingga
dimensi ketita disadari. Karena ketidak mampuan konseptualisasi, maka melihat
secara tiga dimensi adalah mustahil. Hewan dapat saja menangkap dimesi ketita,
tetapi kabur, persis seperti dimensi waktu yang ditangkap manusia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar