Link Download

Selasa, 31 Maret 2015

Saintifika Organon I



Untuk mengetahui sesuatu yang belum diketahui, kita harus berangkat melalui sesuatu yang telah diketahui. Sesuatu yang telah diketahui itu harus dapat dipastikan kebenarannya supaya dapat menghantarkan pada sesuatu yang benar juga. Oleh karena itu kita perlu memastikan apa yang telah kita ketahui itu. Sesuatu yang pasti kita ketahui adalah kesadaran. Itulah landasan pijakan.  Namun apa itu kesadaran? Kesadaran adalah sesuatu yang tidak dapat dipastikan. Dianya merupakan sesuatu prakonseptual. Dia hanya bisa dirasakan, tidak bisa dijabarkan. Eksistensi kesadaran sifatnya pasti.
 segala sesuatu yang ingin diketahui letaknya berada diluar kesadaran itu. Untuk menangkap pengetahuan di luar diri, yang dapat kita andalkan hanyalah kesadaran. Ketika kesadaran akan menangkap objek diluar, maka kesadaran turun pada tingkatan tertentu membentuk konsepsi dasar yaitu kesadaran ruang dan kesadaran waktu. Segala objek itu barulah dapat dipahami melalui payung ruang-waktu. Kita hanya dapat mengakui mengetahui realitas yang berada di luar diri kita itu melalui perangkat di dalam diri (ruang-waktu). Namun demikian, bagaimakah kita dapat mengetahui realitas luar itu sebagaimana adanya. Artinya tanpa melibatkan subjektifitas diri (ruang-waktu). Immanuel Kant mengatakan hal itu mustahil.  Karena segala fenomena hanya memungkinkan dikenal melalui ruang dan waktu yang diproyeksikan oleh pikiran, maka sebenarnya fenomena sebagaimana adanya tidak dapat diketahui. Melalui ruang yang merupakan properti pikiran, segala 'apa' diketahui. Namun properti ini membuat 'ada' menjadi tidak diketahui?
 Karena kesadaran spasial (ruang) adalah proyeksi pikiran. Maka berarti setiap individu memiliki kesadaran ruang yang berbeda. Oleh sebab itu, tidak dapat dipastikan sebuah kesadaran ruang yang pasti. Secara teori, kesadaran ruang ini dapat disebut sama bagi setiap individu, namun pada tataran praktis, pasti berbeda. (Peter Demianovich Ouspensky, Tertium Organum, Jakarta: Inisiasi Press, 2005, h. 19)
 Secara konseptual, keradaran ruang itu tidak terbatas. Namun secara praktis, kesadaran ruang kita terbatas pada tiga dimensi yaitu berat, panjang dan lebar. Tiga dimensi ini adalah aktivitas pikiran dalam menerima informasi indra. Bila ada dimensi lainnya, maka tentunya itu adalah kreasi pikiran. Ketika beberapa individu diarahkan untuk melakukan kreasi yang sama menurut panduan yang telah ditetapkan, maka mungkin antara satu individu dapat memahami kreasi individu yang lain, namun pemahaman ini hanya bersifat pemakluman atau simpati. Hakikatnya setiap individu apan berbeda secara praktis. Kalaupun semuanya sama, itu hanyalah karena panduannya sangat detail, namun ''properti'' kesadaran sendiri sangatlah berbeda satu sama lain.
 Memang benar tiga dimensi muncul dari penggabungan dari satu, satu, satu dimensi. Dan penggabungan itu dilakukan oleh pikiran karena bila tidak, maka mungkin yang dapat diketahui hanya satu dimensi. Namun satu dimensi tidak dapat diabstaksi pikiran karena begitulah pikiran bekerja. Abstraksi tiga dimensi oleh pikiran melahirkan 'sesuatu' yang dipahami dan menjadi jawaban untuk pertanyaan 'apa'.
 Persoalan ini dapat dipikahkan menjadi eksistensi yang terbagi dalah dua hal. Pertama adalah eksistensi (ke-ada-an) pada pikiran dan eksistensi (ke-ada-an) pada realitas luar atau indrawi. Pada realitas indrawi, eksistensinya mendahului esensi (ke-apa-an). Karena itulah satu dimensi yang merupakan bukti eksistensinya lebih utama tidak dapat ditanformasi menjadi pemahaman pikiran (harus tiga dimensi) karena bagi pikiran, esensi (tiga dimensi bagi perspektif realitas luar) lebih mendasar daripada eksistensi.
 Ouspenski menggugat kemapanan 'sesuatu' yang diakui di luar dengan menggugat substansinya. Menurutnya substansi setiap sesuatu adalah hanya proyeksi dalam sistem pikiran. Dengannya dia menyekak eksistensi materi.
 Properti dasar 'sesuatu' memang adalah penerapan pikiran. Tetapi ketika menggugatnya, artinya kita menggugat seluruh bangun (kategori) 'sesuatu' sehingga segala fenomenya hanyalah proyeksi pikiran. Penolakan atas hal yang dibangun pikiran berarti menggugat pikiran itu sendiri. Sehingga apapun proyeksi pikiran, termasuk konsep nilai menjadi sama statusnya dengan materi yaitu: ilusi). Menggugat hukum pikiran dengan menggunakan hukum pikiran sama dengan menggugat ketiadaan dengan ketiadaan.
 Pada Bab I Tertium Organum, Ouspenski Mempertanyakan status eksistensi fenomena. Bab II dia menegasikan eksistensinya. Apa yang akan dia bahas selanjutnya?
 Ouspenski mengakatan pada titik tidak mungkin membayangkan garis, pada sebuah garis tidak mungkin membayangkan permukaan dan pada permukaan tidak mungkin membayangkan kepadatan. Maka dalam hal ini dia telah mencampuraduk antara eksistensi eksternal (material) dengan eksistensi mental (pikiran). Padahal keduanya tidak boleh dicampuraduk. Banyak alasannya, salahsatunya adalah hukum keduanya memang berbeda. Dalam hukum material, sebuah titik  adalah 'sesuatu' tersendiri. Demikian pula garis. Eksistensinya adalah pasti.Titik bukan garis, garis bukan titik. Sementara bagi hukum pikiran, garis adalah aktualitas dari titik dan potensialitas bagi permukaan.
 Ouspenski mengatakan pada titik, garis tidak dapat dibuktikan. Melalui garis, permukaan tidak dapat dibuktikan. Melalui permukaan, kepadatan tidak dapat dibuktikan. Melalui caranya ini, Ouspenski ingi membuktikan bahwa ruang dimensi keempat tidak dapat dibayangkan melalui ruang tiga dimensi. Sepertinya dia ingin membuktikan dimensi keempatnya memungkinkan ada sekalipun bukan berada pada ruang tiga dimensi. Dan tentu saja ini hanya sebuah asumsi. Tetapi Ouspenski cukup sadar bahwa dimensi keempatnya ini tidak berada pada tiga dimensi. Artinya, dimensi keempat bukanlah ''properti'' indrawi atau material. 
 Kita mengamati 'sesuatu' melalui waktu yang diroyeksi pikiran. Maka 'sesuatu' itu adalah berada pada kelenyapan masalalu dan harapan masa depan. Dengan begitu kita tidak pernah mampu memahami 'sesuatu' sebagai eksistensi yang utuh. 'Sesuatu' yang telah dipahami berubah seketika menjadi sesuatu yang lain.
 Menurut Ouspensi, (h. 52). Gerak berada di dalam waktu. Gerak muncul dari sensasi waktu. Dengan sensasi waktu, gerak dipahami. Sensasi gerak muncul dari perpindahan satu sensasi ruang ke sensasi ruang lain. Akhir dari sebuah permukaan adalah ether. Dan ether ini menjadi pendahuluan bagi ether permukaan yang lain. Ether mirip seperti ruang. Ether bukan sebuah substansi, seperti penghubung antar permukaan. Sementara waktu adalah dimensi keempat. (h.54).
  Pandanga ini adalah kekaburan logika. Untuk menjelaskan apapun, logika harus dikedepankan karena dia adalah instrumen dasar. Ouspenski telah mengacaukan hukum logika sekaligus hukum materi. Dengan mencampuraduk kedua hukum ini, dia semakin jauh dari ketertiban ilmu pengetahuan apapun. Dia telah semakin jauh meninggalkan kaidah dua eksistensi yang perlu ditempatkan pada wilayah masing-masing yaitu eksistensi material (maqulat) dan eksistensi pikiran (ma'qulat). Sebuah pengulangan atas kekeliruan yang perlah diperbuat Aristoteles dalam praktik penelitian ilmiahnya.
 Ouspenski menegaskan bahwa dimensi keempatnya adalah pemersatu segala tiga dimensi. Mirip seperti konsep linga sahira dalam filosofi Timur. Satu individu beribah setiap detiknya. Namun keseluruhan dirinya dapat dipahami dalam sebuah linga sahira.
 Dimensi keempat mirip dengan konsep abstraksi differensia kepada spesies. Segala tiga dimensi adalah pintu masuk, atau penerapan dari empat dimesi (h. 68)  Jadi dimensi keempat tidak mungkin sama. Namun demikian, Ouspenski menganjurkan pengenalan atas dimensi keempat melalui tiga dimensi dengan cara menghilangkan sistem baku yang berlaku pada tiga dimensi.     Ouspenski ingin membuktikan bahwa terdapat alam lain selain alam yang kita persepsikan ini. Dia memberikan beragam analogi dalam usaha membuktikan keyakinannya itu. Bab empat Tertium Organum seluruhnya berbicara tentang analogi eksistemsi dimensi keempat atau alam lain selain alam ini. Salah satu analoginya adalah keberadaan makhluk yang hanya memahami alam dua dimensi. Sehingga bila lima jari dari sebuah tangan diletakkan di atas meja, makhluk dua dimensi akan melihat lima fenomena terpisah. Namun bila diajak memahami alam tiga dimensi (anggap saja makhluk itu mampu) maka dia akan memiliki sebuah paradigma baru. Analogi-analogi Ouspenski sekalipun akan menuai banyak masalah bila dihadapkan dengan logika, setidaknya tujuannya dapat dipahami, yaitu ingin membuktikan bahwa ada alam lain selain alam ini.
 Ouspenski menggunakan matematika sebagai sarana membuktikan keberadaan alam lain selain alam ini atau yang ia sebut sebagai alam empat dimensi. Tampaknya usaha ini akan sulit diterima karena matematika adalah sistem pikiran yang murni. Memang benar banyak fenomena yang dapat diwakili atau diejawantah matematika, namun sangat banyak yang tidak. Misalnya matematika tidak dapat membedakan sebuah lingkaran yang diputar. Contoh ini adalah juga sebagai bukti bahwa matematika tidak mampu menangkap keseluruhan dari kategori dari sesuatu di alam.
 Memperbandingkan sistem matematika dengan karakter pikiran dalam pandangan Kant juga tidak baik. Sebab karakter sesuatu yang dicerap pikiran dalam pandangan Kant adalah karakter sesuatu yang telah dilepaskan dari realitas luarnya dan telah menjadi sesuatu dalam perspektif pikiran.
 Memang benar masyarakat, terutama mereka yang berparadigma posotivistik akan sulit menerima kebijakan pikiran sebab mereka lahir dari embrio empirisme. Namun mereka tidak dapat menolak matematika. Dan sangat benar mereka sangat anti dengan analogi. Analogi laris manis di dunia Timur. Dan sistem ini telah terbukti efektif dalam menjelaskan eksistensi alam selain alam ini.
    Proses pengetahuan manusia dirumuskan Ospensiki secara bertahap yaitu sensasi, persepsi dan konsepsi. Tindakan umum manusia baru terjadi setelah melalui ketiga proses ini. Tindakan ini disebut tindakan rasional. Sementara tindakan otomatis adalah tindakan yang tidak memerlukan konsepsi kembali karena telah menjadi kebiasaan atau telah dilakukan berulang-ulang. Karena dalam setiap tindakannya secara umum melalui tiga tahap tersebut, maka berlakulah 'bingung' bagi manusia.
 Tindakan yang melalui proses sensasi dan persepsi saja disebut insting. Secara umum diakui tindakan ini dilakukan hewan. Hewan tidak memiliki konsepsi. hewan bertindak melalui instingnya.
 Karena tidak mampu menyusun konsepsi, maka hewan tidak menggunakan logika. Logika yang dimaksud adalah logika sebagaiman telah dirumuskan Aristoteles. Ouspenski mengatakan mungkin saja hewan dapat mengetahui A adalah A, tetapi hewan sulit membadekan A adalah bukan -A. Karena kesulitan ini, otak hewan menjadi lebih sibuk daripada manusia. Dalam mengingat dan membedakan sesuatu, manusia memiliki sistem abstraksi yang baik (differensia, spesies, genus). tetapi hewan tidak. Karena ketidak mampuan konsepsi, Ouspenski meyakini hewan tidak melihat secara tiga dimensional. Alasan dia adalah untuk melihat secara tiga dimensi, harus menjadikan dua dimensi sebagai satu konsep lalu menghubungkannya sehingga dimensi ketita disadari. Karena ketidak mampuan konseptualisasi, maka melihat secara tiga dimensi adalah mustahil. Hewan dapat saja menangkap dimesi ketita, tetapi kabur, persis seperti dimensi waktu yang ditangkap manusia.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar