Aristoteles adalah ilmuan terbesar sepanjang masa. Karyanya mencakup seluruh bidang pengetahuan yang pernah diteliti manusia. (Jonathan Barnes, Aristoteles Bapak Ilmu Politik, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1993, h. 4). Tanpaknya tidak ada penulis yang lebih produktif daripada Aristoteles. Dia adalah peletak dasar logika. Suatu ilmu yang mengatur prinsip berfikir. Seluruh disiplin ilmu, selama melibatkan manusia sebagaj subjek, tidak bisa menghindar dari logika. Karena ini merupakan perangkat utama yang digunakan manusia untuk menelaah apapun.
Lahir di Macedonia pada 384 SM dan meninggal enam puluh dua tahun kemudian, dikatakan karya Aristoteles berjumlah seratus tujuh puluh judul sekalipun yang yersisa hanya empat puluh tujuh. (Michael Hart, Seratus Tokoh Yang Paling Berpengaruh Dalam Sejarah, Pustaka Jaya, Jakarta, 1994, h. 103-104).
Sebagaimana umumnya filosof, pemikirannya membuat sebagian besar masyarakat risih. Guna menghindari respek berlebihan masyarakat, Aristoteles memilih hijrah ke sebuah desa terpencil kampung ibunya. Di sana ia tetap meneruskan penelitian bersama beberapa rekannya. Dia juga gemar memberikan pengajaran kepada siapa saja yang haus ilmu pengetahuan.
Di pengasingannya, Aristoteles menulis tentang berbagak hal termasuk tentang karakter hampir semua jenis hewan yang dikenal manusia. Dia meneliti hewan yang hidup di darat maupun laut. Dia menulis ensiklopedia panjang tentang organ-organ berserta fungsinya serta berbagai karakter hewan. Dia menulis laporannya berdasarkan fakta empiris yang dia amati, berdasarkan akurasi rasional formal dan bahkan melaporkan anekdot dari mulut para pemburu. (Jonathan, h. 19).
Karena pola pelaporannya ini, Aristoteles dikritik oleh para ilmua setelahnya. Terutama pada zaman mutakhir, laporan-laporan Aristoteles ditertawakan. Para ilmuan menuntuk sebuah laporan tidak hanya berdasarkan pengamatan prilaku tetapi melalui riset laboratorium. Ilmuan juga menolak pelaporan sifat-sifat hewan menggunakan metode logika formal karena bagi ilmuan modern, logika formal tidam sesuai dengan realitas empiris. Apalagi dengan sumber anekdot. Ilmuan modern pasti mentertawakannya. Di atas semua itu, tampaknya Aristoteles telah mengetahui reaksi tersebut, tetapi dia tidak ambil pusing. Sebab bila dibandingkan dengan khazanah keilmuan pada masanya, semua laporan Aristoteles bertujuan untuk membangunkan orang-orang dari tidur dogmatis yang diliputi takhayul.
Di samping itu, Aristoteles tertarik dengan sistem teorema geometris dan aksioma matematika. Menurutnya geometri dapat diterapkan pada sains sehingga setiap objek dapat didefenisikan. Dia menyatakan aksioma dapat menjadi pembukti bahwa setiap segmen sains memiliki akar yang sama; atau setidaknya dapat dijelaskan dengan sistem yang sama.
Aristoteles membagi pengetahuan menjadi tiga bagian yaitu pengetahuan produktif, pengetahuan teoritis dan pengetahuan praktis.(Jonathan, h. 41) Pengetahuan produktif adalah pengetahuan yang menghasilkan suatu pengembangan seperti karya seni, pertanian dan rekayasa. Sementara pengetahuan teoritis adalah pengetahuan yang tidak berorientasi lain kecuali untuk kebenaran konseptual semata. Aristiteles membagi pengetahuan teoritis kepada tiga bidang yaitu matematika, ilmu pengetahuan alam dan teologi. Sebagaimana murid Plato yang lain, Aristoteles banyak belajar tentang prinsip+prinsip matematika. Namun demikian, Aristiteles mengaku bahwa dirinya tidaklah begitu pakar dengan disiplin ini. Adapun yang dimaksud dengan ilmu pengetahuan alam adalah melingkupi zoologi, botani dan astrologi. Ilmu ini dikenal juga dengan istilah 'fisika' yang berasal dari kata Yunani 'phusike'. Adapun semua ranah fisika ini menurut Aristoteles tidaklah lebih penting karena bukan merupakan substansi primer. Menurutnya, substansi primer adalah ‘’keilahian’’. Dia membahas masalah penting ini dalam tema teologi dan menurutnya ini lebih penting daripada fisika.
Kajian Aristoteles yang dianggap sangat penting oleh para filosof setelahnya adalah mengenai metafisika dan logika. Kedua disiplin ini telah dibahas oleh ratusan filosof dan menjadikan tema ini menjadi semakin samar dan membingungkan dibandingkan uraian Aristoteles sendiri.
Objek diakursus ini adalah wujud sebagaimana wujud (being qua being). Maksudnya, penelitiannya berfokus pada segala hal yang memiliki wujud. Yang diteliti bukanlah partikularnya, tetapi ke-ada-annya. Karena sifatnya ini, maka fokus penelitian tentang wujud sebagai wujud disebut sebagai metafisika. Wujud sebagai wujud memang bukanlah realitas fisik, tetapi adalah dasar daripada segala realitas yang dapat diindrai. Metafisika bersama logika oleh para pengkaji Ariatiteles dimasukkan menjadi bagian teologi yang merupakan bagian dari pengetahuan teoritis.
Logika merupakan perangkat atau alat utama untuk mempelajari segala disiplin keilmuan. Logika adalah disiplin keilmuan untuk menyusun dan membuktikan benar atau salahnya sebuah pernyataan. Semua kalimat memang mengandung makna. Tetapi tidak semua kalimat adalah pernyataan. Pernyataan baik bersifat afirmasi atau membenarkan atau negasi atau menyangkal. Mekanismenya adalah dengan menjadikan sebuah kalimat menjadi proposisi yang kemudian diolah menjadi sebuah term.
Berikut terdapat empat tipe proposisi sederhana: 1. Afirmatif universal yaitu membenarkan predikat yerhadap setiap subjek. 2. Negatif universal yaitu menyangkal predikat terhadap setiap subjek. 3. Afirmatif partikular yaitu membenarkan predikat terhadap beberapa subjek. Dan 4. Negatif partikular yaitu yang menyangkal predikat terhadap beberapa subjek. (Jonathan, h. 49). Proposisi sederjanya adalah tersusun dari term berupa subjek dan objek. Bisa berupa afirmatif atau negatif. Sifatnya bisa asertorik, apodeiktik, atau juga problematik.
Kekeliruan Aristoteles mungkin adalah menerapkan logika formal pada realitas aktual. Mungkin inilah alasannya bergelut dengan botani, zoologi atau bahkan mungkin politik. Dia memaksakan logika formal pada semua realitas. Dia ingin membuktikan logika formal melalui realitas.
Penerapan logika formal pada zoologi, botani, politik dan sebagainya banyak mengalami kekeliruan bila ditinjau melalui analisa saintifik. Sistem logika Aristoteles memang menjadi pembantu yang sangat penting bagi ilmu pengetahuan. Namun logika tidak dapat diterapkan langsung pada fenomena realitas. Tetapi logika tepatnya diterapkan untuk menyusun konsep yang dapat diterapkan sebagai acuan dasar untuk menganalisa realitas. Logika adalah fondasi epistemologi. Epistemologi untuk diterapkan pada penyusunan teori sebagai bekal penelitian.
Untuk memahami tujuan konseptualisasi pengetahuan Aristoteles yang kaku (baca: formal) itu, cara pandang kita harus sedikit tidak kaku. Sistem logika yang diterapkan Aristoteles adalah aksioma yang harus menjadi landasan segala teori. Supaya aksioma dapat dicapai, diperlukan penjelasan. Penjelasan ini disebut sebagai kausalitas. Kausalitas atau sebab-akibat dalah bahasa Yunani disebut 'aitia' yang juga berarti 'penjelasan'.
Suatu dasar teori pengetahuan untuk dibuktikan validitasnya diatur oleh Aristoteles melalui kausalitas. Kalau menterjemahkan maksud Aristoteles secara kaku, maka yang terjadi adalah tasalsu atau ad infinitum, yaitu penjelasan yang berputar-putar lalu kembali seperti rantai. Untuk itu, kita harus memahami bahwa 'aitia' yang dimaksud Aristoteles bukanlah perjelasan yang menyebabkan pembuktian aksioma menjadi melinting. Tetapi yang ia maksud adalah menemukan esensi daripada suatu aksioma. Esensi yang dimaksud di sini adalah menemukan unsur dasar pembentuk suatu terma yang mana bila esensi ini dilepas, maka runtuh segala eksistensinya. Misalnya terma 'manusia' ketika dijelaskan menjadi 'hewan yang berfikir'. Maka tentang 'manusia' yang menjadi esensi adalah 'berfikir'. Sebab bila tiada berfikir, sama sekali bukan manusia. Esensi juga hanya berlaku pada kekhususan (differensia) yang menjadikannya berbeda dari suatu keumuman (genus)di atasnya.
Bila berusaha membuktikan suatu aksioma bukan dengan cara berusaha menemukan esensinya, maka yang terjadi adalah tasalsul. Misalnya 'sapi'. Dijelaskan sebagai hewan bertandu. Ditanya lagi kenapa bertanduk. Dijawab karena giginya terbatas. Ditanya kenapa giginya terbatas. Dijawab karena perutnya ada empat. Ditanya lagi kenapa perutnya empat. Dijawab lagi karena giginya terbatas. Ditanya lagi kenapa giginya terbatas. Dijawab lagi karena perutnya empat. Cara begini tidak membuktikan apapun tentang sapi.
Bagi sistem Aristoteles. Aksioma harus menjadi universal karena dengan demikian penjelsan pengetahuan dapat dilanjutkan. Oleh karena itu, baginya universalia tidak dapat punah karena itu darinya adalah esensi.
Sebelum dapat menemukan esensi sesuatu (thing/syay'i). Kita harus menemukan kepastian sesuatu. Sesuatu yang dimaksud haruslah tidak dapat dipisahkan dan mempunyai kemandirian. Ketika sesuatu telah ditemukan, maka dirumuskanlah kategori kepadanya. Dalam filsafat aristoteles, kategori ada sepuluh. Salahsatunya adalah substansi, yang merupakan dasar dari sesuatu. Dasar yang dimaksud adalah sesuatu yang bukan penyamatan/tempelan. Sembilan lainnya adalah kuantitas, kualitas, relasi, tempat, waktu, kondisi, kepemilikan, aktif dan pasif. Kesembilan insiden adalah predikat daripada subjeknya yaitu substansi.
Aristoteles menyusun teori seperti ini diinspirasikan dari para pendahulunya. Para pendahulunya ini ada yang menyataka, misalnya air atau api sebagai substansi semesta. Namun oleh Aristoteles menganggap air atau api adalah 'sesuatu' sehingga bukanlah substansi sebab air maupun api daat diberi kategori juga. Demikian pula Aristoteles tidak tertarik menjadikan atom, sebagaimana gagasan Herakleitos sebagai 'sesuatu' karena tidak bisa didemonstrasi. Dia juga menyanggah teori angka Pythagoras. Menurutnya angkat tidak dapat diterapkan sebagai 'sesuatu' karena angka tidak berhubungan dengan benda konkrit. Aristoteles juga menolak konsep Plato. Plato menyatakan sesuatu yang konkrit berasal dari yang abastrak yang tidak berhubungan dengan sesuatu yang konkrit. Aristoteles berpendapat sebaliknya. Sesuatu yang abstrak menurutnya adalah diambil dari yang konkrit.
Penentuan substansi adalah yang terpenting dari penentuan sembilan kategori lainnya. Bila telah dapat ditentukan kesepuluh kategorinya, barulah 'sesuatu' dapat disahkan.
Sesuatu pada dirinya adalah akibat sekaligus menjadi sebab. Artinya, sesuatu tersebut adalah aktualitas dari potensi sesuatu yang lain sebelum menjadi sesuatu. Dan sesuatu itu adalah adalah potensi untuk menjadi sesuatu yang lain. Hal ini terjadi karena setiap sesuatu yang semuanya berada di dalam ruang dan waktu mengikuti hukum gerak. Dalam sistem Dalam filsafat Aristoteles, gerak terjadi karena tiga faktor yaitu, penggerak, aktivitas pergerakan dan objek yang bergerak. Objek yang bergerak terjadi dalam empat kategori. Pertama adalah substansi. Yang menjadikan sesuatu mengada dan musnah. Misalnya sebuah patung yang mengada bila dipahat dan musnah ketika dihancurkan. Kedua adalah kualitas. Misalnya lilin yang berubah menjadi cair bila panas dan membeku bila dingin. Ketiga adalah kuantitas. Misalnya sebuah pohon yang tumbuh. Keempat adalah tempat.
Bagi Aristoteles, aktualitas harus mendahului potensialitas. Karena setiap yang aktual haruslah adalah sebuat potensi bagi aktualitas sesuatu yang lain. Materialitas dan bentuk adalah bagian dari substansi yang berarti bila berubah, maka otomatis sesuatu menjadi sesuatu yang lain. Namun hal ini akan sulit diterima oleh sains modern karena kemampuan mereka menyelidiki materi lebih dalam. Namun segala konsep yang disusun Aristoteles tidak perlu dilihat dari perspektif sains. Maksud dan tujuan Aristoteles adalah untuk menyusul logika formal. Dia ingin menentukan 'sesuatu' berdasarkan kualifikasi kategori.
Sesuatu bukanlah sesuatu yang lain. Ini adalah prinsip identitas non kontradiksi. Sesuatu tidak dapat menjadi sesuatu yang lain pada waktu bersamaan.
Dengan mengamati penjelasan konsep geraknya, maka dapat diketahui bahwa tiapa sesuatu hanya mungkin ada, tidak adan dan mungkin (berpotensi) mengada. (Bambang Q-Aness & Radea Juli A. Hambali, Filsafat untuk Umum, Jakarta: Kencana, 2003, h. 196)
Aristoteles menuai banyak kritik akibat kekeliruannya dalam menyahikan contoh-contoh. Tanpa memberikan contoh memang penjelasan logika akan semakin sulit. Namun contoh juga sangat sering menyesatkan pemahaman. Seperti dalam teorinya tentang kausalitas. Aristoteles menuai banyak sekali sanggahan.
Sesuatu yang mengada dipastikan memiliki sebab. dalam filsafat Aristoteles, ada empat jenis sebab. Pertama adalah sebab materi. Sebab ini adalah untuk menjelaskan keberadaan sesuatu. Misalnya patung terbuat dari perunggu. Kedua adalah sebab formal. Sebab ini untuk menjelaskan keadaan sesuatu. Misalnya gerhana matahari karena bulan menutupi. Ketiga adalah sebab efesien, yaitu sebab yang membedakannya. Misalnya anak berbeda dengan ayah. Sebab keempat adalah sebab final. Sebab ini dapat dijelskan secara formal namun akan menimbulkan banyak sanggahan ketika contohnya diterapkan. misalnya orang berjalan supaya/agar/demi sehat. Sehat ini hanya berada dalam estimasi pikiran dan sebabnya diterapkan pada kondisi material menyebabkan banyak kritik muncul. Karena 'supaya', 'agar' dan 'demi' hanyalah sasaran penerapan. Dengan keadaan ini, Aristoteles sendiri terpaksa menerima bahwa banyak akibat di alam tidak dapat ditentukan sebabnya. Hal ini karena ketergesaan Aristoteles memaksakan hukum pikiran diterapkan pada alam. Memang eksistensi yang ada dalam pikiran dengan eksistensi pada realitas material memiliki perbedaan.
Alasan lainnya karena Aristoteles sedang merintis sebuah sistem berfikir yang dapat menghapus mitologi.
Menurut Aristoteles, pengetahuan bersumber dari persepsi. Namun persepsi bukanlah pengetahuan. Pengetahuan itu sendiri adalah realitas empiris. Perdebatan ini adalah tentang sumber mana yang lebih primer antara pengindraan dengan pemikiran. Sebagian kalangan menklaim bahwa observasi indra adalah lebih primer daripada konsepsi pikiran. Sebagian lagi sebaliknya menganggap konsepsi pikiran adalah lebih primer daripada obserfasi indra. Aristoteles sendiri sebagai seorang logikawan menyatakan bahwa sebaik apapun indra mengobserfasi sesuatu, tetapi keputusannya tetap bergantung pada persepsi pikiran. Namun sebagai seorang ilmuan yang melakukan observasi, dia tidak dapat menerima persepsi pikiran. Sebab pikiran atau persepsi sering keliru memberi keputusan atas observasi yang sifatnya konkrit sementara pikiran mengenal sesuatu melalui abstraksi umum.
Sekalipun filsafat yang dibangun Aristoteles seluruhnya adalah untuk mengganti mitos dengan akal sehat, namun dia juga sangat menghargai warisan yang telah ditinggalkan tradisi Yunani itu. Tampaknya Aristoteles sadar walau bagaimanapun filsafat yang ia bangun adalah termasuk dalam alur sejarah yang dalam hal ini sejalan dengan tradisi mitos sebelumnya.
Dalam tradisi mitologi Yunani, substansi segala sesuatu adalah dewa. Dewa ini secara maknawi berada di atas segala materi, selanjutnya pemahaman 'di atas' dirubah menjadi benda-benda yang ada di langit seperti bintang, bilan, planet, komet, matahari dan lainnya.
Aristoteles dalam studi astronominya berusaha membuktikan bahwa benda-benda langit itu adalah seperti mineral, tumbuhan dan hewan yang ada di bumi juga. Dalam filsafatnya, Aristoteles berusaha menjelaskan substansi setiap sesuatu selain materi dan bentuk, juga jiwa.
Jiwa yang dalam bahasa Yunani adalah 'psuche' berarti adalah sesuatu yang menggambarkan karakteristik dari sesuatu. Tingkatan jiwa yang diklasifikasi Aristoteles adalah menurut karakteristiknya. Nabati sifatnya membutuhkan makanan dan bergerak tumbuh. Hewan selain membutuhkan makanan dan gerak tubuh juga melakukan gerak perubahan tempat dan berpersepsi. Dan manusia selain memiliki apa yang dimiliki hewan dan tumbuhan juga memiliki pikiran. Jadi antara tumbuhan, hewan dan manusia berbeda tingkatan jiwanya.
Bagi Aristoteles, jiwa dengan raga adalah organik. Karena itu adalah hal yang salah ketika mencoba membedakan atau menyamakan (karena tidak berbeda) antara jiwa dengan raga. Baginya jiwa dipelajari melalui aktualitasnya pada raga. Aristoteles tidak sependapat dengan pandangan Plato yang menyatakan jiwa telah mengada sebelum adanya raga dan tetap akan kekal setelah raga musnah.
Bila kita telah dapat memaklumi sikap Aristoteles antara sistem logika formal yang ia susun lalu dia mengira dapat diterapkan pada observasi saintifik, maka kita akan memaklumi pandangannya tentang sistem kerja jiwa dalam kegiatan intelektual baik dalam penalaran maupun imajinasi. Aristoteles mengakui tindakan intelektual bukanlah tidakan material tetapi tindakan jiwa namun objek kegiatan tersebut adalah material. Untuk mengatasi persoalan ini, Aristoteles membedakan antara intelek aktif dengan intelek pasif.
Intelek pasif bertugas menerima segala informasi dari benda. Sementara itu intelek aktif bertugas melepaskan bentuk lalu mebstraksi informasi itu. (Filsafat untuk Umum, h. 200). Mengabstraksi menurut Aristoteles adalah melepaskan kekhususan menuju keumuman. Menurutnya, intelek aktif ini sifatnya kekal.
Dengan cara ini, Aristoteles menyusun prinsip logika yang disebut silogisme. Dari kekhususan dicari esensi yang berupa keumuman. Kekhususan disebut premis minor dan keumuman disebut premis mayor. Dari kedua hal ini ditarik sebuah kesimpulan.
Cara ini merupakan prinsip penentuan identitas (A adalah A) yang dapat menunjukkan kontradiksi (A bukan bukan A) sehingga dapat menolak kesalahan penyimpulan. Sistem ini juga dapat dipakai untuk menjelaskan sesuatu sebagai aksioma.
Banyak sekali komentator Aristoteles yang menyusun argumentasi dengan mengatasnamakan Aristoteles namun bila ditelisik, maka pandangan mereka itu berbeda jauh dengan nama filosof yang mereka jual itu. Hal ini biasanya terjadi karena justifikasi buah pikir Aristoteles dilakukan karena kurangnya kedalaman penelitian. Hal ini menyebabkan kosakata yang yang dipakai Aristoteles dimaknai berbeda.Persoalan lainnya karena mengetahui buah pikir Aristoteles melalui komentatornya.
Diantara sekian banyak kosakata yang membuat komentatornya berkesimpulan berbeda dengan maksud Aristoteles sendiri misalnya teologi. Kata yang dimaknai sebagai 'teologi' yang dipakai Aristoteles adalah 'telos' yang sebenarnya bermakna 'sasaran'. Makna ini sesuai dengan uraian Aristoteles yaitu tentang kondisi makhluk hidup. Menurut Aristoteles, segala makhluk hidup sesuai antara konsumsi, bentuk fisik dan tingkah lakunya. Semua kesesuaian ini memiliki sasaran finalnya. Sasaran final ini harus ada supaya tidak terjadi tasalsul dalam penjelasan (atau menyusun sebab-akibatnya).
Pembahasan Aristoteles mengarah secara spesifik tentang manusia. Dia menjelaskan bagaimana pola hidup manusia pula harus disesuaikan dengan kondisi lingkungannya. Manusia memiliki kelebihan berupa intelek. Intelek ini harus dioptimalkan dalam rangka penyesuaian diri dengan lingkungan.
Dalam bersosialisasi, menurut Aristoteles, manusia harus memiliki prinsip kebebasan. Karena itu, satu individu perlu memberikan ruang kapada individu yang lain supaya memiliki kebebasan. Sebagian peneliti menganggap Aristoteles tidak berpendapat demikian karena dia mendukung perbudakan. Padahal yang dimaksud Aristoteles adalah, dia mempercayai adanya satu orang bekerja kepada yang lain.
Baginya, dalam urusan kepentingan bersama, harus dibuat sebuah kesepakatan bersama. Keputusan bersama inilah yang disebut sebagai undang-undang.
Aristoteles juga memberi perhatian khusus terhadap sains praktis. Sains praktis yang dia maksud adalah seni. Seni bisa merupakan karya tangan seperti pertukangan dan seni pahat. Sementara seni tulis adalah sastra. Menurutnya, sastra harus mampu menggugang emosi sekaligus memancing nalar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar