Link Download

Selasa, 31 Maret 2015

Jalan Sufi I


Bismillahirrahmanirrahim
Dari mana, untuk apa dan akan kemana saya ini adalah pertanyaan primordial yang muncul pada diri segenap insan. Memang berbagai jawaban disodorkan, baik oleh sastra, filsafat maupun teologi agama. Jawaban dari agama biasanya diberikan kepada masyarakat tradisional dan jawaban filosofis biasanya diberikan kepada masyarakat modern. Kedua jawaban ini tampaknya tidak mampu memuaskan batin banyak orang karena sifatnya yang parsialistik. Sekalipun teologi agama mengakui dirinya tidak parsial dengan mengklaim jawaban yang diberikan adakah melalui firman suci, tetapi tetap saja jawaban mereka telah dikonstruksi dengan penalaran yang tentunya, seperti filsafat, bersifat paraialistik. Sementara karya sastra memiliki tingkatan beragam tergantung penggubahnya. Singkatnya, sastra tidak dapat dipastikan bersumber dan berorientasi pada kebenaran sejati. Padahal, batin manusia menginginkan suatu kebenaran sejati. Kebenaran dimaksud adalah suatu realitas yang tidak bersegmen dan tidak mungkin beragam. 
Ketika terlahir ke atas dunia ini, manusia mengandalkan penalarannya dalam penyesuaian hidup supaya dapat bertahan. Seiring dengan pengandalan penalaran ini, umumnya manusia menjadi yakin bahwa nalar sebagai sandaran adalah satu-satunya kebenaran. Karena itu, ketika jiwa yang berada di luar penalaran mengalami masalah sebab perkembangan atau gerak naiknya terhalang, pikiran yang tidak mampu memenuhi kebutuhan jiwa dipaksakan melakukannya, maka yang terjadi adalah keresahan yang semakin menjadi dan kekacauan pikiran. Sejatinya, pikiran hanya mampu mengatur kebutuhan-kebutuhan material manusia sebagai fasilitas dalam bertahan hidup. 
Pikiran harus selalu berada pada sistem yang benar. Pikiran memiliki hukumnya sendiri. Hukum ini harus selalu ditaati supaya pikiran dapat terus menjadi sebagai turunan dari Akal Aktif. Perlu ditegaskan, pikiran yang dimaksud ini bukanlah objek pikiran. Bagi pikiran yang berada pada hukumnya, maka akan menghantarkan kepada kesadaran yang tidak melibatkan penalaran. 
Berbarengan dengan ini, segenap jasad juga memiliki hukum yang perlu diikuti. Hukum ini disebut dengan syariat. Dengan mengikuti syariat, kita akan sampai kepada jalan (tariqah) yang mengarah kepada Kebenaran Mutlak (haqiqah) yang dengannya Pengetahuan Mutlak (ma'rifah) dicapai.
Bila telah mencapai status ma'rifah, segala amalan dan objek yang dipikirkan akan menjadi pancaran daripada sumber Pengetahuan. Pikiran tidak akan disibukkan dengan penalaran sesat dan amalan hanya tentang yang sesuai dengan arahan Ilahi. 
Adalah sangat mustahil segolongan orang yang mengakui tidak akan beribadah kepada Allah sebelum mengenal Dia. Padahal segenap ibadah itu adalah dalam rangka menuju pengenalan. 
Bagi kaum sufi, kehidupan ini adalah tidak nyata. Analoginya seperti mimpi. Karena itu seseorang yang ingin menyadari kehidupan sesungguhnya harus berhenti bermimpi dan bangun dari tidurnya. Karena itu, seseorang harus keluar dari realitas kehidupan ini bila ingin berada pada realitas alam sesungguhnya. Dari ini, kaum sufi mengajarkan mati sebelum mati. 
Maksud dari ajaran mati sebelum mati adalah melepaskan diri dari segala ketertarikan terhadap alam ini. Menjadi Manusia adalah tidak menjadi siapa-siapa. Menjadi Manusia adalah melepaskan diri dari segala ketertarikan, menghilangkan semua kebutuhan. 
Bila bebek berselaput dan ikan bersirip, itu digunakan untuk berenang. Kalau elang dan rajawali bersayap lebar, itu untuk terbang. Demikian segala struktur fisik manusia tiada lain bentuknya adalah untuk beribadah. Volume otak yang besar dimiliki manusia bukan untuk apapun kecuali menangkap nilai keagungan yang dipersembahkan oleh indra-indra yang sangat ideal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar