Link Download

Jumat, 10 Desember 2010

Malam yang Seksi

"Emang yang di FB itu puisi abang, ya?"

Eih, dia ngajakin aku ngobrol. Berbunga-bunga hatiku. Dia mirip Hanil, temanku di Aceh. Ah, tapi jenis kelaminnya kan perempuan. Sejelek apapun perempuan, ya tetap perempuan.

Bayangkan kalau semua manusia dimatikan semua, kecuali kamu dan seorang perempuan di ujung dunia satunya lagi, perempuan paling jelek di muka bumi, tetap hidup. Kamu pasti lebih memilih hidup sendiri saja meskipun Tuhan memandatkan kamu mencarinya untuk agar melahirkan manusia-manusia lag,i agar ada lagi peradaban, apa lagi setelah kau mengetahui dia wanita paling jelek. Kamu pasti tidak mau repot-repot mencarinya. Ah, kamu pasti tidak mau seperti Adam.

Namun kerinduanmu akan manusia yang banyak, sebuah masyarakat, sebuah peribadatan atau sebuah kejahatan massal akan memotifasimu mencarinya. Kamu ingin melihat lagi perampokan, orang-orang dalam jumlah besar naik haji. Maka kau putuskan mencari wanita jelek itu, setidaknya untuk melanjutkan peradaban dan meneruskan kembali sejarah. Stelah menjumpainya, pasti dia adalah wanita paling cantik saat itu.

Setidaknya Eka Setiawati punya suara syahdu, bibir tipis.

"Lihat saja wajahnya secara seksama. Hitam" Kata Komandan.

"Ah, hitam manis" otakku membantah.

"Pendek"

"Ah, tidak pendek-pendek amat"

"Tembem"

"Aih, lesung pipit"

"Boneng"

Komandan terlalu memprofokasi.

"Eka, abaikan Komandan kita. Kita akan hidup berdua selamanya di sebuah pulau. Kita berdua saja" Untunglah dia tidak mendengar otakku yang ngeres itu.

"Jadi bener yang di FB itu karya abang sendiri". Eka mengejutkanku dari lamunan.

"Aih, dek Eka. Sampai hatinya engkau mengejutkan abangmu ini. Padahal kita kan sedang mengajari anak Laki-laki kita menyabutkan kata 'mama', 'papa', di sebuah pulau dimana hanya kita bertiga manusianya." Otakku kegatelan.

"Benar, saya sendiri yang menulisnya. Ada apa?" Aku mencoba seanggun dan sewibawa mungkin dihadapannya sembari berharap jawaban Eka begini:

"Waw, luarbiasa sekali puisinya. Mau dooong" Dan kalau bisa 'o'nya lebih banyak lagi.

Atau begini:

"Menakjubkan, saya suka sekali. Saya menjadi penggemar setiamu" katanya anggun.

Tapi ternyata dia diam saja. Ingin agar dia terus bercakap-cakap denganku, aku melanjutkan bicara.

"Kalau mengutip milik orang lain, harus mencamtumkan sumbernya." Eka diam tidak berminat. Aku terus berusaha.

"Plagiat itu seperti mengambil suami orang tanpa diketahui istri pertamanya."

Eka tertawa lebar, girang,bahagia, memukul pundakku sambil berkata "Selain pandai buat puisi, kamu humoris juga, ya." Tapi itu hanya lamunanku. Ketika kulihat ternyata Eka sudah ngorok.

Aku sadar aku terlalu jelek untuknya.

>>>>>>>>>>>>>

Gedung itu berlantai dua puluh lima. Kami naik ke lantai sembilan belas. Kubayangkan kalau lantai itu dinaiki melalui tangga. Pasti akan ada aksi besar-basaran dari karyawan menuntut kenaikan gaji tiga kali lipat.

Orang yang hendak ditemui adalah mantan ketua umum PII Yogjakarta. Tidak menarik berbicara tentang dia dan isi percakapan dengannya. Aku terpesona dengan posisiku saat ini. Lantai sembilan belas! Mungkin ini kali pertamaku berada di tempat paling tinggi. Waktu selesai shalat maghrub aku melihat pemandangan malam kota Jakarta. Begitu indah. Kulihat kemacetan di jalan. Aku membayangkan diriku menjadi gubernur DKI:

Aku menemukan bahwa penyebab utama kemacetan ada dua, pertama persentase jalan tidak sesuai dengan luas area dan jumlah kendaraan. Kedua karena masyarakat memiliki sesuatu sebelum waktunya.

Ketika itu aku memutuskan dua mega proyek dalam masa jabatanku untuk menuntaskan persoalan runyam Ibu Kota negeriku. Pertama aku tutup semua lembaga perkreditan. Kedua, kubangun jalur kereta api segala jurusan dalam Ibukota. Kereta api ekonomi semuanya.

Kereta api ekonomi?

Aih, kawan, kesekiankalinya kukatakan padamu aku mencintai kereta api ekonomi karena seribu alasan. Naik kereta api ekonomi bisa menghemat uang anda lebih seratus persen.

Di sebuah ruang kerja kantor itu aku menemukan para karyawan harus bekerja menggunakan komputer dari pagi hingga malam tiba. Kulihat wajah mereka lembab, badan lesu dan otot-otot mereka persis seperti rumput dijepit terpal tiga hari tiga malam. Duh, betapa alat elektronik yang menjanjikan kemudahan bagi manusia ternyata sekaligus memberi beban bagi mereka.

Melihat kondisi karyawan hingga direkturnya aku jadi semakin enggan untuk memasuki dunia yang seperti ini. Aku membayangkan kehidupan di desa: bayak suara burung, rumah kayu, sejuk dan alami.

Awalnya aku menduga setiap gedung-gedung yang tinggi di Jakarta dimiliki oleh satu perusahaan saja. Ternyata banyak gedung kantor di sini seperti apartemen saja: dikontrak oleh bayak perusahaan yang bergerak di berbagaimacam sektor.

Turun dari tempat tertinggi yang pernah kudatangi, aku dan ketua langsung berhambur ke trotoar jalan raya. Kondisi udara yang spontan berbeda membuat badanku terkejut. Kami kembali menjadi rakyat jelata sebagaimana mayoritas masyarakat Indonesia dengan menunggu angkutan umum, minum di trotoar dan menaiki angkutan umum yang sangat padat dan sesak. Tadinya di dalam gedung tinggi itu aku merasa seperti orang kaya, mewah dan elegan. Keluar dari gedung tidak hanya mengejutkanku karena suhu udara yang berubah derastis. kondisi mental berubah derastis pula.

Di dalam angkutan umum yang kami tumpangi lebih banyak jenis kelamin perempuan daripada laki-laki. Pemandangan ini membuatku miris. Yang lebih menyedihkan lagi kebanyakan dari mereka muda-muda

Akalku bersabda:

Kalau saja Islam tegak di negeri ini maka perempuan-perempuan itu takkan berada di sini sekarang: Mereka sedang bermanja-manja di pangkuan suami mereka. Menonton TV bersama sambil memegang raket pemukul nyamuk. Atau mereka telah berada di ruang surga sedang membina istana cinta.

Akalku melanjutkan:

Kasihan mereka. Mereka hidup dalam kebodohan akibat pembodohan. Bukan masalah perempuan tidak boleh setara laki-laki, masalahnya mereka harus melakukan yang tidak selayaknya diperbuat.

Tidak kusadari mataku basah.

Otakku yang senantiasa cabul kini berusaha rasional:

Mereka keluar rumah pastilah bersolek. Gaji keluar rumah secukupnya untuk makan, selebihnya untuk membeli pakain norak dan aneka macam peralatan kecantikan.

Otakku tidak keliru. Kalau saja segala sistem Islam diterapkan, maka wanita-wanita itu tidak perlu terlihat berkeliaran setiap malam dengan pakaian setengah telanjang. Orangtua mampu mensejahterakan anak gadisnya dan suami dapat memenuhi segala macam kebutuhan istrinya.

Jalan kaki di kota besar seperti ini tidak terlalu melelahkan meski jauh perjalanan yang ditempuh sebab banyak hal yang bisa dilihat: Kendaraan-kendaraan yang sesak di jalan, orang-orang pulang kerja berlalu-lalang, gedung-gedung tinggi bermandi cahaya dan para pedagang kaki lima yang sibuk menjajakan dagangannya.

>>>>>>>>>>>>>>>>>>

Kami kembali menjadi orang kaya ketika memasuki sebuah gedung yang lebih tinggi dan lebih mewah dari yang tadi. Setelah menjadi orang miskin papa berjalan kaki dan naik angkutan umun penuh-sesak kini mental kami berubah derastis. Bahkan lebih elegan dari saat berada di gedung perkantoran tadi.

Tas di gegedah, HP dititipkan dan badan melewati lingkaran pendeteksi logam. Berjalan beberapa meter, kami belok kanan. Sebelah kanan ada eskalator otomatis: Eskalator itu baru hidup apabila terdeteksi ada sesuatu mendekatinya. Saat turun dari kembali untuk buang hajat setelah acara usai, aku turun terburu-buru. Eskalator jadi tak mampu mendeteksi kehadiranku. Aku turun secara manual. Setelah aku menjauhinya, eskalator itu membunyikan alaramnya. Aku tak peduli. Beberapa sekuruti panik dan bersigap.

Di lantai dua tepat di hadapan eskalator telah berdiri meja pengisian daftar hadir para tamu. Di balik meja duduk dua orang gadis cantik penerima tamu. Keduanya berkaus putih lengan pendek. Salah-satu diantara keduanya agak menarik perhatianku. Cantik: kulitnya putih bersih, bentuk keseluruhan wajahnya seperti Preety Zinta-meski hidungnya lebih pesek. Bibirnya yang merah jambu tipis dan kecil dimerah kan dengan lipstik. Melihatnya, otakku ambil kendali. " Aku ingin hidup bersama dengannya dua atau tiga tahun. Dan kalau kesannya begitu mengesankan, bolehlah ditambah tiga tahun lagi." Ketua yang kukagumi karena kecerdasan dan luasnya wawasan dimiliki ternyata menatap agak lama Preety Sunda itu.

Awalnya kami berdiri bersama beberapa orang lainnya dekat-dekat dinding. Melihat dua kursi menganggur di tempat yang agak berjauhan, serentak, aku dan ketua menerkamnya. Bedah buku "Kenapa Harus Sri Mulyani" berada di ruangan yang begitu mewah. Semua meja adalah meja makan bentuk lingkaran. Semua meja dan kursi ditutup kain putih. Suasana seperti ini hanya pernah kulihat di TV.

Pembawa Acara terkenal yang juga sebelumnya hanya pernah kukenal melalui TV kini duduk di hadapan para hadirin. Dia terlihat lebih gemuk secara langsung. Dia memang sangat ahli dalam mengendalikan forum. Yang membuatku sakit hati padanya adalah ketika berjalan dia meletakkan kedua tangannya di kedua sisi pundak seorang gadis. Dia berjalan di belakang gadis itu. Bajinya putih juga. Gadis itu dijadikannya sebagai tongkat.

"Kurang ajar. Seorang perempuan cantik yang layak menjadi teman hidup, setidaknya satu atau dua tahun, baginya dijadikannya sebagai tongkat saja." Otakku naik pitam.

"Ini adalah penghinaan bagimu. Bayangkan, seorang perempuan yang dapat menjadi penopang gundah kala gelisah, pengobat lara ketika resah bagimu, baginya hanya sebagai sebatang kayu saja sebagai alat bantunya berjalan". Otakku semakin membuatku geram. Dia melanjutkan pua.

"Lihat dirimu, tidak jelek-jelek amat. Kau punya hidung yang mancung dan tinggi yang layak. Meski kau sedikit kurus namun hitammu adalah hitam manis."

Dia menambahkan:

Bandingkan dengan laki-laki gendut itu. Badannya seperti labu, perutnya seperti bola, rambutnya seperti mie Sakura, hidungnya seperti bola tenis meja. Pokoknya dia tidak punya satupun untuk dibanggakan apalagi bersaing denganmu.

Selanjutnya:

Hidup memang tidak adil.

Aku benar-benar naik pitam. Kalau bukan karena menunggu makanan yang semuanya asing dan semuanya kelihatan lezat dan acara makan akan segera di mulai dan karena ruangan ini sejuk bukan main, maka kupastikan marahku akan memuncak dan aku akan mengatakan pada seluruh para hadirin seperti yang diucapkan oleh otakku. Seluruhnya, tidak satu katapun akan kulewatkan.

Tapi memang perut lebih berpengaruh daripada bawah perut. Begitu melihat para hadirin pelan&pelan bergerak ke arah meja makan, aku bergegas kesana. Kuraih sebuah pring batu bewarna putih yang ukurannya lebih besar dari biasanya. Aku bersumpah bahwa saja sebelumnya aku pernah berhadapan dengan menu seenak ini seumur hidupku. Aneka lauk, aneka rasa kuhamburkan saja ke atas piringku. Kukatakan "ke atas" bukan "ke dalam", bukan karena aku keliru memilih kata, kawan, tapi karena piring itu memang sangat datar.

Aku meraih kembali tempat tadi. Dihadapanku sudah ada segelas air bening di dalam gelas yang bentuknya hanya bisa kutemukan di rumah orang kaya-kaya. Itupun hanya terlihat pada hari raya. Disebelah kananku tergeletak sebilah pisau dan sebelah kiri sebuah sendok maka. Aku berfikir apa hubungannya pisau dengan makan. "Apakah kita harus memakan pisau terlebih dahulu baru boleh makan makanan enak." Otakku selain jorok juga bodoh. Namun otakku berusaha membela diri. "Ini semacam sebuah pengorbanan, boi. Bukankah orang barat bilang 'No free lunch'." Tapi ini makan malam, bos.

Usai menyamtap makanan yang kelezatannya hanya mampu diimbagi kuah ikan tongkol masak Aceh masakan ibuku, aku bergegas menuju meja dekat tempatku mengambil nasi tadi. Disana aku meraih sebuah piring yang meski berbentuk sama seperti piring nasi tadi, namun ukurannya lebih kecil. Secangkir keci makanan (entah ini layak disebut makanan atau lebih cocok disebut minuman) kutaruh di atas piring. Lalu disusul potongan buah buahan mahal seperti anggur, stroberi, melon dan semangka mendarat di piring itu. Kadang aku menyesah kenapa piring untuk makanan pencuci mulut ini begitu kecil. Ingin rasanya aku mengambil piring nasi saja untuk mengisi kue-kecil dan potongan buah agar muatannya lebih banyak.

Makanan yang ada dalam gelas kecil di hadapanku lebih menarik perhatianku karena itu kudahului. Gelas itu lebih kecil tiga kali daripada gelas kopi standar. Isinya cuma separoh. Terdapat empat lapis. Lapisan paling atas adalah coklat kering. Ditengahnya dicokolkan sesuatu mirip koin. Kuyakin koin itu dipancangkan sebelum coklat kering. Koin putih itu rasanya sangat manis. Aku sayang koin ini karena rasanya yang dahsyat. Saking sayangnya, aku hanya menghisapnya, menyemutnya. Makanan imut ini sangat sayang bila harus digigit.

Pelan-pelan aku mencomot coklat di lapisan teratas dengan sendok yang lebih kecil dari sendok teh. Rasa coklat itu tujuh ratus kali lebih enak daripada coklat Conello. Setelah coklat habis, lapisan kedua bewarna putih. Awalnya kukira ini adalah coklat putih atau krim. Tapi ternyata dianya adalah agar-agar. Agar agar ini jauh lebih enak dari biasanya, lebih manis dan lebih lezat daripada agar-agar bikinan kakakku di bulan Ramadhan. Lapisan ketiga dan keempat rasanya hanya sedikit berbeda dengan yang kedua.

Setelah menghabisi isi aneh dalam gelas itu dan menghabiskan semua potongan buah di atas piring di hadapan ku, aku kembali mengambil segelas lagi. Kutawarkan pak ketua "Lagi, bang" "enggak, ah. Nek" jawabnya. Aku menyempatkan diri mengambil empat potong pisang goreng merah.

Aku membayangkan Prabowo jadi presiden dan Sri Mulyani sebagai wakilnya. Sebuah kombinasi yang hebat: Militer dan ekonom. Bukankah ekonomi dan militer adalah penopang utama sebuah negara.

"Tidak mungki. Ekonomi yang dibangun prabowo itu ekonomi kerakyatan. Sementara Sri Mulyani itu ekonomi kapitalis." komentar ketuaku. Tapi kukira itu sanggahan yang kurang tepat. Kombinasi kedua sistem ekonomi ini malah akan lebih menjami kesejahteraan ekonomi rakyat dan negara di masa depan. Sumpah bukan kampanye: Aku menaruh keyakinan Indonesia ditangan Prabowo akan merubah nasib bangsa ini dimasa depan. Melalui Prabowo Indonesia akan menjadi negara paling hebat di dunia dibawah India.

Setelah keluar dari gedung mewah itu aku dan ketua nyantai dulu tepat di tengah jalan di jembatan penyeberangan. Selain sebagai jembatan penyeberangan, jembatan ini berfungsi sebagai juga sebagai jalur akses menuju halte busway yang semuanya terletak di trotoar pembatas jalan dua jalur.

Aku permisi sebentar kembali kegedung mewah tadi untuk keperluan hajat. toilet yang paling bersih dan mewah yang pernah kumasuku, seingatku adalah toilet bioskop 21 di Taman Ismail Marzuki. Toilet di bandara Soekarno-Hatta kalah. Tapi toilet di gedung ini tidak kalah elegan. Selesai buang hajat aku kebingungan mencari air bersuci dari hadas besar. Setahuku di toilet kantor MUI pusat, yang juga mewah, punya selang besi di sampingnya. Aku kebingungan. Aku berdiri tepat menghadap kloset. mempreteli apa yang bisa dipreteli agar air untuk menyucikan yang saat ini harus disucikan. Aku menemukan semacam tombol sebelah kanan kloset. Kutekan, tak bisa. Aku coba memutar.

Tiba-tiba keluar benda putih dari dalam lobang kloset, persis bentuk alat lelamin anjing jantan. Tanpa permisi langsung alat kelamin anjing itu menyemprot sekujur tubuhku. Seluruh pakaianku basah. CD yang masih belum berada di tempatnya ikut menjadi korban keganasan teknologi super aneh itu.

Aku menyerah. Kuputar ke arah berlawanan. Alat kelamin itu mengundurkan diri. Aku dapat ilmu baru. Ini sangat bermanfaat bagi masa depanku. Aku kembali ke posisi tekun buang hajat. Kuputas kembali benda di sisi kanan kloset tadi. "Cruuuuuut". Aduh, nikmat bukan mainan. Ternyata alat kelamin yang sempat kuhujat tadi sangat cerdas. Dia mampu menyemprotkan air tepat sasaran. Menusuk. Tidak meleset. Alat ini jauh lebih cerdas dariku. "hahaha, alat itu seribu kali lebih cerdas daripada seorang mahasiswa pascasarjana Konsentrasi Pemikiran Islam. Hahaha." Otakku membuatku geram sekaligus malu. Keluar toilet aku kembali pasang wibawa." Ini gedung elegan, pak" bunyi otakku. Kebasahan? Aku tak peduli. Aku sudah mempersiakan seribu alasan yang sulit untuk tak dipercaya kalau-kalau ada yang menanyai mengenai keadaanku. Ternyata tak ada yang peduli. "Lagi pula ini gedung mewah, pak. Kau telanjang bulat sekalian, melenggang di dalam gedung ini. Takkan ada yang peduli padamu." Otakku ada benarnya, di kota besar, tak ada yang mau peduli dengan urusan orang lain. Semua punya urusan dan kesibukan masing-masing. Aku berlalu meninggalkan gedung itu dengan sebuah cerita yang sangat membanggakan kali pertama masuk dan sebuah peristiwa yang amat memalukan kali kedua masuk lima menit berikutnya.

Kami menuju antrian busway. Di kaca menuju arah masuk bus tertempel petunjuk yang mengesankan usaha bukan main seriusnya agar perempuan dan laki-laki tidak mengantri dalam barisan yang sama. Kertas anjuran itu terlihat amatiran: Selembar kertas yang diprin dan ditempel dengan isolasi bening, sudah sobek-sobek kecil pula.

"Tampaknya anjuran ini dari lembaga paradoksal tanpa otoritas formal." kataku pada ketua. Dia meng-iya-kan dengan isyarat bibir. Seorang wanita gemuk berkaus putih celana ukuran anak SD kelas lima SD. Memperhatikan kami. Dia masih muda. Umurnya kira-kira dua lima.

Kami pulang dalam kedinginan AC busway yang luarbiasa. Di luar, hujuan turun rintik-rintik perlahan deras; tidak telalu deras.

"Seksi kudefinisikan sebagai penampilan yang mengidentikkan seseorang dengan jenis kelaminnya. Seorang pemuda yang pakai kemeja, dasi, jas dan celana katun seksi sebab itu identik pakaian pria. Tidak ada wanita berpakaian demikian, setidaknya di negara kita. Serang wanita berpakaian memperlihatkan lekuk tubuhnya dikatakan seksi. Perempuan yang berjilbab, rok dan baju longgar-longgar, besar-besar itu seksi sebab tak ada pria bertubuh wanita dan mustahil pria pakai jilbab". Begitu Seksi itu adalah sesuatu yang menunjukkan kesejatian dirinya. Malam hari akan semakin memperlihatkan kesajatiannya dan akan terlihat lebih dramatis ketika kelam, turun hujan pula, tapi hujannya bukan hujan deras: hujan gerimis.

Tadi malam hujan gerimis turun saat kami berada di gerbang Taman Ismail Marzuki. Kami biasa duduk minum kopi di sana. Tapi malam ini beda. Ada dek Eka di sini. Kau tahu kawan, aku yang mengantar dan menjemputnya ke TIM.

"Aduuuh, hujan pula" kata dek Eka.

"Malam yang pekat, hujan pula, bukankah itu seksi?" kataku.

Dek Eka bengong lagi. Dek Eka bengong itu nikmat. Tapi terlihat dia tidak sepakat. Duhai, kalau saja dek Eka mengetahui getaran jiwaku saat aku dekat dengannya.

"Kalaupun dia tau apapun yang kau rasa padanya, tetap saja dia biasa-biasa saja. Kamu seharusnya ngaca. Kamu itu jelek, kurus, tak berwibawa. Dasar tolol. Tak tau diri. Kau lihat dek Eka dia cantik, manis, ayu, anggun, pintar pula". Otakku memang keparat, menghujatku tak tanggung. Tapi yang membuatku marah besar padanya adalah karena dia sok ikut-ikutan sebut "dek" pada dek Eka. Aku mau hanya aku seorang saja di dunia ini yang memakai "dek" untuk memanggil dek Eka.

Mentra 58, 10122010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar