Refleksi idealnya memang harus dilakukan secara indiviidu. Pihak luar diri hanya mampu memberikan penyadaran akan perenungan dan sepercik metodologi refleksi. Karena, hanya diri masing-masing yang paling mengetahui motif-motif segala tindakan yang pernah ia perbuat.
Secara kolektif, kita memang dapat melakukan sebuah refleksi secara massal sebagaimana yang sedang kita laksanakan saat ini. Namun sebelumnya, ada baiknya bila kita merenungkan sebuah kutipan dari seorang filsuf Cina berikut ini:
Seseorang yang hendak merubah dunia terlebih dahulu dia harus mampu merubah negaranya. Sebelum merubah negaranya terlebih dahulu dia harus mampu merubah masyarakatnya. Sebelum dia merubah masyarakatnya terlebih dahulu dia harus mampu merubah keluarganya. Sebelum dia merubah keluarganya terlebih dahulu dia harus mampu merubah dirinya sendiri.
Kutipan di atas menjelaskan pada kita, walaubagaimanapun, perubahan harus dimulai dari diri sendiri. Perubahan meniscayakan sebuah refleksi. Refleksi dapat mengajarkan kita agar tidak terperosok ke dalam lubang yang sama untuk maju ke depan. Refleksi dapat memberikan sebuah gambaran jelas guna menetapkan sebuah visi yang mantap untuk bergerak menuju kemajuan.
Secara kolektif, kita memiliki dua kesamaan. Pertama adalah "Indonesia" sebagai rumah dan kedua adalah "Islam" sebagai jantung kita. Bila rumah tidak ada, maka kita tidak akan punya tempat untuk berteduh. Bila tidak punya jantung, hiduppun mustahil.
Kita memang mudah saja mengatakan "Kenapa tidak Islam saja yang dijadikan rumah." Memang benar Islam mampu dan palaing layak menjadi "apa saja" sebagai metafor bagi sebuah kehidupan. Namun Islam seperti apakah yang paling layak bagi kita, bagi masyarakat muslim dan seluruh rakyat Indonesia?
Kita terlalu sibuk dengan "kulit Islam" dari pada isi atau ruh Islam itu sendiri. Baju teluk belanga itu "Cina". Jubah dan rida' itu "Arab." Kita suka mencibir seorang yang pakai jas meski kita belum tahu bahwa iman dan takwanya lebih tinggi dari seorang yang berjubah dan yang bersarung.
Sebenarnya saya tidak "ingin" Indonesia menjadi negara maju, Insya' Allah paling lambat seratus tahun lagi. Tapi bagaimana hendak dikata, Indonesia memang "harus" jadi negara maju. Indonesia akan menjadi negara paling maju kedua setelah India. Dan Cina, adalah ketiganya. Kini Beijing, New Delhi dan Jakarta telah menjadi tiga kota pusat perdagangan terbesar di dunia. Kita tidak perlu terlalu bicara banyak tentang Cina, selain sudah banyak ruang ulasannya, merujuk sejarah, Cina memang selalu maju di bidang ekonomi sementara politik, militer dan lainnya adalah manifestasi dari kesuksesan kemajuan ekonominya. Garis sejarah Cina selalu berjalan lurus. Kalau orang mengatakan saat ini Cina berada di urutan tertinggi saat ini di berbagai bidang, maka itu artinya beberapa negara maju sedang dalam posisi tiarap. Singkatnya, Cina bisa dijadikan standar kemajuan sebuah negara.
Indonesia akan menjadi negara maju. Itu pasti. Yang menjadi persoalan adalah prinsi, idiologi dan landasan apa yang akan membentuk Indonesia di masa depan. Pancasilakah, Islamkah, konserfatisme Hindu-Budhakah, atau bahkan mungkin Kristen?
Kita harus membangun Islam Indonesia. Ini penting.Islam tidak boleh lagi diidentikkan dengan segala hal yang berbau Timur-tengah. Terbukti empat ras penghuni Timur-tengah-Arab, Persia, Turki dan Israil-masih saja terpecahkan meski agama Islam sudah lama mengajarkan agar tidak rasisme. Rasisme telah memudahkan langkah Inggris meruntuhkan Ottoman Empire sebab Arab terprovokasi dengan propaganda Inggis: Ottoman itu Turki. Rasisime menyebabkan negara-negara Arab semakin mendesak AS segera menyerang Iran. Indikasi lain desakan ini karena Iran itu Syi'ah.
Sementara pemuda negara-negara maju hidup dalam gaya hedonisme, pemuda negara-negara berkembang seperti Indonesia meraih prestasi tertinggi di universitas-universitas di negara-negara maju. Pejajar Indonesia juga meraih hampir semua mendali di segala bidang olimpiade sains. Nilai-nilai perjuangan untuk merubah nasib dan meraih cita-cita masyarakat dari negara maju akan terus berkobar dan tidak lama lagi cita-cita itu segera diraih. Sementara masyarakat negara-negara maju sudah merasa nyaman dengan kehidupan yang mereka jalani sehingga tidak lagi punya cita-cita dan harapan untuk diraih, mereka tidak punya visi.
Pentingnya sebuah visi dirasakan ketika gubernur Sumatera Daud Beureu'eh menyesali keputusannya menyatakan Sumatera bergabung dengan Republik Indonesia. Sukarno punya visi cemerlang tentang Indonesia kedepan, sementara Beureu'eh tidak. Namun saya kira keputusan Beureueh itu mengandung hikmah yang mendalam, dengan Sumatera menjadi bagian NKRI, maka potensi Indonesia sebagai negara besar yang maju semakin besar. Bayangkan kalau Sumatera, atau bahkan satu propinsi saja dari Sumatera tidak termasuk NKRI, maka Indonesia takkan membanggakan.
Saya tertidur sejenak, seolah tidurnya sudah agak lama. Dalam tidur saya bermimpi Indonesia menjadi negara maju ke dua setelah India. Saat itu luas geografis Indonesia adalah seluruh Asia Tenggara, Papua Nugini hingga Mikronesia, Timur Leste hingga Utara Australia. Di bagian utara Australia militer kita selalu berperang melawan sekutu yang ingin merebut Utara Australia yang telah menjadi bagian dari Indonesia. Perang itu membuktikan kuatnya Indonesia dan sebagai wadah latihan militer Indonesia. Duh, indahnya mimpiku.
Mimpi itu hanya bisa diwujudkan bila Indonesia punya sebuah sistem kuat yang membentuk karakter militan pada diri setiap masyarakat Indonesia sekaligus disertai kelembutan jiwa yang bersih. Sebuah negara besar hanya akan maju bila (1)memiliki sebuah konsep sekaligus sebagai pembentuk karakter yang mampu mengatur semua watak masyarakat yang beribu macam. Cara yang satunya lagi dalam memajukan negara besar adalah (2)menerapkan sistem federasi.
Dilihat dari karakter masyarakat Indonesia yang sudah terlalu bebas pasca reformasi, maka sistem federasi terlihat lebih cocok. Sistem ini adalah bagian penting dari penegakan demokrasi. Setiap wilayah punya perbedaannya masing-masing, punya kearifan yang jauh berbeda dan punya cara yang berbeda dalam mengekspresikan potensi. Bila pilihan jatuh pada sistem pertama, maka Islam mampu menjadi sebuah konsep sekaligus pembentuk karakter yang mampu mengatur semua watak masyarakat. Islam punya panduan segala lini kehidupan, jadi cocok diterapkan sebagai sebuah sistem negara. Islam punya panduan mulai dari cara buang hajat, militer, ekonomi, politik, pemeririntahan dan segalanya.
Untuk menerapkan Islam sebagai landasan Indonesia, terlebih dahulu kita harus mampu melihat Islam yang telanjang tanpa diselimuti dan disisipi unsur-unsur budaya manapun. Untuk dapat melihat "Islam telanjang" kita harus memisahkan mana Islam, mana budaya. Pemisahan antara kedua bagian ini dimaksudkan untuk agar dapat Islam dikonstruksi guna penerapan dalam: Indonesia sebagai negara maju.
Di sini kita perlu Epistemologi Islam dan Sosiologi Indonesia. Epistemologi Islam bekerja untuk "menelanjangkan" Islam dan menyadiakan "Islam telanjang" untuk diterapkan di Indonesia. Sosiologi Indonesia manyampaikan laporan sosiologi masyarakat Indonesia. Selanjutnya Sosiologi dan Epistemologi Islam secara bersamaan mengidentifikasi praktik-praktik dan nilai-nilai kebudayaan yang dapat merugikan Islam bila penghayatan dan pengamalannya dan menghapusnya dalam masyarakat.
Sebelumnya kita perlu memahami bahwa praktik-praktik di tengah masyarakat yang telah menjadi bagian dari budaya mereka adalah suatu tindakan yang dijadikan sebagai solusi terhadap persoalan hidup yang mereka hadapi. Tindakan ini adalah sebuah temuan yang telah dicari bahkan ratusan tahun. Lazimnya dalam pelaksanaannya disisipi dengan rutual-ritual berisi bagian daripada Islam. Hal ini tidak merugikan Islam dan bahkan menguntungkannya dilihat dari beberapa sisi. Praktik semacam ini harus dianggap sebagai muamalah dalam kacamata Islam. Dia tidak berbeda dengan kerja mencari uang yang sama-sama sebagai solusi terhadap persoalan hidup. Karena itu saya menemukan salah satu ormas terbesar Islam di Indonesia keluru ketika mengkategorikan ini sebagai bid'ah. Konon, pendiri organisasi ini terinspirasi perjuangan pemurnian Islam Muhammad ibn Wahab dan gerakan modernisasi Islam Muhammad Abduh. Bentuk problematika sosio-kultural yang ditemukan Muhammad Abduh dan Muhammad ibn Wahab berbeda kasusnya dengan dinamika sosial dan kebudayaan Indonesia.
Bid'ah dalam masyarakat muslim Indonesia lebih cenderung berada pada tataran aqidah. Hal ini dikarenakan masyarakat Indonesia menemukan solusi atas persoalan hidup bukan melalui proses rasionalisasi melainkan praktik trial and error secara berkesinambunyan dan lama. Karena itulah saat ini, setelah berhasil mendapatkan "Islam telanjang", terlebih dahulu yang perlu disusun adalah Teologi Islam untuk Indonesia sebagai negara maju. Untuk merumuskan Teologi tersebut, Sosiologi harus mampu menemukan data dan motif problematika muslim Indonesia.
Pendidikan adalah penentu pandangan dan jalan hidup manusia. Globalisasi metodologi ilmu berimbas pada penyeragaman paradigma ilmu. Ilmu yang membentuk karakter masyarakat dunia hari ini adalah ilmu berbasis materilisme. Tidak ada yang salah memang dengan metodologi ilmu hari ini, dianya juga merupakan solusi persoalan hidup yang dihadapi manusia. Kajian dan terapan ilmu adalah mu'amalah. Tidak ada hubungannya sama sekali dengan agama.
Harun Yahya terlalu reaktif dalam menyikapi setiap penemuan ilmu. Dia mudah saja mengintegrasikan hasil yang dilahirkan ilmu (science)dengan Kitab Suci Islam. Hal ini akan merugikan Islam ketika satu waktu hasil ilmu berseberangan dengan Kitab Suci Islam. Hasil ilmu, baik sebuah konsep maupun benda, tidak boleh dikait-kaitkan dengan agama. Kehancuran Kristen pada era pencerahan adalah karena agama itu terlalu reaktif terhadap penemuan ilmu pengetahuan. Islam menyerukan ketika kita menemukan ketidakselarasan antara hasil ilmu dengan Islam agar ilmu itu dikaji kembali. Ilmuan juga sepakat bahwa setiap penemuan ilmu adalah sesuatu yang tidak matang, namun dalam proses yang tiada akhir.
Ilmu tidak boleh ikut campur di bidang pembentukan karakter sosial. Ilmu-ilmu sosial hanya boleh melakukan kajian sosial-individu. Pembentukan karakter hanya boleh dilakukan Islam. Membentuk pemikiran dan karakter sesuai dengan Islam. Alasannya, hanya karena Islam yang punya pedoman dalam segala segi kehidupan. Ilmu hayalah sebuah wacana pemikiran, ruangnya hanya sebagai mu'amalah! Agar ilmu tidak dijadikan paradigma, prinsip, idiologi dan praktik kehidupan, Islam harus dapat melahirkan Teologi baru yang dapat membentuk prinsip masyarakat supaya mereka tidak menjadikan ilmu sebagai prinsip dan jalan hidup. Untuk melahirka Teologi Islam baru, terlebih dahulu Islam harus telanjang.
Ilmu harus dikembalikan ke posisinya yang semula, sebagai pengkaji, bukan pembentuk karakter dan penentu jalan hidup. Ilmu hanya bertugas menerangkan hasil kajiannya pada agama dan agamalah yang menentukan karakter dan jalan hidup.
Setelah menemukan Teologi Islam baru, dan telah pula Sosiologi menemukan data pasti problematika muslim Indonesia khususnya dan manusia Indonesia umumnya, dengan bantuan Sosiologi barulah Teologi baru dapat dilekatkan di jantung kaum muslim Indonesia. Kalau hal-hal ini telah terlaksana barulah kita menyusun dan menerapkan Islam Indonesia (sebagai) negara maju.
Mentra 58, 07122010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar