Link Download

Senin, 29 November 2010

Tidak Ada Kembang di Kota Kembang


 Tiga puluhan personil PB PII yang baru saja selesai dilantik di Masjid Al-Azhar, Jakarta telah memadati lantai dasar sekretariat PB PII. Canda tawa di dalam ruangan sebelum acara dibuka telah menjadi bukti keakraban para personil yang sekitar 70 persennya diisi wajah baru. Entah dari mana, Ucok memamer-mamerkan dua set kartu remi, hadirin sibuk dengan kartu-kartu itu tapi tidak bermain remi.

Tiba-tiba dihadapan para hadirin terpampang tulisan: POLA KEBIJAKAN UMUM PB PII PERIODE 2010-2012. Semua personil kaget, katanya Training Center, tapi kok ada yang gituan. Santer terdengar suara sumbang diantara para personil yang bingung dengan yang muncul di dinding melalui infokus "Ini TC atau raker". Aku melihat kiri-kanan, tidak ada yang menunjukkan ekspresi baru saja mengucapkan sesuatu. Leo masih melingoh ke dinding dengan wajah longohnya, Pikar cuek-cuek seperti ayam jantan yang tidak mau bertanggungjawab setelah menggauli ayam betina di pagi hari.Ridwan yang berpakaian seperti pendeta di sebuah gereja kecil yang jemaatnya tinggal belasan karena lari ke gereja lain yang lebih menjamin kesejahteraan sosial senyum-senyum saja persis tersangka korupsi milyaran rupiah baru saja keluar gedung KPK untuk memenuhi panggilan guna pemeriksaan yang ke 21 kali. Selanjutnya pria berpakaian pendeta itu membuka acara dan mempersilakan Ketua Umum untuk berbicara.

Tanpa basa-basi Engku Ridha langsung mempresentasikan pola kebijakannya. Demi Allah semua personil semakin heran. Kide beberapa kali memukul keningnya. "Tak saketek nyo karajo" bisiknya pelan. Di dekat tangga Pikar sengir-sengir aja. Nani yang sedari tadi menjadi pusat perhatian PII wan senyum terus kini ikut melongoh. Kutaksir, melihat raut wajahnya, dalam benaknya Nani berucap "Jauh-jauh awak datang dari Aceh, kok malah dikibulin begini".

Di dalam ruangan, suara Ridha terus mempresentasikan pola kebijakannya. Sekarang aku teringat kata Putra mengutip ucapan seorang KB PII Aceh "Anak PII pintar bicara, wajar. Anak PII tau bicara pada waktu yang tapat, itu langka". Dan mungkin Ketua Umum termasuk kategori yang biasa, kebanyakan.

Ketua terus bicara hingga Jay memotong pembicaraan tanpa diizinkan bicara. Tidak diizinkan karena beberapa kali menngagkat tangan kanan namun diabaikan. "Ini TC pak, masak, belum apa-apa sudah pemaparan visi-misi. Kita ini belum lagi saling kenal. Proposisikan sebaga sesuatu sesuai tempatnya, pak".

Selanjutnya satu-persatu sambung-menyambung melontarkan protes terhadap konten acara yang tidak proporsional. Sekjen pakaian pendeta kelabakan mengendalikan forum. Notulen seperti perempuan tua yang ke dalam bajunya masuk dua ekor kecoa besar-besar. Selanjutnya satu-persatu walk out dari ruangan. Ke kadai Ocit satu-persatu tiba. Disana menjadi ajang hujat protokol acara dan menyampaikan kritik pada Ketua Umum.

"Kita sudah malu sekali waktu pelantikan, kok malah konyol lagi di TC".

Seorang lainnya menambahi, mungkin saya orangnya "Masak pelantikan PB macam pelantikan PK".

"Pasang" Kide nyosor.
               
Keesokan harinya semua personil menuju stasiun Gondangdia yang terletak tidak jauh dari belakang Markas Besar PB PII, Menteng Raya 58. Tiket kereta ekonomi dibagikan satu orang satu. Kereta sesak, tapi nikmat. Nikmat? Hanya yang pernah naik kereta ekonomi yang tau. Ini rahasia kita para penumpang kereta api ekonomi.
               
Ternyata salah turun. Seharusnya turunnya di stasiun selanjutnya, namun malah turun di stasiun Depok Baru. Akibatnya PB harus ngeluarin duit banyak buat ongkos angkot yang nganterin kami terlalu jauh. Perjalanan melewati beberapa pasar yang tidak kuketahui namanya. Padat, dengkul-dengkul wanita, yang kebanyakannya remaja mudah saja ditemukan hampir semudah menemukan pohon di hutan atau air di danau. Kukatakan banyak karena mungkin mataku kurang peduli terhadap dengkul-dengkul yang pemiliknya sudah berusia tua.
               
Memasuki perumahan yang begitu indah mataku melongoh. Pikiranku langsung membayangkan disalah satu rumah diantara rumah-rumah mewah itulah TC kami akan berlanjut, atau lebih tepatnya berlangsung. Yang membuatku tercengan adalah ketika angkot yang kami tumpangi melalui sebuah jembata. Sempat aku menjalarkan kepalaku ke bawah. Terlihat olehku sungai yang airnya amat bersih, mengalir kencang dan begitu indah, sangat alami.

"Masih ada juga rupanya sungai yang begitu indah dan bersih di pulai Jawa ini." Akalku takzim.     
               
Rumah itu berada di belakang dua pintu ruko. Dibangun terlalu jauh dengan jalan, kuperkirakan terlalu besar taman dan penghijauan di halaman rumah sebelum ruko yang terlihat baru dibangun itu. Satu-persatu personi PB PII memasuki area. Beberapa diantaranya langsung menegadahkan muka ke atas saat tepat berada di depan pohon jambu biji. Masing-masing mencari cara masing-masing untuk mendapatkan buah yang langka itu. Ada yang berhasil menemukan alat petik berukuran panjang (runong, dalam bahasa Aceh), ada yang berusaha melempar menggunakan alas kakinya, ada yang memanjat dan ada yang kehabisan akal lalu sok berwibawa dengan menegur agar yang lain lebih beradab dengan tidak langsung main serang terhadap jambu orang.

Rumah itu memiliki banyak kamar, banyak diantaranya kecil-kecil. Kuperkirakan perancang rumah ini sama-sekali tidak terpengaruh dengan kampanye mahasiswa IAIN menganjurkan KB meski membawa dalil-dalil agama. Sisi kanan rumah adalah tanah yang luas yang sering digunakan untuk menanam aneka tanaman pertanian biji-bijian tanah lembab. Di depannya ada sebuah lesehan berukurang tanggung. Karena terlalu kotor, lupakan saja. Suhu udara di dalam rumah terlalu dingin meski tidak terlihat satupun mesin pendingin ruangan jenis apapun. Kukira karena banyaknya pepohonan disekeliling rumah bercat putih itu.

Sore harinya forum dimulai. Ternyata diluar dugaanku, dilaksanakan di lantai II ruko. Untuk sebuah pertemuan TC, tempat itu lebih luas daripada di rumah. Acara dimulai dengan pemaparan profil diri oleh masing-masing personil PB. Agenda ini memakan waktu dua hari. Tidak haya karena molor sebab sering pasang, juga setiap orang dalam memperkenalkan profil memakan waktu lebih dari setengah jam.   
               
"Menikah dan tidur dengan istri adalah sebuah menyenangkan sangat nikmat dari segenap kegiatan dalam hidup." Hadirin histeris. Aku tak peduli, bagiku ini penting untuk meningkatkan motifasi teman-teman.

"Kenikmatan itu persis seperti ketika Nabi Besar bermuka-muka dengan Allah, nikmat tiada tara. Namun dalam hidup, manusia tidak dibenarkan egois. Manusia seluruhnya harus menikmati kenikmatan-kenikmatan dan untuk manusia Indonesia, hal itu masih belum dirasakan. Sebab kita harus turun dari puncak langit kenikmatan pribadi dan turun ke tengah-tengah masyarakat untuk merubah nasib mereka. Dan PII adalah wadah kita dalam memperjuangkan kesejahteraan ummat manusia umumnya dan Indonesia khususnya." Teman-teman banyak menertawakan. Mungkin Karena terlalu negatifnya arah pikiran mereka mendengan pesanku.

Adalah Kide satu-satunya yang tidak ikut tertawa dan memberikan apresiasi bagiku. Dan setiap pujian pastinya menimbulkan rasa senang bagi yang dipuji. Setiap pujian hakikatnya adalah racun bagi yang dipuji. Pujian dapat menilbulkan rasa bangga diri. Rasa itu dapat menjauhkan pemilik pujian dari introspeksi. Kalau introspeksi adalah nutrisi, maka pujian adalah virus.

Pasang benar-benar telah menyita waktu kami. rencana dua hari ternyata TC baru bisa kelar pada hari ketiga. Tiga setengah tepatnya. Padahal, agendanya cuma dua, perkenalan dan pemaparan visi-misi Ketum.
               
Putra dan Kide benar-benar membuatku jengkel. Menemukan uang seratus ribu rupiah di depan sebuah toko kerajinan kaca, malah dititipkan pada penjaga toko tersebut. Padahal ini Jakarta (dan sekitarnya). Mereka malah belum kenal betapa kejamnya Ibu Kota. Okelah kalau Putra, baru dua bulan di PB, sementara Kide, sudah sangat lama di Ibu Kota, kok baik begitu. Ucok pernah mengajariku saat baru-baru tiba di Jakarta. Meski ini bernada canda, namun aku serius:

"Di Jakarta ini, Mis, bukan memikirkan besok mau makan apa, tapi makan siapa."

Mendengar itu otakku berkata "Benar itu, mampus kau. Ngeri. Mari kita kembali ke Aceh." Aku mulai gundah, tiba-tiba gelisah.

Tapi akalku menasehati: "Tidak sepenuhnya benar."

Waktu sebelumnya ketika mengunjungi Jakarta dan belum menetap di Jakatrta, setiap kuletakkan rokok di atas meja selalu habis disambar. Dan kejadian ini telah membentuk pola pikirku tentang bagaimana kejamnya Jakarta. Namun saat tinggal di Jakarta dan menjadi persnil PB pola pikir itu tidak sepenuhnya benar. Para personil PB hidupnya sejahtera. Bahkan aku menumpang hidup pada mereka, setidaknya di bidang rokok dan kopi.
               
Pada suatu siang pulang dari mushalla aku menemukan teman-teman ngopi di sebuah warung pinggir jalan. Aku menggoda Ucok dan Kide. Pasangpun dimulai. Sialnya, kami harus menanggung malu saat seorang wanita paruh baya menegur kami.

"Maaf bapak-bapak sekalian, makan minum boleh disini, silahkan. Tapi tolong jangan pasang".
               
Malunya tak tertanggung. Pasang spontan dihentikan. Kami merasa lebih tua dua puluh tahun saat dipanggil 'bapak-bapak'.
               
Sekitar tigapuluh orang di ruangan ini adalah manusia hebat semua. Mereka tidak hanya para instruktur PII; mereka sarat pengalaman, baik formal maupun mandiri. Mungkin karena masing-masing yang ada disini adalah orang-orang cerdas dan berwawasan tinggi semuanya, maka inilah penyebab molornya jadwal TC. Perkenalan diri disisipi cerita tentang pengalaman-pengalaman masing-masing menyangkut riwayatnya bersama PII adalah pelajaran yang sarat makna. Kalau saja notulensinya bagus, dan kalau saja notulen itu diterbitkan menjadi sebuah buku, maka aku yakin akan menjadi 'best seller'.

Sore harinya aku bersama Pikar santai di sebuah warung sejuk pinggir jalan. Kulihat papa-papan merk toko menerangkan nama kawasan ini adalah Kota Kembang.

"Kawasan ini pasti Jawa Barat" Otakku memastikan.

"Kenapa bilang begitu?" tanyaku.
               
Otakku menguraikan. Masih terlalu yakin.

"Kau pernah membaca sebuah artikel di internet: Wanita paling cantik di Aceh. Keduanya orang Sunda. Sunda itu identik Jawa Barat"
               
"Tapi..."

Otakku langsung membantah karena mengetahui maksudku.

"Memang belakangan kau mengetahui ada orang Sunda juga di Banten. Tapi tidak identik, boi."

Otakku melanjutkan.
               
"Di Sri Langka Juga banyak orang India, bos"
               
Aku mengerti maksud otakku. Dia kembali mengoceh.
               
"Kau pasti tau maksud kota kembang, bos."
               
Aku terdiam.
                                               
"Kau pasti tau itu" Otakku mendesak.
               
Aku mencoba-coba mengingat sesuatu. Saat menemukannya, otakku langsung angkat bicara.
               
"Ya, sekarang persiapkan matamu baik-baik. Akan banyak cewek lewat di sini."

Sulit bagiku membedakan antara otakku dengan setan. Tapi kutahu saten dan otak itu berbeda. Tapi otakku memang setan.
               
Lama aku duduk, menikmati kelapa muda sambil mata terus ke badan jalan. Sesekali aku menoleh kiri kanan. Setiap menemukan tanda-tanda jilbab dan rambut panjang aku bersigap.
               
"Aneh, ini kota kembang, tapi kok tidak ada seorang perempuan cantik pun kelihatan". Akalku mempertimbangkan bukan berarti membenarkan rencana zina mata yang diprakarsai si otak itu.
               
Kukira di sinilah sarangnya wanita tercantik ("Kedua" otakku ketus) di negeri ini. Kenapa tidak, wanita Sunda terkenal dengan kecantikannya dan dikenal dengan istilah 'kembang'. Dan pastinya Kota Kembang adalah kawasan inti dari wanita cantik Sunda. Tapi kunjungan ke sini menyatakan lain. Purwakarta pula yang membuktikan hal itu. Pernah sekali aku ke sana, 2007.

Pagi minggu itu kami ke alun-alun. Kaki-kaki dan dengkul-dengkul benar-benar membuatku terbang. Hal ini pernah kutemukan sekali lagi saat menyaksikan Olimpiade Beijing. Ketika penari air wanita Rusia mempertunkkan kebolehannya. Keindahan itu bukan olimpiade, bukan Beijing, bukan bentuk kolam, bukan warna air yang dibentuk warna kolam, bukan pula atraksinya, tapi kaki itu sendiri. Persis seperti pagi minggu di Monas: Bukan monas; bukan emas berbentuk es krim di puncak tower aneh itu; bukan taman yang indah; bukan pergelaran panggung konser rutin; bukan pemandangan unik Satpol PP saat mengejar para penjual makanan & minuman; bukan pula kelihaian para pedagang saat menghindari POL-PP, tapi kaki-kaki itu. Sulit membedakan ukuran panjangnya dengan celana dalam. Ambo...i!

"Astaughfirullah'aladhim." Hatiku bertaubat di saat-saat yang tepat. Kondisinyapun tepat.

Perjalanan pulang lebih singkat karena kamu ke stasin Depok. Jajan-jajanan dibeli oleh mereka yang pegang banyak uang PII. Kalau begini terus kujamin PB PII takkan ribut soal kebendaharaan. Tapi sama-sekali tidak menjamin keselamataanya dalam amatan PW PII se-Tanah Air.

Lagi-lagi kereta api ekonomi. Duh, kereta ekonomi, aku menyukaimu karena seribu alasan: Naik ekonomi lebih merakyat. Di dalam gerbong itulah wajah asli indonesia terpampang jelas: Anak-anah yang meringis; balita menjerit; remaja tidak tau adab; copet; plagiat; bahkan hingga pelecehan seksual.

Kalau saja ada kereta api yang masuk surga, kupastikan kereta api ekonomi adalah penghulu kereta api-keteta api fil Jannah.

Mentra 58, 29 Nov. 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar