Link Download

Senin, 29 November 2010

Perang Ekonomi: Cina-AS Memperebutkan Indonesia

 Empet belas abad lalu Nabi Besar pernah memperingatkan suatu saat ummat Islam akan diperebutkan layaknya hidangan makanan pada suatu jamuan.Sahabat Beliau bertanya apakah jumlah kaum muslim ketika itu amat sedikit. "Tidak" kata Nabi "Jumlah kalian banyak, tapi bagai buih dilautan".

                Dialog antara Nabi Besar dengan para sahabatnya pada abad ke-7 itu sangat menyinggung (kalau boleh dikatakan menyindir) ummat Islam saat ini. Dalam kontek ummat Islam Indonesia, merekalah yang harus palng insaf akan peringatan Nabi itu. Indonesia adalah negara yang dihuni sekitar dua ratus juta muslim menjadi negara dengan populasi muslim terbesar di dunia adalah potensi besar akan kekuatan gerakan Islam dunia. Bila mampu bersatu dan memantapkan akidah, maka Islam akan meraih kembali kejayaannya sebagai mana pernah terjadi dari abad VIII hingga XII. Namun fakta kini masih sangat jauh dari yang kita harapkan. Potensi populasi muslim indonesia hanya menjadi sasaran empuk bagi ragam ideologi yang sedang berkuasa saat ini. Komunisme dan Liberalisme adalah dua pemangsa yang paling unggul dalam memangsa populasi muslim terbasar dunia di Indonesia.

                Cina sebagai representasi dari idiologi Komunisme telah menyapakati perdagangan bebas dengan Indonesia. Amerika Serikat (AS) sebagai dedengkot Liberalisme semakin dalam saja menancapkan kukunya di Indonesia, apalagi setelah menyepakati beberapa persetujuan baru dengan pemerintan dan perusahaan Indonesia, utamanya menyengkut pertambangan, investasi dan perdagangan.

                Kita sadar bahwa perdaganagn bebas yang dilakutan pemerintah Republik Indonesia (RI) akan sangat banyak merugikan RI dan tidak seimbang dengan keuntungan yang diperoleh Cina. Cina adalah negara yang sangat anti untuk mengimpor barang-barang produk dariluar negara mereka. Bila rakyatnya membutuhkan, maka mereka akan berusaha memproduksi apa yang dibutuhkan rakyatnya. Setelah rakyat tercukupi kebutuhannya, Cina akan melancarkan ekspor produksi mereka ke negara-nagara lain. Indonesia yang telah menyepakati perdagangan bebas dengan negeri Tirai Bambu harus siap pasarnya diserbu produk-produk negara tersebut. Karena budaya komsumtif masyarakat RI sangat tinggi, pasti barang produk Cina akan laku keras.

                Berlawanan dengan rakyat RI, rakyat Cina adalah bangsa yang sangat pelit. Mereka sangat irit dan amat selektif dalam mengeluarkan uang guna memenuhi kebutuhan hidup. Input yang diharapkan Cina dalam perdagangan bebas agar karya-karya seni tradisional rakyat Indonesia seperti batik, ukiran dan aneka karya tangan dapat terjual dengan mudah di Cina. Hal ini sangat mustahil karena barang-barang tersebut, jangankan untuk dianggap kebutuhan primer, untuk digolongkan sebagai kebutuhan sekunderpun tidak. Rakyat Cina sangat pandai membedakan antara kebutuhan dan keinginan, kebutuhan seja mereka tekan, apalagi keinginan. Sementara rakyat Indonesia, semua yang produk yang menarik baginya dianggap kebutuhan, kebutuhan pokok pula. Padahal secara psikologis, keinginan manusia tidak terbatas. Nabi besar mengatakan bila seseorang diberikan satu lembah emas maka dia akan meminta satu lembah lagi, dan keinginan manusia takkan berbatas hingga mulutnya disumpal tanah (mati). Oleh karena itu, negara yang bertanggungjawab membimbing, mengayomi dan memberdayakan rakyat wajib mengontrol daya konsumsi  masyarakat.

                AS memulai ekspansinya memalui serangan udara. Setelah kondisi memungkinkan barulah mereka melanjutkan melalui jalan darat. Strategi perang semacam itu tidak hanya dipraktekkan AS tapi hampir semua negara Starategi demikian tidak hanya digunakan dalam perang militer tapi juga perang ekonomi. Perang ekonomi diawali melalui udara dengan melalui program pesawat televisi dan internet yang menaangkan gambar-gambar tentang gaya hidup ideal: mengkonsumsi pakaian mewah, pakaian yang wah, makanan kelas tinggi, rumah mewah dan konsumsi-konsumsi lain yang membuat target serangan memiliki keyakinan bahwa gaya hidup yang mereka lihat melalui gambar-gambar propaganda tersebut adalah sebuah model kehiduan ideal. Setelah itu target semakin menggebu-gebu hasratnya untuk memiliki barang-barang yang akan menunjang "gaya hidup ideal" yang baru itu. Saat itulah serangan darat dilancarkan melalui pasar dengan menjual produk-produk milik negara Liberalisme yang menggiurkan ummat itu.

                Saya sangat sedih campur geram melihat kebodohan bangsa Indonesia yang menjadi sasaran empuk penjualan aneka produk Komunis dan Liberalis. Wahai saudaraku ummat Islam, ubahlah peradigma anda: Pembeli adalah budak penjual adalah raja. Selama gemar mengkonsumsi kita takkan berjaya, selama tidak memporoduksi, kita akan terus terbelakang.



                "Celakalah bangsa yang memakan tidak dari yang dia tanam dan mekakai tidak dari yang ia pintal" (Kahlil Gibran)



                Buku sekolah SD tidak boleh lagi mengatakan "Ibu ke pasar membeli sesuatu" tapi harus menulis "Ibu ke pasar menjual sesuatu". Ibu adalah representasi masyarakat Indonesia, bila ibu membeli berarti ibu adalah manusia konsumtif, dan kalau ibu menjual itu artinya ada sesuatu yang dijual, bila ada sesuatu yang dijual pastilah ada sesuatu yang diproduksi.

                Tidak miriskah Kawan melihat bagaimana petinggi AS dan petinggi Cina bergantian mengunjungi Indonesia. Belum lagi puluhan negara lain. Tujuan mereka menemui pejabat-pejabat Indonesia untuk menyepakati kontrak dagang-kontrak dagang baru dan melanggengkan yang lama. Semua itu merugikan rakyat Indonesia. Sementara barang apa yang sanggup kita produksi dan kita jual ke negara mereka? Tahu akan busuk sebelum sampai ke AS, tempe akan berulat sebelum mendarat di Cina.

                Semua ini kesalahan pejabat dan pengambil keputusan negara kita. Mereka lebih suka menerima suap untuk mencegah dan menghentikan produksi-produksi dalam negeri dan melanggengkan impor produk-produk dari luar negeri, mereka hanya memilirkan anak sekolah dan istri shopping ke luar negeri tanpa memilirkan nasib rakyat yang semakin terpuruk. Rakyat semakin hari semakin besar hasrat konsumsinya semakin kecil daya belinya, semakin hilang semangat produksinya.

                Allah...



Mentra 58, 8 Nov. 2010

Pkl. 09.45

Tidak ada komentar:

Posting Komentar