Link Download

Jumat, 24 September 2010

Taktir: Kritik Sejarah dan Mazhab Teologi

A. Kritik Sejarah
Dalam menyelesaikai konfik, kita tidak cukup dalam menguasai ilmu sejarah saja meski sejarah dipelajari untuk agar tidak mengulangi kesalahan yang sama. Dikatakan sejarah tidak memerlukan ilmu-ilmu eksak. Sebaliknya ilmu-ilmu eksak itulah yang memerlukan sejarah. Misalnya setiap pengkajian mengenai toeri grafitasi pasti melibatkan Neuton yang menjadi bagian Sejarah Teori Grafitasi. Namun dalam penelitian sejarah kita sangat memerlukan ilmu-ilmu sosial maupun ilmu-ilmu manusia. Sebagai perumpamaan, T. Ibrahim Alfian mampu meenampilkan sejarah perang Aceh dari sudut pandang keagamaan karena menguasai dengan baik Ilmu Agama Islam.
Yang mengherankan dari penulisan sejarah, seperti kata Kuntowijoyo, sejarah selalu di tinjau dari sudut pandang politik, sehingga yang muncul dalam penulisannya, sejarah tentang masyarakat manapun adalah keagungan raja, kekuasaan, militerisme dan kudeta. Misalkan buku ‘Sejarah dan kebudayaan Islam’ karya Badri Yatim. Buku tersebut memiliki judul ‘kebudayaan’ namun, seluruh isinya berbicara tentang politik dalam Negara-negara Islam sepanjang sejarah.
Pengenalan metode pendekatan ‘Multi Dimencionel Approach’ guna melakukan kajian terhadap suatu disiplin ilmu dengan pendekatan beberapa disiplin ilmu, bila berhasil diperapkan dengan baik, maka setiap penghasil karya ilmiah mengenai suatu disiplin ilmu harus mampu mempertanggungjawabkan karyanya di hadapan ilmu-ilmu lain. Pendekatan dengan cara tersebut telah terlebih dahulu diterapkan Fazlur Rahman melalui metode ‘Duble Movement’nya dalam menganalisa Ushul Fiqh.
Perlu diketahui, meski mengklasifikasikan ilmu-ilmu ke dalam tiga bagian yaitu: Naturan Science, Social Science dan Human Science, kita perlu mengingat pesan Kuntowijoyo dalam “Budaya danMasyarakat’ bahwa segala ilmu memiliki kaitan erat satu sama lain sebagaimana tersebut secara berurutan: Fisika-Kimia-Biokimia-Biologi,Kedokteran-Psikologi-Sosiologi. Demikian mungkin integrasi ilmu-ilmu menurut Mulyadhi Kartanegara.
Kemungkinan berlakunya penulisan sejarah yang terikat pada struktur dan periodesasi politik karena para penulisnya tidak pernah melibatkan disiplin apapun dalam melakukan penelitian sejarah. Selain itu, metodologi penelitian dan penulisan harus benar-banar baik dan terstruktur.
Langkah awal yang perlu dilaksanakan adalah merubah paradigama sejarah dari sastra menjadi ilmu. Masyarakat terdahulu tidak dapat membedakan antara cerita kisah nyata dengan fiksi atau dongeng. Mungkin karena tujuan dari penyampaian sebuah kisah di masa lalu Cuma satu, yaitu hikmah atau pelajaran.
Meskipun harus memiliki motode yang jelas dalam penulisannya, sejarah tidak boleh memiliki ketetapan-ketetapan yang terlalu mengikat dalam metode penelitian dan penulisannya, bila tidak ingin membanjirnya budaya penulisan sejarah melalui karya satra seperti novel ‘Samudra Pasai’ dan ‘Gajah Mada’. Maraknya penulisan novel-novel sejarah mungkin karena ruang kreatif dan imajinatif penulis tidak boleh diterapkan dalam penulisan sejarah sebagai ilmu.

B. Kritik Mazhab Teologi Islam
Terjadinya perbedaan mazhab dalam Teologi Islam diakibatkan kepentingan politik. Ini berlaku bagi sepanjang rentang waktu sejarah Islam dan semua aliran. Sengitnya perdebatan antar penganut mazhab hingga menyebabkan perkelahian dan klaim kafir antara satu kelompok dengan kelompok lain. Padahal Nabi sendiri menjelaskan bahwa perbedaan antara ummatnya adalah rahmat.
Pertentangan mazhab Teologi muncul karena perbedaan metode yang digunakan dalam menganalisa objek (Objek kajian Teologi adalah Tuhan). Argumen kausalitas yang digunakan dalam menganalisa Tuhan tidak dapat diterima sebab argument ini akan macet dan menolak sistematikanya sendiri setelah mencapai Tuhan. Misalnya, siapa yang menciptakan kursi jawabannya tukang, siapa yang menciptakan tukang jawabannya Tuhan. Argumen kausalitas hanya akan menjadi sebuah kekonyolan bila menyatakan Tuhan tidak ada yang menciptakan. Mereka padahal berprinsip segala sesuatu yang ada ada penyebabnya. Tuhan itu juga ada.
Argumen lainnya yang digunakan dalam membuktikan objek penelitian Teologi adalah Ontologi. Argumen ini akan tertolak ketika dia tidak mampu menjelaskan secara logis bukti adanya alam semesta karena ada yang menciptakannya. Stephen Hawking dalam karya terbarunya ‘The Grand Design’ yang ditulis bersama Leonard Mlodinow, mengemukakan bahwa alam semesta terjadi dengan sendirinya tanpa melibatkan sesuatu berupa tenaga luar biasa dibalik materi, sebagainama diyakini pemegang Kitab Suci dan filosof Yunani, yang diakui sebagai Tuhan. Menurut buku bersebut, terjadinya alam semesta karena kesesuaian kondisi tertentu dan dianya ada dengan sendirinya.
Buku Hawking ini membuat agamawan marah sebab Kosmolog itu menafikan bahwa Tuhan adalah pencipta alam semesta sebagaimana tertulis dalam kitab suci semua agama. Saya kira kekhawatiran ini sangat berlebihan. Hawking adalah ilmuwan materialis, jadi wajar saja dia berseberangan dengan ajaran kitab suci. Bukankah memang benar Hawking dan kita tidak dapat membuktikan secara objektif bahwa Tuhanlah pencipta alam semesta. Seperti kata kitab suci, Tuhanlah yang menumbuhkan tanaman, padahal tidak terlihat Tuhan sedang menarik sebatang pohon dari ujungnya hingga dari benih tumbuh menjadi sebatang pohon yang tinggi menjulang.
Mengenai teori-teori ilmu pengetahuan yang kadang mendukung kitab suci dan kadang malah berseberangan dengannya saya menawarkan bagi kita, agamawan dan peyakin suatu kitab suci untuk tidak menjadikan sains sebagai tolak ukur kebenaran kitab suci. Prinsip sains adalah senantiasa berubah dan tidak absolute, sementara kitab suci adalah tolak ukur mutlak akan kebenaran absolute.
Perkembangan teori ilmiah yang kadang sering membuat kita tercengan jangan sampai membuat kita “melihat” akan kitab suci kita dengan “rasa” yang berbeda sesuai pro tidaknya teori ilmu dengan Firman Tuhan itu. Bila kita tidak mampu melepaskan diri dari jeratan perkembangan teori ilmu maka hampir dapat dipastikan kita akan mengalami nasib yang sama seperti nasib para teolog muslim abad pertengahan.
Ilmu Teologi, terserah apapun alirannya, bukanlah wadah tempat kita mengenal Tuhan dengan benar. Ilmu teologi, sebagaimana sifat-ilmu-ilmu objektif lain, mengukur segala sesuatu berdasarkan logika materialisme.
Tuhan selaku pencipta akal mustahil tunduk pada ciptaannya. Segala sesuatu yang dapat ditangkap akal berarti tunduk padanya. Tuhan Maha Tinggi, langit, bumi dan segalanya tunduk pada-Nya.
Salah satu perdebatan besar dalam Ilmu Teologi adalah mengenai pahan kahendak, apakah Tuhan berkuasa penuh akan takdir manusia atau dia sendiri berhak menentukan nasibnya.
Aliran yang menganut pahan manusia samasekali tidak memiliki daya dalam menentukan nasibnya telah membuat peyakinnya berpangku tangan menunggu setiap keputusan-keputusan Tuhan, yang kata mereka mengutip salahsatu hadits Nabi yang mengatakan bahwa pena telah kering dan takdir akan segala sesuatu telah ditetapkan. Adapun paham yang meyakini manusia berhak menentukan nasibnya tidak pernah berhenti berusaha dan berkreatifitas dalam memperjuangkan kesejahteraan hidupnya dengan mengutip ayat Al-Qur’an yang berbunyi: Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum bila kaum tersebut tidak merubah nasibnya sendiri.
Polemik diatas telah menimbulkan perdebatan yang melelahkan sepanjang sejarah Islam hingga sekarang ini. Dalam kitab tentang penciptaan Nur Muhammad diterangkan semua ruh yang tercipta telah tetap nasibnya (penghuni surga atau neraka serta sifat-sifat pemilik ruh umum) tergantung bagian tubuh mana dari Nur Muhammad yang masing ruh itu lihat. Fazlur Rahman dalam buku ‘Major Themes in Holy Qur’an’ menjelaskan arti ‘takdir’ yaitu persis seperti kadar air yang bisa diisi dalam gelas 100cc . Nah, disinilah makna itu ditemukan, Allah tidak akan mengisi air ke dalam gelas itu sebanyak 100cc kalau dia sendiri tidak mengisinya sejumlah tersebut. Sementara nasib adalah hasil dari proses ikhtiar, usaha menurut kadar potensi maksimal. Bukankah ikthtiar itu seperti seekor burung yang pagi hari terbang dengan perut kosong dan malam harinya pulang dengan perut penuh terisi, bukan ya Ghani, ya Ghani neubri peng sabuh guni, sementara duduk berpangku tangan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar