Link Download

Rabu, 30 Desember 2015

Mahiyah

Secara etimologis, mahiyah berasal dari dua kata dalam bahasa Arab 'ma' dan 'huwa'. Kata mahiyah dalam bahasa Arab merupakan upaya penerjemahan istilah, yang dipakai filosof Yunani, dari kata 'quid' dan 'est' yang bermaksud menggambarkan sesuatu yang diidentifkasi ada (esse) untuk menunjuk sesuatu yang sederhana (haliyah basithah). Objek yang menjadi acuan konsep yang dibentuk oleh pikiran (mental) disebut 'ekstensi'. Jadi, ada dua tingkatan mahiyah, yakni di mental dan ekstensi. 
Setiap indera melaporkan sesuatu kepada pikiran, maka laporan itu pastilah bukan satu kesederhanaan ekstensi semata, tetapi merupakan proposisi majemuk. Kemajemukan ini berguna karenan nantinya pikiran dapat membentuk kategori-kategori setelah menentukan sebuah poposisi atomik.Tanpa kemajemukan, kategori-kategori mustahil dibentuk. Dengan demikian, mahiyah pastilah harus majemuk. 
Dalam tangkapan atas sesuatu, maka mahiyah dari eksten menjadi subjek dan eksistensi menjadi predikat. Mahiyah tidak bisa disebut ada dan tidak bisa disebut tiada. Untuk menjadi ada, dia perlu diberi ada oleh yang memiliki ada yang mutlak. 
Mahiyah sebagai mahiyah dapat ditinjau dalam tiga hal. 1. Mahiyah makhluthah, yakni ahiyah yang bercampur, yakni mahiyah yang disertai sifat-safat spesifik yakni aksiden-aksiden, atau partikular-partikular. 2. Mahiyah mujarrad, yakni mahiyah abstrak, yakni terlepas dari sifa-sifat. Tetapi masih memungkinkan untuk diterapkan. 3. Mahiyah muthlaq, yakni mahiyah yang sama sekali telah lepas dari bayang-bayang kemungkinan penerapan. 
Mahiyah mutlak dibagi menjadi mahiyah mutlak yang dibagi dan mahiya mutlak yang menjadi bagian. Mahiyah mutlak yang dibagi lebih murni dari mahiyah mutlak yang mejadi bagian. Uniknya, mahiyah mutlak yang menjadi bagian itu adalah mahiyah mujarrad sementara mahiyah mutlak yang menjadi bagian justru adalah mahiyah muthlaq. 
Mahiyah adalah pembedaan, karena itu mahiyah niscaya majemuk. Segala yang mumkin itu bermahiyah. Yang wajib tidak bermahiyah. Tuhan tidak bermahiyah, sebab dia Wajib. Pertanyaan 'Apa itu Tuhan' menjadi keliru karena Dia bukan keapaan (mahiyah).
Ketiga hal tersebut adalah konsekuensi logis dari mahiyah. Sementara Tuhan juga disebut memiliki mahiyah. Tetapi mahiyahnya Tuhan adalah Realitas-Nya (Inniyatuhu).
Karena yang eksis adalah wujud, maka sebenarnya mahiyah adalah konsep semata yang dibentuk pikiran. Karena bentukan pikiran, sebenarnya tidak memiliki realitas sama sekali. Mahiyah hanya dimunculkan oleh konsep supaya wujud dapat dikenal, sekalipun hanya melalui limitasi yang sebenarnya bukan wujud. Mirip dengan mengenal sesuatu hanya melalui bayangannya semata yang sebenarnya adalah bergantung mutlak kepada pemberi bayangan.
Setiap mahiyah memiliki substansi dan aksiden. Setiap mahiyah hanya bisa dijelaskan aksidennya saja. Substansinya tidak bisa dijelaskan. Semua bagian substansi, yakni materi primer, bentuk, jasad, juga jiwa, juga akal, adalah hal yang tidak dapat dijelaskan kecuali melalui negasi. Makanya substansi didefinisikan dengan: bila dianya ada, maka keberadaannya bukan pada yang selainnya. 
Segala hal tentang mahiyah hanya aksiden-aksidennya saja yang mampu diinderainya. Namun melalui aksiden inilah, substansi mampu disusun oleh pikiran. Aksiden-aksiden itu adalah sifat-sifat. Maka sifat-sifat memiliki kesesuatuan. Kesesuatuannya inilah yang disebut dengan substansi. Sifat-sifat hanya muncul bila ada mahiyah yang lain. Cantik bisa muncul bila ada yang jelek. Seperti pernyataan di atas, mahiyah pastilah majemuk. 
***
Segala sesuatu tidak ada. Kalaupun ada tidak dapat diketahui. Kalaupun dapat diketahui, tidak dapat dikomunikasikan (Georgias)
***
Hebatnya Mulla Sadra menyelesaikan filsafat dengan tidak meninggalkan skeptisme. Sebaliknya dia mengatakan realitas eksternal itu ril. Misalnya, tangan akan terbakar bila dikenakan api, ini membuktikan realitas itu ril. Sekalipun ketika saya merasakan sakit dan dapat mengatakan saya kesakitan adalah wujud yang telah diprosuksi menjadi mahiyah. Mulla Sadra juga bukan termasuk relativistik. Karena relatif itu hanya berlaku bagi subjek. Sementara pandangan Mulla Sadra jelas, bahwa pada realitas itu adalah wujud yang nyata, tidak bergantung pada individu-individu.
Dalam pembahasan hamiyah, perlu diperjelas beberapa hal seperti (1) kulli thabi'i, yakni universal alam, (1) Awaridh Sakhish, yakni mahiyah yang bercapur dengan partikular, (3) haliyah, yakni ke-ini-an (4) huwiyah, yakni suatu identitas sebuah wujud spesifik, dan (5) Ashalah dan 'tibar. 
Umumnya para filosof Muslim menolak keberasaan universal alami. Mereka meyakini bahwa, misalnya, 'manusia' sebagai universalia memiliki eksistensi nyata. Karena mereka meyakini universalia alami hanyalah produksi pikiran. 
Para filosof umumnya sepakat bahwa identitas sesuatu itu dibuktikan dengan aksiden-aksidennya. Namun Al-Farabi pernah menyatakan bahwa aksiden-aksiden itu tidak dapat menunjuk atau menerangkan identitas sesuatu. Misalnya, seribu spidol yang diproduksi dengan segala kagogori yang sama. Tentunya ini tidak dapat menentukan identitas salah-satu dari seribu spidol. Kerenya, Al-Farabi mengatakan identitas sesuatu bukan aksiden-aksidennya tetapi identitasnya adalah wujudnya. 
Sesuatu yang dapat disebut 'ke-ini-an'nya adalah sesuatu yang telah ditemukan identitasnya. Ini merupakan syarat untuk mengidentifikasi apakah mahiyah itu aslhil ataukah ia i'tibar saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar