Link Download

Kamis, 08 Oktober 2015

TEOSENTRISME KRISTEN

1.       St. Augustine

Sebelum Plotinus, telah berkembang ajaran Kristen yang dalam golongan tertentu turut memperkaya khazanah agama itu dengan filsafat Yunani.  Periode ini kita namai Teosentrisme yang terbagi menjadi aliran Patristik dan Skolastik. Kedua aliran ini memang menyerap ajaran filsafat dengan sanat mendalam tetapi hanya menggunakannya sebagai penguat doktin agama. Karena alas an ini kita sebut dengan Teosentrisme yakni kajian yang berfokus pada doktrin ketuhanan.

 Patristik berarti ajaran yang menyerahkan otoritas keagamaan dan intelektual kepada pemimpin gereja. Mereka dipatuhi seperti patuhnya seorang anak kepada bapaknya. Terdapat beberapa tokoh besar dalam ajaran ini seperti Justinus Martir, Klemens (150-215), Tertilianus (160-222) dan yang terpenting adalah St. Augustine.

St. Augustine (354-430) punya pemikiran unik. Katanya manusia tidak memiliki keraguan. Setidaknya, ketika kita ragu, maka kita juga sedang berada dalam sebuah keyakinan yaitu kita yakin kita sedang ragu. Maka keraguan itu sendiri adalah keyakinan. Uniknya lagi, ketika kita ragu maka kita berfikir, berfikir itulah yang semakin mengkuhkan bahwa kita ada.Kesimpulannya, kita ragu maka kita ada.
    Menurut Augustine, segala sesuatu berasal dari Cahaya Baik, karena itu Yang Baik mustahil menghasilkan yang buruk, 'evil’. Keburukan, atau apapun yang berkonotasi negatif hanyalah penyematan oleh kita sebab kerja akal untuk mengenal sesuatu adalah melalui pembedaan.Sesuatu yang dianggap negatif bukanlah kontra positif atau Cahaya, melainkan sesuatu yang jauh dari Cahaya.Gelap tidak ada, yang ada hanyalah kekurangan cahaya yang sangat.
      Segala sesuatu berasal dari Cinta. Manusia harus melakukan sesuatu semata karena cinta sebab energi dan motovasi gerak tindakan kita hanyalah dari Cinta. Karena manusia terbatas maka dia mencintai, jadi bila ada manusia tidak mencintai berarti dia orang yang riya dan sombong sebab dia mangira dirinya  mampu melakukan semuanya sendiri tanpa membutuhkan peran dari yang lain darinya.
      Cinta manusia pada manusia adalah untuk mengapresiasi yang dicintai (building other person). Manusia mencintai yang lain karena dirinya tidak sempurna. Karena itu cinta manusia penuh motif, maksudnya mereka mencintai karena ingin melengkapi dirinya.
      Cinta Tuhan adalah satu-satunya cinta sebab cintaNya tidak bermotif. Dia adalah Maha Sempurna.Dia mencintai bukan untuk melengkapi diriNya.Bahkan manusia sendiri mencintai Tuhan karena dirinya yang kesepian, kerinduan dan terasing. Manusia menurut Rumi adalah bagi sepotong seruling yang terpisah dari hutan bambu.
     ''Apa beda suka dengan cinta? ''Ketika pertanyaan ini saya ajukan banyak jawaban yang muncul. Mrs. Gerrardette Phillips mengatakan suka itu dapat berhenti bila keinginan sudah terpenuhi. Misalnya orang yang sedang lapar menyukai sepotong roti, apabila dia sudah kenyang maka 'suka' itu hilang.Cinta adalah sesuatu yang tak memiliki alasan. Cinta itu muncul seketikan dan takkan hilang. Cinta tidak membutuhkan pengenalan mendalam atau ekspektasi jauh.Malah cinta bisa semakin absurd semakin kita mengenal.Oleh sebab itu untuk percaya kepada Tuhan kita hanya butuh iman, buka pengenalan-pengenalan melalui rasio.
    Augustine menyatakan Ruh itu satu dan semua persona menyandang satu Ruh.Oleh sebab itu dia mengakui semua manusia yang lahir telah menyandang dosa warisan dari semenjak kejatuhan Adam.Dalam pandangan Kristen agama adalah hina. Pikiran seperti ini tidak lepas dari kondisi masyarakat Yunani dan sekitarnya yang hidup tertindas lalu menganggap dunia ini terkutuk karena putus asa dan hanya memfokuskan hayalan pada dunia setelah kematian.
   Ibn Rusyd menolak pandangan kesatuan ruh. Dia mengatakan masing-masing manusia punya ruh sendiri-sendiri. Makanya dia menolak adanya dosa warisan. Menurutnya semua manusia lahir dalam keadaan suci, Al-Qur'an juga mensiratkan berita bahwa manusia kelak diakhirat mempertanggungjawabkan amalnya masing-masing. Argumen Ibn Rusyd mengesankan pandangan kesatuan ruh adalah tidak mungkin.
        Bila Aquinas sangat dipengaruhi oleh Aristoteles, maka Augustin sangat dipengaruhi oleh Plotinus. Antara Plotinus dengan Aristoteles tidak banyak kesamaan. Jadi Filsafat Aquinas dengan Augustine berbeda.
                 

2.       St. Thomas Aquinas

Aquinas menjadi filosof terbesar zaman Skolastik Kristen. Zaman Skolastik dibagi tiga yakni Skolastik awal muncul setelah kemunduran Romawi yang ikut menenggelamkan aliran Patristik. Ketika Romawi bangkit kembali, ajaran Kristen masih tetap kuat, tetapi pola pengajarannya berubah menjadi sistem sekolahan sehingga disebut Skolastik.
                Tokoh terbesar zaman Skolastik awal yakni PeterAbaelardus (1079-1180). Selanjutnya muncul zaman uncak Skolastik dengan tokoh terbesar yakni Albert Magnus (1203-1280) dan Thomas Aquinas (1225-1274). Setelah mereka adalah zaman akhir Skolastik dengan tokoh terbesar yakni William Ockham (1285-1349) dan Nicolas Cusasus (1404-1464).
                Ajaran Skolastik Kristen memiliki ciri pemanfaatan filsafat, terutama ajarana logikanya, untuk dimafaatkan sebagai argumentasi agama terutama eksistensi Tuhan. Karena itulah kita memasukkan ajaran Skolastik Kristen sebagai aliran Teosentris. Karena pengandalan atas rasio, filosof seperti Aristoteles, Ibn Sina dan Ibn Rusyd menjadi tokoh penting yang mempengaruhi ajaran Skolastik Kristen. 
St. Thomas Aquinas adalah salahsatu filsuf penting dan terbesar. Namanya bersanding dengan para filosof besar seperti Plato, Aristoteles, Descartes dan Immanuel Kant. Dia adalah filsuf besar pertama setelah gagasan-gagasan besar dari Yunani berakhir pada Plotinus. Karena itu mempelajari ajaran Aquinas, hampir sama dengan mempelajari seluruh ajaran Skolastik Kristen.
     Pada masanya di Paris, Aquinas sempat dihadapkan pada konflik karena dicurigai menganut paham Averrost (Ibn Rusyd). Averroisme memang dianut banyak kalangan Universitas di Paris kala itu. Meski punya komunitas besar, Averroist tetap dianggap terlarang. Kemungkinan karena Averrost banyak dipengaruhi pemikiran Arab. Dan gagasan ini ternyata benar memberi efek buruk bagi gereja dengan lahirnya sekularisme.
        Aquinas menguasai dengan baik pemikiran Aristoteles. Dia mendapatkan terjemahan karya Aristoteles dari seorang sahabatnya dan memberi banyak komentar. Averrost juga sangat banyak dipengaruhi Aristoteles. Mungkin karena itulah  Aquinas dicurigai sebagai pengikut Averrost.
         Selanjutnya Aquinas mengatakan pemikiran Aristoteles lebih baik dijadikan dasar filsafat Kristen daripada pemikiran Plato. Dia melanjutkan, kaum Muslim dan Averroism Kristen telah salah memahami Aristoteles. Ini memungkinkan dua hal. Pertama Averrost sendiri yang salah memahami pemikiran Aristoteles dan kedua, boleh jadi memahami Aristoteles melalui Averrost tidak memadai. Namun demikian Russel (2004: 600) meluruskan bahwa pemikiran logika dan Filsafat Aristoteles belum final. 'Belum final' maksud Russel  ini saya kira lebih tepatnya disebut ''tidak final lagi''. Artinya pemikiran Aristoteles itu sudah baik untuk sebelum zaman pencerahan. Namun untuk saat ini tidak memadai lagi seiring berubahnya cara pandang manusia terhadap alam dan diri mereka sendiri disertai penemuan-penemuan mutakhir.
                Demikianlah sebuah peradaban hidup dalam keyakinan mendalam setiap persona secara global. Kapan peradaban itu bergerak? Ketika ada yang datang mengungkit keyakinan yang telah mapan itu.Pergerakan peradaban itu adalah perubahan kebudayaan. Peradaban itu Dilihat dari luarnya memang statis tapi dari dalam dia terus bergerak.
         Trinitas Kristen yang diperkenalkan oleh St. Paul (Hart: 2004) bertahan dengan baik. Selanjutnya  Aquinas mengungkit konsep itu dan memberikan nuansa baru sehingga menjadikannya lebih rasional. Sekarang konsep Trinitas diragukan banyak orang sejak masa Galilei. Karena itu, kita membutuhkan seorang pemikir yang dapat merasionalkan kembali konsep itu, menjadikannya relevan sesuai dengan penemuan ilmiah mutakhir. Tidak hanya Kristen, semua agama saat ini dibuat kelabakan oleh sains yang bergerak cepat. Saya kira semua aliran agama tidak perlu panik merespon perubahan ini.Kita harus sadar bahwa bahasa agama adalah bahasa simbolik, abstrak dan bahasa sains sangat konkrit. Kalau Kristen mengatakan Tuhan adalah ''tiga jelmaan'', maka Al-Hallaj mengatakan semua adalah Tuhan, semua adalah tidak ada, yang ada hanya Tuhan. Semua dialektika itu adalah dialektika agama, semuanya simbolis, perlambangan.
    Saya menemukan kemiripan peran antara  Aquinas dalam dunia Kristen dengan Iqbal dalam dunia Islam. Iqbal, sama dengan  Aquinas mencoba merekonstruksi paham teologis bagi agama mereka masing-masing.  Aquinas mengatakan eksistensi Tuhan tidak perlu dibuktikan melalui realitas alam. Baginya manusia telah mengenal esensi Tuhan dan setidaknya itulah yang penting.
     Berbarengan dengan itu, Iqbal juga mengkritik argumen teologis dalam Islam dengan menerangkan bahwa kesadaran manusia hanya membentuk realitas dalam dirinya sendiri, bukan apa sebenarnya (Iqbal, 1978). Karena itu alam tidak ideal dijadikan sandaran pengenalan Tuhan.
     Menurut  Aquinas, para filosof dapat menemukan Tuhan dengan kedalaman pemikiran mereka. Namun karena tidak semua orang berkesempatan menjadi filosof, maka orang awam cukup mengenal Tuhan melalui infornasi para nabi. Argumen ini sejalan dengan pendapat Ar-Razi yang kontrofersial dengan mengatakan sebenarnya Nabi tidak dibutuhkan kalau semua orang menjadi filsuf. Namun karena tidak semua orang bisa menjadi filsuf, maka Nabi dibutuhkan untuk menyampaikan berita yang tidak dipahami orang awam.
     Menurut  Aquinas, kepercayaan akan Tuhan hanya bisa dibuktikan melalui iman. Sebab segala yang tidak terjangkau indera tidak dapat dibuktukan. Russel menolak pandangan tersebut, menurutnya Tuhan yang tidak tertangkap indera bisa dibuktikan melalui makhlukNya. Tapi  Aquinas tetap saja mengemukakan argumen untuk membuktikan keberadaan Tuhan melalui teori kausalitas yang oleh Iqbal telah dianggap keliru.  
      Perdebatan antara al-Ghazali dengan Averrost mengenai apakah Tuhan mengetahui hal-hal yang partikular adalah pembahasan yang sengit di Eropa kala itu. Setidaknya, masyarakat Barat yang fnatik pada Averrost turut mempercayai bahwa Tuhan tidak mengetahui hal-hal partikular. Ini membuat  Aquinas angkat bicara. Dalam bukunya Summa Contra Gentiles,  Aquinas menyatakan bahwa Tuhan adalah Maha mengetahui dan pengetahuanNya meliputi segala sesuatu.
                Mengenai pembicaraan apakah Tuhan tidak perlu mengetahuihal-hal partikular--sebab itu Dia tidak mengetahui,  Aquinas pendapat lain. Aquinas mengatakan bahwa cara mengetahui Tuhan berbeda dengan manusia. Manusia melakukan distingsi (pembedaan-pembedaan) untuk mengetahui, sementara Tuhan mengetahui secara menyeluruh.
       Jadi yang disebut partikular itu tidak ada bagi Tuhan. Hal-hal partikular adalah pengetahuan manusia yang berasal dari kesadarannya, sementara kesadaran manusia itu sendiri dari Tuhan. Paham  Aquinas sangat menarik bagi saya, apalagi ketika dia mengatakan segala kehendak manusia adalah berasal dari kehendak Tuhan. Paham teologis ini sejalan dengan yang saya pikirkan dan saya percayai sampai hari ini.
       Manusia sebenarnya tidak bisa menentukan sendiri pilihannya. Semua keputusan dan tindakan manusia adalah dari Allah. Ini sesuai pula dengan informasi Al-Qur'an bahwa Allah merahmati atau melaknat sesiapa yang Dia kehendaki. 
     Dalam jilid kedua buku yang sama,  Aquinas membahas tentang Ruh. Averrost mengatakan Ruh itu diciptakan bagi masing-masing manusia, jadi untuk setiap manusia yang lahir dia mendapatkan ruhnya sendiri. Pandangan ini bertentangan dengan paham St. Augustine yang menyatakan setiap manusia lahir menyandang dosa keturunan. Alasannya karena Ruh itu adalah Satu.
     Saya lebih sepakat dengan Augustine menganai hakikat Ruh. Saya melihat setiap benda dan hewan memiliki ruh. Ruh hadir pada semua keberadaan dengan kapasitasnya masing-masing. Pada hewan dan tumbuhan ruhnya tidaklah kekal karena fakultas ruhnya tidak dalam sehingga kehadiran ruh tidak mendalam. Sementara fakultas manusia sangat memadai bagi eksistensi Ruh yang lebih mendalam sehingga dianya terus hidup (kekal).
        Aquinas tidak sepakat dengan Augustine, dia lebih cenderung bahwa roh manusia itu bagi diri masing-masing. Perbedaan paham ini turut mempengaruhi perbedaan keduanya dalam memahami kehendak manusia.  Aquinas lebih sepakat manusia punya kehendak bebas dan Tuhan sebenarnya tidak mengetahui hal-hal partikular.
     Saya melihat antara Augustine dengan  Aquinas, sebagai filsuf, Augustine jauh lebih baik, utamanya menganai hakikat Ruh. Tapi saya kira kita , Augustine telah salah paham mengenai ''dosa keturunan''. Dalam pemahaman yang lebih filosofis, tidak ada yang disebut 'dosa' ataupun hal-hal lain yang berkonotasi buruk. Sebab, segala wujud yang menyandang aneka sifat adalah berasal dari Yang Maha Baik. Dari yang baik mustahil termanifestasi yang buruk. Maka, sesuatu yang disebut 'dosa' itu maksudnya adalah suatu manifestasi ''terjauh'' sehingga jauh dari Sumber Kebaikan.
     Tapi benarkah ruh manusia itu jauh dari Baik? Literatur Islam menyatakan bahkan ruh manusia bahkan bisa melampaui malaikat dan bisa lebih rendah daripada binatang ternak. Di sisi lain, teolog Islam mengakui manusia menangis ketika dilahirkan ke dunia karena telah dipindahkan dari tempat mulia ke tempat yang hina. Namun, walau bagaimanapun alam ini adalah satu-satunya wadah beribadah (atau bermaksiat) sebagai penentu tempat kembali. Jadi kalau memang perolehan ''tempat hina'' ini disebut sebagai 'dosa' yang bermakna 'kekurang-baikan'', maka benarlah Augustine.
     Buku ketiga membicarakan tentang etika. Di sana di bahas tentang etika perkawinan, hubungan seks, kehendak manusia dan sebagainya. Menurut Aquinas, ikatan pernikahan tidak boleh diputuskan karena anak membutuhkan ayah walau bagaimanapun. Poliandri membuat sulit mengetahui ayah dari anak. Poligami dikatakan tidak adil bagi perempuan.Dia mengatakan setidaknya harus diterapkannya poliandri yang ketat.
     Buku keempatnya banyak membicarakan persoalan teologi. Aquinas sepakat bahwa Kristus dari Roh Kudus namun menolak dia sebagai anak Tuhan.
          Dalam bagian ini ikut pula dibahas mengenai kebangkitan manusia.Tema ini juga menjadi bagian penting dalam perdebaran Al-Ghazali dengan Averrost. Al-Ghazali mengatakan pada saat kebangkitan nanti di akhirat, yang dibangkitkan tetap jasad ini, sementara Averrost mengatakan bukanlah jasad ini yang dibangkitkan sebab alam akhirat bukan alam partikel sebagaimana di dunia sekarang.
     Aquinas mengatakan  seorang kanibal dan korbannya akan bangkit dengan tubuh masing-masing secara utuh. Korban tidak bangkit dengan bagian tubuh yang tidak lengkap dan pelaku tidak bangkit dengan anggota tubuh yang berlebihan. Dengan ini terlihatlah pandangan Aquinas lebih dekat dengan Al-Ghazali.
     Garis besar pemikiran Aquinas sama seperti Augustine yaitu menemukan korelasi pemikiran Aristoteles dengan ajaran Kristen. ''Penemuan argumen untuk sebuah kesimpulan yang dikemukakan sebelumnya bukanlah filsafat'' kata Bertenand Russel.
     Sebab itulah saya curiga mungkin tidak ada yang namanya ''Filsafat Islam''. Bahkan saya menduga tidak akan ada yang namanya 'filsafat Islam'. Sampai kapan? Sampai kaum muslim masih ada atau setidaknya sampai orang Islam masih percaya dengan kebenaran Al-Qur'an. Setidaknya, opini ini bertahan hingga saya belajar filsafat Islam secara mendalam.
                Filosof Barat setelah Yesus yang kita bicarakan ada tiga orang yaitu Plotinus, St. Augustine dan Aquinas. Di mata saya diantara mereka bertiga hanya ada nama Plotinus yang layak disebut sebagai seorang sebagai filsuf sejati. Dia adalah bagian dari  para pencari kebijaksanaan, sama seperti Plato, Descartes, Kant dan Nietzsche.
                Setelah  aliran Skolastik, di Barat terbitlah ajaran filsafat Modern yang dimulai oleh Machiavelli di Italia dan ditutu oleh Nietzsche.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar