Link Download

Rabu, 30 Desember 2015

Jiwa dan Pengetahuan dalam Filsafat Mulla Sadra


Aristoteles mengatakan jiwa sebagai aktualisasi potensi badan. Bagi Al-Farabi, awalnya jiwa adalah bagian utuh dari badan. Lalu berkembang menjadi sesuatu yang utuh terpisah dari badan, misalnya, ketika manusia mampu menghayalkan gambar-gambar yang immaterial. Ibn Sina juga mengatakan jiwa awalnya adalah satu hal yang inhern dengan jasad. Namun selanjutnya ia menjadi seperti pengemudi bagi jasad. Lalu dia mengatakan hubungan jiwa dengan jasad berlangsung dengan adanya ruhul bukhari.
Semua filosof, untuk setiap objek pembahasannya, konsisten, atau harus konsisten, mengingat inplikasi, atau konsekuensi integral antar tiap pembahasan merek: logika, epistemologi, ontologi, dan lainnya.
Perlu diingat kembali bahwa Mulla Sadra membangun filsafatnya dengan fondasi penting yakni kemendasaran wujud atas mahiyah, gradasi wujud dan gerak substansi serta kesatuan subjek dan objek. Dua bagian terakhir ini menjadi penting dalam pembahasan mengenai jiwa dan sistem pengetahuan dalam pandangan filosof terbesar yakni Mulla Sadra.
Perlu direview bahwa, gerak adalah sistem yang dibangun filosof sebagai bukti keberadaan jiwa. Ibn Sina menolak substansi terlibat hukum gerak karena menurutnya, bila substansi bergerak, berarti terjadi perubahan terhadap suatu entitas. Dan bila esensinya berubah, maka itu bukan gerak, tetapi adalah terjadinya entitas yang lain.
Mulla Sadra tidak sepakat dengan Ibn Sina. Katanya gerak yang terjadi pada aksiden justru adalah karena adanya gerak pada substansi. Jiwa yang merupakan bagian substansi terus mengalami perubahan sehingga hal ini mejadi bagian dari cara Mulla Sadra mejelaskan konsep pengetahuan.
Perlu diingat kembali bahwa Mulla Sadra menerima tiga penggolongan tingkatan mahiyah yakni bi syarti la, la bi syart dan bi syart syay. Bila dihubungkan dengan sistem pengetahuan yang dibangun Mulla Sara, maka tiga kategori ini dapat dilihat sebagai proses-proses pengetahuan. Bahwa pengetahuan adalah adalah wujud yang nyata.
Sebelum Mulla Sadra, semua filosof telah menuai masalah yang tidak usai tentang teori pengetahuan. Apakah pengetahuan itu adalah aksiden-aksiden realitas konkrit yang masuk ke dalam pikiran? Bagaimanakah gambar-gambar itu dapat dibuat oleh pikiran sehingga menjadi sama dengan realitas konkrit objek pengetahuan? Bukankah indera itu terbatas? Apakah konseptualisasi pikiran tidak terbatas? Lantas, bagaimana bisa terbentuk sebuah keyakinan bahwa realitas konkrit itu sama dengan konsep?
Pertanyaan-pertanyaan awam semacam ini saja dapat memunculkan banyak persoalan. Sehingga tidak tertutup kemungkinan bahwa pengetahuan akan suatu konsep malah adalah semakin menjauhkan dari pengetahuan.
Kembali kepada teori Mulla Sdra tentang pengetahuan, Fazlur Rahman (2000, p. 286) mengatakan dalam pandangan Mulla Sadra, pengetahuan itu adalah wujud yang murni. Pengetahuan harus bebas dari materi karena pengetahuan adalah intuisi langsung. Wujud murni menciptakan suatu gambar dalam dirinya yang diakui Mulla Sadra identik dengan bentuk objek pada ranah konkrit. Pikiran menciptakan suatu esensi universal yang diterapkan pada objek konkrit. Pandangan ini tentunya mirip pandangan idea Plato.
Perlu dicatat, maksud dari gambar yang diciptakan pikiran itu adalah suatu modifikasi internal jiwa yang menyatu dengan jiwa itu sendiri. Dan realitas objektif yang dimaksud itu bukanlah sesuatu sebagai lokus terpisah. Sebenarnya, antara zihni dengan khariji itu hanyalah aktualisasi jiwa berdasarkan konsep yang dibentuk oleh sang jiwa yang sejatinya adalah wujud dengan melimitasi dirinya menjadi mahiyah. Jadi, baik itu gagasan, konsep atau esensi maupun realitas objektif adalah gradasi wujud yang melimitasi diri sebagai mahiyah.
Uraian terbaik dari Fazlur Rahman mengenai persoalan pengetahuan dalam pandangan Mulla Sadra adalah sebagai berikut:
''Karena penglihatannya yang kabur terhadap bentuk, pikiran diberi kemampuan untuk membentuk esensi yang kemudian berperan sebagai universal-universal yang dapat diterapkan pada spesies-spesies yang berbeda. Dalam melakukan hal ini, pikiran perlu bertindak tegas terhadap realitas, karena realitas bukan esensi, tetapi spektrum wujud. Esensi adalah sesuatu yang tidak nyata dan negatif sebagai sifat pokok wujud yang pasti mengiringi semua tingkatannya. Meskipun demikian, kerja pikiran dengan semua tingkatan-tingkatan tersebut juga suatu realitas urutannya sendiri, dan benar bahwa dalam pengertian tertentu tingkatan-tingkatan itu ada dalam pikiran.'' (Fazlur Rahman, 2000, p. 288)
Bagi Mulla Sadra, gagasan atau ma'ani, konsep atau mafhum dan esensi atau mahiyat. Adalah bentukan pikiran yang ia lihat sebagai gradasi wujud. Pernyataan ini adalah penegasan untuk pandangan Mulla Sadra tentang kesatuan subjek dengan objek.
Mulla Sadra menegaskan perbedaan antara wujud konkrit dengan wujud konsep. Sehingga dia dapat membuat tiga model dalam mahiyah. Pertama adalah yang memiliki wujud yang konkrit, ini tentunya memiliki mahiyah. Kedua adalah wujud yang memiliki mahiyah tetapi hanya ada dalam pikiran, tidak pada ranah konkrit, misalnya, unicorn, pegasus dan garuda. Ketiga adalah yang tidak memiliki haqiqah atau esensi tetapi mafhum konsepnya dapat dibuat.
Mengenai pengetahuan akan realitas konkrit, terdapat tiga model. Pertama adalah pandangan fisika Aristotelian yang mengatakan objek datang kepada indera lalu disimpan pikiran. Kedua model matematika Platonis yang mengatakan kekuatan itu datang dari indera yang mengambil gambar objek. Ketiga adalah pandangan hudhuri Suhrawardi yang mengatakan objek hadir secara langsung tanpa perantara.
Adapun pandangan Mulla Sadra adalah ''... Penglihatan terjadi dalam penciptaan, dengan kekuatan Tuhan.'' Bentuk menyerupai objek eksternal yang hadir dari jiwa. Bentuk ini terpisah dari objek konkrit. Hubungan bentuk ini dengan jiwa adalah seperti hubungan tindakan dengan pelakunya. (Fazlur Rahman, 2000, h. 299).
Jadi, tegas bahwa Mulla Sadra menolak teori abstraksi sebagaimana dianut banyak filosof sebelum dirinya. Dia menegaskan bahwa imajinasi adalah modifikasi internal jiwa. Segala rasa seperti takut dan cinta, dalam pandangan Mulla Sadra
Pengetahuan akan realitas konkrit adalah wujud pada tingkatan terendah. Lalu berevolusi hingga menjadi pengetahuan dalam akal aktif. Terkait hal ini, Mulla Sadra menerima jasad ikut bangkit bersama jiwa kelak karena baginya, berkembangnya pengetahuan tidak meninggalkan pengetahuan yakni wujud pada tingkatan pertama sebagaimana diyakini Ibn Sina.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar