Link Download

Rabu, 30 Desember 2015

Wujud dan Mahiyah


''Jiwa dan di atas jiwa adalah Wujud Murni. Wujud yang Primer hanya Tuhan saja. Segala selainNya yang primer adalah mahiyahnya.'' Ketika sampai pada pembahasan Syihabuddin Suhrawardi yang ini, Mulla Sudra mengaku terkagum-kagum dengan pendiri Hikah Al-Isyraq ini. ''Syihabuddin Suhrawardi adalah cahaya mataku'' demikian puji Mulla Sdra kepada Surawardi. Berikut pembahasannya:
Wujud adalah sesuatu yang muncul sebagai prakonseptual. Misal, bayi yang belum mampu mengkonsep apapun ketika disulut abu rokok secara tiba-tiba, ia hanya mampu merasakan ada, yakni wujud. Konsep-konsep belum berlaku bagi bayi. Dengan demikian jelaslah wujud hadir sebelum konsepsi. Karena itu, dalam pikiran, wujud itu jelas bagi semua orang. Wujud sebagai konsep tidak membutuhkan apapun dan tidak dapat dijelaskan melalui apapun. Sementara wujud pada realitas (mawjud) hanya dapat dipahami setelah esensi (mahiyah).
Wujud sebagai prinsipalitas, menurut Toshihiko Isutzu, (2003, p. 17 & 19) baru diperkenalkan oleh Mulla Sadra. Sebelumnya, oleh Ibn Sina, wujud yang dianggap sebagai yang utama dan berdiri sendiri bukanlah wujud tetapi mawjud. Sebab itulah Isutzu menyinggung Fazlur Rahman dan Hadi Sabzawari karena menyamakan istilah 'mawjud' yang dipakai Ibn Sina dengan istilah 'wujud'.
Wujud sebagai konsep adalah terbukti dengan sendirinya. Sementara sebagai realitas, dia tersembunyi. Tetapi dalam pandangan Isutzu, (2003, p. 26) sebagai kebiasaan yang tidak patut dilakukan, para pengukut Hikmah Muta'alliyah sering mengabaikan perbedaan wujud sebagai konsep dan wuju pra-konseptual.
Melalui Ibn Sina, dapat diketahui bahwa pada satu mahiyah terdapat dua wujud yakni wujud konsep (dzihni) dan wujud konkrit (khariji). Dengan wujud dzihni, mahiyah sesuatu dibentuk. Tetapi wujud bukanlah pembentuk mahiyah. Pada realitas eksternal, wujud benar-benar tersamarkan oleh mahiyah. Sementara pada ranah konseptual, wujud dengan mahiyah benar-benar dapat dibedakan seolah keduanya berbeda. Wujud konseptual dapat digambarkan tetapi tidak secara langsung melainkan melalui penisbatan kepada mahiyahnya.
Abstrak wujud dapat diterapkan pada mahiyah-mahiyah yang tidak terbatas. Tetapi abstrak mahiyah hanya dapat diterapkan pada beberapa mahiyah saja. Misal, wujud (ada) dapat diterapkan pada apapun, tetapi mahiyah, meja, misalnya, hanya dapat diterapkan pada meja ini dan meja itu saja, tidak pada mahiya kursi, mahiyah kuda dan lainnya.
Bahwasanya, adalah berbeda wujud abstrak dengan wujud yang khusus yang hanya terkait dengan mahiyah. Wujud abstrak dapat diterapkan pada apapun: Tuhan, meja, manusia dan segala mahiyah lainnya.
Wujud dapat menjadi predikat bagi setiap Mahiyah. Dengan adanya mahiyahlah wujud dapat dikenal. Dan ini khusus di alam konsep. Di alam konkrit dia tersembunyi secara sempurna oleh maqulat-maqulat (mahiyah-mahiyah konkrit).
Wujud yang menjadi predikat bagi mahiyah tidak menjelaskan apapun tentang mahiyah. Sehingga dalam posisi ini, wujud sebagai konsep abstrak adalah yang paling mandul, sementara realitas eksternal yang dirujuk menjadikan wujud sebagai hal yang paling kaya sebab menjadi sumber bagi segala realitas.
Untuk memperjelas masalah ini, perlu dijelaskan tentang primary intelligible atau ma'qulat awwal dan secondariy intelligible atau ma'qulat tsani. Ma'qulatul awwal adalah predikat yang diambil dari realitas konkrit lalu diabstraksikan menjadi independen tanpa ikatan dengan subjek apapun. Misalnya putih yang di ambil dari dinding menjadi ke-putih-an.
Ma'qulat tsani adalah suatu predikat yang tidak ada pada realitas konkrit. Misalnya 'universal' yang diabstraksikan dari konsep 'manusia' dan konsep manusia itu hanya ada di dalam pikiran. Ini adalah contoh untuk ma'qulat tsani mantiqi.
Ma'qulat tsani falsafi adalah predikat yang diambil dari realitas konkrit dan predikatnya hanya ada pada konsep. Misal, 'Ali ayahnya Hasan'. Konsep 'ayah' diambil dari 'Ali' yang ada realitas konkritnya.
Adapun posisi wujud yang kita maksud tadi adalah termasuk ma'qulat tsani falsafi. Subjeknya ada pada realitas kontrit, tetapi predikatnya adalah konsep.
Tetapi dalam pandangan kemendasaran wujud atas mahiyah, kemendasaran mahiyah hanya terjadi di ranah konsep. Sementara di ranah konkrit, yang utama adalah wujud. Adapun mahiyah-mahiyah hanyalah pembatasan-pembatasan wujud yang tidak terbatas di alam konkrit.
Seperti pengenalan langsung sebagai prakonseptual dan sebagai konsep yang dapat diterapkan pada setiap mahiyah, kedua tingkatan wujud sebagai konsepsi ini tidak dapat direduksi. Dia sudah sangat jelas sehingga tidak dapat dijelaskan melalui konsep apapun. Tetapi kedua tingkatan wujud ini tetap sebagai pemahaman, bukan pengalaman nyata. Pengalaman nyata akan wujud hanya dapat diraih oleh orang-orang tertentu.
Selanjutnya pembahasannya adalah tentang perbedaan antara wujud dengan mahiyah. Pada setiap wujud konkrit atau mawjud, ianya terdiri dari mahiyah dan wujud. Perbedaan wujud dengan mahiyah yang menjadi dasar perdebatan ontologi dalam filsafat Islam sebenarnya diinspirasikan oleh Aristoteles ketika dia mengatakan bahwa 'manusia itu apa' dan 'manusia itu apa' atau mahiyah lainnya adalah dua hal yang berbeda. Wujud hanya bisa dibuktikan dengan demonstrasi, sementara mahiyahnya dapat dijelaskan melalui defenisi.
Aristoteles dan Al-Farabi menjadikan wujud konkrit sebagai fokus kajian mereka dan menyimpulkan bahwa wujud adalah aksiden bagi mahiyah. Tetapi Al-Farabi menyeret diskusrus ini ke dalam persoalan pembahasan penciptaan. Di mana ia mengatakan Wujud Pencipta adalah sama dengan Mahiyah-Nya. Dan bagi ciptaan, selain wujud dengan mahiyahnya sama, tetapi wujudpun oleh ciptaan tidak dapat muncul tanpa Permberian wujud oleh Pencipta. (Isutzu, 2003, p. 48) Impikasi persoalan ini adalah, para ranah konkrit, wujud dengan mahiyah adalah tunggal, tanpa rangkap. Baru dalam ranah konsep keduanya dapat dipisahkan.
Ibn Sina menganalisa objek konkrit lalu diabstraksikan secara subjektif kepada universal alami yang melampaui wujud dan mahiyah. Untuk abstrak universal ini, perlu ditambahkan wujud padanya agar dia dapat dibangun kembali dalam keutuhannya semula. Pandangan ini adalah konsistensi Ibn Sina dengan gagasan materi primer yang membutuhkan wujud wajib supaya dapat teraktualisasi. Dan dalam pandangan Ibn Sina, perbedaan wujud dengan mahiyahnya hanyalah pada ranah konseptual. Jadi kritik yang umumnya terjadi pada Ibn Sina adalah karena mengira Ibn Sina menambahkan wujud pada mahiyah yang konkrit.
Pandangan Ibn Sina di atas sejalan dengan konsep penciptaan dalam pandangan Al-Farabi sebagaimana disinggung sebelumnya.
Perlu ditegaskan bahwa mahiyah itu terbagi dua. Pertama adalah mahiyah dalam pengertian khusus (bi ma'na al-khas) yang merupakan jawaban terhadap setiap pertanyaan 'apa itu?'. Mahiyah ini disebut juga dengan quiditas. Kedua adalah mahiyah dalam pengertian umum (bi ma'na am) yakni sesuatu yang dengannya sebuah benda sebagaimana adanya. Mahiyah ini disebut juga dengan esensi.
Dalam analisa pikiran, sebuah objek dibedakan antara mahiyah (quiditas) dan eksistensinya. Eksistensi yang menjadikannya menjelma dan mahiyah yang membuatnya menjadi berbeda dengan yang lain sehingga dia menjadi suatu differensia konkrit.
Pada satu entitas konkrit, antara wujud dengan mahiyah, harus salah satunya saja yang menjadi ashal, yakni sebagai yang nyata bagi entitas tersebut. Sementara yang menjadi i'tibar, hanyalah proyeksi mental atau pikiran. Karena itu, mustahil keduanya menjadi ashal karena bila keduanya ashal, berarti ada dua entitas berhadap-hadapan.
Toshihiko Isutzu (2003, p. 61-65) mengemukakan dua argumentasi Hadi Sabzawari dalam membuktikan bahwa eksistensi adalah ashal. Pertama adalah dalil predikasi teknis umum atau haml sya'i shina'i. Misalnya pada 'al-insan al-katib'. Antara 'manusia' sebagai subjek dan 'penulis' sebagai predikat memiliki perbedaan yang disebabkan oleh quiditas terjadi dalam pikiran. Tetapi kedua perbedaan itu disatukan oleh wujud karena pada tinjauan konkrit hanya ada satu entitas yakni 'manusia' atau 'penulis' saja. Fondasi dalil ini adalah aspek kesamaannya adalah perbedaannya atau aspek perbedaannya adalah kesamaannya yang bertingkat seperti menjadi subjek dan menjadi predikat.
Dalil kedua yakni gradasi mahiyah. Misalkan api. Api yang menjadi sebab (prior) yang menyebabkan api lain (posterior). Maka yang terjadi hanyalah hal yang tidak apa berubahan sebab api sebagai prior dan api sebagai aposterior tetap saja api. Sehingga jelaslah bahwa yang menyebabkan menjelmanya api bukanlah mahiyah api tetapi adalah wujud.
Perdiri aliran Illuminasi dalam filsafat Islam, Syihabuddin Suhrawardi, mengira Ibn Sina membedakan antara wujud dengan mahiyah pada ranah konkrit. Sehingga ia mengkritiknya dengan mengatakan seharusnya perbedaan itu tidak berlaku di alam konkrit tetapi hanya pada ranah konsep atau mental. Dalam hal ini, Suhrawardi sepakat dengan Ibn Sina. Tetapi ketika dikatakan Suhrawardi, sebagaimana dibahasakan oleh Toshihiko Isutzu: ''... konsep 'eksistensi' benar-benar i'tibari, tidak ada yang nyata yang langsung berkaitan dengannya dalam 'eksisten' yang sebenarnya.'' (Isutzu, 2003, p. 67) Dan Isutzu menyimpulkan bahwa Suhrawardi menganggap mahiyah yang aktual di ranah konkrit. Inilah yang membedakannya dengan Ibn Sina.
Suhrawardi melihat, segala argumentasi yang menyentuh tentang wujud hanya muncul sebagai predikasi pikiran atas mahiyah yang nyata. Misalnya ketika mengatakan ''Di dalam rumah ada meja'' maka kata 'ada' tampak hanya sebagai predikasi di dalam pikiran bagi mahiyah 'meja' yang konkrit.
Kesalahpahaman atas pandangan Ibn Sina juga berlaku bagi Ibn Rusyd, Thomas Aquinas dan Fakhruddin Al-Razi. Semuanya menuduh Ibn Sina melakukan kesalahan dengan mengatakan eksistensi adalah sebuah aksiden baqi quiditas. Benar Ibn Sina mengatakan demikian, tetapi maksudnya bukan pada ranah konkrit tetapi pada ranah konsepsi mental. Sebab pada ranah konkrit, sesuatu adalah ketunggalah mutlak. Namun ketika suatu mahiyah itu dianalisa secara konseptual, maka mahiyah dengan wujudnya dapat dipisahkan. Ketika dipisah, maka eksistensinya akan tampak sebagai sesuatu yang tidak nyata karena wujud dalam konsep menjadi mumkin bagi sesuatu yang lain. ini adalah bagian ma'qulat tsani falsafi. Seperti 'Ali' di ranah konsep adalah 'Ali' yang tidak utuh sebab dia berkonsekuensi sebagai 'ayahnya Hasan'. Tetapi 'Ali' pada ranah konkrit adalah 'Ali' yang utuh.
Aliran Hikmah Muta'alliyah sekalipun tidak mengabaikan, namun punya cara pandang lain dalam menggambarkan tingkatan wujud. Mereka hanya menerima wujud sebagai yang ril. Sementara mahiyah adalah proyeksi intrinsik oleh wujud. Perbedaannya adalah pada kesamaannya dan kesamaannya adalah pada perbedaannya, yakni wujud.
Dalam pandangan Mulla Sadra, wujud sebagai realitas sejati tidak dapat dianalisis secara konseptual. Wujud itu hadir secara langsung, tetapi hanya pada kalangan terbatas, yakni mereka yang telah mencapai latihan spiritual yang tinggi serta mereka yang punya potensi untuk itu.
Toshihiko Isutzu (2003, p. 96) manganalisis wujud menjadi gagasan yang meliputi (1) wujud mutlak dan (2) bagian wujud serta realitas wujud yang meliputi (3) unit umum dan (4) unit khusus.
Gagasan wujud mutlak adalah wujud yang terbukti dengan sendirinya. Dia dapat diterapkan pada apapun tanpa mempengaruhi apapun. Dia jelas berbeda dengan mahiyah. Tetapi kalangan Asy'arian menyamakannya dengan mahiyah. Adapun bagian wujud adalah wujud yang dibatasi oleh mahiyah serta berhubungan langsung dengannya. Sementara unit umum adalah realitas eksistensi yang sejati, yang luas, yang tidak terjangkau, tidak terartikuliasikan kecuali melalui gambaran negatif. Dan unit khusus adalah wujud konkrit yang merupakan batasan-batasan dan ketentuan-ketentuan intrinsik realitas wujud. Bila menolak wujud secara konseptual dipisahkan dengan wujud sebagai realitas, sebagaimana dilakukan Asy'arian, maka yang terjadi adalah penyamaan antara wujud Tuhan dengan wujud makhluk. Padahan kesamaan antara wujud Tuhan dengan wujud makhluk hanya pada kesamaan konsep (musytarak lafzi), bukan kesamaan realitas (musytarak ma'nawi).
Adapun bagi penganut Peripatetik, mereka hanya menerima realitas wujud sebagai unit khusus, tanpa mengelaborasi unit umum, sehingga bagi mereka terdapat beragam wujud konkrit yang tidak berbatas dan tidak bersatu.
Sementara itu ada pandangan sufi yang terbagi menjadi sufi yang mengatakan ada hanya satu wujud pada realitas konkrit tanpa gradasi. Pandangan ini tampak seperti panteisme. Sementara golongan sufi lainnya adalah pandangan yang dianut Mulla Sadra dan pengikutnya. Mereka membedakan wujud murni yang mutlak tanpa syarat dengan wujud yang konkrit. Adapun wujud konkrit adalah wujud yang memiliki kebutuhan mutlak kepada wujud yang murni untuk menjelma.
Selanjutnya adalah pandangan ashalatul mahiyah yang dipegang oleh Jalaluddin Dawani, Mir Damad dan Suhrawardi. Bagi mereka, wujud hanya pada tahap bagian wujud (konseptual), bukan bagian khusus (realitas). Bagi golongan ini, yang nyata secara konkrit adalah keragaman mahiyah, bukan wujud. Bagi mereka, hubungan mahiyah-mahiyah dengan wujud hanya hubungan aksidental.
Adapun dalam pandangan Mulla Sadra dan Hadi Sabzawari, wujud itu adalah satu yang bergradasi. Menjadi wujud yang menjelma hingga mengesankan keberagaman sebenarnya adalah satu wujud saja. Wujud yang satu itu membatasi dirinya dengan mahiyah-mahiyah yang diproyeksikan pikiran sehingga seolah tampak wujud yang menjelma itu menjadi beragam.
Pemahaman tentang gradasi wujud dalam Filsafat Hikmah dijelaskan melalui konsep analogis. Kategorisasinya dibagi menjadi sebab (prior) dan akibat (posteor), substansi dan aksiden atau kekuatan dan kelemahannya. Menjadi sebab dan menjadi akibat sejatinya adalah dengan kedahuluan dan kebelakangan. Akibat sejatinya adalah kehadiran sebab secara menyeluruh. Ditinjau dari sisinya sebagai akibat, dia tampak sebagai akibat. Bila ditinjau secara menyeluruh, barulah tampak sebab dan akibat. Demikian juga sebagai substansi dan aksiden adalah sebagai kekuatan dan kelemahan. Menjadi yang kuat dan yang lemah adalah satu wujud itu juga. Misalnya air yang suhunya enam puluh derjat celcius lalu suhunnya bertambah menjadi tujuhpuluh derjat celcius adalah air itu juga, yang lebih kuat adalah air itu juga dan lebih lemah adalah air itu juga.
Muhammad Nur (2012, p. 71) menegaskan empat syarat terjadinya tasykik atau gradasi wujud: kesatuan adalah aktual, pluralitas adalah aktual, pluralitas kembali kepada kesatuan dan kesatuan mengalir dalam pluralitas.
Toshihiko Isutzu membagi gradasi menjadi dua bagian (Isutzu, 2003, p. 103). Pertama adalah dalam pengertian khusus, yakni analogi untuk realitas eksistensi dan kedua adalah dalam pengertian umum, yakni analogi untuk konsep eksistensi. Untuk jenis pertama, Isutzu menggunakan analogi Adam, Nuh, Musa dan Isa sebagai analogi keduluan dan kebelakangan. Adapun untuk analogi jenis pertama ia menggunakan contong angka. Angka 2 dan 2000 kesamaannya adalah pada angka dan perbedaannya juga pada angka.
Orang-orang yang diilhami dengan penyingkapan wujud sejati dan dianugerahi kecerdasan intelektual yang tinggi akan melihat dua model wujud sekaligus. Pertama adalah kemurnian wujud dan kedua adalah keberagaman wujud dalam ranah konkrit. Wujud pertama disebut sebagai Nafas Maha Kasih karena sifatnya seperti nafas. Dalam kemurniannya nafas adalah sesuatu yang unik dan mengandung potensi segala keberagaman bunyi. Lalu wujud aktual yang beragam seperti aneka bunyi yang menjelma secara aktual yang berasal dari nafas.
Struktur realitas wujud Mulla Sadra diinspirasikan Suhrawardi dari sistem cahaya. Cahaya itu memiliki titik intensitas dan kerdupan. Dari cahaya inten ke tingkat redup semuanya diisi oleh cahaya. Perbedaannya adalah cahaya dan kesamaannya adalah cahaya.
Toshihiko menggolongkan intensitas wujud menjadi tiga model yakni bi syarti la atau bersyarat negatif, la bi syart atau tidak bersyarat dan bi syart syay atau bersyarat karena sesuatu. Penggolongan ini sebenarnya adalah penggolongan untuk mahiyah yakni mujarradah atau murni, muthlaq atau mutlak dan makhluthah atau campuran. (Isutzu, 2003, p. 110) Mahiyah yang pertama adalah mahiyah yang melampaui ma'qulat dan maqulat. Misalnya mahiyah 'hewan' qua 'hewan' kalaupun ditambahkan mahiyah yang lain seperti 'berpikir' maka yang terjadi adalah tetap mahiyah murni yang lain yakni mahiyah 'manusia' yang murni. Kedua adalah mahiyah yang sudah memiliki potensi diberikan mahiyah yang lain seperti 'hewan' ditambah 'berpikir' menjadi mahiyah 'manusia' yang juga mahiyah mutlak yang juga potensial ditambah mahiyah yang lain. Terkhir adalah mahiyah yang telah bersyarat sehingga dianggap telah aktual, seperti mahiyah 'hewan' yang ditambah 'berpikir' menjadi mahiyah 'manusia'.
Konsekuensi dari tingkatan mahiyah diatas saat dikonversi kepada wujud maka menjadilah wujud bi syarti la, yakni wujud mutlak yang tiada apapun sama dengannya. Disebut tidak bersyarat negatif karena apapun yang disyaratkan kepadanya maka itu tidak akan berlaku. Pandangan ini dipegang sebagian sufi untuk menolak ajaran Hikmah Muta'alliyah. Lalu wujud la bi syart yakni wujud yang pada dirinya adalah ketunggalan namun telah memiliki potensi diterapkan pada ragam pluralitas dan wujud bi syrti syay yakni wuju konkrit atau mawjud. Yang terakhir ini bila ditinjau sebagai dirinya, maka dia seolah tampak seperti mahiyah. Tetapi bila ditinjau dari sisi lain, maka dia adalah penampakan dari bayangan wujud mutlak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar