Link Download

Kamis, 08 Oktober 2015

Rumi Penyatuan dan perpisahan




Nabi Saw adalah Rasul utusan Allah. Tanpa dirinya tidak akan pernah ada langit dan bumi. Sekaligus beliau adalah salah seorang anak yang dilahirkan sebagaimana manusia lainnya. Pada beliau segala yang dapat dipikirkan dan yang melampaui pikiran terkandung. Pada diri Nabi Saw. terkandung segala manifestasi dari Nama-nama yang indah. Keseimbangan antara Pengasih dan Penyayang, Jamal dan Jalal, Zahir dan Bathin, lengkap pada diri beliau.
 Prinsip kontradiksi tidak berlaku dalam alam yang melampaui pikiran. Sebab hukum itu hanya berlaku dalam kategori pikiran. Dalam ruang cinta, semuanya adalah hal-hal positif. Langit dengan bumi, siang dengan malam semua adalah satu kesatuan. Para Nabi dan kaum sufi adalah orang-orang yang telah hidup di dalam cinta. Karena itu  segala yang mereka lakukan adalah aktualisasi dari cinta. Sesuatu yang tampak pahit dalam pandangan umum, adalah manis dalam sufi. Sesuatu yang dianggap keluhan dalam pandangan umum hanyalah sebuah kisah dalam sufi.
 Maka rintihan-rintihan para nabi dan kaum sufi dalam pandangan umum sebenarnya dalam pandangan ahli cinta itu adalah ekspresi kebahagiaan.
 Kukeluhkan jiwa dari jiwaku, namun sebenarnya aku tidak mengeluh: aku cuma berkisah. 
 Hatiku bilang tersiksa oleh-Nya, dan kutertawakan seluruh dalihnya.
  Sufi adalah orang yang tidak dapat menemukan partikularitas maupun kategori saat diri mereka lenyap ke dalam cinta. Namun mereka tidak sama sekali tidak mengetahui bahwa kategori dan partikularitas itu nyata. Tetapi cara mereka memaknai partikularritas itu berbeda dengan orang-orang umumnya. Mereka menyadari prularitas sebagai Sifati, keberagaman Nama yang masing-masing memiliki batasan. Batas-batas atau aspek relatif bagi yang Mutlak, dalam ranah ini adalah penguat kemutlakan itu sendiri.
 Zat yang tidak terbatas pada satu sisi adalah Mutlak sekaligus relatif karena Dia membatasi Diri-Nya sendiri. Hal inilah yang diketahui sufi sehingga mereka mengakui pluralitas sekaligus ketunggalan. Kemampuan seorang sufi seperti Jalaluddin Rumi dalam mengekspresikan paradoks ini adalah bagian dari bukti kedalaman batinnya. Sufi seperti Ibn 'Arabi juga mengakui hal ini dengan sistem Tasybih dan Tanzih.
 Engkau ciptakan 'aku' dan 'kita' supaya memainkan puji-pujian bersama diri-Mu
 Hingga seluruh 'aku' dan 'engkau' dapat menjadi satu jiwa serta akhirnya lebur dalam sang Kekasih. 
 Tuhan mengenal Diri-Nya sebagai Zat Mutlak. Sekaligus Dia mengenal Diri-Nya sebagai entitas-entitas terbatas melakui makhluk-Nya. Dengan adanya pengetahuan model kedua ini, maka sebenarnya hal ini adalah penegasan bahwa Pengetahuan-Nya tidak terbatas. Dia memuji Diri-Nya dengan kemutlakan-Nya, sekaligus Dia memuji Diri-Nya dengan Nama-namanya melalui makhluk-Nya.
 Oleh sebab itu, rintihan orang-orang suci seperti sufi sejatinya adalah puji-pujian Tuhan kepada diri-Nya sendiri. Sebab segala tindakan mereka adalah tindakan murni yang merupakan tindakan Tuhan.
  Rintihan ini adalah kesadaran bahwa realitas sejati adalah satu. Kesatuan adalah yang diidam-idamkan kaum sufi. Dalam pandangan umum, sebuah pernikahan boleh saja hanya dilihat sebagai bertemunya dua orang manusia berlawanan jenis yang merupakan peristiwa biasa sesuai dengan naluri manusia yang lumrah terjadi di alam. Tetapi dalam pandangan kaum sufi, seperti Jalaluddin Rumi, pernikahan adalah sebuah lambang yang menggetarkan jiwa mereka karena itu adalah sebuah simbol penyatuan sejati.
 Tentang pernikahan Jalaluddin Rumi menggubah sajak yang indah:
 Betapa bahagia saat kita duduk di istana, kau dan aku.
Dua sosok dan dua tubuh namun hanya satu jiwa, kau dan aku.
Harum semak dan senandung burung 'kan menebarkan pesona pada saat kita memasuki taman, kau dan aku.
Bintang-bintang nan beredar kan sengaja menatap kita lama-lama: bagi mereka, kita kan menjadi bulan, kau dan aku.
Kau dan aku, yang tak terpisahkan lagi, 'kan bersatu dalam kenikmatan puncak.
Bercanda ria serta bebas dari percakapan dungu, kau dan aku.
Burung-burrung yang terbang di langit 'kan menatap iri karena kita tertawa riang gembira, kau dan aku.
Sungguh ajaib, kau dan aku, duduk di sudut yang sama di sini, pada saat yang sama berada di Irak dan Khurasan, kau dan aku.       Penyatuan adalah sesuatu yang sangat dahsyat bagi seorrang sufi. Karena itu setiap melihat sebuah penyatuan di dunia ini, hati mereka selalu bergetar sebab itulah yang mereka idamkan. Tetapi penyatuan yang mereka maksud tentunya adalah penyatuan antara diri mereka dengan Tuhan. Mereka telah terpisahkan dari Tuhan pada saat kelahiran ke dunia ini.
 Jalaluddin Rumi manggambarkan perpisahan ini umpama seorang pemuda yang tinggal di sebuah kota selama bertahun-tahun. Ketika tertidur, ia menemukan kota lain yang penuh dengan kebaikan dan keburukan. Anehnya, dia tidak pernah mengatakan kota lain itu adalah tempat yang asing baginya. Sebaliknya pemuda itu merasa nyaman dengan kota barru itu dan melupakan kota tempat dia berasal sesungguhnya. Demikianlah gambaran Jalaluddin Rumi terrhadap umumnya manusia yang lupa dengan kampung asalnya, umpama bintang yang tetutup awan. Manusia lelap dengan alam debu yang sesungguhnya adalah sebuah mimpi.
 Tetapi tidak demikian dengan sufi dan para nabi. Mereka adalah orang-orang yang senantiasa sadar dengan hakikat eksistensi alam materi ini dan selalu menyerukan kepada manusia untuk sadar bahwa alam ini hanyalah umpama mimpi dan alam sesungguhnya adalah berada pada sebelum dan sesudah kematian. Untuk itu mereka mengingatkan bahwa selagi berada di alam dunia, manusia harus mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Alam materi adalah bagian dari persiapan jiwa menuju kesempurnaannya. Hidup di dunia harus dipandang sebagai simbol-simbol yang menggambarkan fakta sebenarnya yang berada di alam metafisika. Persis seperti mengamati buih yang merupakan gejala dari fenomena lautan. Persis seperti terbangnya debu-debu yang merupakan gajala dari angin. Dan penggerak dari fenomena-fenomena hanya dilihat melalui penglihatan batin. Untuk itulah sufi mengajak kepada suluk dan nabi mengajak kepada syariat.  



Tidak ada komentar:

Posting Komentar