Link Download

Kamis, 08 Oktober 2015

LOGOSENTRISME YUNANI



1.      Sofis dan Sokrates

 

Kita sebut zaman Sokrates, Plato dan Aristoteles sebagai logosentris karena mereka mempertanyakan orientasi alam oleh kosmosentris: menjadikan alam sebagai objek kajian tidak akan menyelesaikan persoalan sebab alat untuk mengolah data-data alam adalah pikiran manusia. Karena itu, baik Sokrates, Plato maupur Aristoteles, melakukan fokus pada intelek manusia. Sementara itu, Sokrates sebagai tokoh pertama logosentrisme meretas jalan itu dengan menghadapi para sofis.
Situasi sosial dan politik di Yunani beberapa abad sebelum Masehi sama seperti Indonesia saat ini yang penuh dengan pejabat yang pandai bersilat lidah, membohongi rakyat, mengesankan yang salah menjadi benar dan menjadikan yang benar sebagai pesakitan. Keahlian membodohi rakyat ini terus saja dikembangkan bahkan disusun sistem kaderisasi yang matang. Partai politik adalah lembaga yang didirikan untuk membina orang-orang yang pandai menciptakan kesan yang salah menjadi benar dan yang benar menjadi salah.     
Di Yunani, kalangan Sofis terkesan persis seperti para Tuan Kelabu dalam buku cerita Momo karya Michael Ende. Keahlian mereka beretorika diawali dengan kepentingan upaya mengesankan segala sesuatu pada masyarakat sesuai perspektif tertentu supaya pemahaman masyarakat terkaburkan. Dengan begitu kebobrokan mereka menjadi tertutupi, tidak terekspos. Kala di pengadilan, yang diputuskan menang adalah siapa yang pandai beretorika dan mempengaruhi opini para hakim. Jadi kebenaran ditentukan pada keahlian beretorika, bukan fakta yang sebenarnya terjadi.
    Kaum Sofis menjadikan keahlian ini sebagai profesi untuk bertahan hidup. Mereka suka dibayar untuk membenarkan kepentingan tertentu di pengadilan.Keahlian ini juga diajarkan pada anak-anak pejabat sebagai bekal menguasai rakyat di kemudian hari.
     Sokrates datang dan menyadari Sofisme adalah paham yang keliru. Dia melawan kaum sofis dengan cara yang unik. Dia hanya mengajukan pertanyaan atas setiap argumen kaum sofis.Pertanyaan-pertanyaan Sokrates ternyata cukup mampu menguak argumentasi-argumentasi kaum sofis bahwa fondasinya sangat rapuh persis seperti istana pasir. Sokrates bukanlah filsuf yang gemar menulis sebagaimana filsuf lainnya. Ajarannya menyangkut etika, seperti yang dia katakan sendiri, dia tidak punya urusan dengan ilmu alam. Dia menyindir kaum sofis dengan mengatakan satu-satunya pengetahuan yang ia miliki hanyalah menyampaikan kebenaran.
   Lembaga semacam otoritas agama menyatakan tidak ada yang lebih bijaksana dari pada Sokrates. Sokreates merasa bingung dan pergi mengatakan mungkin Dewa keliru. Sekali lagi ini adalah bentuk sindirannya. Cerita ini semakin mengesankan bahwa Sokrates hanyalah tokoh imajiner ciptaan Plato yang sebenarnya tidak pernah ada secara nyata. Lagi pula, hanya lisan Platolah yang mampu menyampaikan sesuatu cerita secara sangat hidup dan betul-betul mencengkeram imajinasi pembacanya. Bahkan saya masih yakin Atlantis yang dia kisahkan itu hanyalah sebuat setting bangsa imajiner sebagai setting gagasannya mengenai sosiologi dan politik yang ia rumuskan. Sokrates sendiri mungkin persis seperti 'Zarathustra' dalam imajinasi Nietzsce dan 'Al-Mustafa' dalam karya Kahlil Gibran.
            Sokrates diceritakan mengguncang iman orang Yunani waktu itu yang mendewakan matahari dan bulan dengan mengatakan matahari hanyalah batu dan bulan adalah pasir. Tapi ternyata kini telah terbukti pernyataannya itu benar.
   Sokrates memiliki konsistensi tinggi, keyakinan teguh.Dia menyentil kaum sofis dengan mengatakan bahwa selaku mantan serdadu, dia harus senantiasa sigap. Ketika Dewa memerintahkannya mencari dan menyampaikan kebenaran, maka dia tidak mungkin mengingkarinya dengan mengikuti manusia (kaum sofis).Karena kaum sofis yang penipu itu sudah banyak dirugikan maka kaum sofis yang dekat dengan penguasa berhasil dalam konspirasinya menyeret Sokrates ke pengadilan dengan tuduhan telah mempengaruhi anak muda, menyesatkan mereka dari kebenaran.
            Di pengadilah Sokrates mengatakan dia tidak berhak membela dirinya. Cara itu adalah mengemis meminta belas kasihan, sementara pengadilan harus memutuskan sesuatu berdasarkan kebenaran. Di sini Sokrates meyindir lambaga peradilan yang telah terbudayakan memberikan keputusan berdasarkan argumentasi yang paling fasih.
            Dalam pandangan Sokrates, kematian adalah semacam tidur yang panjang atau pespisahan jiwa dengan raga, dan jiwa itu akan abadi setelah mati. Jadi, kalau di dunia ini mengajukan pertanyaan dapat membuat seseorang dibunuh, maka di alam setelah mati orang akan kekal, maka dia berencana mengajukan banyak pertannya di alam kekal nanti (Russel, 2004:120). Sebab itulah dia tidak takut mati, bahkan dia meminum racun sebelum eksekusi atas dirinya dilaksanakan. Dia tidak ingin hukum pincang ala sofis yang memutuskan eksekusi untuk dirinya. Cara ini adalah pembuktian pada manusia bahwa kebenaran itu harganya adalah nyawa. Dia mati karena mempertahankan keyakinan kukuh yang ia miliki.
     Sokrates juga dikenal sebagai individu yang sederhana dan militan. Dia hanya bertelanjang kaki ke mana-mana. Ketika menjadi militer, dia dapat bertahan di tengah cuaca seekstrim apapun dan dalam kondisi seperti bagaimanapun ketika teman-temannya yang lain telah tumbang.
     Kehadiran Sokrates sebagai masa awal tumbangnya pemikiran kaum sofis. Sokrates berhasil mengarahkan pemikiran kepada jalan yang rasional, terbukti, teruji dan dapat diterima akal sehat. Pemikiran filsafat sepeti ini setidaknya baru matang setelah Aristoteles menyusunnya secara sistematis.

2.       Plato
 Plato menyerap dengan baik dialog-dialog Sokrates sehingga dia mampu mendokumentasikannya dengan baik dalam tulisan. Ia juga menuliskan ajaran-ajaran para filof Yunani zaman Kosmosentris. Kecakapannya dalam menulis membuatnya juga dikenal dengan ahli sastra. Plato mencoba mensintesakan ajarran Herakleitos dengan ajaran Perminides. (Achmadi 2009, h. 50) Dari kajiannya ini muncullah sistematisasi dua sarana perolehan pengetahuan yakni yang tetap yang disebut rasio dan yang terus bergerak disebut empirik. Misalnya banyak segitiga di alam empirik. Tetapi hanya ada satu segitiga di dalam Rasio.
             Dengan sudut pandang tertentu, Plato seperti Immanuel Kant yang merespon dua arus intelektual masa sebelum dirinya. Plato mengatakan ajaran Herakleitos benar, menurut realitas indrawi. Dan Perminides benar dalam realitas konsep. Dua eksistensi ini harus didudukkan secara proporsional. Kegagalan memproporsionalkan ini akan mengakibatkan debat panjang dalam sejarah intelektual yang takkan ditemukan penyelesaiannya, persis seperti kritik-kritik Francis Bacon kepada Aristoteles. Secara umum, segala perdebatan dalam filsafat Barat Modern adalah kegagalan dalam memposisikan eksistensi eksternal dengan eksistensi alam rasio.
            Dalam pandangan Plato, hanya idea saja realitas yang benar-benar ril. Segala fenomene realitas eksternal hanyalah jelmaan alam ide yang sifatnya relatif. Eksistensi dalam alam ide bukanlah sebatas eksistensi konseptual tetapi lebih dari itu eksistensinya adalah nyata. Penolakan-penolakan kaum empirik atas eksistensi ril alam ide biasanya karena mereka eksistensi ide itu menurut mereka adalah eksistensi konseptual saja. Dalam filsafat Islam, persoalan ini nantinya diperjelas dengan sangat baik oleh Mulla Sadra.
Selain membahas tentang metafisika, Plato juga menulis tentang semua hal dalam karya-karyanya. Salahsatu karya terenting Plato adalah Republik. Dalam Republik, Plato melancarkan kritik dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan dan sindiran-sindiran melalui dialog antara tokoh. Bahasannya meliputi hamper semua hal termasuk politik.
Asal usul didirikannya negara adalah untuk memenuhi berbagai kebutuhan ummat manusia. (Plato, Republik, Yogyakarta: Narasi, 2015, h.73). Sebab tidak ada orang yang mampu memenuhi segala kebutuhan dirinya oleh dirinya sendiri.
Misalnya dalam sebuah negara ada lima orang. Orang pertama sebagai petani harus menyediakan makanan untuk lima orang. Orang kedua sebagai penenun harus menenun lima pasang pakaian. Orang ketiga sebagai nelayan harus menyediakan ikan untuk lma orang. Orang keempat sebagai penyedia air bersih harus menyediakan air untuk lima orang. Dan orang kelima sebagai pedagang harus mampu mendistribusikan semua kebutuhan itu untuk lima orang. Bisa saja satu orang dapat menyediakan untuk dirinya sendiri semua kebutuhannya, tetapi cara itu tidak akan efektif, karena akan ada orang lain yang tidak mampu melakukan kelima kegiatan itu sekaligus. Demi efektivitas, fokus lebih diutamakan. Untuk itulah negara didirikan untuk menjamin terpenuhinya kebutuhan semua orang.
 Dari sistem yang diuraikan ini, satu kesan dapat diambil bahwa pengangguran benar-benar menjadi beban bagi negara.
Bila kebutuhan di sebuah negara tidak dapat terpenuhi, atau negara lainnya memiliki kelebihan, maka diberlakukanlah sistem ekspor-impor dengan aturan-aturan yang disepakati.   
Dalam pandangan Plato, negara itu dibentuk oleh orang-orang yang kuat. Tiap negara memiliki sistem pemerintahan sendiri-sendiri. Ada sistem demokrasi, ada otoriter dan ada aristokrasi. Orang kuat itu menetapkan standar keadilan dan kebenaran dalam sistem yang mengikat dalam hukum. Pemerintah menegakkan peraturan itu kepada rakyat. Dalam menjalankannya, pemerintah mendapatkan tiga model bayaran yakni uang, jabatan dan hukuman bila mengabaikan pekerjaan.
            Menurut Plato, Setiap orang yang tidak jujur akan mendapatkan keuntungan. Misalnya mereka hanya perlu mengeluarkan uang yang lebih sedikit daripada yang seharusnya dalam membayar pajak. Dengan demikian dia dapat memiliki uang lebih banyak dapipada orang yang jujur sehingga dia dianggap orang yang lebih kaya.
''... keadilan adalah kebaikan dan kebijaksanaan, sedangkan ketidak adalan adalah sifat buruk dan kebodohan, ...'' (Plato, 2015 h. 43). Keadilan merupakan keunggulan jiwa dan ketidakadilan merupakan kecacatan jiwa. Jiwa yang adil akan hidup dengan baik dan jiwa yang tidak adil akan mengalami kesengsaraan. Yang hidup dengan baik akan diberkati dan yang sengsara akan merana. Yang adil akan bahagia, yang tidak adil akan sengsara.
 Bagi Plato, orang yang adil akan merasakan akibat keadilannya pada setiap momen hidupnya. Dia dapat tidur dengan nyenyak ketika di rumah dan dapat berinteraksi dengan nyaman dengan orang-orang. Semua ini berangkat dari keluhuran jiwa. Jiwa yang tenag menyebabkan dia jujur. Jiwa yang tenang pula yang membuatnya nyenyak beristirahat dan nyaman berinteraksi. (Menjadi sebab dan akibat hanya pada tataran realitas: jujur (sebab) dan nyaman (akibat). Atau keluhuran jiwa (sebab) dan kejujuran (akibat). Kausalitas hanya perspektif. 
 Dalam pandangan Plato, pendidikan bukanlah sebatas pengujian antara tahu dengan tidak tahu. Sebab sistem seperti ini adalah sikap anjing: Anjing akan baik pada yang dia tahu, dia kenal, sekalipun tidak pernah berbuat baik padanya. Sebaliknya anjing akan jahat pada yang tidak dia tahu, tidak dia kenal, sekalipun orang itu adalah orang baik dan akan berbuat baik padanya. (Plato, h. 84)  Lembaga pendidikan harus intens menyensor, mengawasi dan mengontrol buku ajar dan pengajar supaya selalu sesuai dengan prinsip idiologi negara yang tentunya harus berlandaskan pada pengembangan jiwa.
Pada akhir buku kedua Republik, Plato mengemukakan kritik terhadap cara pandang manusia dalam melihat hubungan antara kerja Tuhan dengan manusia. Dia melontarkan sindiran-sindiran dalam melontarkan kitiknya.  Menurutnya sangat banyak dongeng tentang Tuhan yang tidak hanya tidak masuk akal tetapi merugikan bila diceritakan terutama pada anak-anak. 
Pada bagian awal buku ketiga Republik, Plato mengatakan beberapa karya sastra tertentu perlu dihindari. Ada karya yang mendoktrinkan sikap berserah diri kepada musuh dan menerima perbudakan daripada memilih jalan melawan dan mati sia-sia. Sebab kehidupan setelah mati jauh lebih menyakitkan daripada kekejaman paling parah yang dialami di dunia. Menurut Plato, doktrin ini sangat berbahaya karena menerima pembudakan adalah sikap yang tidak dapat diterima manusia. Menurutnya mati dengan terhormat dalam perjuangan jauh lebih mulia daripada menjadi budak.
Plato mempertanyakan keahlian tertentu yang dimiliki seseorang adalah menyatu dengan jiwanya ataukah dia ahli karena hanya berlakon atau pantomim. Hal ini sangat penting karena hasil dari suatu usaha, tidak hanya perlu ditinjau dari segi tampilan atau aksidennya tetapi yang lebih penting adalah kualitas yang lebih mementingkan substansi.
Pikiran-pikiran praktis dan tindakan selalu harus diekspesikan seuai dengan irama masyarakat sebab mereka tidak dapat terlaksana bila bertentangan dengan irama yang sedang berlaku. Ini bukan berarti hanya menjadi pelengkap atau lenyap dalam sebuah orkes. Tetapi ini merupakan satu-satunya jalan yang dijadikan langkah awal menuju perubahan. Masyarakat tidak akan manggut kepada alien.
Seperti emas yang hanya bisa dibuktikan kemurniannya di atas tungku api, demikian juga seorang pemuda perlu diuji dengan beberapa cara supaya dapat mengetahui bahwa dia adalah seorang yang benar-benar tangguh.
            Pandangan Plato tentang persoalan-persoalan sosial tidak memiliki banyak perbedaan dengan muridnya, Aristiteles. Perbedaan mendasar Plato dengan muridnya adalah pembalikan konsep ide Plato. Bagi Aristoteles, yang ril bukanlah alam ide tetapi yang ada pada realitas inderawi. Pandangan inilah yang membuatnya menjadi filosof yang palig berpengaruh dalam bidang logika.

3.      Aristoteles
Aristoteles adalah ilmuan terbesar sepanjang masa. Karyanya mencakup seluruh bidang pengetahuan yang pernah diteliti manusia. (Jonathan Barnes, Aristoteles Bapak Ilmu Politik, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1993, h. 4). Tampaknya tidak ada penulis yang lebih produktif daripada Aristoteles. Dia adalah peletak dasar logika. Suatu ilmu yang mengatur prinsip berfikir. Seluruh disiplin ilmu, selama melibatkan manusia sebagaj subjek, tidak bisa menghindar dari logika. Karena ini merupakan perangkat utama yang digunakan manusia untuk menelaah apapun.
 Lahir di Macedonia pada 384 SM dan meninggal enam puluh dua tahun kemudian, dikatakan karya Aristoteles berjumlah seratus tujuh puluh judul sekalipun yang yersisa hanya empat puluh tujuh. (Michael Hart, Seratus Tokoh Yang Paling Berpengaruh dalam Sejarah, Pustaka Jaya, Jakarta, 1994, h. 103-104).   
 Sebagaimana umumnya filosof, pemikirannya membuat sebagian besar masyarakat risih. Guna menghindari respek berlebihan masyarakat, Aristoteles memilih hijrah ke sebuah desa terpencil kampung ibunya. Di sana ia tetap meneruskan penelitian bersama beberapa rekannya. Dia juga gemar memberikan pengajaran kepada siapa saja yang haus ilmu pengetahuan.
            Di pengasingannya, Aristoteles menulis tentang berbagak hal termasuk tentang karakter hampir semua jenis hewan yang dikenal manusia. Dia meneliti hewan yang hidup di darat maupun laut. Dia menulis ensiklopedia panjang tentang organ-organ berserta fungsinya serta berbagai karakter hewan. Dia menulis laporannya berdasarkan fakta empiris yang dia amati, berdasarkan akurasi rasional formal dan bahkan melaporkan anekdot dari mulut para pemburu. (Jonathan, h. 19).
            Karena pola pelaporannya ini, Aristoteles dikritik oleh para ilmua setelahnya. Terutama pada zaman mutakhir, laporan-laporan Aristoteles ditertawakan. Para ilmuan menuntuk sebuah laporan tidak hanya berdasarkan pengamatan prilaku tetapi melalui riset laboratorium. Ilmuan juga menolak pelaporan sifat-sifat hewan menggunakan metode logika formal karena bagi ilmuan modern, logika formal tidam sesuai dengan realitas empiris. Apalagi dengan sumber anekdot. Ilmuan modern pasti mentertawakannya. Di atas semua itu, tampaknya Aristoteles telah mengetahui reaksi tersebut, tetapi dia tidak ambil pusing. Sebab bila dibandingkan dengan khazanah keilmuan pada masanya, semua laporan Aristoteles bertujuan untuk membangunkan orang-orang dari tidur dogmatis yang diliputi takhayul.
            Di samping itu, Aristoteles tertarik dengan sistem teorema geometris dan aksioma matematika. Menurutnya geometri dapat diterapkan pada sains sehingga setiap objek dapat didefenisikan. Dia menyatakan aksioma dapat menjadi pembukti bahwa setiap segmen sains memiliki akar yang sama; atau setidaknya dapat dijelaskan dengan sistem yang sama. 
            Aristoteles membagi pengetahuan menjadi tiga bagian yaitu pengetahuan produktif, pengetahuan teoritis dan pengetahuan praktis. (Jonathan, h. 41) Pengetahuan produktif adalah pengetahuan yang menghasilkan suatu pengembangan seperti karya seni, pertanian dan rekayasa. Sementara pengetahuan teoritis adalah pengetahuan yang tidak berorientasi lain kecuali untuk kebenaran konseptual semata. Aristiteles membagi pengetahuan teoritis kepada tiga bidang yaitu matematika, ilmu pengetahuan alam dan teologi. Sebagaimana murid Plato yang lain, Aristoteles banyak belajar tentang prinsip+prinsip matematika. Namun demikian, Aristiteles mengaku bahwa dirinya tidaklah begitu pakar dengan disiplin ini. Adapun yang dimaksud dengan ilmu pengetahuan alam adalah melingkupi zoologi, botani dan astrologi. Ilmu ini dikenal juga dengan istilah 'fisika' yang berasal dari kata Yunani 'phusike'. Adapun semua ranah fisika ini menurut Aristoteles tidaklah lebih penting karena bukan merupakan substansi primer. Menurutnya, substansi primer adalah ‘’keilahian’’. Dia membahas masalah penting ini dalam tema teologi dan menurutnya ini lebih penting daripada fisika.
             Kajian Aristoteles yang dianggap sangat penting oleh para filosof setelahnya adalah mengenai metafisika dan logika. Kedua disiplin ini telah dibahas oleh ratusan filosof dan menjadikan tema ini menjadi semakin samar dan membingungkan dibandingkan uraian Aristoteles sendiri.  
            Objek diakursus ini adalah wujud sebagaimana wujud (being qua being). Maksudnya, penelitiannya berfokus pada segala hal yang memiliki wujud. Yang diteliti bukanlah partikularnya, tetapi ke-ada-annya. Karena sifatnya ini, maka fokus penelitian tentang wujud sebagai wujud disebut sebagai metafisika. Wujud sebagai wujud memang bukanlah realitas fisik, tetapi adalah dasar daripada segala realitas yang dapat diindrai. Metafisika bersama logika oleh para pengkaji Ariatiteles dimasukkan menjadi bagian teologi yang merupakan bagian dari pengetahuan teoritis.
 Logika merupakan perangkat atau alat utama untuk mempelajari segala disiplin keilmuan. Logika adalah disiplin keilmuan untuk menyusun dan membuktikan benar atau salahnya sebuah pernyataan. Semua kalimat memang mengandung makna. Tetapi tidak semua kalimat adalah pernyataan. Pernyataan baik bersifat afirmasi atau membenarkan atau negasi atau menyangkal. Mekanismenya adalah dengan menjadikan sebuah kalimat menjadi proposisi yang kemudian diolah menjadi sebuah term.
 Berikut terdapat empat tipe proposisi sederhana: 1. Afirmatif universal yaitu membenarkan predikat yerhadap setiap subjek. 2. Negatif universal yaitu menyangkal predikat terhadap setiap subjek. 3. Afirmatif partikular yaitu membenarkan predikat terhadap beberapa subjek. Dan 4. Negatif partikular yaitu yang menyangkal predikat terhadap beberapa subjek. (Jonathan, h. 49). Proposisi sederjanya adalah tersusun dari term berupa subjek dan objek. Bisa berupa afirmatif atau negatif. Sifatnya bisa asertorik, apodeiktik, atau juga problematik. 
Kekeliruan Aristoteles mungkin adalah menerapkan logika formal pada realitas aktual. Mungkin inilah alasannya bergelut dengan botani, zoologi atau bahkan mungkin politik. Dia memaksakan logika formal pada semua realitas. Dia ingin membuktikan logika formal melalui realitas. 
             Penerapan logika formal pada zoologi, botani, politik dan sebagainya banyak mengalami kekeliruan bila ditinjau melalui analisa saintifik. Sistem logika Aristoteles memang menjadi pembantu yang sangat penting bagi ilmu pengetahuan. Namun logika tidak dapat diterapkan langsung pada fenomena realitas. Tetapi logika tepatnya diterapkan untuk menyusun konsep yang dapat diterapkan sebagai acuan dasar untuk menganalisa realitas. Logika adalah fondasi epistemologi. Epistemologi untuk diterapkan pada penyusunan teori sebagai bekal penelitian.
 Untuk memahami tujuan konseptualisasi pengetahuan Aristoteles yang kaku (baca: formal) itu, cara pandang kita harus sedikit tidak kaku. Sistem logika yang diterapkan Aristoteles adalah aksioma yang harus menjadi landasan segala teori. Supaya aksioma dapat dicapai, diperlukan penjelasan. Penjelasan ini disebut sebagai kausalitas. Kausalitas atau sebab-akibat dalah bahasa Yunani disebut 'aitia' yang juga berarti 'penjelasan'.
Suatu dasar teori pengetahuan untuk dibuktikan validitasnya diatur oleh Aristoteles melalui kausalitas. Kalau menterjemahkan maksud Aristoteles secara kaku, maka yang terjadi adalah tasalsu atau ad infinitum, yaitu penjelasan yang berputar-putar lalu kembali seperti rantai. Untuk itu, kita harus memahami bahwa 'aitia' yang dimaksud Aristoteles bukanlah perjelasan yang menyebabkan pembuktian aksioma menjadi melinting. Tetapi yang ia maksud adalah menemukan esensi daripada suatu aksioma. Esensi yang dimaksud di sini adalah menemukan unsur dasar pembentuk suatu terma yang mana bila esensi ini dilepas, maka runtuh segala eksistensinya. Misalnya terma 'manusia' ketika dijelaskan menjadi 'hewan yang berfikir'. Maka tentang 'manusia' yang menjadi esensi adalah 'berfikir'. Sebab bila tiada berfikir, sama sekali bukan manusia. Esensi juga hanya berlaku pada kekhususan (differensia) yang menjadikannya berbeda dari suatu keumuman (genus)di atasnya.
 Bila berusaha membuktikan suatu aksioma bukan dengan cara berusaha menemukan esensinya, maka yang terjadi adalah tasalsul. Misalnya 'sapi'. Dijelaskan sebagai hewan bertandu. Ditanya lagi kenapa bertanduk. Dijawab karena giginya terbatas. Ditanya kenapa giginya terbatas. Dijawab karena perutnya ada empat. Ditanya lagi kenapa perutnya empat. Dijawab lagi karena giginya terbatas. Ditanya lagi kenapa giginya terbatas. Dijawab lagi karena perutnya empat. Cara begini tidak membuktikan apapun tentang sapi.
 Bagi sistem Aristoteles. Aksioma harus menjadi universal karena dengan demikian penjelsan pengetahuan dapat dilanjutkan. Oleh karena itu, baginya universalia tidak dapat punah karena itu darinya adalah esensi. 
 Sebelum dapat menemukan esensi sesuatu (thing/syay'i). Kita harus menemukan kepastian sesuatu. Sesuatu yang dimaksud haruslah tidak dapat dipisahkan dan mempunyai kemandirian. Ketika sesuatu telah ditemukan, maka dirumuskanlah kategori kepadanya. Dalam filsafat aristoteles, kategori ada sepuluh. Salahsatunya adalah substansi, yang merupakan dasar dari sesuatu. Dasar yang dimaksud adalah sesuatu yang bukan penyamatan/tempelan. Sembilan lainnya adalah kuantitas, kualitas, relasi, tempat, waktu, kondisi, kepemilikan, aktif dan pasif. Kesembilan insiden adalah predikat daripada subjeknya yaitu substansi.
            Aristoteles menyusun teori seperti ini diinspirasikan dari para pendahulunya. Para pendahulunya ini ada yang menyataka, misalnya air atau api sebagai substansi semesta. Namun oleh Aristoteles menganggap air atau api adalah 'sesuatu' sehingga bukanlah substansi sebab air maupun api daat diberi kategori juga. Demikian pula Aristoteles tidak tertarik menjadikan atom, sebagaimana gagasan Herakleitos sebagai 'sesuatu' karena tidak bisa didemonstrasi. Dia juga menyanggah teori angka Pythagoras. Menurutnya angkat tidak dapat diterapkan sebagai 'sesuatu' karena angka tidak berhubungan dengan benda konkrit. Aristoteles juga menolak konsep Plato. Plato menyatakan sesuatu yang konkrit berasal dari yang abastrak yang tidak berhubungan dengan sesuatu yang konkrit. Aristoteles berpendapat sebaliknya. Sesuatu yang abstrak menurutnya adalah diambil dari yang konkrit.
 Penentuan substansi adalah yang terpenting dari penentuan sembilan kategori lainnya. Bila telah dapat ditentukan kesepuluh kategorinya, barulah 'sesuatu' dapat disahkan. 
 Sesuatu pada dirinya adalah akibat sekaligus menjadi sebab. Artinya, sesuatu tersebut adalah aktualitas dari potensi sesuatu yang lain sebelum menjadi sesuatu. Dan sesuatu itu adalah adalah potensi untuk menjadi sesuatu yang lain. Hal ini terjadi karena setiap sesuatu yang semuanya berada di dalam ruang dan waktu mengikuti hukum gerak. Dalam sistem  Dalam filsafat Aristoteles, gerak terjadi karena tiga faktor yaitu, penggerak, aktivitas pergerakan dan objek yang bergerak. Objek yang bergerak terjadi dalam empat kategori. Pertama adalah substansi. Yang menjadikan sesuatu mengada dan musnah. Misalnya sebuah patung yang mengada bila dipahat dan musnah ketika dihancurkan. Kedua adalah kualitas. Misalnya lilin yang berubah menjadi cair bila panas dan membeku bila dingin. Ketiga adalah kuantitas. Misalnya sebuah pohon yang tumbuh. Keempat adalah tempat.
            Bagi Aristoteles, aktualitas harus mendahului potensialitas. Karena setiap yang aktual haruslah adalah sebuat potensi bagi aktualitas sesuatu yang lain. Materialitas dan bentuk adalah bagian dari substansi yang berarti bila berubah, maka otomatis sesuatu menjadi sesuatu yang lain. Namun hal ini akan sulit diterima oleh sains modern karena kemampuan mereka menyelidiki materi lebih dalam. Namun segala konsep yang disusun Aristoteles tidak perlu dilihat dari perspektif sains. Maksud dan tujuan Aristoteles adalah untuk menyusul logika formal. Dia ingin menentukan 'sesuatu' berdasarkan kualifikasi kategori.
 Sesuatu bukanlah sesuatu yang lain. Ini adalah prinsip identitas non kontradiksi. Sesuatu tidak dapat menjadi sesuatu yang lain pada waktu bersamaan.
             Dengan mengamati penjelasan konsep geraknya, maka dapat diketahui bahwa tiapa sesuatu hanya mungkin ada, tidak adan dan mungkin (berpotensi) mengada. (Bambang Q-Aness & Radea Juli A. Hambali, Filsafat untuk Umum, Jakarta: Kencana, 2003, h. 196)
            Aristoteles menuai banyak kritik akibat kekeliruannya dalam menyahikan contoh-contoh. Tanpa memberikan contoh memang penjelasan logika akan semakin sulit. Namun contoh juga sangat sering menyesatkan pemahaman. Seperti dalam teorinya tentang kausalitas. Aristoteles menuai banyak sekali sanggahan.
 Sesuatu yang mengada dipastikan memiliki sebab. dalam filsafat Aristoteles, ada empat jenis sebab. Pertama adalah sebab materi. Sebab ini adalah untuk menjelaskan keberadaan sesuatu. Misalnya patung terbuat dari perunggu. Kedua adalah sebab formal. Sebab ini untuk menjelaskan keadaan sesuatu. Misalnya gerhana matahari karena bulan menutupi. Ketiga adalah sebab efesien, yaitu sebab yang membedakannya. Misalnya anak berbeda dengan ayah. Sebab keempat adalah sebab final. Sebab ini dapat dijelskan secara formal namun akan menimbulkan banyak sanggahan ketika contohnya diterapkan. misalnya orang berjalan supaya/agar/demi sehat. Sehat ini hanya berada dalam estimasi pikiran dan sebabnya diterapkan pada kondisi material menyebabkan banyak kritik muncul. Karena 'supaya', 'agar' dan 'demi' hanyalah sasaran penerapan. Dengan keadaan ini, Aristoteles sendiri terpaksa menerima bahwa banyak akibat di alam tidak dapat ditentukan sebabnya. Hal ini karena ketergesaan Aristoteles memaksakan hukum pikiran diterapkan pada alam. Memang eksistensi yang ada dalam pikiran dengan eksistensi pada realitas material memiliki perbedaan.
Alasan lainnya karena Aristoteles sedang merintis sebuah sistem berfikir yang dapat menghapus mitologi. 
 Menurut Aristoteles, pengetahuan bersumber dari persepsi. Namun persepsi bukanlah pengetahuan. Pengetahuan itu sendiri adalah realitas empiris. Perdebatan ini adalah tentang sumber mana yang lebih primer antara pengindraan dengan pemikiran. Sebagian kalangan menklaim bahwa observasi indra adalah lebih primer daripada konsepsi pikiran. Sebagian lagi sebaliknya menganggap konsepsi pikiran adalah lebih primer daripada obserfasi indra. Aristoteles sendiri sebagai seorang logikawan menyatakan bahwa sebaik apapun indra mengobserfasi sesuatu, tetapi keputusannya tetap bergantung pada persepsi pikiran. Namun sebagai seorang ilmuan yang melakukan observasi, dia tidak dapat menerima persepsi pikiran. Sebab pikiran atau persepsi sering keliru memberi keputusan atas observasi yang sifatnya konkrit sementara pikiran mengenal sesuatu melalui abstraksi umum.
            Sekalipun filsafat yang dibangun Aristoteles seluruhnya adalah untuk mengganti mitos dengan akal sehat, namun dia juga sangat menghargai warisan yang telah ditinggalkan tradisi Yunani itu. Tampaknya Aristoteles sadar walau bagaimanapun filsafat yang ia bangun adalah termasuk dalam alur sejarah yang dalam hal ini sejalan dengan tradisi mitos sebelumnya.
 Dalam tradisi mitologi Yunani, substansi segala sesuatu adalah dewa. Dewa ini secara maknawi berada di atas segala materi, selanjutnya pemahaman 'di atas' dirubah menjadi benda-benda yang ada di langit seperti bintang, bilan, planet, komet, matahari dan lainnya.
 Aristoteles dalam studi astronominya berusaha membuktikan bahwa benda-benda langit itu adalah seperti mineral, tumbuhan dan hewan yang ada di bumi juga. Dalam filsafatnya, Aristoteles berusaha menjelaskan substansi setiap sesuatu selain materi dan bentuk, juga jiwa.
 Jiwa yang dalam bahasa Yunani adalah 'psuche' berarti adalah sesuatu yang menggambarkan karakteristik dari sesuatu. Tingkatan jiwa yang diklasifikasi Aristoteles adalah menurut karakteristiknya. Nabati sifatnya membutuhkan makanan dan bergerak tumbuh. Hewan selain membutuhkan makanan dan gerak tubuh juga melakukan gerak perubahan tempat dan berpersepsi. Dan manusia selain memiliki apa yang dimiliki hewan dan tumbuhan juga memiliki pikiran. Jadi antara tumbuhan, hewan dan manusia berbeda tingkatan jiwanya.
            Bagi Aristoteles, jiwa dengan raga adalah organik. Karena itu adalah hal yang salah ketika mencoba membedakan atau menyamakan (karena tidak berbeda) antara jiwa dengan raga. Baginya jiwa dipelajari melalui aktualitasnya pada raga. Aristoteles tidak sependapat dengan pandangan Plato yang menyatakan jiwa telah mengada sebelum adanya raga dan tetap akan kekal setelah raga musnah.
            Bila kita telah dapat memaklumi sikap Aristoteles antara sistem logika formal yang ia susun lalu dia mengira dapat diterapkan pada observasi saintifik, maka kita akan memaklumi pandangannya tentang sistem kerja jiwa dalam kegiatan intelektual baik dalam penalaran maupun imajinasi. Aristoteles mengakui tindakan intelektual bukanlah tidakan material tetapi tindakan jiwa namun objek kegiatan tersebut adalah material. Untuk mengatasi persoalan ini, Aristoteles membedakan antara intelek aktif dengan intelek pasif.    
 Intelek pasif bertugas menerima segala informasi dari benda. Sementara itu intelek aktif bertugas melepaskan bentuk lalu mebstraksi informasi itu. (Filsafat untuk Umum, h. 200). Mengabstraksi menurut Aristoteles adalah melepaskan kekhususan menuju keumuman. Menurutnya, intelek aktif ini sifatnya kekal.
 Dengan cara ini, Aristoteles menyusun prinsip logika yang disebut silogisme. Dari kekhususan dicari esensi yang berupa keumuman. Kekhususan disebut premis minor dan keumuman disebut premis mayor. Dari kedua hal ini ditarik sebuah kesimpulan.
 Cara ini merupakan prinsip penentuan identitas (A adalah A) yang dapat menunjukkan kontradiksi (A bukan bukan A) sehingga dapat menolak kesalahan penyimpulan. Sistem ini juga dapat dipakai untuk menjelaskan sesuatu sebagai aksioma.
            Banyak sekali komentator Aristoteles yang menyusun argumentasi dengan mengatasnamakan Aristoteles namun bila ditelisik, maka pandangan mereka itu berbeda jauh dengan nama filosof yang mereka jual itu. Hal ini biasanya terjadi karena justifikasi buah pikir Aristoteles dilakukan karena kurangnya kedalaman penelitian. Hal ini menyebabkan kosakata yang yang dipakai Aristoteles dimaknai berbeda.Persoalan lainnya karena mengetahui buah pikir Aristoteles melalui komentatornya.  
            Diantara sekian banyak kosakata yang membuat komentatornya berkesimpulan berbeda dengan maksud Aristoteles sendiri misalnya teologi. Kata yang dimaknai sebagai 'teologi' yang dipakai Aristoteles adalah 'telos' yang sebenarnya bermakna 'sasaran'. Makna ini sesuai dengan uraian Aristoteles yaitu tentang kondisi makhluk hidup. Menurut Aristoteles, segala makhluk hidup sesuai antara konsumsi, bentuk fisik dan tingkah lakunya. Semua kesesuaian ini memiliki sasaran finalnya. Sasaran final ini harus ada supaya tidak terjadi tasalsul dalam penjelasan (atau menyusun sebab-akibatnya).
            Pembahasan Aristoteles mengarah secara spesifik tentang manusia. Dia menjelaskan bagaimana pola hidup manusia pula harus disesuaikan dengan kondisi lingkungannya. Manusia memiliki kelebihan berupa intelek. Intelek ini harus dioptimalkan dalam rangka penyesuaian diri dengan lingkungan.
            Dalam bersosialisasi, menurut Aristoteles, manusia harus memiliki prinsip kebebasan. Karena itu, satu individu perlu memberikan ruang kapada individu yang lain supaya memiliki kebebasan. Sebagian peneliti menganggap Aristoteles tidak berpendapat demikian karena dia mendukung perbudakan. Padahal yang dimaksud Aristoteles adalah, dia mempercayai adanya satu orang bekerja kepada yang lain.
            Baginya, dalam urusan kepentingan bersama, harus dibuat sebuah kesepakatan bersama. Keputusan bersama inilah yang disebut sebagai undang-undang.
Aristoteles juga memberi perhatian khusus terhadap sains praktis. Sains praktis yang dia maksud adalah seni. Seni bisa merupakan karya tangan seperti pertukangan dan seni pahat. Sementara seni tulis adalah sastra. Menurutnya, sastra harus mampu menggugang emosi sekaligus memancing nalar.
            Pasca Aristoteles, muncullah aliran Hellenisme, Patristik dan Skolastik yang membahas berbagai persoalan. Kita menamai periode pasca Aristoteles dengan Antropomorsentrisme karena sasaran utama mereka berfilsafat adalah manusia. Periode ini berakhir pada masa patristic karena pusan orientasi filsafat mereka berubah nejadi kajian ketuhanan yang kita mania Teosentrisme. Kita sebut semua itu berakhiran ‘isme’ bukan karena itu adalah aliran idiologi, tetapi semata karena periodesasinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar