Link Download

Jumat, 01 November 2013

Singkatku

Menurut Prof. Dr. Al-Yasa' Abubakar (Harian Serambi Indonesia, Edisi 15 Agustus 2013 hal. 9), pada awal abad ke-20 di pekuburan Ma'ala Makkah, seorang antropolog dari Mesir ''...telah meneliti batu nisan yang ada di sana, mengambil foto dan menginventarisasinya dengan cermat. Di dalam catatan berisi ribuan nama tersebut di temukan nama 'Hamzah Fansuri al-Asyi al-Jawi'''. Penemuan ini membantah keyakinan makam Hamzah di Oboh, Subussalam dan di Ujong Pancu, Banda Aceh. Lagi pula di kedua tempat itu tidak ditemukan tulisan atau bukti lain yang menyatakan Hamzah bermakam di sana. Sayangnya Al-Yasa' tidak menyebutkan nama antropolog tersebut. Oleh pemerintah Su'ud dan Wahabinya, kini pekuburan Ma'ala telah dimusnahkan dengan alasan peziarah melakukan hal-hal yang berlebihan di kuburan.
*
Panjang Umur

''Foto siapa ini?'' Tanya seseorang kepada temannya.
''Itu gambar kakek saya.'' Jawabnya.
''Panjang umur, ya.''
''Iya. Sudah delapa puluh''
Saya yang hanya mendengar saja di samping dua orang itu bukan cemburu karena kedua kakek saya sudah meninggal. Tetapi pikiran saya mempermasalahnya perkataan ''panjang umur''.
Kata 'umur' bagi saya begitu sakral. Bahkan dia termasuk salah satu sifat Tuhan. Orang yang hidup sampai usia lanjut tidak serta-merta dapat dikatakan panjang 'umur'.
'Umur' itu senyawa dengan kata 'amar'. Amar itu adalah turunan dari sifat Allah kepada insan. 'Amar' adalah landasan dan tindakan yang sejalan dengan titah Allah. Perbuatan yang tidak direstui Allah tidak boleh dikatakan 'amar'. 'Amar' haruslah niat dan tindakan 'terpuji'. Segala yang datang dari Allah berasal dari tajalli pertanyaNya yakni 'Muhammad' yang berarti 'terpuji'. 'Amar' haruslah yang 'terpuji'. Karena itu 'panjang' umur berarti yang diilhami tindakan terpuji terus-menerus. Semua dari Allah adalah Terpuji. Sementara kejahatan adalah aksiden, yakni suatu penilaian yang datang dari kegelapan akibat manusia yang menyandang gelap bersama terang.
Maka orang 'panjang umur' tidak harus berusia lanjut. Doa 'panjang umur' (tawwil umur)bukan mengharapkan dimatikan pada usia seratus tetapi permohonan supaya dikarunia 'amar terpuji' selalu, tawwil yang artinya 'panjang'. Panjang itu adalah sesuatu yang tidak putus-putus. Tawwil umur berarti amal baik yang tiada putus-putus sekalipun meninggal di usia muda.
*


alau wukuf di Padang 'Arafah di dalam tenda berAC, maka kusarankan kalian masuk kembali ke perut ibu kalian masing-masing. Di tiga kegelapan sana jauh lebih nikmat, duhai babi-babi.
Kami di sini merindukan mati di tengah terik matahari saat dosa-dosa kami habis ditarik.


*

Tidak ada orang yang lebih bodoh daripada mereka yang tidak melawan ketika hendak dibawa ke rumah sakit saat mengalami masalah kesehatan di Padang 'Arafah. mereka goblok, padahal tiada tempat mati yang lebih i
ndah daripada Padang Arafah. dasar haji-haji karbit.


upanishad

Upanishad dapat diartikan secara harfiah yakni sekelompok murid yang duduk di dekat dan di bawah seorang guru yang sedang duduk di dekat mereka dengan posisi lebih tinggi dari mereka. Isinya dijadikan rujukan dan nyanyian para petapa yang bersemedi di hutan. Di dalamnya diajarkan bahwa yang direnungkan itu adalah Diri yang dengannya kita melihat, meraba, merasa dan sebagainya. Dia meliputi segala sesuatu (tasybih), tetapi dia mengatasi segala sesuatu (tanzih). Sesungguhnya yang nyata hanya Dia Satu. Sementara yang kita persepsi dengan indra hanyalah ilusi.
Dalam Upanisad, Brahman disebutkan sebagai makanan dan nafas semua makhluk hidup. Maksud makanan adalah sumberjasmani kehidupan dan nafas adalah sumber rohaninya.
Ketika terlahir ke dunia, semua manusia mengalami samsara, yakni keterikatan atau terkurung dalam realitas dunia yang sejatinya ilusi. Dengan itu manusia harus berpegang selalu kepada akal budi sepaya dapat lepas dari ikatan alam ini dan mencapai moksha yakni kebebasan atau kemerdekaan.
Keseluruhan dari filsafat India lebih mengutamakan aspek esoterik daripada eksoterik. Sekalipun demikian, bukan berarti filsafat India tidak mempedulikan aspek eksoterik. Tetapi dalam pandangan filsafat India, aspek badaniah adalah sebagian saja dari seluruh aspek universal yang menyatu di dalam jiwa manusia. Mistikus India melihat orang yang hanya melihat unsur jasad secara parsial berpisah dengan semesta adalah orang yang mengalami gangguan jiwa.


*
Aspects of Oneness
The World of Created Things
Creation and the doctrine of Perceptual Creation
The Fixed Essence (ayan tsabithah)
The Spirit (ruh, nafs)
The Devine of Attributs (sifat) and names(asma’)
Makna fana, ma’rifah and ikhtiyar (freedom)

Dalam pandangan Hamzah Fansûrî, Allah bukan berada pada tempat tertentu yang dapat ditunjuk atau dibayangkan. Semua yang dapat ditinjuk adalah terbatas,demikian juga yang menunjuk juga terbatas. Sama halnya dengan yang dibayangkan dan yang membayangkan terbatas adanya. Allah sebagaimana Dia menggambarkan diriNya kepada kita: Dia Satu, Dia meliputi semua, tidak ada gradasi bagiDzatnya dan tidak ada apapun yang menyerupai apalagi menyamai Dia. Allah adalah Cahaya, cahayaNya tiada pernah padam. Padam adalah Dia. Jadi kalaupun padam, adalah Cahaya juga, atau Dia juga. Allah Kekal: awal adalah Dia, akhir Dia juga. kalaupun Dia berakhir, maka Dia juga. Dia adalah yang tak terlihat, yang terlihat juga Dia. Bila melihat, maka adalah Dia, kalau tidak melihat, Dia juga.
Hamzah Fansûrî juga menyatakan Allah adalah Wujûd, segala wujud adalah pemberianNya. Sesaat saja Dia menghentikan wujud, maka binasa semuanya. Hamzah Fansûrî mentamsilkan Wujud seperti tanah, dari tanah itu dibuatkan kendi, dibikinkan piala dan diciptakan piring. Pada sekalian perabotan tiada wujud, hanya Dia yang ada. Demikian Hamzah Fansûrî menganalogikan Wujud yang Tunggal sekaligus majemuk (plural). Analogi tanah ini sama dengan analogi air yang diturunkan Allah dari langit yang dengannya tumbuh berbagai jenis tumbuhan beraneka ragam bentuk, jenis dan rasa yang pada hakikatnya adalah air juga. Analogi adalah ciri khas yang dipakai kaum sufi untuk menyampaikan penampakan intuisi mereka. Analogi oleh sebagian ahli komunikasi dianggap lebih efektif untuk menyampaikan informasi, apalagi dari pengalaman mistik yang diakui sulit dikomunikasikan (inaviblity).
Lebih jauh Hamzah Fansûrî menegaskan segala sesuatu pada hakikatnya hanya Wujud. Semuanya ''Asalnya daripada Wujud, maka menjadi siang dan malam, langit dan bumi; 'arash dan kursi, surga dan neraka, Islam dan kafir, baik dan jahat---- dengan hukum isti'dad diriNya jua.''
''Barang siapa menyembah akan nama, tiada ertinya, maka bahwasanya telah kafir. barang siapa menyembah erti tiadadengan nama, maka itu menduakan. Barang siapa menyembah nama dan erti maka ia munafiq. Barang siapa meninggal nama dan erti, maka ia mu'min yang sebenar-benarnya.
Kita perlu tahu bahwa segenap alam tiada akan memiliki eksistensi. semuanya fakir akan ‘wujud’. Hanya Allah saja yang Wujud. Semua wujud lainnya adalah Wujud Wajib (Wajibî al-Wujûd) yang memberi wujud terus-menerus. Adapun bagaimana adanya alam yakni adalah dengan zikirnya. Sedikit saja alam berhenti berzikir maka niscaya lenyap dia. Tubuh kita juga sentiasa berzikir. Hanya saja kesadaran kita saja yang jarang melalukannya. Tamsilannya umpama basmalah. Setiap sesuatu memang dibuat dengan nama Dia, tetapi lafadz basmalah bagi kesadaran adalah pintu pembuka dan pengakuan akan keterlibatan kesadaran akannya. Umpama janji akan Allah saat di alam rahim. Semuanya bersaksi setia pada Allah. Dan ikrar ruh adalah penyaksian kesadaran akan Allah saja yang dituju. Kalaupun seandainya ruh tidak berikrar, maka tiada lahir ke dunia.
Hamzah Fansûrî selalu menyerukan kepada jalan syariat, karena tiada pintu masuk lain tanpa bersyariat. hanya dengan syariat kita tiada akan karam di laut pencarian menuju Allah SWT. ''Syariat seperti kulit, thariqat seperti tempurung hakikat seperti isi (dan) hakikat seperti minyaknya''. Siapa yang bercerai dengan syariat maka dhalalat hukumnya. Siapa yang lepas dari pada jalan syariah maka sesatlah dia, sebab syariat adalah satu-satunya jalan menuju thariqat.
Pemikiran Hamzah Fansûrî indentik dengan ajaran Ibn Arabi. Tapi dalam gaya bahasa, corak Hamzah Fansûrî hampir menyerupai Jalaluddin Rumi. Dalam pembukaan karya 'Asrar Arifin' diterangkan Allah bertajalli sesuai dengan sifat-sifatNya yang setiap sifat diberi nama. Ini sejalan dengan pembukaan kitab Fushul Hikam Ibn Arabi yang mensurahkan tajalli Allah pada Adam. Dalam karya itu diterangkan Adam adalah 'amr' Allah. Selanjutnya melalui Adam, Allah mewujudkan alam semesta. Alam sebagai tajalli Allah. Alam bukan tajalli Dzat tetapi Sifat yakni 'amr'-Nya.
Alam, sebagaimana segala maujud yang tampak oleh indra adalah hijab; indra sendiri adalah hijab. Demikian pula rasio yang mengolah informasi dari indra adalah hijab juga. Indra menjadi hijab karena kemampuannya sangat terbatas. Sementara rasio menjadi hijab karena sifatnya membatasi. Kedua instrument tersebut menjadi hijab karena keterbatasannya. Padahal Allah tidak terbatas. Maka mensucikan hati adalah kunci kenal akan Allah. Ibn ‘Arabi menjelaskan, "Setiap sifat yang kita sifatkan (sematkan) padaNya, maka penyifatan itu adalah esensi diri kita (sendiri) dalam keberadaan (kita sebagai manusia). Kecuali kepastian eksistensi wujud dari segi zatNya". Maka penciptaan manusia sekaligus bersama sifat dan asmaNya. Makhluk lain termasuk malaikat sendiri mengenal Allah tidak seperti manusia tetapi melalui potensi mereka masing-masing.
Paham Wahdah al-Wujûd sebagaimana yang dianut oleh Ibn ‘Arabi dan Hamzah Fansûrî tidak begitu mudah untuk dipahami. Dalam pandangan aliran ini, Wujud Allah dengan wujud alam semesta adalah sama. Hamzah Fansûrî mengibaratkan cahaya bulan dan cahaya matahari yang keduanya berasal dari sumber cahaya yang sama. Ketika kita ingin kembali pada argumen awal bahwa Wujud Allah yang dimaksud adalah Dia sebagai Asma dan Sifatnya, kita akan terhalang dengan argumen Hamzah Fansûrî: "Pada kami Dhat Allah dengan Wujud Allah Esa hukumnya." Namun walaupun demikian, Hamzah Fansûrî mengakui bahwa Allah sebagai Dzat tiada sesiapa yang mampu menjangkau termasuk nabi dan malaikat paling tinggi.

Kita tidak bisa mengenal Allah. Apa-apa yang bisa kita kenal adalah hal-hal yang dapat diindrai dan yang dapat diproyeksi oleh pikiran. Hal inilah yang disadari oleh filosof dan sufi. Maka, kita melihat para filosof yang berjalan dengan baik pada jalur epistemologi pasti akan meninggalkannya karena tidak menemukan Allah melalui pikiran dan menjadi sufi. Sebagaimana yang diakui Hamzah Fansûrî, sufi sendiri tidak mampu untuk menganal Allah. Mereka mengakui kekurangan diri, mereka mengaku kekurangan atau kefakiran mereka akan pengetahuan tentang Allah. Maka, perlu kita pahami, maksud para sufi akan 'fakir' bukanlah kekurangan materi seperti uang, rumah, atau benda lainnya melainkan keinsyafan akan kekurangan ilmu untuk mengenal Allah. Di samping memang sufi tidak suka banyak materi karena berpotensi menjadi hijab akan Allah.
Karena ketidaktahuan kita akan Allah, maka Hamzah Fansûrî mengatakan Allah dengan 'Huwa'. Allah adalah nama yang menghimpun segala sifat-sifatNya. Hamzah Fansûrî memberikan analogi sebagai berikut: Seorang yang suka memberi diberi gelar rahman, seorang yang dapat dipercaya diberi gelar shiddiq. Demikian juga kita, mengenal seseorang, misalnya, tidak mendalam hanya pada mengenal warna kulit, bentuk tubuh dan baunya. Yang lebih mendalam dari makna mengenal itu yakni mengetahui sifatnya. Demikian juga Allah. Dia tidak perlu dan tidak mungkin dikenal sebagai bentuk. Bahkan mungkin dia tidak berbentuk (sebab bila berbentuk dia berbatas). Kita mengenal Allah dengan sifat-sifatNya yang terejawantah melalui alam ini. Pada alam ini, kita dapat mengidentifikasi sifat-sifat Allah secara analogis. Sebab sifatNya yang sebenarnya hanya Dia yang tahu.
Allah tidak mengambil tempat. Tempat itu esensinya adalah batas. Mustahil yng tidak terbatas mengambil tempat. Karena tidak bergantung pada ruang, Dia juga tidak bergantung pada waktu. BagiNya tidak berlaku: 'dulu' dan 'sekarang' atau 'akan datang'. Ini sejalan dengan pandangan Al-Kindi yang menyatakan Wajib al-Wujûd tidak dapat disebut sebagai 'pertama' atau 'terakhir' sebab penyematan-penyematan itu menyebabkan Dia terbatas. Dan itu mustahil bagiNya. Lebih jauh Al-Kindi menolak Allah disebut sebagai 'penyebab', dia bukan genus dari spesies dan differensia, Sebab bila dianalogikan begitu akan berkonsekwensi pada dua hal: pertama menyebabkan alam materi memiliki wujud kalau disebut adalah akibat dari Dia, padahal alam materi itu fana; kedua menganggap Dia dapat dipahami pikiran, sebab kausalitas adalah proyeksi pikiran, padahal Dia tak dapat dikonsepsikan. Bagi Hamzah Fansûrî, tidak ada sesuatu apapun, apalagi alam materi yang serupa dengan Dia. Bahkan Hamzah Fansûrî mengaku segala analogi yang dipakai untuk menggambarkan RealitasNya (Dzat) adalah kesalahan.
Allah dengan pada DiriNya tiada berlaku perubahan. Sebab perubahan adalah tanda kekurangan. Wujud Hakiki, yang dapat dikenali atau dipahami bukanlah DzatNya, melainkan ''... keadaan Dzat dengan periNya''. Yakni kita hanya pengetahuan kita tentang konsep tentang Wujud. Kalaupun ada para filosof dalam argumentasinya membedakan antara konsep Wujud dengan Realitas Wujud, maka tetap saja penjelasannya, termasuk penjelasan tentang Reallitas Wujud menggunakan konsep, dan itu artinya tetap saja konsep. Sementara DzatNya, kata Hamzah: ''Tetapi yang kunhiNya, Dzat itu tiada sesiapa sampai kesana. Jangankan awwam, wali dan nabi dan mala'ikatu'l muqarrabin pun tiada datang ke sana.''
Hamzah menolak konsep ittihad dan hulul. Ini sejalan dengan ajaran Ibn ‘Arabi dan Mulla Şadra. Ittihad maupun hulul meniscayakan adanya dualitas yakni kemenyatuan antara wujud manusia dan Wujud Tuhan. Dan ini sama sekali bertentangan dengan prinsip Realitas. Kedua istilah itu memang digunakan kaum sufi sebelum Ibn Arabi, tetapi mereka tidak memaksudkan adanya dua realitas. Masalahnya dalah sulitnya kaum sufi sebelum Ibn Arabi menemukan istilah-istilah bahasa yang tepat untuk mengemukakan pengalaman mereka. Ibn Arabi menguraikan pengalaman mistiknya secara filosofis sehingga argumennya menjadi jelas sebab mengadopsi banyak istilah-istilah yang dipakai para filosof. Mungkin kita harus mengaku bahwa segala tuduhan sesat oleh teolog kepada sufi sebelumnya adalah karena istilah-istilah yang dipakai sufi.
Hamzah Fansûrî menerangkan sifat Allah ada tujuh. Ketujuh sifat Allah itu adalah Hayat, 'Ilm, Iradat, Qudrat, Kalam, Sami', Basar. Allah SWT adalah Qayyim. Dia adalah Wajibul Wujud. Dia berdiri dengan SendiriNya. Dia tidak diakibatkan oleh apapun. Tetapi justru segenap maujud adalah dari Dia. Hamzah Mengkritik pandangan teolog (ulama Syariat) yang menganggap Wujud memiliki dualitas. Dalam pandangan Hamzah dan Ahl Suluk, Wujud itu Satu. Allah dan Sifat-sifatNya adalah Satu; tidak ada dualitas antara Zat dengan Sifat. Seperti analogi seseorang yang memberi dia disebut rahman sebagaimana telah disebutkan di atas. Tiada dualitas antara sifatnya yang suka memberi dengan dirinya itu.
Dijelaskan oleh Hamzah Fansûrî alasan Sifat pertama dan paling utama bagi Allah adalah Hayat (hidup) karena bila Allah tiada hidup maka mati hukumnya. Bila Mati, maka mustahil sifat-sifat lainnya bisa disandang pada sesuatu yang mati. DariNya pila segala kehidupan. Mustahil bila Dia mati dapat memberi kehidupan. Pada yang mati juga mustahil ada pengetahuan. Mustahil yang mati punya kehendak. Mustahil yang mati memiliki kekuatan. Mustahil yang mati bisa mendengar. Terakhir, mustahil yang mati bisa melihat. Maka, Sifat Hayat adalah pertama dan fondasi dar segala sifat, sebab bila tiada hidup, maka semua Sifat lain menjadi mustahil.
Sifat kedua yakni 'Ilm. Karena tiada apapun selain Allah, maka Dia meilik kepada dirinya sendiri. Dalam aktivitas menilik ini muncullah tiga hal yakni yang menilik, yang ditilik dan tilik-menilik. Penilik diisebut Alim, yang ditilik disebut ma’lum dan tilik-menilik disebut ilmu. Dari penjelasan sifat Ilm terlihat Hamzah Fansûrî memunculkan empat sifat lain dari Allah. Hamzah Fansûrî menerangkan yang menilik bernama Awwâl, yang ditilik bernama Akhîr. Yang ditilik bernama Zâhir dan yang menilik bernama Batîn. Imam Ali mengatakan Allah adalah Awwâl dan mustahil ada sesuatu sebelumNya. Dia juga Akhîr dan mustahil ada sesuatu setelahNya” Karena Zâhir, Allah menjadi dikenal makhlukNya. tetapi sejatinya juga dia tidak dikenal (Batîn).
Sifat ketiga yakni Irâdat. Yakni Allah berkehendak akan segala sesuatu. Allah adalah perbendaharaan tersembunyi. Ketika Allah berkehendak untuk dikenal oleh MakhlukNya, maka Dia yang tersembunyi beristi’dad kepada IlmuNya sehingga dikatakan menjadi dikenallah Dia oleh Makhluknya. Dia yang sebelumnya tersembunyi menjadi tampak adalah seperti benih sebuah pohon. Pada benih sudah terkandung batang, daun, akar dan buah. Tetapi belum tampak (zahir), namun telah memiliki mawjûd. Tetapi kata Hamzah Fansûrî, teolog tidak menerima prinsip seperti ini . Bagi para teolog, sebelum terkatualisasi, mawjûd tidak ada. Bagi teolog, mawjûd itu bahari. Bagi filosof dan sufi termasuk Hamzah Fansûrî, mawjûd telah terkandung di dalam Ilmu Allah. Ilmu Allah itu sedia bersama ZatNya, tiada permulaan dan tiada akhir. Bukti dari kebenaran pendapat sufi adalah QS. Yasin: 82. Bunyinya sebagai berikut:
إِنَّمَا أَمْرُهُ إِذَا أَرَادَ شَيْئًا أَنْ يَقُولَ لَهُ كُنْ فَيَكُونُ
Bila Allah menghendaki sesuatu, maka dikatakan padanya, yakni pada sesuatu yang dikehendaki itu, jadilah. Maka dia terjadi. Kalau sesuatu sebelum dikehendaki itu belum memiliki mawjûd, maka mustahil Allah memakai kata lahu(لَه) sebab kata itu pasti untuk merujuk pada sesuatu yang telah ada (mawjûd).
Sifat keempat adalah Qudrat. Berati Allah Kuasa. Allah Berkehendak. Kehendaknya itu pasti. Dia mustahil lemah. Allah Kuasa atas segala kejadian dan peristiwa. Segala yang terjadi adalah mutlak karena KuasaNya. Qudrat berasal dari akar kata qadar yang berarti kadar atau batas sesuatu . Segala mawjûd yang tampak pada kita di alam adalah karena ketentuan dari Allah.
Sifat kelima adalah Kalam.

, Sami', Basar.

*
Sifat-sifat Allah SWT. adalah kepadaNya sendiri. Karena Wujud hanya Dia. Misalnya Dia Mendengar. Maka yang Dia dengar adalah kepada diriNya juga. Sebab selain Dia, itu tiada. Mustahil mendengar, Berkuasa, Memberi, Mengetahui dan lainnya kepada yang tiada. Maka dengan ini, pahamlah kita akan konsep unity and multiplycity dan gradation (tasykik).
Dalam sebuah syairnya, Hamzah melarang adanya i'tikat dualitas karena selain Wujud adalah fana. Bila mempersepsikan Wujud sebagai analogi selain Dia maka itu adalah ketiadaan. Hamzah mencontohkan aliran Kristen yang menyembah kapada Wujud yang satu melalui Bapa, Anak dan Roh Kudus. Proyeksi trinitas itu sama dengan menyembah berhala.
Bila merujuk pada analogi benih tadi, maka demikianlah dalam Kehendak Allah SWT. Bila dia Hendak akan sesuatu, maka menjadilah HendakNya itu. Sekalipun dalam diri selainNya belum terjadi.
Segenap semesta adalah dari Rahman Allah, ''Surga dan neraka, halal dan haram, baik dan jahat daripada rahmat Rahman beroleh wujud'' (Al-Attas: 1970: 255). Bahwa segala yang dari Allah itu baik adanya. Sebab, dari yang Baik, mustahil muncul yang buruk. Konotasi negatif seperti 'haram', 'buruk' dan 'neraka', hanya berlaku bagi makhluk (manusia) dalam kerja jiwanya meres#on alam eksternal. Konotasi negatif itu menjadi ada karena keternatasan kerja jiwa dalam merespon alam eksternal.
Di sini Hamzah juga mengaku segala alam materi adalah memiliki wujud. Tetapi wujud tidak berada pada bentuk dan warna aneka benda duniawi tetapi pada kedirian alam itu yang basith (simple).

''Tatkala dizahirkan ke tengah Padang
Nyatalah ishq di dalam kandang
di sana hukum pandang memandang
Berahi dan dendam tiada bersedang.''

Adalah Ruh, Cahaya, Aql dan qalam ciptaan Allah pertama. Ternyata keempat itu satu jua dianya. Karena hidup, disebut ruh; karena karena berpengetahuan disebut cahaya, karena ilmu mencharakan (saya memahaminya sebagai potensi perrluasan diri) kepada segala hal yang dapat diketahui, maka disebutlah dia akal; karena dia dapat disusun dalam ingatan seumpama menulis di atas kertas, maka dia disebut qalam.
Kita telah maklum bahwa pada alam eksternal ini terkandung Wujud yang menghadikan diri Nya. Tetapi bukan pada bentuk dan warnanya. Bentuk dan warna tidak real, dia hanya proyeksi mental. Ini juga diakui teolog-teolog yang sedikit punya pengetahuan filsafat. Oleh karena itu, teolog seperti ini lansung saja mengklaim bahwa alam ini fana dan tidak ada apa-apa selain Tuhan. Tetapi Tuhan sendiripun dalam pandangan mereka tidak di alam ini, tetapi ''jauh di sana''. Sementara itu filosof yang sufi mampu melihat Wujud pada alam ini. Dengan itu mereka dapat melihat Wujud pada alam. Hal ini tentu tidak mampu dimengerti oleh teolog tadi. Anggapan mereka sufi menganggap materi yang berbentuk itulah yang dianggap Wujud oleh sufi.
Penglihatan sufi adalah hampir penglihatan para Khalifah Rasyidin. Sebab mereka juga tidak melihat apapun pada realitas ekstenla. Pada segala hal, Abu Bakar melihat Allah dahulunya, Umar melihat kemudiannya, Usman melihat sertanya dan Ali melihat di dalamnya. Karena mereka memiliki cara pandang eksistensial, bukan esensial. Pandangan esensialis adalah yang terjebak dalam warna dan bentuk. Pandangan eksistensialis adalah yang melihat ayat pada setiap kejadian, mereka adalah ulil albab.

Dalam satu penggalan yang disampaikan Al-Attas pada 'The Mysticism ...' hal. 478 bahwa Ar-Raniri mengkritik ajaran Hamzah mengenai cayaha yang beragam sejatinya muncul dari satu cahaya. Ar-Raniri (dari pada menuduh lebih tampak mengkhawatirkan) bahwa ajaran Hamzah akan mengarah pada model ajaran majusi yang menyembah aneka cahaya seperti matahari, bintang, api dan sinar bulan. Karena memang Hamzah sendiri mengakui cahaya awal itu bukanlah tuhan tetapi adalah Nur Muhammad. Begini syair Hamzah:
Tertentu awwal suatu cahaya
Itulah cermin yang Mulia Raya
Kelihatan di sana miskin dan kaya
Menjadi dua Tuhan dan sahaya.
Bahwa Nur Muhammad itu bukanlah Dzat Allah melainkan adalah sebagai bayangan (cermin) dariNya. Maka pada alam bayangan ini, antara Allah dan makhluk dapatlah dibedakan. Dengan ini tentu alasan mengatakan Hamzah sesat adalah mengada-ada. Ar-Raniry saya lihat membawa asumsi yang tidak baik kepada Hamzah. Karena itu dia membaca Hamzah dari kacamata kecurigaan. Dan telah punya asumsi dasar yang keliru terhadap Hamzah. Asumsi ini muncul, saya duga, karena di kampungnya (Ranir), Ar-Raniri banyak menemukan ajaran Islam yang bercampur dengan ajaran zoroastrian.
*
Dalam menterjemahkan 'Man arafa nafsahi faqad arafa Rabbahu', Hamzah mengatakan 'sekalian semesta dalam ilmu Allah'. Dalam pandangan sufi dan filosof, yang diketahui dan yang mengetahui tidak memiliki jarak, tidak ada had (batasan-batasan). Kalau batas itu ada, maka harus ada hal lain yang menghubungkannya, demikian terus-menerus. Dengan demikian, adanya batas antara yang mengetahi dan yang diketahui adalah mustahil. Dengan demikian, karena alam adalah pengetahuan Tuhan maka antara Tyhan dengan alam tentunya tidak memiliki batas. Kalau ada jarak antara Tuhan dengan yang diketahuiNya, maka tentunya harus ada yang menghubungkan Tuhan dengan (objek) yang diketahuinya yakni alam; pula, ini membuktukan bahwa Tuhan itu tidak berkuasa karena membutuhkan hal kain (perantara) untuk menghubungkan dirinya dengan yang Dia ketahui. Karena itu, harus diterima bahwa antara Tuhan dan alam tidak memiliki had (batas). Maka Ar-Raniri yang menuduh sesat sebenarnyalah yang sesat karena dia melahirkan penafsiran: Allah itu terbatas dan lemah.
Kalimat 'Siapa yang mengenal dirinya, maka telah mengenal Tuhannya', artinya adalah, siapa saja yang telah mengenal dirinya, tentu sebelumnya dia telah mengenal Tuhannya'. Dalam hal ini, bila ingin mengikuti Ar-Raniry, tentunya harus ada penghubung antara yang diketahui (Tuhan) dan yang mengetahu (manusia). Maka tanyakan pada Ar-Raniry: apa penghubung itu?
Dalam pemikiran Hamzah, hubungan antara sebab dan akibat atau antara Pencipta dengan ciptaan adalah seperti benih dengan kayu dan seperti ombak dengan laut. (Al-Attas, 1970: 479)
*
Tamsilan satu Realitas dengan tiga sifat seperti matahari: dengan panasnya, dengan namanya dan rupanya oleh Hamzah ditafsirkan Ar-Raniri seperti konsep trinitas Kristen yakni Bapa, Ibu dan Anak yang diakui Realitasnya Satu juga. Maka saya melihat, semuanya adalah konseptual, baik Hamzah, Ar-Raniri maupun Kristen. Karena itu, dalam konsep, realitas yang Tunggal dapat saja menjadi beragam. Tetapi Hamzah berusaha memberitahukan bahwa, pada Realitas, pada hal yang melampaui konsep, Realitas itu satu sekaligus beragam. Dan ketika laporan ini datang kepada kalangan teolog (seperti Ibn Taimiyah, Al-Ghazali, Ar-Razi dan Ar-Raniri) yang menganut peinsip esensialistik, tentu saja mereka akan menafsirkannya secara parsial sehingga terkukuhkanlah keyakinan mereka adanya perbedaan realitas antara Tuhan dengan makhluk.
*
Sebenarnya Hamzah ingin menerangkan konsep keragaman sekaligus ketunggalan Wujud sebagaimana usaha Shadra. Dia menganalogikan wujud seperti air yang dikandung oleh setiap tumbuhan. Ini sama seperti prinsip ashalatul wujudnya Shadra: bahwa yang lebih prinsipil pada setiap hal adalah 'eksistensi'nya, bukan 'esensi'nya. Bahwasanya wujud lebih utama dan menjadi pemersatu antar tiap hal. Bahwa wujud itu sederhana (basith): maka dengan kesederhanaannya itu dia menjadi satu dan mempersatu segala maujud-maujud.
*
Memang mudah kita mengatakan Ar-Raniri atau para teolog lain terhadap cara pandang para filosof (Hadi W.M., 2001: h. 167), tetapi saya kira yang lebih penting dari itu yakni para teolog melihat akan lahir banyak kemudharatan bila membiarkan orang bertaklid pada filsuf. Sebab filsafat itu akan otomatis memberi sesat bila dia ditaklidkan. Hal ini berbeda dengan syariah. Syariah bisa dilakukan secara buta sebab dianya adalah hal yang objektif.
*
Dalam kitab Al-Muntahi (Al- Attas, 1970: 329), Hamzah hanya mengitip sabda Nabi Saw. Yang berbunyi: 'Barang siapa menilik pada sesuatu, namun tidak dilihatnya Allah maka itu sia-sia'. Melalui hadits inilah Ar-Raniry menyerang Hamzah. Dia eEnuduh Hamzah menyamakan semua realitas dengan Tuhan. Seperti dikatakan Abdul Hadi W.M, (2001: 165)memang Ar-Raniri menyerang Hamzah hanya merujuk pada kitab Al-Muntahi dan Syarah Ruba'i Hamzah Fansuri yang dikarang oleh Syamsuddin Pasae. Lagi pula, kata Abdul Hadi (ibid), Ar-Raniri hanya melihat simbol-simbol yang dipakai Hamzah dalam syair-syairnya secara verbal.
Sekali lagi, menurut saya, bukan berarti Ar-Raniri tidak membaca dan memahami karya-karya Hamzah yang lain, bukan berarti pula dia tidak mengerti hermeunetik (ta'wil), tetapi hal yang lebih mungkin adalah Ar-raniri tidak menginginkan ummat menyalah artikan simbol sehingga jadilah agama kita seperti agama-agama sebelumnya. Maka untuk menghindari resiko itu, Ar-Raniri menempuh konsekwensi membabat habis seluruh ajaran Hamzah.
*
Yang menarik dalam Al-Muntahi (Al-Attas, 1970: 331) adalah kitipan Hamzah pada sebuah hadits: Aku daripada Allah; sekalian alam daripadaku. Saya sangat suka hadits ini. Alam ini adalah konsepsi atau bentukan daripada kesadaran kita. Segala objek indera hanyalah proyeksi kesadaran kita. Demikian juga kesadaran kita itu adalah dari bagian ilmu Tuhan.
*
Dalam satu penggalan yang disampaikan Al-Attas pada 'The Mysticism ...' hal. 478 bahwa Ar-Raniri mengkritik ajaran Hamzah mengenai cayaha yang beragam sejatinya muncul dari satu cahaya. Ar-Raniri (dari pada menuduh lebih tampak mengkhawatirkan) bahwa ajaran Hamzah akan mengarah pada model ajaran majusi yang menyembah aneka cahaya seperti matahari, bintang, api dan s
inar bulan. Karena memang Hamzah sendiri mengakui cahaya awal itu bukanlah tuhan tetapi adalah Nur Muhammad. Begini syair Hamzah:
Tertentu awwal suatu cahaya/ Itulah cermin yang Mulia Raya/ Kelihatan di sana miskin dan kaya/ menjadi dua Tuhan dan sahaya.
Bahwa Nur Muhammad itu bukanlah Dzat Allah melainkan adalah sebagai bayangan (cermin) dariNya. Maka pada alam bayangan ini, antara Allah dan makhluk dapatlah dibedakan

Cahaya bulan itu diumpamakan alam materi, dianya tidak punya cahaya sendiri, alam tidak punya wujudnya sendiri. Wujud alam adalah dari Wujud Ilahi. Karena itu Hamzah mengatakan wujud Allah dengan wujud materi itu esa. Maka wujud alam itu fana, tidak nyata, seperti bayangan dalam cermin: rupa (bentuk, warna dan kesan lain yang ditimbulkan) ada, tetapi tidak memiliki hakikat (wujud). Maka tidak patut Allah disebut sama dengan alam. Tidak sama antara nyata dengan bayangan yang muncul dalam cermin. Bayangan di dalam cermin tidak nyata. Bayangan memiliki bentuk tetapi tidak memiliki eksistensi.

[6] Ali Hasjmy (dalam pengantar ‘Hamzah Fansiri Penyair Sufi Aceh, Abdul Hadi W.M. dan L.K Ara[peny.] Penerbit: Lotlaka). Tahun terbitan buku tidak ditemukan. Pengantar ini ditulis pada: 2 Agustus 1984.


*

Aku Zat tersembunyi, Hanya aku tahu Zat-Ku
Aku Terpuji karena Aku Zat Nyata
Aku alam Arwah, Aku alam Ajsam
Aku pula alam ma'ad
Aku cita-cita dan aku tujuan
Aku pula jalan Cahaya
Aku tempat Kembali


*

sebelum kehadiran Nûr al-Dîn al-Ranirî ke Aceh masyarakat telah terpecah ke dalam dua kelompok Wujudiyah membuktikan bahwa terpecahnya masyarakat bukan karena kehadiran beliau. Firkah masyarakat bukan kepada pengikut Hamzah Fansûrî dan pengikut Nûr al-Dîn al-Ranirî, tetapi antara penganut Wujudiyah mulhith dan muwahhid. Sikap tegas yang diambil Sultan Iskandar Tsani bukan kepada pengikut Hamzah Fansûri tetapi kepada penganut wujudiyah mulhith yang ajarannya telah bertentangan dengan ajaran Wujudiyah yang diajarkan oleh Hamzah Fansûrî dan Syams al-Dîn al-Sumatra-i. mengenai pembakaran terhadap karya-karya Hamzah Fansûrî dan Syams al-Dîn al-Sumatra-i adalah upaya supaya ajarannya tidak disalah pahami sehingga penganut Wujudiyah mulhith tidak semakin meluas.*

esalahanmu adalah memelihara cinta
Sekaligus bersama ragu dan curiga
Mana bisa ayam dan musang tumbuh bersama
Dalam s
atu kandang

*

Kami hadir di bukit ini
Kami membangunnya dengan berahi yang suci
Kami ukir setiap sudutnya dengan keikhlasan
Kami menamainya Taman Para Pecinta

Handai taulan yang chahat akan yang Nyata
Siapa saja yang patah hati dengan dunia
Sesiapa yang sadar hampir hanya mati
Mari bergabung dengan kami di sini

Pakaian kita adalah kehinaan
Makanan kita adalah kelaparan
Setiap hari kita mereguk husnu zan
Siapa yang sanggup merdeka ia

Ilmu yang kami tuntut adalah kebodohan
Pelajaran yang layak kami terima hanya ketidaktahuan
Hari demi hari kami semakin bebal
Hati ini merendah tanpa pamrih


kampus paramadina, 10.10.'13




*

Konsep Wujud Hamzah Fansuri

1. Konsep 'wujud' tertama yang muncul dalam karya Asrar al-'Arifin yakni ketika Hamzah menafsirkan bait dari puisinya yang berbunya 'Tuhan kita yang Empunya Dhat'.(the, 242). Di sini Hamzah menjelaskan, dalam pandangan Ulama (teolog) disebut Wajib al-Wujud karena ia qaim (berdiri) dengan sendiriNya, tiada dengan yang lain. Tetapi, menurut Hamzah, bagi ahl- suluk (sufi) meskipun Dia berdiri dengan sendiriNya, tetapi Dia memberikan wujud pada sekalian alam. Sufi menyebutnya Wajib al-Wujud karena Wujud dengan Zatnya adalah esa (satu). Bagi teolog, Wujud dengan Zat itu dua hukumnya (berbeda); wujud ilmu dengan 'Alim berbeda, wujud alam dengan alam berbeda, Wujud Allah dengan wujud alam lain berbeda.
Hamzah merinci dengan lebih jelas, bahwa perbedaan antara Wujud Allah dengan Zat Allah yang diyakini teolog umpama matahari dengan cahaya matahari dianggap berbeda meskipun pada penglihatan mata dan hati antara cahaya matahari dan matahari itu sendiri adalah satu. Adapun bagi teolog, Wujud Allah dengan wujud alam berbeda seperti cahaya matahari dan sinar bilan yang dianggap berbeda, padahal pada hakikatnya, sinar bulan dan cahaya matahari adalah satu karena sinar bulan adalah cahaya matahari. Karena perbedaan nama (cahaya matahari dan sinar bulan) teolog menganggap Wujud Allah dengan ZatNya berbeda. Karena ini pula mereka menganggap Wujud Allah dengan wujud Alam berbeda. Menurut Hamzah, pembedaan antara Wujud Allah dengan Wujud Alam oleh teolog ini tidak dapat diterima karena bila demikian, konsekwensinya Allah dapat saja disebut dekat dekat dengan alam, dapat pula disebut jauh dengan alam dan dapat disebut di dalam, dapat pula disebut di luar alam. Bila menerima pandangan teolog, maka Allah tentu memiliki posisi yang berbeda dengan alam. Allah berposesi dengan alam. Pandangan mutakallimin menyebabkan adanya batas pada Wujud Allah, batasnya itu adalah wujud alam.
Hamzah melanjutkan, Zat Allah sama dengan WujudNya. Demikian pula Wujud Allah sama dengan wujud alam. Analogi kesamaan antara Zat dengan Wujud Allah adalah cahaya matahari dan sinar bulan, sekalipun namanya berbeda, tetapi hakikatnya sama. Sinar bulan adalah cahaya matahari juga. Analogi kesamaan Wujud Allah dengan wujud alam adalah seperti yang bercermin dengan bayangan yang muncul di dalam cermin. Bayangan itu dapat dilihat, dapat diakui dia ada oleh mata tetapi pada hakikatnya dia tidak memiliki wujud kecuali wujud yang hadir dari yang bercermin.
Dalam keterangan terakhir tentang tafsir sebaris yang telah dicantumkan di atas, Hamzah mangatakan bahwa persamaan antara teolog dengan sufi adalah pada Zat Allah. Kedua kelompok ini sepakat bahwa Zat Allah tidak dapat dianalogikan dengan apapun. ZatNa tiad terikat ruang maupun waktu. Pada Zat Allah tiada apapun bersamaNya; Dia demikian kini sebagaimana Dia dahulu; Mahasuci Allah dari segala perumpamaan; Tidak ada sesuatu apapun yang menyerupaiNya.
Hamzah menjelaskan, ma'rifat yang dicapai salik sekalipun bukanlah kepada Zat Allah tetapi keadaan Zat yang muncul melalui sifat (peri)Nya. Karena itulah bagi sufi, Wujud dengan Zat itu satu. Tetapi kepada kunhi Zat tiada siapapun yang mencapainya termasuk nabi dan malaikat maqarrabum sekalipun.
*
Kata wujud kedua muncul dalam Asrar saat Hamzah menafsirkan baris syairnya berbunyi 'Rahman di Dalamnya perhimpunan Jalal'. Hamzah mengitip awal surat ar-Rahman mengatakan Rahman itulah yang mengajarkan La-Qur'an, menciptakan insan
Dan mengajari semesta sekalian kelihatah.(the, 362) Yang terakhir ini masudnya adalah yang menjadikan indra dapat menangkap dan pikiran dapat mempersepsi alam. Angin adalah nafs Rahman. Adam dijadikan atas rupa Rahman. Hamzah mengatakan ''Rahman itulah wujud semata sekalian alam'' pada kata wujud di sini' Al-Attas (the, 265) menambahkan catatan kaki menjelaskan bahwa pada teks asli manuskrip kitab tertulis 'ujud' yang merupakan kata Melayu yang artinya 'wujud'. Kata semata itu berarti 'sumber'. Misalnya dalam kata melayu 'mata air' itu artinya sumber air, atau 'mata pencaharian' artinya sumber percaharian. Maka maksud hamzah dalam kalimat tersebut yakni wujud alam semesta ini semuanya bersumber dari al-Rahman atau dalam istilah aslinya yakni 'ayn al-tsabitah. Rahman itu adalah sifat Allah. Sifat dengan Zat adalah satu. Sifat itu wujud juga. Maka segala himpunan dalam Rahman yakni semesta sekalian adalah wujud. Dalam QS. Taha: 5 berbunyi: ''Ar-Rahman diatas 'arsy agung' menurut Hamzah artinya 'arsy adalah himpunan hakikat sekalian alam, bukan Zat Allah. 'Arsy sendiri juga adalah tajalli dari Haqiqit Muhammadi. Pada kalimat terakhir penjelasan baris syair ini Hamzah menulis ''Maka dikatakan Jalal sebab perhimpunan segala wujud daripada Rahmat qadim.'' maksudnya adalah segala wujud telah ada dalam Rahman Allah tanpa ada permulaannya (qadim) sehingga Keagungannya itu sempurna. Bila wujud alam itu baharu, maka Rahman Allah itu tidak sempurna sebab berubah dari awalnya tidak memiliki himpunan wujud alam menjadi memiliki himpunan wujud alam sehingga dia tidak dapat disebut Jalal.

3. Kata wujud selanjutnya muncul saat hamzah menafsirkan baris syair berbunyi, 'Memberikan wujud pada sekalian alam'
Selanjutnya Hamzah menulis syarahnya:
''Ya'ni AthraNya itu pada sekalian alam terlalu nyata, tiada terbunyi, karena ia wujud daripada Rahmat Rahman, lagi memberika wujud akan sekalian alam. Jika tiada wujud, dimanakan akan beroleh athar? Karena athar sekalian alam daripada atharNya jua, maka ia beroleh wujud. Seperti tanah itu asal wujud sekalian bejana itu. Jika tiada tanah itu, di mana kendi dan periuk akan beroleh wujud? Kepada Shariat wujud kendi lain, wujud tanah lain. Adapun kepada Haqiqat wujud itulah tanah; sekalian bejana tiada wujud, tanah jua wujud. Rupa sekalian wahmi jua, tiada haqiqi. Inilah ma'na memberika wujud pada sekalian alam.'' (the, 268)
Dari syarah ini jelas bahwa wujud sekalian alam adalah dari Wujud Allah. Perumpamaan wujud yang dipakai Hamzah adalah tanah. Dari tanah dibuatkan kendi dan perik. Wujud kendi dan wujud tanah adalah satu. Tetapi bagi teolog, wujud kendi dan wujud tanah itu berbeda. Tetapi bagi sufi, kendi dan periuk tidak memiliki wujud, rupanya hanyalah wahmi, tidak nyata. Yang nyata hanya wujud tanah.


3. Kata Wujud selanjutnya mucul saat mensyarah barus syairnya berbunyi 'Menjadikan Makhluq siang dan malam.' Hamzah menerangkan ''Ya'ni Athar (Kesucian)Nya itu dinamai wujud karena menjadikan wujud makhliqat (makhluk). Seperti bumi; jika tiada hujan dimanakan tumbuh kayu-kayuan? Adapun bumi ditamhilkan (ditamsilkan) ilmu Allah Ilmu Allah; hujan seperti wujud: kayu-kayuan seperti makhluqat. Adapun bumi tanah sendiriNya, hujanpun air jua (juga) sendirinya. Setelah bercampur maka ada kayu-kayuan tumbuh. Adapun kayu-kayuan yang tumbuh daripada bumi dan air itu tumbuh dengan hukum isti'dad (sedia, siap) jua.''
Disini Hamzah menjelaskan bahwa Zat Allah yang Suci (Isti'dad) dinamai wujud karena memberi wujud atau dariNya menjelma wujud makhluk-makhluk. Beliau mengumpamakan bumi sebagai Ilmu Allah, hujan sebagai wujud dan makhluk-makhluk sebagai tumbuhan-tumbuhan. Sebagaimana bila tiada hujan maka tumbuhanpun tiada, demikian pula Ilmu Allah bila tiada mengandung wujud mustahil dapat memberikan wujud kepada sekalian alam. Kerena itu wujud alam menjelma dari Ilmu Allah yang Wujud, dimana wujud itu telah terkandung (isti'dad) di dalam IlmuNya. Adapun ketika tumbuh-tumbuhan tumbuh, maka akan menghasilkan aneka warna, rasa dan bentuk. Penenkanannya adalah ''Adapun air serupa air sematanya, tanahpun serupa sematanya tanah. Kayu-kayuan itu tumbuh daripada air dan tanah juga, tetapi rupanya dan warnyanya menurut isti'dadnya juga.'' Maksudnya adalah Sumber wujud yang dianalogikan sebagai air, sumber ilmu yang dianalogikan sebagai tanah, segenap makhluk yang menjelma dari Ilmu dan Wujud sekalupun terkesan beraneka bentuk, warna dan rasa, sejatinya adalah bersumber dari Isti'dad (Semata, Esensi) yang Satu (the . 269 dan 153). Analogi Hamzah ini diinspirasikan oleh al-Qur'an Surat ar-Ra'-'ad: 4.
Selanjutnya Hamzah menjelaskan ''Tamthil (tamsil) ini ditamthilkan kepada alam: asalnya daripada wujud maka menjadi siang dan malam, langit dan bumi, dan arsh dan kursi, surga dan neraka, islam dan kafir, baik dan jahat semua ini dengan hukum ista'dad diriNya jua.'' adapun Zat Allah amat Suci sehingga membayangkannyapun mustahil. Karena itu melalui Sifat-sifatNyalah aneka makhluk muncul dan pluralitas makhluk ini sejatinya berasal dari Zat juga karena zat dengan sifat tiada berbeda. Dari Sifat-sifat ini muncu aneka ragam, misalnya jebaikan dari JamalNya dan keburukan dari JalalNya. Karena itu dalam IlmuNya tidak berlaku baik dan buruk sebab semuanya berasal dari Dia yang Mulia. Kebaikan dan keburukan, kafir dan islam dan surga dan neraka dan segala farq (perbedaan) hanya berlaku bagi makhluk seperti manusia sebab manusia terbatas tangkapan indranya dan terbatas nalarnya sehingga keputusan yang dibentuk sebagai pengetahuan adalah keterbatasan-keterbatasan.

4. Kata Wujud selanjutnya muncul ketika Hamzah mensyarah baris syair berikut ini 'Jikalau sini kamu tahu akan wujud.
Maka disini Hamzah menerangkan bahwa wujud yang dimaksud adalah wujud yang diketahui dengan ma'rifat, yang tentunya adalah wujud Allah, bukan wujud manusia yang tertangkap dengan indra. Dsini Hamzah ingin menegaskan bahwa bila menganggap apa yang diindrai itu sebagai wujud yang eksistensinya independen dari wujud Wajib, maka berarti syirik hukumnya. Sebab wujud yang terindraini ini awalah wujud wahmi, yakni wujud yang hanya memiliki penampakan tetapi sama sekali tidak eksis secara nyata. Adapun wujud yang sebenarnya dalam pandangan Hamzah adalah wujud yang dilihat bukan dengan mata kepala tetapi dengan hati melalui wukasyafah dan ma'rifah. Dalam kitab hujjatussiddiq, Raniri sangat sepakat dengan pandangan Hamzah ini, katanya wujud alam ini penampakannya ada tetapi hakikatnya tiada.

6: Kuonsep wujud muncul dalam lanjutan syarah barisdiatas, yang berbuyi ' Itulah tempat kamu syuhud' yakni syuhid (menyaksikan) yang diamaksud bukanlah syuhud akan wujud alam yang wahmi. Karena wujud alam itu eksistensinya berasal dari Wujud Allah. Karena itu syuhud yang diharapkan yakni syuhud akan sesuatu sebagaimana adanya (al-asya-i kama hiya). Adapun syuhud akan sesuatu sebagaimana adanya akan menghantarkan kepada pengetahuan akan hakikatnya. (the, 278). Karena keadaan sebenarnya itu adalah hakikatnya. Misalnya seseorang yang pengetahuannya telah mencapai tahap eksistensial maka dia akan mengetahui hakukatnya, dia tidak lagi terjebak dalam hijab sya'y-i (mahiyah). Adapun syuhud akan realitas Wujud, buka wujud wahmi, adalah karunia Allah.

7. Konsep wujud selanjutnya muncul saat Hamzah mesyarah baris syair berikut: 'Pada Wujud Allah itu yogya kan qaim''
Hamzah mensyarah: ''Yakni pada wujud ALlah itu yogya kau pandang dengan ma'rifat yang sempurdFRrna. '' sempuna ma'rifat adalah jalan tarekat yang benar yang tahapannya diamalkan secara bertahap dan benar. Karena itu Hamzah melanjutkan ''Jangan lupa pada sembahyang dan puasa..'' karena itu adalah tiang syariat dan syariat adalah permulaan menuju ma'rifat, yang selanjutnya setelah syariat adalah thariqat yang isinya adalah banyak berzikir kepada Alla baik sambil ''... Berjalandan berdiri dan duduk dan berbaring,...'' (the, h. 281) Selanjutnya jalan menuju ma'rifat adalah mengurangi makan, minum, bicara dan bergaul.

8. Selanjutnya kata wujud muncull pada kalimat kedua dan ketiga dari akhir syarah baris syair berbunyi 'Buangkan namamu dan rupamu da'im'' karena menurut Hamzah nama dan rupa itu adalah bayang-bayang. (the, 282). Karena seseorang oleh orang lain dikenal adalah melalui tindakan-tindakannya. Adapun tindakan-tindakan orang lain yang kita indrai dan kita persepsi dengan pikiran adalah bayang-bayang. Demikian juga setiap orang mengenal dirinya sendiri, adalah karena pengalaman indra dan pikirannya sendiri. Pencerapan indra dan penalaran pikiran itu juga sejatinya adalah bayangan-bayangan. Pada hakikatnya diri dan orang lain itu hanya nama dan gelas, hakikatnya tiada. Dengan kesadaran ini ''... maka dapat bertemu dengan Wujud. Apabila bertemu dengan Wujud maka bertemu dengan Dhat (Zat).'' (the, h. 283) pertemuan dengan Zat ini tentunya adalah kesadaran bahwa nama dan rupa itu tiada.

9. Kata Wujud selanjutnya muncul ketika Hamzah mensyarah baris syairnya berikut 'Hamzah Fansuri sungguhpun da'if' (the, 292). Adapun da'if (lemah) yangdimaksud di sini adalah merasa dirinya masih sedikit beribadah, riyadat, uzlat, qamaah, lemah ilmunya dan ma'rifahnya akan Allah karena Allah sendiri menhatakan dalam QS. Al-Isra: 85 bahwa manusia diberi ilmu hanya sedikit. Dan memang demikianlah ciri sufi, mengaku diri jahil dan fakir. Kejahilan akan pengenalan akan Allah, jangankan sufi, malah Rasul sendiri mengatakan ''Maha Suci Engkau, tiada kukenal engkau sebenar-benar mengenal dikau'' karena Hakikat Dia hanya Dia yang Tahu.
Namun Hamzah melanjutkan ''Tetapi seqadar anugerah Allah Ta'ala jua akan kita chari dan kita bicharakan, dengan kashf-kashf, pada AtharNya dan Af'alNya dan AsmaNya dan SifatNya.'' Yakni kita berikhtiyar juga mengenal Dia melalui anugerahNya, mengenal akan Nama dan SifatNya.
''Adapun pada suatu ma'na Hamzah da'if karena ia tiada bereujud. Apabila tiada berwujud , maka tiadalah bersifat dan tiadalah ber-af'al. Daiflah hukumnya'' (the, 203) karena manusia adalah makhluk maka semua makhluk tidak memiliki eksistensi independen. Karena dia tidak memiliki wujud sendiri, maka tida tiada juga bersifat sebeb sifat itu adalah satu dengan wujud. Sama seperti wujudnya, sifat-sifatnya makhluk, yang dengan itu kita mengenalnya, adalah wahmi. Demikian juga perbutan-perbuatan itu bergantung kepada wujud dan sifat, bila kedua itu wahmu, maka perbuatan-perbuatannya juga wahmi.

2.'Kata 'mawjud' hadir dalah Asrar' al-'Arifin ketika Hamzah menafsirkan baris syairnya yang berbunyi 'Ketiganya Murid akan sekalian iradat' (the, 246). Adapun Iradat Allah adalah bila Dia menghendaki sesuatu, maka dikatakan kepadanya (ayyaqula lahu) 'kun' maka jadilah ia. Hamzah mengatakan sesuatu yang dikehendaki Allah itu telah 'mawjud' sekalipun belum teraktualisasi. Kalau belum mawjud, maka mustahil Allah mengatakan 'lahu'. Pernyataan Hamzah dalam menjelaskan Iradah Allah yang merujuk kepada redaksi Sura Yasin: 82, mejelaskan possinya sebagai sufi, yakni meyakini bahwa wujud alam telah ada bersama Ilmu Allah sekalipun belum teraktualisasi. Adapun Ilmu Allah itu termasuk Sifanya. Dan dalam pandangan sufi, Zat dengan sifat itu satu.
Hamzah menjelaskan, dalam pandangan teolog, wujud alam itu baharu. Alam baru memiliki wujud setelah ia teraktualisasi. Pandangan teolog ini membingungkan karena terkesan Allah bodoh karena Dia mengatakan baginya (lahu) kepada sesuatu yang tidak ada. Telah mengadanya (mawjud) alam sebelum aktualisasanya dianalogikan Hamzah seperti benih pohon. Pada benih telah terkandung batang, daun, bunga dan buahnya.(the, 247).

3. Kata mawjud selanjutnya dipakai Hamzah dalam menafsirkan baris sajaknya berbunyi: 'Keempat Qadir dengan QudradNya taman.' yakni ketika menerangkan Sifat Kuasa Allah. ''Adapun alam, sungguhpum mawjud, bayang-bayang ma'lumat juga.'' kata Hamzah. Maksudnya adalah mawjud telah hadir dan satu dengan Wujud Allah karena Qudrat (kuasa) Allah itu sempurna. Karena Dia senpurna, maka WujudNya telah terkandung sekalian mawjud alam. Bila mawjud alam itu baharu, berarti dalam Ilmu Allah itu ada perubahan yakni dari tiada mawjud menjadi ada. Bila Allah berubah, berarti dia tidak sempurna QudratNya, Tidak senpurnya SifatNya, WujduNya juga tidak sempurna, Zatnya juga tidak sempurnya. Karena Sifat dengan Zat adalah satu dan dan Zat dengan Wujud adalah satu.

4. Kata mawjud selanjutmya hadir saat Hamzah menafsirkan baris sajaknya berbunyi 'Ketujuh Basir akan halal dan haram' Yakni saat menjelaskan Sifat Melihat Allah. Dia ''... melihat DiriNya beserta rupa sekalian maklumat. Halal dan Haram di dalam Makl artinya dalam ilmu Allah sesuatu telah mengada sekalipun dia belum teraktualisasi. Bahkan sesuiatu disebut 'teraktualisasi' adalah hadirnya maujud kepada indra manusia atau makhluk lain. Pertanyaannya adalah, apakah maujud dalam ilmu Allah itu bergantung kepada makhluk yang lain, atau dia baru mengada bila makhluk lainnya ada. Jawabannya adalah tidak, karena semua makhluk itu ditentukan secara mutlak oleh Allah. Setiap makhluk tidak berbantung pada makhluk lain melainkan kepada Allah semata. Karena itu karena itu, setiap makhluk mewujud dalam ilmu Allah. Teraktualisasi dan belum teraktualisasi hanyalah kesan indra dan pikiran. Dan pikiran itu sendiri mutlak berada dalam ilmu Allah. Adapun pembagian zahir adalah sesuatu itu ketika dapat ditangkap indra dan dipersepsi pikiran. Sementara disebut batin adalah tidak dapat ditangkap indra dan dipersepsi pikiran.


Jadi, prinsip pemikiran Descartes ''Aku berfikir maka aku ada'' itu terbalik. Karena justru ketika seseorang berfikir, 'Ada' menjadi lenyap digantikan waham. Hanya ketika tidak berfikir 'Ada' hadir.


ada dua cara mengenal Tuhan, cara filosof dan cara anak-anak. jangan khawatir, tidak perlu meninggalkan Ibu dan kampung halaman, tidak perlu mengikut Musa ke Bukit Halus, karena yang dikenal juga adalah Yang Maha Indah, cara anak-anak juga punya keindahan tersendiri.


Wujud Ibn 'Arabi

ada dua cara mengenal Tuhan, cara filosof dan cara anak-anak.
jangan khawatir, tidak perlu meninggalkan Ibu dan kampung
halaman, tidak perlu mengikut Musa ke Bukit Halus,
Tidak usah masuk kobaran api bersama Ibrahim,
karena yang
dikenal juga adalah Yang Maha Indah, cara anak-anak juga punya
keindahan tersendiri.

Semoga Allah senantiasa mencurahkan Rahmat dan RahimNya kepada Paduka Yang Mulia Wali Allah.
Wujud dalam realitanNya satu Satu Mutlak (Wajib al-Wujud). Inilah Esensi Mutlak atau Hakikat Zat al-Haqq. Di Sisi lain, wujud merupakan yang meliputi segala sesuatu di dalam kosmos atau disebut al-'alam. (William C. Chittick, Dunia Imajinal Ibnu 'Arabi, diterjemahkan dari Imaginal Worlds oleh Achmad Syahid, Surabaya: Risalah Gusti, 2001, h. 28). Dalam pandangan Ibn 'Arabi, wujud dalam pengertian yang sebenarnya adalah adalah realitas Tunggal yang tidak dapat dibagi dua. Karena itu Chittick mengatakan tidak salah kita memutuskan pandangan Ibn 'Arabi adalah wahdah al-Wujud (h. 29). Argumentasi lain pembenaran penilaian ini asalah ''... Keragaman nyaris tampak tunggal tatkala ia berakar pada Tuhan, al-Haqq'' (h.29). Mengenai realitas kosmos yang tampak beragam sekalipun hakukatnya adalah wujud tunggal diumpamakan seperti cahaya yang menghantam prisma dan menyebabkan munculnya aneka cahaya. Sekalipun persepsi kita mengakui setiap warna memiliki eksistensinya sendiri, namun hakikatnya warna-warna itu tidak memiliki eksistensi kecuali eksistensi dari cahaya. Banyaknya cahaya yang menjelma dari cahaya adalah perumpamaan dari Wujud al-Haqq yang memiliki banyak wadah manifestasi (h.32).
Di samping itu, Ibn A'rabi mengatakan, perubahan yang terjadi pada multiplisitas wujud yang menjelma bukanlah berarti Wujud al-Haqq ikut berubah. Dalam hal ini, analogi yang dibuat adalah cahaya yang menembusi gelas sehingga menghasilkan aneka warna tetapi warna-warna itu sama sekali tidak mempengaruhi cahaya. (h.32-33)
Chittick (h. 33) menulis sekalipun pada dirinya sendiri adalah maya, tetapi pada kosmos dapat ditemukan wujud karena limpahan dari Wujud al-Haqq melalui Nafs al-Rahman. Pandangan dari Ibn 'Arabi ini diinspirasikan dari QS. Al-'Araf: 156). Hanya karena Kasih SyangNya melalui IlmuNya kosmos yang maya ini dapat meng-ada sehingga setiap mawjud '... Bisa merasa, menikmati dan mengalami realitas-realitas spesifiknya sendiri.'' (h.33). Kasih Sayang disini disebut dengan 'Nafs al-Rahman' yakni. ''... Substansi yang mendasari segala sesuatu.'' (h. 34) di dalamnyalah segala sesuatu menerima kadar, sifat atau karakte ristik tertentu. Melalui Nafs al-Rahman-lah Entitas Kekas menjadi entitas Mawjud, dimana Entitas Kekal tanpa harus kehilangan kekekalannya dan entitas tertentu tanpa harus menjadi mutlak.
Antara Nafs al-Rahman dengan Zat Mutlak diumpamakan Chittick (h. 32) antara nafas manusia denga diri manusia. Diri manusia tanpa nafas tidak dapat disebut manusia, tetapi adalah mayat. Demikian pula nafas tanpa diri manusia hanyalah udara. Kesatuan antara manusia dengan nafas itulah yang menyebabkan diri disebut 'manusia'. Sekalipun perumpamaan ini kurang tepat, tetapi tujuan Chittick adalah menerangkan bahwa Amr, Sifat dan Wujud adalah Satu dengan Zat.


+++


Tidak ada komentar:

Posting Komentar