Bagaimana cara menemukan jalan untuk kembali? Insya' Allah jawabannya
mudah bila kita serius dan konsisten: Pertama adalah mengetahui diri
sedang berada di mana. Maksud dari konteks ini adalah mengetahui 'apa'
sebenarnya diri. Thales juga berkata demikian ''Kenali dirimu''. Kedua
adalah menyimak tembang indah dari Letto. Judulnya Sandaran Hati:
Yakinkah ku berdiri, di hampa tanpa sepi
Bolehkah aku mendengarMu
Terkubur dalam emosi, tanpa bisa sembunyi
Aku dan nafasku merindukanMu
Terpurukku di sini, teraniaya sepi
Dan kutahu pasti Kau menemani
Dalam hidupku, kesendirianku
Teringat ku teringat, pada janjiMu ku terikat
Hanya sekejap ku berdiri, kulakukan sepenuh hati
Peduli ku peduli, siang dan malam yang berganti
Sedihku ini tiada arti, jika Kaulah sandaran hati, Kaulah sandaran hati
Inikah yang Kau mau, benarkah ini janjiMu
Hanya Engkau yang ku tuju
Pegang erat tanganku, bimbing langkah kakiku
Aku hilang arah tanpa hadirMu, dalam gelapnya malam hariku
Dari lirik di atas jelaslah bahwa diri kita berada di sebuah tempat
yang asing. Tentang keterasingan ini, Rumi menganalogikan diri seperti
seruling yang terpisah dari rumpun bambu. Iqbal mengatakan kita berada
dalam ''semesta tujuh warna''. Benar, bukankah kemanapun mata di
arahkan, bahkan dipejam sekalipun citra warna selalu ada. Kita dikepung
oleh wana-warna. Kita berada di dalam warna-warna. Letto mengatanan kita
''terpuruk dalam emosi''. Benar, segala persepsi selalu dihiasi emosi
dengan intensi dan jenis berbeda-beda. Sering tingkatan intensi itu
menentukan daya persepsi dan akhirnya menentukan kualitas sensasi. Apa
'diri'? Hanya kumpulan sensasi sensasi. 'Saya' adalah himpunan
sensasi-sensasi. Sementara cabangnya adalah ekspektasi. Ekspektasi itu
tidak lepas dari sensasi-sensasi. Bila benar-benar direnungkan, semua
sensasi itu dibentuk oleh persepsi yang bermodalkan indera. Sejatinya,
semua persepsi hanyalah citra. Ya, sebenarnya itu semua adalah citra
semata. Makanya Letto mengatakan kita berada ''di hampa tanpa tepi''.
Hampa memang, ketiadaan. Karena semuanya adalah citra semata, maka wajar
Letto mengatakan sang diri benar-benar ''teraniaya sepi''. Karena,
segala yang kita anggap ada dan menemani, yang semuanya berasal dari
cerapan indera adalah semu.
Sekalipun demikian, diri-diri yang
terpilih, yang diberi taufiq oleh Allah sadar sekali Dan tahu pasti Dia
menemani. Lebih dari itu, mereka diberi akal yang cerah sehingga paham
bahwa Allah, sebagaimana kata Anselmus, ada sedemikian nyata sehinga
membayangkan saja Dia tidak ada, tidak bisa. Pengakuan demikian dalam
tahap lebih tinggi lagi dimiliki oleh sufi sehingga mereka tidak
menyaksikan apapun selain Allah. Pernyataan sufi ini sebenarnya bukan
statement orang mabuk, tetapi adalah pengakuan akan realitas hakiki.
Mereka mampu melihat Realitas tidak lain karena karunia dari Allah. Dan
mereka menemukan diri lenyap sama sekali; yang ada hanyalah Dia.
Dalam pemampakan Realitas Hakiki, hidupku sejatinya adalah HidupMu.
Kesendirianku sebenarnya adalah Kau yang Sendiri, Tunggal. Tidak ada
apapun selain Engkau.
Hanya insan pilihan seperti di atas yang
sadar. Setelah sadar, barulah dia teringat. Karena mustahul mengingat
orang yang tidak sadar. Dia teringat akan janjiNya dia terikat, yakni
sebuah janji yang telah diikrarkan saat dia ditajallikan ke alam dunia
melalui alam kandungan. Saat Allah mentajallikan DiriNya melalui Ruhnya
setelah sempurna bentuk jasadnya. Karena tiada apapun selain Dia, maka
Dia bertanya pada dirinya Sendiri ''Benarkah aku ini Tuhan'' dan Dia
menjawabnya ''Benar, Aku menyaksikan DiriKu melalui tajalliKu''. Itulah
janji yang mengikat Dzat dengan tajalliNya yang disebut insan. dzat
adalah Dia, Pengikatnya adalah Dia dan yang diikat adalah Dia sebab
tiada apapun selain Dia.
Insan sadar dirinya turun atau tajalli
atau disebut mabda' ke dunia hanya sesaat. Ketika berada di dunia yang
sejatinya fana, wajib atas diri insan melalukan proses ulang atau pulang
atau kembali atau ma'ad. Disebut ulang karena memang sejatinya yang
harus dilakukan adalah mengulang pada keadaan sebelum tajalli. Proses
ulang ini dibantu dengan panduan konseptual yakni wahyu dan panduan
aktual yakni Rasul. Wahyu dan Rasul sebenarnya adalah satu kesatuan
sebab itu-itu adalah tajalli Dia juga. Kebenaran Wahyu dan Rasul
dibenarkan oleh akal insan. Namun karena insan bertajalli terlalu jauh
sehingga kebenaran menjadi kabur darinya. Makanya, dengan mengikuti
kedua panduan tersebut, secara perlahan yang kabur menjadi terang.
Melaksanakan panduan-panduan harus dengan sepenuh hati. Bila sedikit
saja ujub, riya, takabur, itu artinya masih ingkar sebab masih mengakui
diri insan itu punya eksistensi independen. Padahal sudah diketahui
bahwa tiada Wujud selain Dia.
Konsistensi atau peduli secara terus
menerus, siang dan malam, dari kecil hingga tua,sepanjang waktu pulang
akan membinasakan kegalauan akibat perasaan sepi yang timbul karena
waham bahwa berada di alam dunia adalah drama kejatuhan sebagaimana
diyakini orang-orang sesat. Hati insan yang disandarkan kepada Allah
saja diumpamakan seperti kertas kering yang disandarkan kepada api. Diri
kertas akan lenyap oleh api. Menyandarkan hati kepada Allah adalah
pengakuan bahwa diri itu benar-benar lenyap. Tentunya, pengakuan tanpa
penyaksian adalah kebohongan. Insan yang selalu peduli tentang pulangnya
itu tidak pernah berharap apapun dari ibadahnya kecuali keridhaan
dariNya. Sebab bila mengharap sesuatu, seperti kenikmatan surga
misalnya, adalah harapan diri mendapatkan aneka kenikmatan. Disini
berarti, diri masih belum lenyap.
Sesiapa yang menjadikan Allah
sebagai sandaran hati tentunya tidak patut lagi untuk memiliki keraguan
walau sedikit. Yang menjadikan Allah sebagai sandaran hati adalah insan
yang yakin. Insan Yakin adalah mereka yang telah melihat dengan intuisi
jalan Allah sehingga mereka beramal pula dengan yakin. Melihat dengan
intuisi adalah jelas dan pasti, tidak seperti dengan mata yang melihat
sesuatu sebatas citra. Insan Yakin melihat janji Allah itu nyata dan dia
sadar yang dia lakukan adalah jalan ulang atau ma'ad kepada Allah.
Insan Yakin berada pada tingkat keyakinan tertinggi, hakkul yakin.
Tetapi tetap saja bermunajah kepada Allah. Sekalipun dia tahu dirinya
bermaqam tinggi tetap saja dia memohon bimbingan dan petunjuk sebab itu
adalah perintah, sebab itu adalah bagian dari langkah ulang. Pengabdian
dengan kesetiaan serta komitmen tinggi adalah aktualisasi dari pengakuan
bahwa diri itu lenyap. Yang ada hanya Dia, kalaupun 'diri' dianggap
ada, maka diri adalah Ada. Ada hanya satu. Tiada apapun selain Ada. Ada
bersifat Maha Luas, tidak terbatasi oleh apapun.
Depok, 23 Sept. 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar