Ar-Razi diakui sebagai teolog terbesar setelah al-Ghazali (Nasr,, 'The Islamic Intellectial
Tradition in Persia', New Delhi: Exel Books', 1996, h. 109). Pemikiran penting Ar-Razi terkait ketuhanan yakni:
a. Tuhan tidak Serupa dengan Makhluk-Nya
bahwa tidak ada satu hal apapun yang menyerupai Tuhan. Segala yang dapat dipersepsi maupun dibayangkan sama-sekali berbeda dengan Tuhan. Dalam hal inilah Ar-Razi mengkritik para filosof secara tajam karena memang para filosof sering menggunakan analogi-analogi untuk mendefenisikan Wujud. menggunakan analogi saya kira tidak keliru karena Tuhan sendiri menggunakan analogi benda (cahaya) dan sifat makhluk (mencipta, memelihara, dsb.) untuk memperkenalkan dirinya Dalam mengemukakan argumen, dia sendiri menggunakan pendekatan filosofis. Maka tokoh kita ini berada pada posisi terjepit: saat menghantan filosof, dia sendiri dihantam teolog sehingga harus sering berpindah-pindah. Razi mengkritik teori atomisme mazhab teologi Ay'ariyah (Seyyed Hossein Nasr, dalam MM Syarif ed 'A History of Muslim Philosophy' vol. I . , Wiesbaden: Otto Harrissowith, 1966 h. 647 ).
Para filosof-sufi menggambarkan Tuhan sama seperti makhluk adalah berlandas pada ayat-ayat yang terpercaya. Misalnya mereka berpangku pada hadits: siapa saja yang melihat pada sesuatu tapi gagal melihat Allah, maka sia-sia. Hamzah Fansuri dalam kitab Al-Muntahi (Al-Attas, 'The Mysticism of Hamzah Fansuri', Kuala Lumpur: University of Malaya Press, 1970: 331) menulis: ''... Nama Allah Mu'min, maka hambanya yang khas-pun bernama mu'min. Jika demikian, sama-sama dengan Tuhannya, karena hamba tiada bercerai dengan Tuhannya, dan Tuhan-pun tiada bercerai dengan hamba-Nya''. perkataan Hamzah ini adalah contoh bagaimana para filosof-sufi tiada membeda-bedakan antara Tuhan dengan makhlukh. Sebab, kalau Tuhan dengan makhluk berbeda, maka harus ada dua entitas yakni Tuhan dan makhluk. Bila ada dua entitas, maka harus ada batas yang membedakan Tuhan dengan makhluk. Bila Tuhan memiliki batas, maka berarti dia terbatas. Bila Dia terbatas, artinya Dia tidak sempurna. Para sufi-filosof tidak mengakui adanya realitas eksternal yang berupa bentuk. Mereka melihat realitas eksternal adalah bayangan atau cermin Tuhan semata. Maka yang namanya bayangan tidak nyata, fana. Sementara para teolog mengakui alam ini real atau nyata bukan sekedar fantasi. Karena itu Al-Attas dalam Konsep Pendidikan dalam Islam (1997 cet. VII) membedakan dua aliran intelektual Islam yakni teolog yang menganut prinsip kemendasaran esensi dan sufi-filosof yang menganut prinsip kemendasaran eksistensi. Karena menganut prinsip bahwa esensi adalah hal mendasar pada realitas eksternal, maka mustahil Tuhan dapat disamakan dengan realitas eksternal. Sementara filosof hanya mengakui bahwa realita ini hanya eksis, tetapi materinya tidak real.
Karena berprinsip demikian, maka sufi-filosof tidak lagi memandang segala bentuk dan warna tetapi telah melampaui itu semua. Kemanapun mereka menghadapkan wajah, mereka tidak lagi memandang bentuk dan warna tetapi pandangan mereka melampaui mahiyat atau esensi sehingga melihat Wujud. Makanya sufi Aynul Qudat (Al-Attas, 1970: 336) sampai menyembah anjing karena dia mengaku anjing itu Tuhan. Artinya, dia tidak lagi melihat anjing tetapi dia hanya melihat Wujud.
Sebenarnya, pandangan Ar-Razi lebih mendukung para filosof karena cermin (realitas eksternal/ makhluk) sama sekali bukan (negasi)Tuhan. Namun kita perlu pahami bahwa
b. Tuhan tidak Mengambil Tempat
bila Tuhan mengambil tempat, maka tentunya keagungan Tuhan tidaklah mutlak, sebab Dia dikalahkan oleh tempatNya itu. Tempat tentunya harus lebih luas untuk menampun Dia. Kalau Dia menjadi agung karena alasan tempatNya, maka keagungannya tidak sempurna sebab bergantung pada sesuatu (yakni tempatnya). Karena itu, perlu disadari dan diketahui oleh kita, bahwa keagungan Tuhan tidak seperti keagungan makhluk yang membutuhkan alasan (sesuatu) untuk dianggap agung. Keagungan Tuhan adalah keagungan Dzat dan SifatNya sendiri.
Ar-Razi (dalam 'Kitãb Al-Nafs Wa'lrùh Wa Sharh Quwwaumâ', New Delhi: Kitab Bhavan, 1981{cet. II} h. 63) membagi wujud dalam empat kategori, pertama adalah wujud yang tidak disebabkan apapun, kedua adalah wujud yang menerima akibat tetapi tidak menjadi sebab bagi apapun, ketiga wujud adalah sebab sekaligus disebabkan pada saat yang sama, dan keempat adalah wujud yang bukan sebab dan bukan dan bukan pula disebabkan oleh apapun.
Wujud yang tidak disebabkan oleh apapun itu adalah Allah. Tetapi Dia menjadi sebab bagi segala sesuatu. Esensinya adalah Dzatnya sendiri. WujudNya itu niscaya. Segala wujud selain Dia tidak ada yang menyerupainya. Segala wujud itu adalah akibat daripadaNya. Dia tidak bergantung pada akibat-akibat yang datang dariNya. Sebaliknya akibat-akibat itu mutlak bergantung padaNya. Karena itu, mustahil Dia membutuhkan suatu tempat karena tempat sendiri adalah akibat daripadaNya.
c. Teodisi Teologis
Hal unik lain tentang teori ketuhanan atau teologi Ar-Razi yakni konsep teodisi. (Teuku Safir Iskandar Wijaya (Dekan Ushuluddin IAIN Ar-Raniri mengulas tentang hal ini dalam disertasinya di UIN Syarif Hidayatullah.) Dalam pandangan Ar-Razi, neraka hanya diproyeksikan bagi orang kafir. Muslim tetap bertanggungjawab atas perbuatannya tetapi semuanya begantung pada kehendak Ilahi. Semua hal dan kejadian adalah dari Allah, karena itu semuanya baik. Sesuatu menjadi buruk adalah ketika masuk kedalam persepsi manusia yang menggunakan rasio yang terbatas sehingga sifatnya melimitasi. Seseorang yang menusuk dengan pisau seseorang kita lihat adalah kejahatan. Tetapi bila kita tahu bahwa ibunya yang menusuk telah diperkosa dan dibunuh oleh yang kena tusuk maka penilaian awal yang negatif sangat bagi penusuk dapat berubah. Allah yang Luas Pengetahuannya tentu saja tidak melimitasi setiap hal. Pemikiran teodisi Ar-Razi adalah sebuah pikiran yang banyak mengundang kecaman dari teolog sendiri. Pemikirannya dalam hal ini mirip dengan cara pandang para filosof-sufi.
Hal lain yang menunjukkan Ar-Razi sepakat dengan filosof adalah ketika dia mengatakan ayat-ayat yang membicarakan tentang atribut Allah SWT. harus dita'wilkan, Namun dia berbeda dengan filosof ketika menyepakati para teolog bahwa bada hari bangkit manusia dibangkitkan jiwa bersama jasadnya di dunia sekarang Ar-Razi juga sejalan dengan teolog dalam pendapatnya bahwa rasio harus (dipaksa?) menyepakati wahyu.
Ar-Razi sepakat dengan kalam Asy'ari yang mengakui adanya sifat-sifat Allah SWT. Seperti Imam Syafi'i, dia percaya akan delapan sifat Allah yakni, Esa, Hidup, Ilmu, Berkuasa (Qudrat), Berkehendak (Iradat), Mendengar, Melihat (Bashar), dan Kalam.
a. Tuhan tidak Serupa dengan Makhluk-Nya
bahwa tidak ada satu hal apapun yang menyerupai Tuhan. Segala yang dapat dipersepsi maupun dibayangkan sama-sekali berbeda dengan Tuhan. Dalam hal inilah Ar-Razi mengkritik para filosof secara tajam karena memang para filosof sering menggunakan analogi-analogi untuk mendefenisikan Wujud. menggunakan analogi saya kira tidak keliru karena Tuhan sendiri menggunakan analogi benda (cahaya) dan sifat makhluk (mencipta, memelihara, dsb.) untuk memperkenalkan dirinya Dalam mengemukakan argumen, dia sendiri menggunakan pendekatan filosofis. Maka tokoh kita ini berada pada posisi terjepit: saat menghantan filosof, dia sendiri dihantam teolog sehingga harus sering berpindah-pindah. Razi mengkritik teori atomisme mazhab teologi Ay'ariyah (Seyyed Hossein Nasr, dalam MM Syarif ed 'A History of Muslim Philosophy' vol. I . , Wiesbaden: Otto Harrissowith, 1966 h. 647 ).
Para filosof-sufi menggambarkan Tuhan sama seperti makhluk adalah berlandas pada ayat-ayat yang terpercaya. Misalnya mereka berpangku pada hadits: siapa saja yang melihat pada sesuatu tapi gagal melihat Allah, maka sia-sia. Hamzah Fansuri dalam kitab Al-Muntahi (Al-Attas, 'The Mysticism of Hamzah Fansuri', Kuala Lumpur: University of Malaya Press, 1970: 331) menulis: ''... Nama Allah Mu'min, maka hambanya yang khas-pun bernama mu'min. Jika demikian, sama-sama dengan Tuhannya, karena hamba tiada bercerai dengan Tuhannya, dan Tuhan-pun tiada bercerai dengan hamba-Nya''. perkataan Hamzah ini adalah contoh bagaimana para filosof-sufi tiada membeda-bedakan antara Tuhan dengan makhlukh. Sebab, kalau Tuhan dengan makhluk berbeda, maka harus ada dua entitas yakni Tuhan dan makhluk. Bila ada dua entitas, maka harus ada batas yang membedakan Tuhan dengan makhluk. Bila Tuhan memiliki batas, maka berarti dia terbatas. Bila Dia terbatas, artinya Dia tidak sempurna. Para sufi-filosof tidak mengakui adanya realitas eksternal yang berupa bentuk. Mereka melihat realitas eksternal adalah bayangan atau cermin Tuhan semata. Maka yang namanya bayangan tidak nyata, fana. Sementara para teolog mengakui alam ini real atau nyata bukan sekedar fantasi. Karena itu Al-Attas dalam Konsep Pendidikan dalam Islam (1997 cet. VII) membedakan dua aliran intelektual Islam yakni teolog yang menganut prinsip kemendasaran esensi dan sufi-filosof yang menganut prinsip kemendasaran eksistensi. Karena menganut prinsip bahwa esensi adalah hal mendasar pada realitas eksternal, maka mustahil Tuhan dapat disamakan dengan realitas eksternal. Sementara filosof hanya mengakui bahwa realita ini hanya eksis, tetapi materinya tidak real.
Karena berprinsip demikian, maka sufi-filosof tidak lagi memandang segala bentuk dan warna tetapi telah melampaui itu semua. Kemanapun mereka menghadapkan wajah, mereka tidak lagi memandang bentuk dan warna tetapi pandangan mereka melampaui mahiyat atau esensi sehingga melihat Wujud. Makanya sufi Aynul Qudat (Al-Attas, 1970: 336) sampai menyembah anjing karena dia mengaku anjing itu Tuhan. Artinya, dia tidak lagi melihat anjing tetapi dia hanya melihat Wujud.
Sebenarnya, pandangan Ar-Razi lebih mendukung para filosof karena cermin (realitas eksternal/ makhluk) sama sekali bukan (negasi)Tuhan. Namun kita perlu pahami bahwa
b. Tuhan tidak Mengambil Tempat
bila Tuhan mengambil tempat, maka tentunya keagungan Tuhan tidaklah mutlak, sebab Dia dikalahkan oleh tempatNya itu. Tempat tentunya harus lebih luas untuk menampun Dia. Kalau Dia menjadi agung karena alasan tempatNya, maka keagungannya tidak sempurna sebab bergantung pada sesuatu (yakni tempatnya). Karena itu, perlu disadari dan diketahui oleh kita, bahwa keagungan Tuhan tidak seperti keagungan makhluk yang membutuhkan alasan (sesuatu) untuk dianggap agung. Keagungan Tuhan adalah keagungan Dzat dan SifatNya sendiri.
Ar-Razi (dalam 'Kitãb Al-Nafs Wa'lrùh Wa Sharh Quwwaumâ', New Delhi: Kitab Bhavan, 1981{cet. II} h. 63) membagi wujud dalam empat kategori, pertama adalah wujud yang tidak disebabkan apapun, kedua adalah wujud yang menerima akibat tetapi tidak menjadi sebab bagi apapun, ketiga wujud adalah sebab sekaligus disebabkan pada saat yang sama, dan keempat adalah wujud yang bukan sebab dan bukan dan bukan pula disebabkan oleh apapun.
Wujud yang tidak disebabkan oleh apapun itu adalah Allah. Tetapi Dia menjadi sebab bagi segala sesuatu. Esensinya adalah Dzatnya sendiri. WujudNya itu niscaya. Segala wujud selain Dia tidak ada yang menyerupainya. Segala wujud itu adalah akibat daripadaNya. Dia tidak bergantung pada akibat-akibat yang datang dariNya. Sebaliknya akibat-akibat itu mutlak bergantung padaNya. Karena itu, mustahil Dia membutuhkan suatu tempat karena tempat sendiri adalah akibat daripadaNya.
c. Teodisi Teologis
Hal unik lain tentang teori ketuhanan atau teologi Ar-Razi yakni konsep teodisi. (Teuku Safir Iskandar Wijaya (Dekan Ushuluddin IAIN Ar-Raniri mengulas tentang hal ini dalam disertasinya di UIN Syarif Hidayatullah.) Dalam pandangan Ar-Razi, neraka hanya diproyeksikan bagi orang kafir. Muslim tetap bertanggungjawab atas perbuatannya tetapi semuanya begantung pada kehendak Ilahi. Semua hal dan kejadian adalah dari Allah, karena itu semuanya baik. Sesuatu menjadi buruk adalah ketika masuk kedalam persepsi manusia yang menggunakan rasio yang terbatas sehingga sifatnya melimitasi. Seseorang yang menusuk dengan pisau seseorang kita lihat adalah kejahatan. Tetapi bila kita tahu bahwa ibunya yang menusuk telah diperkosa dan dibunuh oleh yang kena tusuk maka penilaian awal yang negatif sangat bagi penusuk dapat berubah. Allah yang Luas Pengetahuannya tentu saja tidak melimitasi setiap hal. Pemikiran teodisi Ar-Razi adalah sebuah pikiran yang banyak mengundang kecaman dari teolog sendiri. Pemikirannya dalam hal ini mirip dengan cara pandang para filosof-sufi.
Hal lain yang menunjukkan Ar-Razi sepakat dengan filosof adalah ketika dia mengatakan ayat-ayat yang membicarakan tentang atribut Allah SWT. harus dita'wilkan, Namun dia berbeda dengan filosof ketika menyepakati para teolog bahwa bada hari bangkit manusia dibangkitkan jiwa bersama jasadnya di dunia sekarang Ar-Razi juga sejalan dengan teolog dalam pendapatnya bahwa rasio harus (dipaksa?) menyepakati wahyu.
Ar-Razi sepakat dengan kalam Asy'ari yang mengakui adanya sifat-sifat Allah SWT. Seperti Imam Syafi'i, dia percaya akan delapan sifat Allah yakni, Esa, Hidup, Ilmu, Berkuasa (Qudrat), Berkehendak (Iradat), Mendengar, Melihat (Bashar), dan Kalam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar