Nusantara
memiliki tokoh yang sangat besar. Dia adalah Hamah Fasuri. Hamzah adalah tokoh
Melayu terbesar. Dia termasuk tokoh terbesar dalam sejarah intelektual dan
kebudayaan Islam. Pemikiran-Pemikiran Hamzah dapat memberi kontribusi kepada
banyak bidang. Sayangnya, dia hanya dikenal dikenal sebagai ulama sufi dan
sastrawan. Padahal bila kita mahu mengupas pemikirannya yang mendalam, maka
kita dapat memperluas bidang tersebut. Penelitian ini ingin
membuktikan bahwa dia adalah filosof yang dapat memberikan kontribusi besar
kepada dunia pendidikan.
Para
pelajar dan pengajar bidang sastra di Nusantara mengenal Hamzah sebagai
penyair. Puisi Hamzah adalah puisi pertama dalam bahasa Melayu yang bersifat
empat baris dan berrima aaaa[1].
Karakter puisi seperti ini adalah kobinasi rubaiyat Persia dengan pantun
Melayu. Kekayaan estetika puisi Hamzah mempengaruhi
penyair Nusantara sesudahnya hingga
kini. Misalnya, pada puisi Amir Hamzah, kita dapat tememukan corak yang mirip
puisi tokoh kita ini.[2]
Moyang Hamzah adalah keturunan Persia yang datang ke
Samudra Pase[3]
pada masa pemerintahan Sultan Malikul Saleh (1261-1269) untuk mengajar di dayah[4]
Blang Priya (sekarang masuk kawasan Meurah
Mulia, Aceh Utara). Beliau dikenal dengan nama Syaikh Al-Fansuri. Selanjutnya anak
keturunannya termasuk Hamzah dan kakaknya, Ali (ayahnya Syiah Kuala) memakai
‘Fansuri’ dibelakang namanya. Hamzah lahir di Blang Priya dan mendapatkan
pendidikan pertama di dayah yang diasuh orangtuanya. Sebagaimana lazimnya anak
ulama dan putra bangsawan di Pase[5],
beliau mengembara menuntut ilmu ke Persia. Sekembali menuntut ilmu, Hamzah dan
Ali pindah ke kawasan Singkil untuk mendirikan dayah di sana pada masa Sulthan Alaiddin Riayat Syah
Saidil Mukammil memerintah Kerajaan Aceh Darussalam (antara 1589-1604 M.). Pada
akhir pemerintahan Sulthan Iskandar Muda Meukuta Alam (27 Desember 1636) Hamzah
meninggal dan dimakamkan di Kampung Oboh, Simpang Kiri Rundeng di Hulu Sungai
Singkil.[6]
Di mata kalangan ahli Bahasa, Hamzah diakui memberi
banyak sentuhan terhadap bahasa Melayu. Dia menyerap banyak kata dari bahasa Arab dan
Persia ke dalam bahasa Melayu. Serapan ini bukan semata untuk memperkaya nuansa
estetika dalam karyanya, tetapi juga karena banyak kata yang dimiliki bahasa
Melayu tidak mapan untuk mewakilkan maksud yang ingin disampaikan. Berkat
sentuhan Hamzah, bahasa Melayu telah berubah dari sekedar bahasa puitik menjadi
bahasa ilmiah. Ini menjadi salah satu alasan bahasa Melayu dijadikan bahasa
resmi negara seperti Indonesia, Malaysia, Singapura, dan Brunei
Darussalam.
Di
kalangan tradisionalis Muslim, Hamzah dikenal
sebagai seorang sufi. Sufi adalah ajaran yang diakui berasal dari Rasulullah
Saw.[7] Sufi adalah mereka yang menempuh jalan untuk
mendekatkan diri Allah.[8]Ajaran
sufi Hamzah dijaankan secara keliru oleh para pengikut setelahnya karena mereka
sulit memahami prinsip ajarannya.[9]Tuduhan
sesat secara tegas dilontarkan oleh Nuruddin Ar-Raniri dengan banyak argumen.[10]
Ajaran Hamzah akan selalu dipahami dengan keliru atau
tidak akan dapat dipahami sama sekali bila kita belum paham dengan konsep
epistemologi dan metafisika Wujud. Dalam pandangan sufi dan folosof, alam
eksternal hanya merupakan bayangan yang dipoyeksikan mental. Hakikat daripada
alam adalah wujud. Wujud tersembunyi dibalik esensi materi yang bewarna dan
berbentuk. Hanya yang memiliki kesadaran akan Realitas Wujud saja yang mampu
menyadari kehadiran wujud dibalik proyeksi mental. Melalui Isutzu[11],
Sadra mengatakan Wujud adalah hal yang lebih utama daripada esensi. Hamzah
sendiri mengatakan wujud seperti air yang menjelma pada beraneka tumbuhan. Sekalipun
wujud itu lebih jelas daripada esensi, tetapi dia hanya bisa dilihat oleh orang
tertentu.
Suluhnya terlalu terang
Harinya tiada berpetang
Jalannya terlalu hening
Barang mendapat dia terlalu menang[12]
Sekalipun dilihat sebagai ajaran seorang sufi, atau lebih
parah lagi yakni hanya mampu melihat karya Hamzah dari unsur estetikanya
saja, namun sebenarnya dalam karya-karya
Hamzah mengandung nuansa filsafat yang sangat tinggi. Hal ini dibuktikan dengan
dua karya Syed Muhammad Naquib Al-Attas yakni ‘A Hujjatul Shiddiq li Daf'il Zindiqon Nuruddin Ar-Raniri’[13]dan ‘The Mysticism
of Hamzah Fansuri[14]’yang mengkaji pemikiran ontologi Hamzah secara mendalam. Melalui
dua karya ini kita dapat menemukan bukti bahwa konsep ontologi Hamzah sangat
sensitif. Sensitivitas ontologi tidak hanya terjadi pada pemikiran Hamzah
tetapi juga pada banyak sufi-filosof lainnya seperti Syihabuddin Suhrawardi dan Muhyiddin Ibn Arabi.
Keseluruhan
pemikiran Hamzah dapat digolongkan ke dalam tiga tema yakni ketuhanan,
kemanusiaan dan kosmologi. Ketiga tema ini memang menjadi tritunggal pemikiran
semua filosof. Sekalipun pada tokoh kita ini tidak ditemukan karya-karyanya
yang membahas logika dan epistemologi secara eksplisit seperti pada karya-karya
Ibn Sina dan Suhrawardi, namun dalam keseluruhan karya Hamzah yang berbentuk
puisi dan prosa, mengandung informasi tentang ontologi yang sangat mendalam.
Lagi pula, sebagian para sarjana filsafat Islam menolak logika dan epistemologi
adalah bagian dari filsafat Islam. Konsenterasi filsafat Islam adalah ontologi.
Logika dan epistemilogi hanya dianggap sebagai pintu masuk dan analogi penjelas
(tools) bagi ontologi. Hamzah lebih suka menjelaskan
Realitas Wujud melalui puisi karena, sebagaimana ungkapan
Abdul Hadi W.M. “Puisi memiliki banyak keunggulan sebagai
media ekspresi pengalaman rohani karena kepersonalan, keunikan dan
keuniversalannya dapat terpelihara dengan baik”.[15]
Manusia
sebagai salah satu kajian utama filsafat mendapat tempat yang luas dalam kajian
semua filosof. Salah satu alasannya karena keunikannya. Sekalipun terdiri dari dua unsur[16],
manusia adalah berasal dari jiwa yang satu[17].
Karena itu, tentunya manusia perlu bergerak menuju yang satu. Untuk menuju yang
satu, harus terus
mengalami gerak penyempurnaan tanpa henti. Modal dasar[18]
gerak jiwa itu adalah penyucian[19].
Manusia dengan jiwanya sama seperti hidrogen dengan
oksigen. Bila salah satu dari kedua unsur tersebut tidak bersatu, maka tidak
dapat disebut sebagai air. Ibn Sina melihat hubungan jasad dengan jiwa adalah
seperti hubungan juru mudi dengan perahu. Bila jiwa tidak mengendalikan jasad,
maka jasad bisa mati. Sementara Mulla Sadra yang pandangannya sangat mirip
dengan Hamzah, melihat jasad sebagai manifestasi jiwa.[20]
Hamzah dan Sadra melihat pada akibat tetap mengandung akibat. Analogi yang
diberikan Hamzah untuk menerangkan kausalitas seperti meleburnya kapas ke dalam
kain. Dalam kain masih ada kapas. Sadra melihat kausalitas sebagai penciptaan
yang terus menerus, sementara Ibn Sina memandangnya sebagai kawn wal fasad, yakni
menjadi dan hancur.
Gerak
jiwa manusia bila dapat disadari dan dipahami dengan baik dapat dijadikan
pedoman dan inspirasi untuk penerapan sistem pendidikan. Pendidikan yang benar
adalah pendidikan yang melihat manusia makhluk yang terus bergerak menuju
kesempurnaan.[21]Hamzah
sendiri mentamsilkan manusia seperti anak dagang, yakni mereka yang menuntut
ilmu sebagai proses penyucian diri. Hamzah juga mengibaratkan manusia seperti
perahu yang bergerak menuju sebuah pantai. Pada karya lainnya dia mengumpamakan
manusia seperti seekor burung yang dari tempat rendah menuju tempat paling
tinggi.
Inilah gerangan suatu madah
Mengarangkan Syair terlalu indah
Membetuli jalan tempat berpindah
Disanalah i’tiqad diperbetuli sudah
Berangkat dari pemahaman bahwa jiwa manusia itu dinamis,
maka perlu bagi kita untuk melihat manusia sebagai entitas yang bergerak
terus-menerus. Bahkan, gerak jiwa ini terus berlangsung sekalipun telah berada
di surga. Bagi Iqbal, surga atau neraka bukanlah sebuah pemberhentian akhir
bagi manusia, keduanya hanyalah bagian dari proses gerak jiwa tanpa akhir.[22]
Sebuah lembaga yang ingin menyeenggarakan pendidikan
harus memiliki anggapan dasar tentang manusia. “Setiap pengembang teori
pendidikan yang mantap akan harus memiliki anggapan dasar berupa konsep
tertentu tentang hakekat individualitas anak atau orang yang akan dididik ...”[23]
Anggapan dasar itulah yang menentukan gerak selanjutnya persiapan fasilitas, sarana
dan hal-hal lainnya dalam mengelenggarakan pendidikan. Anggapan dasar tersebut
adalah filsafat pendidikan. Filsafat pendidikan hanya berfokus pada konsep
tentang manusia, entitas-entitas dasar manusia (jiwa), dan gerak jiwa menuji
proses kesempurnaannya. Pendidikan adalah sebuah proses. Filsafat pendidikan
adalah sebuah konsep dasar tentang paradigma untuk membentuk cara pendang dunia
(world view) terkait tentang manusia dan proses perkembangannya
(pendidikan). Jiwa dalam pandangan para filosof termasuk Hamzah, adalah entitas
yang terus bergerak. Untuk itu, dalam merumskan teori dasar (filsafat)
pendidikan harus dirumuskan dengan melihat manusia secara utuh, pengertian jiwa
dan geraknya.
Filsafat pendidikan adalah sebuat teori tentang manusia
manusia dan hal-hal penting terkait dengannya. Utama dari ini adalah jiwa dan
gerak jiwa manusia.
Secara tersurat, mungkin kita tidak akan secara langsung
menemukan pandangan-pandangan Hamzah terkait manusia dan pendidikannya, namun
kita perlu menganalisa karyanya secara hermeunetik. Karena itu, kita akan
mengungkapkan secara jelas pesan-pesan tersirat Hamzah tetang manusia, jiwa dan
gerak jiwa (Bab III) lalu menarik konsep-konsep itu ke arah filsafat pendidikan
(Bab VI).
Di zaman
ini, kita melihat para penyelenggara pendidikan terlalu sibuk mencari pedoman
penyelenggaraan pendidikan dari Barat yang telah terbukti gagal memberi makna
terhadap hakikat manusia. Barat hanya melihat
manusia dari sisi luarnya saja. Barangkat dari pandangan itulah mereka
merumuskan teori dasar pendidikan. Filsafat pendidikan yang mereka ciptakan
telah melahirkan manusia yang hanya diorientasikan kepada fungsi material. Pengorientasian
ini tentu telah menyebabkan manusia terpuruk karena entitas penting dari
dirinya,yakni jiwanya, diabaikan.
[2]Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu, (Bandung: Mizan 1990,
h.69)
[3] Huuf ‘e’pada kata ‘pase’ diunyikan seperti
huruf ‘e’ pada kata ‘bebek’ (itik) dan ‘sepak’ (tendang).
[4] Dayah adalah lembaga pendidikan Islam yang
diambil dari kata Arab: ‘zawiyah’.
[5] Syarif Hidaatullah juga adalah Putra Pase
yang pergi menuntut ilmu ke Timur-tengah.
[6] Ali Hasjmy (dalam pengantar ‘Hamzah
Fansiri Penyair Sufi Aceh, Abdul Hadi W.M. dan L.K Ara[peny.] Penerbit:
Lotlaka). Tahun terbitan buku tidak ditemukan. Pengantar ini ditulis pada: 2
Agustus 1984.
[7] Martin
Lings, Ada Apa dengan Sufi,
(Yogyakrta: Pustaka Sufi, 2004 h.134)
[9]Syed Muhammad Naquib Al-Attas, A
Commentary on the Hujjat Al-Siddiq of Nur Al-Din Al-Raniri, (Kuala Lumpur;
Ministry of Culture, 1986: 232)
[10]Syed Muhammad Naquib Al-Attas, The Mysticism of Hamzah Fansuri, (Kuala Lumpur: University of
Malaya Press: 1970: 31)
[11] Toshihiko Isutzu, The Concept and
Reality of Existence, Tokyo: Keio Institute of Cultural, 1971) h. 109
[12] Al-Attas, op. cit. 1970, h. 498
[13]
Selanjutnya kita sebut ‘A Commentary …’
[14]
Selanjutnya kita sebut ‘The Mysticism …’
[15]Abdul
Hadi W.M., Rumi: Sufi dan Penyair,
(Bandung: Pustaka, 1985: h. viii)
[16]Syed Muhammad Naquib Al-8ttas, Prolegomen to the Metaphysics of Islam (Kuala Lumpur: ISTAC,2001, h.143)
[18]Ibn Sina melihat jiwa sebagai entitas yang menjadi
modal pergerakan manusia menuju kesempurnaan. Lihat: Dr. Muhammad 'Utsman
Najatii, Jiwa dalaPandangan Para Filosof
Muslim, (Bandung: Pustaka Hidayah: 2002 h.144)
[19]Sa'id
Hawwa, Tazkiyatun Nafs, (Jakarta:
Pena, 2005, h. 418)
[20] Fazlur Rahman, (Filsafat Shadra, Bandung:
Pustaka, 2000) h. 264
[21]
Murtadha Mutahhari, Manusia Seutuhnya,
Jakarta: Shadra Press, 2012: h.8)
[22] Allama Dr. Muhammad Iqbal, (The
Reconstruction of Religious Thought in Islam, Selangor Darul Ehsan: Masterpiece
Publication, 2006) h. 132
[23] K.G. Saiyidain, (Percikan Filsafat Iqbal
Mengenai Pendidikan, Bandung: Diponogoro, 1981) h.23
[24]'The Mysticism ...' berasal dari
Disertasi Al-Attas yang dipertahankan di University of London bersama bimbingan
Dr. Martin Lings. Warisan ini menerjemahkan ketiga prosa Hazah yakni ‘Al-Muntahi’, ‘Asrarul ‘Arifin’, dan ‘Syarabil
Asyikin’. Naskah ketiga prosa itu tersimpan dengan baik di London dan
Leiden. Semoga Allah terus menjaga lisan hikmah itu untuk anak cucu kita.
[25]'Tasawuf yang Tertindas', selanjutnya
kita tulis ‘Tasawuf …’ adalah dari
disertasi Prof. Dr. Abdul Hadi W.M. yang dipertahankan di Universiti Sains
Malaysia. Karya ini mengkaji puisi-puisi Hamzah dengan menggunakan metode
Hermeunetik.
[26] tidak
semua puisi Hamah di temukan dalam ‘Tasawuf
…’. Karena itu, kita juga menggunakan karya-karya lain untuk mendapatkan
puisi-puisi Hamzah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar