Link Download

Sabtu, 01 Desember 2012

Hamzah Fansuri


Nusantara memiliki tokoh yang sangat besar. Dia adalah Hamah Fasuri. Hamzah adalah tokoh Melayu terbesar. Dia termasuk tokoh terbesar dalam sejarah intelektual dan kebudayaan Islam. Pemikiran-Pemikiran Hamzah dapat memberi kontribusi kepada banyak bidang. Sayangnya, dia hanya dikenal dikenal sebagai ulama sufi dan sastrawan. Padahal bila kita mahu mengupas pemikirannya yang mendalam, maka kita dapat memperluas bidang tersebut. Penelitian ini ingin membuktikan bahwa dia adalah filosof yang dapat memberikan kontribusi besar kepada dunia pendidikan.
            Para pelajar dan pengajar bidang sastra di Nusantara mengenal Hamzah sebagai penyair. Puisi Hamzah adalah puisi pertama dalam bahasa Melayu yang bersifat empat baris dan berrima aaaa[1]. Karakter puisi seperti ini adalah kobinasi rubaiyat Persia dengan pantun Melayu. Kekayaan estetika puisi Hamzah mempengaruhi penyair Nusantara sesudahnya hingga kini. Misalnya, pada puisi Amir Hamzah, kita dapat tememukan corak yang mirip puisi tokoh kita ini.[2]
            Moyang Hamzah adalah keturunan Persia yang datang ke Samudra Pase[3] pada masa pemerintahan Sultan Malikul Saleh (1261-1269) untuk mengajar di dayah[4] Blang Priya (sekarang  masuk kawasan Meurah Mulia, Aceh Utara). Beliau dikenal dengan nama Syaikh Al-Fansuri. Selanjutnya anak keturunannya termasuk Hamzah dan kakaknya, Ali (ayahnya Syiah Kuala) memakai ‘Fansuri’ dibelakang namanya. Hamzah lahir di Blang Priya dan mendapatkan pendidikan pertama di dayah yang diasuh orangtuanya. Sebagaimana lazimnya anak ulama dan putra bangsawan di Pase[5], beliau mengembara menuntut ilmu ke Persia. Sekembali menuntut ilmu, Hamzah dan Ali pindah ke kawasan Singkil untuk mendirikan dayah di sana pada masa Sulthan Alaiddin Riayat Syah Saidil Mukammil memerintah Kerajaan Aceh Darussalam (antara 1589-1604 M.). Pada akhir pemerintahan Sulthan Iskandar Muda Meukuta Alam (27 Desember 1636) Hamzah meninggal dan dimakamkan di Kampung Oboh, Simpang Kiri Rundeng di Hulu Sungai Singkil.[6]
Di mata kalangan ahli Bahasa, Hamzah diakui memberi banyak sentuhan terhadap bahasa Melayu. Dia menyerap banyak kata dari bahasa Arab dan Persia ke dalam bahasa Melayu. Serapan ini bukan semata untuk memperkaya nuansa estetika dalam karyanya, tetapi juga karena banyak kata yang dimiliki bahasa Melayu tidak mapan untuk mewakilkan maksud yang ingin disampaikan. Berkat sentuhan Hamzah, bahasa Melayu telah berubah dari sekedar bahasa puitik menjadi bahasa ilmiah. Ini menjadi salah satu alasan bahasa Melayu dijadikan bahasa resmi negara seperti Indonesia, Malaysia, Singapura, dan Brunei Darussalam.  
Di kalangan tradisionalis Muslim, Hamzah dikenal sebagai seorang sufi. Sufi adalah ajaran yang diakui berasal dari Rasulullah Saw.[7] Sufi adalah mereka yang menempuh jalan untuk mendekatkan diri Allah.[8]Ajaran sufi Hamzah dijaankan secara keliru oleh para pengikut setelahnya karena mereka sulit memahami prinsip ajarannya.[9]Tuduhan sesat secara tegas dilontarkan oleh Nuruddin Ar-Raniri dengan banyak argumen.[10]
Ajaran Hamzah akan selalu dipahami dengan keliru atau tidak akan dapat dipahami sama sekali bila kita belum paham dengan konsep epistemologi dan metafisika Wujud. Dalam pandangan sufi dan folosof, alam eksternal hanya merupakan bayangan yang dipoyeksikan mental. Hakikat daripada alam adalah wujud. Wujud tersembunyi dibalik esensi materi yang bewarna dan berbentuk. Hanya yang memiliki kesadaran akan Realitas Wujud saja yang mampu menyadari kehadiran wujud dibalik proyeksi mental.  Melalui Isutzu[11], Sadra mengatakan Wujud adalah hal yang lebih utama daripada esensi. Hamzah sendiri mengatakan wujud seperti air yang menjelma pada beraneka tumbuhan. Sekalipun wujud itu lebih jelas daripada esensi, tetapi dia hanya bisa dilihat oleh orang tertentu.
Suluhnya terlalu terang
Harinya tiada berpetang
Jalannya terlalu hening
Barang mendapat dia terlalu menang[12]
Sekalipun dilihat sebagai ajaran seorang sufi, atau lebih parah lagi yakni hanya mampu melihat karya Hamzah dari unsur estetikanya saja,  namun sebenarnya dalam karya-karya Hamzah mengandung nuansa filsafat yang sangat tinggi. Hal ini dibuktikan dengan dua karya Syed Muhammad Naquib Al-Attas yakni ‘A Hujjatul Shiddiq li Daf'il Zindiqon Nuruddin Ar-Raniri’[13]dan ‘The Mysticism of Hamzah Fansuri[14]yang mengkaji pemikiran ontologi Hamzah secara mendalam. Melalui dua karya ini kita dapat menemukan bukti bahwa konsep ontologi Hamzah sangat sensitif. Sensitivitas ontologi tidak hanya terjadi pada pemikiran Hamzah tetapi juga pada banyak sufi-filosof lainnya seperti Syihabuddin Suhrawardi dan Muhyiddin Ibn Arabi.
Keseluruhan pemikiran Hamzah dapat digolongkan ke dalam tiga tema yakni ketuhanan, kemanusiaan dan kosmologi. Ketiga tema ini memang menjadi tritunggal pemikiran semua filosof. Sekalipun pada tokoh kita ini tidak ditemukan karya-karyanya yang membahas logika dan epistemologi secara eksplisit seperti pada karya-karya Ibn Sina dan Suhrawardi, namun dalam keseluruhan karya Hamzah yang berbentuk puisi dan prosa, mengandung informasi tentang ontologi yang sangat mendalam. Lagi pula, sebagian para sarjana filsafat Islam menolak logika dan epistemologi adalah bagian dari filsafat Islam. Konsenterasi filsafat Islam adalah ontologi. Logika dan epistemilogi hanya dianggap sebagai pintu masuk dan analogi penjelas (tools) bagi ontologi. Hamzah lebih suka menjelaskan Realitas Wujud melalui puisi karena, sebagaimana ungkapan Abdul Hadi W.M. “Puisi memiliki banyak keunggulan sebagai media ekspresi pengalaman rohani karena kepersonalan, keunikan dan keuniversalannya dapat terpelihara dengan baik”.[15]
Manusia sebagai salah satu kajian utama filsafat mendapat tempat yang luas dalam kajian semua filosof. Salah satu alasannya karena keunikannya. Sekalipun terdiri dari dua unsur[16], manusia adalah berasal dari jiwa yang satu[17]. Karena itu, tentunya manusia perlu bergerak menuju yang satu. Untuk menuju yang satu, harus terus mengalami gerak penyempurnaan tanpa henti. Modal dasar[18] gerak jiwa itu adalah penyucian[19].
Manusia dengan jiwanya sama seperti hidrogen dengan oksigen. Bila salah satu dari kedua unsur tersebut tidak bersatu, maka tidak dapat disebut sebagai air. Ibn Sina melihat hubungan jasad dengan jiwa adalah seperti hubungan juru mudi dengan perahu. Bila jiwa tidak mengendalikan jasad, maka jasad bisa mati. Sementara Mulla Sadra yang pandangannya sangat mirip dengan Hamzah, melihat jasad sebagai manifestasi jiwa.[20] Hamzah dan Sadra melihat pada akibat tetap mengandung akibat. Analogi yang diberikan Hamzah untuk menerangkan kausalitas seperti meleburnya kapas ke dalam kain. Dalam kain masih ada kapas. Sadra melihat kausalitas sebagai penciptaan yang terus menerus, sementara Ibn Sina memandangnya sebagai kawn wal fasad, yakni menjadi dan hancur.
Gerak jiwa manusia bila dapat disadari dan dipahami dengan baik dapat dijadikan pedoman dan inspirasi untuk penerapan sistem pendidikan. Pendidikan yang benar adalah pendidikan yang melihat manusia makhluk yang terus bergerak menuju kesempurnaan.[21]Hamzah sendiri mentamsilkan manusia seperti anak dagang, yakni mereka yang menuntut ilmu sebagai proses penyucian diri. Hamzah juga mengibaratkan manusia seperti perahu yang bergerak menuju sebuah pantai. Pada karya lainnya dia mengumpamakan manusia seperti seekor burung yang dari tempat rendah menuju tempat paling tinggi.
Inilah gerangan suatu madah
Mengarangkan Syair terlalu indah
Membetuli jalan tempat berpindah
Disanalah i’tiqad diperbetuli sudah
Berangkat dari pemahaman bahwa jiwa manusia itu dinamis, maka perlu bagi kita untuk melihat manusia sebagai entitas yang bergerak terus-menerus. Bahkan, gerak jiwa ini terus berlangsung sekalipun telah berada di surga. Bagi Iqbal, surga atau neraka bukanlah sebuah pemberhentian akhir bagi manusia, keduanya hanyalah bagian dari proses gerak jiwa tanpa akhir.[22]
Sebuah lembaga yang ingin menyeenggarakan pendidikan harus memiliki anggapan dasar tentang manusia. “Setiap pengembang teori pendidikan yang mantap akan harus memiliki anggapan dasar berupa konsep tertentu tentang hakekat individualitas anak atau orang yang akan dididik ...”[23] Anggapan dasar itulah yang menentukan gerak selanjutnya persiapan fasilitas, sarana dan hal-hal lainnya dalam mengelenggarakan pendidikan. Anggapan dasar tersebut adalah filsafat pendidikan. Filsafat pendidikan hanya berfokus pada konsep tentang manusia, entitas-entitas dasar manusia (jiwa), dan gerak jiwa menuji proses kesempurnaannya. Pendidikan adalah sebuah proses. Filsafat pendidikan adalah sebuah konsep dasar tentang paradigma untuk membentuk cara pendang dunia (world view) terkait tentang manusia dan proses perkembangannya (pendidikan). Jiwa dalam pandangan para filosof termasuk Hamzah, adalah entitas yang terus bergerak. Untuk itu, dalam merumskan teori dasar (filsafat) pendidikan harus dirumuskan dengan melihat manusia secara utuh, pengertian jiwa dan geraknya.
Filsafat pendidikan adalah sebuat teori tentang manusia manusia dan hal-hal penting terkait dengannya. Utama dari ini adalah jiwa dan gerak jiwa manusia.
Secara tersurat, mungkin kita tidak akan secara langsung menemukan pandangan-pandangan Hamzah terkait manusia dan pendidikannya, namun kita perlu menganalisa karyanya secara hermeunetik. Karena itu, kita akan mengungkapkan secara jelas pesan-pesan tersirat Hamzah tetang manusia, jiwa dan gerak jiwa (Bab III) lalu menarik konsep-konsep itu ke arah filsafat pendidikan (Bab VI).
Di zaman ini, kita melihat para penyelenggara pendidikan terlalu sibuk mencari pedoman penyelenggaraan pendidikan dari Barat yang telah terbukti gagal memberi makna terhadap hakikat manusia. Barat hanya melihat manusia dari sisi luarnya saja. Barangkat dari pandangan itulah mereka merumuskan teori dasar pendidikan. Filsafat pendidikan yang mereka ciptakan telah melahirkan manusia yang hanya diorientasikan kepada fungsi material. Pengorientasian ini tentu telah menyebabkan manusia terpuruk karena entitas penting dari dirinya,yakni jiwanya, diabaikan.



1 Abdul Hadi W.M., Tasawuf Yang Tertindas: Kajian Hermeunetik Terhadap Karya-karya Hamah Fansuri, (Jakarta: Paramadina, 2001, h. 206)
[2]Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu, (Bandung: Mizan 1990, h.69)
[3] Huuf ‘e’pada kata ‘pase’ diunyikan seperti huruf ‘e’ pada kata ‘bebek’ (itik) dan ‘sepak’ (tendang).
[4] Dayah adalah lembaga pendidikan Islam yang diambil dari kata Arab: ‘zawiyah’.

[5] Syarif Hidaatullah juga adalah Putra Pase yang pergi menuntut ilmu ke Timur-tengah.
[6] Ali Hasjmy (dalam pengantar ‘Hamzah Fansiri Penyair Sufi Aceh, Abdul Hadi W.M. dan L.K Ara[peny.] Penerbit: Lotlaka). Tahun terbitan buku tidak ditemukan. Pengantar ini ditulis pada: 2 Agustus 1984.
[7] Martin Lings, Ada Apa dengan Sufi, (Yogyakrta: Pustaka Sufi, 2004 h.134)
[8]Mawlana Abd ar-Rahman Jami, Pancaran Ilahi Kaum Sufi, (Yogyakrta: Pustaka Sufi, 2003, h.xxv)
[9]Syed Muhammad Naquib Al-Attas,  A Commentary on the Hujjat Al-Siddiq of Nur Al-Din Al-Raniri, (Kuala Lumpur; Ministry of Culture, 1986: 232)
[10]Syed Muhammad Naquib Al-Attas, The Mysticism of Hamzah Fansuri, (Kuala Lumpur: University of Malaya Press: 1970: 31)
[11] Toshihiko Isutzu, The Concept and Reality of Existence, Tokyo: Keio Institute of Cultural, 1971) h. 109
[12] Al-Attas, op. cit. 1970, h. 498
[13] Selanjutnya kita sebut ‘A Commentary …
[14] Selanjutnya kita sebut ‘The Mysticism …
[15]Abdul Hadi W.M., Rumi: Sufi dan Penyair, (Bandung: Pustaka, 1985: h. viii) 
[16]Syed Muhammad Naquib Al-8ttas, Prolegomen to the Metaphysics of Islam (Kuala  Lumpur: ISTAC,2001, h.143)
[17]Wan Mohammad Nor Wan DaudKonsep Pengetahuan dalam Islam, (Bandung: Pustaka, 1997, h.18) 
[18]Ibn Sina melihat jiwa sebagai entitas yang menjadi modal pergerakan manusia menuju kesempurnaan. Lihat: Dr. Muhammad 'Utsman Najatii, Jiwa dalaPandangan Para Filosof Muslim, (Bandung: Pustaka Hidayah: 2002 h.144)
[19]Sa'id Hawwa, Tazkiyatun Nafs, (Jakarta: Pena, 2005, h. 418)
[20] Fazlur Rahman, (Filsafat Shadra, Bandung: Pustaka, 2000) h. 264
[21] Murtadha Mutahhari,  Manusia Seutuhnya, Jakarta: Shadra Press, 2012: h.8)
[22] Allama Dr. Muhammad Iqbal, (The Reconstruction of Religious Thought in Islam, Selangor Darul Ehsan: Masterpiece Publication, 2006) h. 132
[23] K.G. Saiyidain, (Percikan Filsafat Iqbal Mengenai Pendidikan, Bandung: Diponogoro, 1981) h.23
[24]'The Mysticism ...' berasal dari Disertasi Al-Attas yang dipertahankan di University of London bersama bimbingan Dr. Martin Lings. Warisan ini menerjemahkan ketiga prosa Hazah yakni ‘Al-Muntahi’, ‘Asrarul ‘Arifin’, dan ‘Syarabil Asyikin’. Naskah ketiga prosa itu tersimpan dengan baik di London dan Leiden. Semoga Allah terus menjaga lisan hikmah itu untuk anak cucu kita.
[25]'Tasawuf yang Tertindas', selanjutnya kita tulis ‘Tasawuf …’ adalah dari disertasi Prof. Dr. Abdul Hadi W.M. yang dipertahankan di Universiti Sains Malaysia. Karya ini mengkaji puisi-puisi Hamzah dengan menggunakan metode Hermeunetik.
[26] tidak semua puisi Hamah di temukan dalam ‘Tasawuf …’. Karena itu, kita juga menggunakan karya-karya lain untuk mendapatkan puisi-puisi Hamzah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar