Link Download

Sabtu, 01 Desember 2012

Sensitivitas Metafisika Hamzah


Dalam satu penggalan yang disampaikan Al-Attas pada 'The Mysticism ...' hal. 478 bahwa Ar-Raniri mengkritik ajaran Hamzah mengenai cayaha yang beragam sejatinya muncul dari satu cahaya. Ar-Raniri (dari pada menuduh lebih tampak mengkhawatirkan) bahwa ajaran Hamzah akan mengarah pada model ajaran majusi yang menyembah aneka cahaya seperti matahari, bintang, api dan sinar bulan. Karena memang Hamzah sendiri mengakui cahaya awal itu bukanlah tuhan tetapi adalah Nur Muhammad. Begini syair Hamzah:

Tertentu awwal suatu cahaya
Itulah cermin yang Mulia Raya
Kelihatan di sana miskin dan kaya
Menjadi dua Tuhan dan sahaya.
Bahwa Nur Muhammad itu bukanlah Dzat Allah melainkan adalah sebagai bayangan (cermin) dariNya. Maka pada alam bayangan ini, antara Allah dan makhluk dapatlah dibedakan. Dengan ini tentu alasan mengatakan Hamzah sesat adalah mengada-ada. Ar-Raniry saya lihat membawa asumsi yang tidak baik kepada Hamzah. Karena itu dia membaca Hamzah dari kacamata kecurigaan. Dan telah punya asumsi dasar yang keliru terhadap Hamzah. Asumsi ini muncul, saya duga, karena di kampungnya (Ranir), Ar-Raniri banyak menemukan ajaran Islam yang bercampur dengan ajaran zoroastrian.
*
Dalam menterjemahkan 'Man arafa nafsahi faqad arafa Rabbahu', Hamzah mengatakan 'sekalian semesta dalam ilmu Allah'. Dalam pandangan sufi dan filosof, yang diketahui dan yang mengetahui tidak memiliki jarak, tidak ada had (batasan-batasan). Kalau batas itu ada, maka harus ada hal lain yang menghubungkannya, demikian terus-menerus. Dengan demikian, adanya batas antara yang mengetahi dan yang diketahui adalah mustahil. Dengan demikian, karena alam adalah pengetahuan Tuhan maka antara Tyhan dengan alam tentunya tidak memiliki batas. Kalau ada jarak antara Tuhan dengan yang diketahuiNya, maka tentunya harus ada yang menghubungkan Tuhan dengan (objek) yang diketahuinya yakni alam; pula, ini membuktukan bahwa Tuhan itu tidak berkuasa karena membutuhkan hal kain (perantara) untuk menghubungkan dirinya dengan yang Dia ketahui. Karena itu, harus diterima bahwa antara Tuhan dan alam tidak memiliki had (batas). Maka Ar-Raniri yang menuduh sesat sebenarnyalah yang sesat karena dia melahirkan penafsiran: Allah itu terbatas dan lemah.
     Kalimat 'Siapa yang mengenal dirinya, maka telah mengenal Tuhannya', artinya adalah, siapa saja yang telah mengenal dirinya, tentu sebelumnya dia telah mengenal Tuhannya'. Dalam hal ini, bila ingin mengikuti Ar-Raniry, tentunya harus ada penghubung antara yang diketahui (Tuhan) dan yang mengetahu (manusia). Maka tanyakan pada Ar-Raniry: apa penghubung itu?
       Dalam pemikiran Hamzah, hubungan antara sebab dan akibat atau antara Pencipta dengan ciptaan adalah seperti benih dengan kayu dan seperti ombak dengan laut. (Al-Attas, 1970: 479)
*
Tamsilan satu Realitas dengan tiga sifat seperti matahari: dengan panasnya, dengan namanya dan rupanya oleh Hamzah ditafsirkan Ar-Raniri seperti konsep trinitas Kristen yakni Bapa, Ibu dan Anak yang diakui Realitasnya Satu juga. Maka saya melihat, semuanya adalah konseptual, baik Hamzah, Ar-Raniri maupun Kristen. Karena itu, dalam konsep, realitas yang Tunggal dapat saja menjadi beragam. Tetapi Hamzah berusaha memberitahukan bahwa, pada Realitas, pada hal yang melampaui konsep, Realitas itu satu sekaligus beragam. Dan ketika laporan ini datang kepada kalangan teolog (seperti Ibn Taimiyah, Al-Ghazali, Ar-Razi dan Ar-Raniri) yang menganut peinsip esensialistik, tentu saja mereka akan menafsirkannya secara parsial sehingga terkukuhkanlah keyakinan mereka adanya perbedaan realitas antara Tuhan dengan makhluk.
*
Sebenarnya Hamzah ingin menerangkan konsep keragaman sekaligus ketunggalan Wujud sebagaimana usaha Shadra. Dia menganalogikan wujud seperti air yang dikandung oleh setiap tumbuhan. Ini sama seperti prinsip ashalatul wujudnya Shadra: bahwa yang lebih prinsipil pada setiap hal adalah 'eksistensi'nya, bukan 'esensi'nya. Bahwasanya wujud lebih utama dan menjadi pemersatu antar tiap hal. Bahwa wujud itu sederhana (basith): maka dengan kesederhanaannya itu dia menjadi satu dan mempersatu segala maujud-maujud.
*
Memang mudah kita mengatakan Ar-Raniri atau para teolog lain terhadap cara pandang para filosof (Hadi W.M., 2001: h. 167), tetapi saya kira yang lebih penting dari itu yakni para teolog melihat akan lahir banyak kemudharatan bila membiarkan orang bertaklid pada filsuf. Sebab filsafat itu akan otomatis memberi sesat bila dia ditaklidkan. Hal ini berbeda dengan syariah. Syariah bisa dilakukan secara buta sebab dianya adalah hal yang objektif.
*
Dalam kitab Al-Muntahi (Al- Attas, 1970: 329), Hamzah hanya mengitip sabda Nabi Saw. Yang berbunyi: 'Barang siapa menilik pada sesuatu, namun tidak dilihatnya Allah maka itu sia-sia'. Melalui hadits inilah Ar-Raniry menyerang Hamzah. Dia eEnuduh Hamzah menyamakan semua realitas dengan Tuhan. Seperti dikatakan Abdul Hadi W.M, (2001: 165)memang Ar-Raniri menyerang Hamzah hanya merujuk pada kitab Al-Muntahi dan Syarah Ruba'i Hamzah Fansuri yang dikarang oleh Syamsuddin Pasae. Lagi pula, kata Abdul Hadi (ibid), Ar-Raniri hanya melihat simbol-simbol yang dipakai Hamzah dalam syair-syairnya secara verbal.
      Sekali lagi, menurut saya, bukan berarti Ar-Raniri tidak  membaca dan memahami karya-karya Hamzah yang lain, bukan berarti pula dia tidak mengerti hermeunetik (ta'wil), tetapi hal yang lebih mungkin adalah Ar-raniri tidak menginginkan ummat menyalah artikan simbol sehingga jadilah agama kita seperti agama-agama sebelumnya. Maka untuk menghindari resiko itu, Ar-Raniri menempuh konsekwensi membabat habis seluruh ajaran Hamzah.
*
Yang menarik dalam Al-Muntahi (Al-Attas, 1970: 331) adalah kitipan Hamzah pada sebuah hadits: Aku daripada Allah; sekalian alam daripadaku. Saya sangat suka hadits ini. Alam ini adalah konsepsi atau bentukan daripada kesadaran kita.  Segala objek indera hanyalah proyeksi kesadaran kita. Demikian juga kesadaran kita itu adalah dari bagian ilmu Tuhan.
 *

Dalam satu penggalan yang disampaikan Al-Attas pada 'The Mysticism ...' hal. 478 bahwa Ar-Raniri mengkritik ajaran Hamzah mengenai cayaha yang beragam sejatinya muncul dari satu cahaya. Ar-Raniri (dari pada menuduh lebih tampak mengkhawatirkan) bahwa ajaran Hamzah akan mengarah pada model ajaran majusi yang menyembah aneka cahaya seperti matahari, bintang, api dan s
inar bulan. Karena memang Hamzah sendiri mengakui cahaya awal itu bukanlah tuhan tetapi adalah Nur Muhammad. Begini syair Hamzah:
Tertentu awwal suatu cahaya/ Itulah cermin yang Mulia Raya/ Kelihatan di sana miskin dan kaya/ menjadi dua Tuhan dan sahaya.
Bahwa Nur Muhammad itu bukanlah Dzat Allah melainkan adalah sebagai bayangan (cermin) dariNya. Maka pada alam bayangan ini, antara Allah dan makhluk dapatlah dibedakan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar