Dalam satu penggalan yang
disampaikan Al-Attas pada 'The Mysticism ...'
hal. 478 bahwa Ar-Raniri mengkritik ajaran Hamzah mengenai cayaha yang beragam
sejatinya muncul dari satu cahaya. Ar-Raniri (dari pada menuduh lebih tampak
mengkhawatirkan) bahwa ajaran Hamzah akan mengarah pada model ajaran majusi
yang menyembah aneka cahaya seperti matahari, bintang, api dan sinar bulan.
Karena memang Hamzah sendiri mengakui cahaya awal itu bukanlah tuhan tetapi
adalah Nur Muhammad. Begini syair Hamzah:
Tertentu awwal suatu cahaya
Itulah cermin yang Mulia Raya
Kelihatan di sana miskin dan kaya
Menjadi dua Tuhan dan sahaya.
Bahwa Nur Muhammad itu
bukanlah Dzat Allah melainkan adalah sebagai bayangan (cermin) dariNya. Maka
pada alam bayangan ini, antara Allah dan makhluk dapatlah dibedakan. Dengan ini
tentu alasan mengatakan Hamzah sesat adalah mengada-ada. Ar-Raniry saya lihat
membawa asumsi yang tidak baik kepada Hamzah. Karena itu dia membaca Hamzah
dari kacamata kecurigaan. Dan telah punya asumsi dasar yang keliru terhadap
Hamzah. Asumsi ini muncul, saya duga, karena di kampungnya (Ranir), Ar-Raniri
banyak menemukan ajaran Islam yang bercampur dengan ajaran zoroastrian.
*
Dalam menterjemahkan 'Man arafa nafsahi faqad arafa Rabbahu',
Hamzah mengatakan 'sekalian semesta dalam ilmu Allah'. Dalam pandangan sufi dan
filosof, yang diketahui dan yang mengetahui tidak memiliki jarak, tidak ada had (batasan-batasan). Kalau batas itu
ada, maka harus ada hal lain yang menghubungkannya, demikian terus-menerus.
Dengan demikian, adanya batas antara yang mengetahi dan yang diketahui adalah
mustahil. Dengan demikian, karena alam adalah pengetahuan Tuhan maka antara
Tyhan dengan alam tentunya tidak memiliki batas. Kalau ada jarak antara Tuhan
dengan yang diketahuiNya, maka tentunya harus ada yang menghubungkan Tuhan
dengan (objek) yang diketahuinya yakni alam; pula, ini membuktukan bahwa Tuhan
itu tidak berkuasa karena membutuhkan hal kain (perantara) untuk menghubungkan
dirinya dengan yang Dia ketahui. Karena itu, harus diterima bahwa antara Tuhan
dan alam tidak memiliki had (batas).
Maka Ar-Raniri yang menuduh sesat sebenarnyalah yang sesat karena dia
melahirkan penafsiran: Allah itu terbatas dan lemah.
Kalimat 'Siapa yang mengenal dirinya, maka telah mengenal Tuhannya', artinya
adalah, siapa saja yang telah mengenal dirinya, tentu sebelumnya dia telah
mengenal Tuhannya'. Dalam hal ini, bila ingin mengikuti Ar-Raniry, tentunya
harus ada penghubung antara yang diketahui (Tuhan) dan yang mengetahu (manusia).
Maka tanyakan pada Ar-Raniry: apa penghubung itu?
Dalam pemikiran Hamzah, hubungan antara
sebab dan akibat atau antara Pencipta dengan ciptaan adalah seperti benih
dengan kayu dan seperti ombak dengan laut. (Al-Attas, 1970: 479)
*
Tamsilan satu Realitas
dengan tiga sifat seperti matahari: dengan panasnya, dengan namanya dan rupanya
oleh Hamzah ditafsirkan Ar-Raniri seperti konsep trinitas Kristen yakni Bapa,
Ibu dan Anak yang diakui Realitasnya Satu juga. Maka saya melihat, semuanya
adalah konseptual, baik Hamzah, Ar-Raniri maupun Kristen. Karena itu, dalam
konsep, realitas yang Tunggal dapat saja menjadi beragam. Tetapi Hamzah
berusaha memberitahukan bahwa, pada Realitas, pada hal yang melampaui konsep,
Realitas itu satu sekaligus beragam. Dan ketika laporan ini datang kepada
kalangan teolog (seperti Ibn Taimiyah, Al-Ghazali, Ar-Razi dan Ar-Raniri) yang
menganut peinsip esensialistik, tentu saja mereka akan menafsirkannya secara
parsial sehingga terkukuhkanlah keyakinan mereka adanya perbedaan realitas
antara Tuhan dengan makhluk.
*
Sebenarnya Hamzah ingin
menerangkan konsep keragaman sekaligus ketunggalan Wujud sebagaimana usaha
Shadra. Dia menganalogikan wujud seperti air yang dikandung oleh setiap
tumbuhan. Ini sama seperti prinsip ashalatul
wujudnya Shadra: bahwa yang lebih prinsipil pada setiap hal adalah
'eksistensi'nya, bukan 'esensi'nya. Bahwasanya wujud lebih utama dan menjadi
pemersatu antar tiap hal. Bahwa wujud itu sederhana (basith): maka dengan kesederhanaannya itu dia menjadi satu dan
mempersatu segala maujud-maujud.
*
Memang mudah kita mengatakan
Ar-Raniri atau para teolog lain terhadap cara pandang para filosof (Hadi W.M.,
2001: h. 167), tetapi saya kira yang lebih penting dari itu yakni para teolog
melihat akan lahir banyak kemudharatan bila membiarkan orang bertaklid pada
filsuf. Sebab filsafat itu akan otomatis memberi sesat bila dia ditaklidkan.
Hal ini berbeda dengan syariah. Syariah bisa dilakukan secara buta sebab dianya
adalah hal yang objektif.
*
Dalam kitab Al-Muntahi (Al- Attas, 1970: 329),
Hamzah hanya mengitip sabda Nabi Saw. Yang berbunyi: 'Barang siapa menilik pada sesuatu, namun tidak dilihatnya Allah maka
itu sia-sia'. Melalui hadits inilah Ar-Raniry menyerang Hamzah. Dia eEnuduh
Hamzah menyamakan semua realitas dengan Tuhan. Seperti dikatakan Abdul Hadi
W.M, (2001: 165)memang Ar-Raniri menyerang Hamzah hanya merujuk pada kitab Al-Muntahi dan Syarah Ruba'i Hamzah Fansuri yang dikarang oleh Syamsuddin Pasae.
Lagi pula, kata Abdul Hadi (ibid),
Ar-Raniri hanya melihat simbol-simbol yang dipakai Hamzah dalam syair-syairnya
secara verbal.
Sekali lagi, menurut saya, bukan berarti
Ar-Raniri tidak membaca dan memahami
karya-karya Hamzah yang lain, bukan berarti pula dia tidak mengerti hermeunetik
(ta'wil), tetapi hal yang lebih mungkin adalah Ar-raniri tidak menginginkan
ummat menyalah artikan simbol sehingga jadilah agama kita seperti agama-agama
sebelumnya. Maka untuk menghindari resiko itu, Ar-Raniri menempuh konsekwensi
membabat habis seluruh ajaran Hamzah.
*
Yang menarik dalam Al-Muntahi (Al-Attas, 1970: 331) adalah
kitipan Hamzah pada sebuah hadits: Aku
daripada Allah; sekalian alam daripadaku. Saya sangat suka hadits ini. Alam
ini adalah konsepsi atau bentukan daripada kesadaran kita. Segala objek indera hanyalah proyeksi
kesadaran kita. Demikian juga kesadaran kita itu adalah dari bagian ilmu Tuhan.
Dalam satu penggalan yang disampaikan Al-Attas pada 'The Mysticism ...' hal. 478 bahwa Ar-Raniri mengkritik ajaran Hamzah mengenai cayaha yang beragam sejatinya muncul dari satu cahaya. Ar-Raniri (dari pada menuduh lebih tampak mengkhawatirkan) bahwa ajaran Hamzah akan mengarah pada model ajaran majusi yang menyembah aneka cahaya seperti matahari, bintang, api dan s
inar bulan. Karena
memang Hamzah sendiri mengakui cahaya awal itu bukanlah tuhan tetapi
adalah Nur Muhammad. Begini syair Hamzah:
Tertentu awwal suatu cahaya/ Itulah cermin yang Mulia Raya/ Kelihatan di sana miskin dan kaya/ menjadi dua Tuhan dan sahaya.
Bahwa Nur Muhammad itu bukanlah Dzat Allah melainkan adalah sebagai bayangan (cermin) dariNya. Maka pada alam bayangan ini, antara Allah dan makhluk dapatlah dibedakan.
Tertentu awwal suatu cahaya/ Itulah cermin yang Mulia Raya/ Kelihatan di sana miskin dan kaya/ menjadi dua Tuhan dan sahaya.
Bahwa Nur Muhammad itu bukanlah Dzat Allah melainkan adalah sebagai bayangan (cermin) dariNya. Maka pada alam bayangan ini, antara Allah dan makhluk dapatlah dibedakan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar