am semesta. Bagi Shadra, alam semesta harus diakui sebagai wujud karena dia adalah ciptaan Allah yang Wujud. Maka pada alam semesta kehadiran Wujud adalah niscaya. Tetapi konsekwensi dari ajaran Ibn Sina adalah hilangnya peran Tuhan secara langsung pada alam. Konsep Ibn Sina mengingatkan pada teori seorang filosof barat yang menganalogikan Tuhan menciptakan alam seperti seorang pembuat jam tangan.
Jujur dalam pencarian, saya membawa asumsi sesuatu yang saya kita benar, atau setidaknya saya yakini meski belum dapat melahirkannya dalam bentuk narasi ataupun artikulasi. Tetapi argumen-argumen Shadra saya kira cocok untuk keinginan saya. Shadri tidak melihat alam sebagai suatu realitas yang punya rantai sebab-akibat tak berhingga. Dia melihat suatu mauujud maupun kejadian di alam adalah langsu dari sebab Tuhan. Shadra juga tidak melihat akibat sebagai sesuatu yang terpisah dari akibat. Dia melihat akibat adalah sebab itu sendiri. Bahkan saya melihat adanya dualitan antara sebab dan akibat adalah pengaruh dari adanya pengamat, dan pengamat ini tentunya adalah pengusung mahaiyah. Maka Maka akibat yang adalah sebagai bentukan manusia dari mahiyah dan wujud.
Karakter pikiran manusia ketika menemukan sebuah pengetahuan (benda atau peristiwa), ingin memperluas atau memperdalam pengetahuan itu. Perngetahuan pertama itu langsung dianggap sebagai akibat setelah dia mampu menemukan pengetahuan lain dan pengetatahuan baru itu dianggap sebagai sebab. Lalu setelah pengetahuan baru lagi ditemakuan, maka pengetahuan sebelumnya dianggap sebagai akibat. Hal ini enjadi relatif dan tanpa akhir mengingat perbedaan kapasitas pikiran tiap manusia dan pengetahuan itu tanpa akhir. Namun Shadra menuntaskan kebuntuan itu dengan mengatakan setiap yang diketahui manusia adalah langsung dari Tuhan.
Dalam Mulla Shadra kita menemukan wujud tunggal dan wujud majemuk. Bagaimanakah yang tunggal bisa menjadi majemuk sekaligus? Bahwa, bila kita menganalogikannya sebagai angka, yang ada hanya adalah satu, angka-angka selanjutnya adalah ''...mode angka tunggal (bukan tersusun), di mana materi dan bentuk, genus dan differensia adalah identik... Yang menjadi prinsip kesatuan mereka, itu pulalah yang menjadi prinsip pangkal perbedaan mereka (Rahman, 2000: 113-114).
Dijelaskan Rahman (h. 144), bahwa wujud pikiran manusia, wujud kuda dan wujud lainnya adalah karena karakter pikiran menyederhanakannya sehingga munculkah dalam konsepsi wujud-wujud yang beragam. Pernyataan ini tentunya memberikan indikasi bahwa pluratitas wujud hanya ada dalam konsep. Tetapi pembelajar Shadra dengan khusyu' tentu menyadari bahwa pluralitas wujud yang dimaksud Shadra bukan sekedar konsep tetapi sebagai realitas. Daripada buru-buru menghakimi Rahman sebagai penganut ashalatul mahiyah, lebih baik kita melihat apakah pikiran itu menyerap realitas, ataukah realitas (yang terindera) itu yang mendesakkan diri kepada indera dan selanjutnya dibentuk di dalam konsep.
Saya menduga antar maujud memiliki potensi untuk dikenali sebagaimana mereka mengambil sebagian karakter Penyebabnya yang ''ingin'' dikenali. Karena itu, menyerap sesuatu ke dalam kosep adalah kerja bersama secara serentak antara subjek dan objek. Selanjutnya subjek memahami apa yang dikonsepkannya dari maujud tidaklah sebagaimana objek itu adanya. Pemahaman subjek amat bergantung pada potensi yang ia miliki. Yang paling memahami suatu maujud adalah Wujud. Bahkan pengetahuan Wujud atau maujud adalah sangat sempurna sehingga maujud tidak bisa lepas dari Wujud. Bahkan secara objektif maujud itu adalah Wujud itu sendiri, demikian juga subjek, yang juga adalah maujud. Maka perkenalan subjek atas objek adalah perkenalan wujud atas wujud. Namun karena wujud sebagai subjek mustahil mengenal wujud sebagai objek, maka wujud sebagai subjek mengambil sesuatu bernama mahiyah sebagai instrumen mendulang wujud sebagai subjek.
Tetapi bagaimanakah suatu ketiadaan dapat memunculkan pemahaman? Karena itulah Suhrawardi menganggap mahiyah pada maujud sebagai sesuatu yang lebih utama karena memang yang berbentuk itulah yang lebih nyata dapat dipahami, sekalipun ternyata itu adalah ketidakbenaran. Maka seluruh konsepsi dan pengetahuan kita atas realitas adalah fana adanya. Namun bagi saya, karena di kedalaman kita sendiri serta di alam raya adalah wujud adanya, maka alam dapat menimbulkan getaran dalam diri kita sebab wujud bertemu wujud, sekalipun tidak dapat dimengerti, tapi dapat dirasakan.
Jujur kata-kata yang menghubungkan Tuhan dengan alam, semuanya hanya konsepsi, emanasi, sebab-akibat, pikiran, seperti tajalli, manifestasi, refleksi.
Hal penting untuk kita jawab adalah bagaimana mahiyah bisa muncul, dari mana ia datang? Mahiyah itu suatu ketiadaan. Tapi kenapa dia ada, sekalipun sebagai murni konsep? Dikatakan maujud adalah seauatu yang berada antara wujud dan mahiyah. Tetapi bagaimana bila seseorang dilahirkan di suatu tempat yang tidak ada mujud kecuali hal-hal yang ia butuhkan untuk hidup. Kepadanya tidak diperdengarkan suara apapun, tidak diperlihatkan hal apapun (tidak diberi cahaya, terus diikat, tidak diberi makanan apapun (cara dia tetap hidup adalah diimpus sejak lahir, atau lainnya), tidak dibiarkan bergerak.
Mungkin kita harus mengakui kerangaman adalah konsepsi. Sebab, hukum mutlak bagi keragaman adalah batas. Batas itulah yang menjadi inti dari perbedaan. Tanpa batas, perbedaan tidak dapat diterima. Dan adanya batas tentunya telah mengusung mahiyah. Dan pertanyaannya akan berkutat kembali, dari mana mahiyah itu muncul? Bila seseorang mendengar pertanyaan itu, maka dia segera mengatakan bahwa dia tidak datang dari mana-mana karena dia memang bukan apa-apa. Lagi pula pada wujud majemuk itu tidak ada batas sebab batasnya itu adalah wujud juga. Maka, tentunya wujud majemuk itu tidak ada, yang ada hanyalah wujud tunggal.
Bila kita merujuk pada pandangan Al-Attas, yang dapat dijadikan sebagai pintu masuk pagi pemula ontologi Islam; judul karya Al-Attas memang adalah ''Pengantar'', yani 'Prolegomena in to the Metaphysic in Islam'. Dalam karya penting ini, Al-Attas menyimpulkan bahwa terdapat ambiguitas dalam konsep Wujud karena Wujud itu Tunggal, tetapi sekaligus majemuk. Penglihatan sufi yang mencapai penyingkapan itu menjadi ambigu ketika dilaporkan atau diturunkan pada ranah epistemologis. Pada penglihatan Wujud itu, Reaitas Tunggal dapat menjadi majemuk sekaligus sekalipun tanpa, tanpa perbedaan antara keduanya' dan bahkan tidak layak disebut 'dua'. Meski ''tidak dapat'' disebut dua, namun dia dua, yakni Tunggal sekaligus plural. Di samping itu, Realitas Majemuk yang memiliki beragam tingkatan itu tidak memeliki perbedaan dan tidak memiliki jarak atau pembatas antara satu realitas dengan realitas lain. Hal ini tentu menjadi ambigu dan sangat mungkin untuk dianggap mustahil.
Suatu ambigu dalam Wujud Murni yang dilihat beragam namun Tunggal dikaitkan dengan keragaman maujud di alam eksternal. Maka maujud yang beragam dianggap sebagai wujud majemuk. Secara jernih pandangan ini keliru, dan ini diakui Rahman (2000: 119). Pengecualian untuk membenarkan Shadra adalah realitas maujud majemuk hanya sebagai simbol, perlambangan, atau analogi bagi Wujud majemuk pada pengalaman penyingkapan (kasyaf). Perlambangan ini tudak ubahnya seperti tamsilan Rumi pada evolusi materi dari mineral hingga malaikat saat menerangkan konsep gerak jiwa manusia.
Maka adalah sufi seperi Rumi, Hamzah Fansuri lebih unggu dari Shadra karena dia mampu menginformasikan realitas Wujud melalui simbol yakni puisi. Namun syaratnya adalah kemampuan kita untuk mengungkapkan hakikat makna di balik syair-syair mereka.
Jujur dalam pencarian, saya membawa asumsi sesuatu yang saya kita benar, atau setidaknya saya yakini meski belum dapat melahirkannya dalam bentuk narasi ataupun artikulasi. Tetapi argumen-argumen Shadra saya kira cocok untuk keinginan saya. Shadri tidak melihat alam sebagai suatu realitas yang punya rantai sebab-akibat tak berhingga. Dia melihat suatu mauujud maupun kejadian di alam adalah langsu dari sebab Tuhan. Shadra juga tidak melihat akibat sebagai sesuatu yang terpisah dari akibat. Dia melihat akibat adalah sebab itu sendiri. Bahkan saya melihat adanya dualitan antara sebab dan akibat adalah pengaruh dari adanya pengamat, dan pengamat ini tentunya adalah pengusung mahaiyah. Maka Maka akibat yang adalah sebagai bentukan manusia dari mahiyah dan wujud.
Karakter pikiran manusia ketika menemukan sebuah pengetahuan (benda atau peristiwa), ingin memperluas atau memperdalam pengetahuan itu. Perngetahuan pertama itu langsung dianggap sebagai akibat setelah dia mampu menemukan pengetahuan lain dan pengetatahuan baru itu dianggap sebagai sebab. Lalu setelah pengetahuan baru lagi ditemakuan, maka pengetahuan sebelumnya dianggap sebagai akibat. Hal ini enjadi relatif dan tanpa akhir mengingat perbedaan kapasitas pikiran tiap manusia dan pengetahuan itu tanpa akhir. Namun Shadra menuntaskan kebuntuan itu dengan mengatakan setiap yang diketahui manusia adalah langsung dari Tuhan.
Dalam Mulla Shadra kita menemukan wujud tunggal dan wujud majemuk. Bagaimanakah yang tunggal bisa menjadi majemuk sekaligus? Bahwa, bila kita menganalogikannya sebagai angka, yang ada hanya adalah satu, angka-angka selanjutnya adalah ''...mode angka tunggal (bukan tersusun), di mana materi dan bentuk, genus dan differensia adalah identik... Yang menjadi prinsip kesatuan mereka, itu pulalah yang menjadi prinsip pangkal perbedaan mereka (Rahman, 2000: 113-114).
Dijelaskan Rahman (h. 144), bahwa wujud pikiran manusia, wujud kuda dan wujud lainnya adalah karena karakter pikiran menyederhanakannya sehingga munculkah dalam konsepsi wujud-wujud yang beragam. Pernyataan ini tentunya memberikan indikasi bahwa pluratitas wujud hanya ada dalam konsep. Tetapi pembelajar Shadra dengan khusyu' tentu menyadari bahwa pluralitas wujud yang dimaksud Shadra bukan sekedar konsep tetapi sebagai realitas. Daripada buru-buru menghakimi Rahman sebagai penganut ashalatul mahiyah, lebih baik kita melihat apakah pikiran itu menyerap realitas, ataukah realitas (yang terindera) itu yang mendesakkan diri kepada indera dan selanjutnya dibentuk di dalam konsep.
Saya menduga antar maujud memiliki potensi untuk dikenali sebagaimana mereka mengambil sebagian karakter Penyebabnya yang ''ingin'' dikenali. Karena itu, menyerap sesuatu ke dalam kosep adalah kerja bersama secara serentak antara subjek dan objek. Selanjutnya subjek memahami apa yang dikonsepkannya dari maujud tidaklah sebagaimana objek itu adanya. Pemahaman subjek amat bergantung pada potensi yang ia miliki. Yang paling memahami suatu maujud adalah Wujud. Bahkan pengetahuan Wujud atau maujud adalah sangat sempurna sehingga maujud tidak bisa lepas dari Wujud. Bahkan secara objektif maujud itu adalah Wujud itu sendiri, demikian juga subjek, yang juga adalah maujud. Maka perkenalan subjek atas objek adalah perkenalan wujud atas wujud. Namun karena wujud sebagai subjek mustahil mengenal wujud sebagai objek, maka wujud sebagai subjek mengambil sesuatu bernama mahiyah sebagai instrumen mendulang wujud sebagai subjek.
Tetapi bagaimanakah suatu ketiadaan dapat memunculkan pemahaman? Karena itulah Suhrawardi menganggap mahiyah pada maujud sebagai sesuatu yang lebih utama karena memang yang berbentuk itulah yang lebih nyata dapat dipahami, sekalipun ternyata itu adalah ketidakbenaran. Maka seluruh konsepsi dan pengetahuan kita atas realitas adalah fana adanya. Namun bagi saya, karena di kedalaman kita sendiri serta di alam raya adalah wujud adanya, maka alam dapat menimbulkan getaran dalam diri kita sebab wujud bertemu wujud, sekalipun tidak dapat dimengerti, tapi dapat dirasakan.
Jujur kata-kata yang menghubungkan Tuhan dengan alam, semuanya hanya konsepsi, emanasi, sebab-akibat, pikiran, seperti tajalli, manifestasi, refleksi.
Hal penting untuk kita jawab adalah bagaimana mahiyah bisa muncul, dari mana ia datang? Mahiyah itu suatu ketiadaan. Tapi kenapa dia ada, sekalipun sebagai murni konsep? Dikatakan maujud adalah seauatu yang berada antara wujud dan mahiyah. Tetapi bagaimana bila seseorang dilahirkan di suatu tempat yang tidak ada mujud kecuali hal-hal yang ia butuhkan untuk hidup. Kepadanya tidak diperdengarkan suara apapun, tidak diperlihatkan hal apapun (tidak diberi cahaya, terus diikat, tidak diberi makanan apapun (cara dia tetap hidup adalah diimpus sejak lahir, atau lainnya), tidak dibiarkan bergerak.
Mungkin kita harus mengakui kerangaman adalah konsepsi. Sebab, hukum mutlak bagi keragaman adalah batas. Batas itulah yang menjadi inti dari perbedaan. Tanpa batas, perbedaan tidak dapat diterima. Dan adanya batas tentunya telah mengusung mahiyah. Dan pertanyaannya akan berkutat kembali, dari mana mahiyah itu muncul? Bila seseorang mendengar pertanyaan itu, maka dia segera mengatakan bahwa dia tidak datang dari mana-mana karena dia memang bukan apa-apa. Lagi pula pada wujud majemuk itu tidak ada batas sebab batasnya itu adalah wujud juga. Maka, tentunya wujud majemuk itu tidak ada, yang ada hanyalah wujud tunggal.
Bila kita merujuk pada pandangan Al-Attas, yang dapat dijadikan sebagai pintu masuk pagi pemula ontologi Islam; judul karya Al-Attas memang adalah ''Pengantar'', yani 'Prolegomena in to the Metaphysic in Islam'. Dalam karya penting ini, Al-Attas menyimpulkan bahwa terdapat ambiguitas dalam konsep Wujud karena Wujud itu Tunggal, tetapi sekaligus majemuk. Penglihatan sufi yang mencapai penyingkapan itu menjadi ambigu ketika dilaporkan atau diturunkan pada ranah epistemologis. Pada penglihatan Wujud itu, Reaitas Tunggal dapat menjadi majemuk sekaligus sekalipun tanpa, tanpa perbedaan antara keduanya' dan bahkan tidak layak disebut 'dua'. Meski ''tidak dapat'' disebut dua, namun dia dua, yakni Tunggal sekaligus plural. Di samping itu, Realitas Majemuk yang memiliki beragam tingkatan itu tidak memeliki perbedaan dan tidak memiliki jarak atau pembatas antara satu realitas dengan realitas lain. Hal ini tentu menjadi ambigu dan sangat mungkin untuk dianggap mustahil.
Suatu ambigu dalam Wujud Murni yang dilihat beragam namun Tunggal dikaitkan dengan keragaman maujud di alam eksternal. Maka maujud yang beragam dianggap sebagai wujud majemuk. Secara jernih pandangan ini keliru, dan ini diakui Rahman (2000: 119). Pengecualian untuk membenarkan Shadra adalah realitas maujud majemuk hanya sebagai simbol, perlambangan, atau analogi bagi Wujud majemuk pada pengalaman penyingkapan (kasyaf). Perlambangan ini tudak ubahnya seperti tamsilan Rumi pada evolusi materi dari mineral hingga malaikat saat menerangkan konsep gerak jiwa manusia.
Maka adalah sufi seperi Rumi, Hamzah Fansuri lebih unggu dari Shadra karena dia mampu menginformasikan realitas Wujud melalui simbol yakni puisi. Namun syaratnya adalah kemampuan kita untuk mengungkapkan hakikat makna di balik syair-syair mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar