*
Sebagian filosof berpikir harus ada penyebab lain dar
i
alam selain Tuhan dengan alasan bahwa bila alam adalah sebab dari Tuhan
maka dia harus tanpa permulaan dan tidak berakhir sama seperti Tuhan.
Argumen ini berlandas pada cara pikir Plotinus yang melihat alam materi
adalah hasil manivestasi bertingkat dari Tuhan. Karena waktu itu tidak
ada yang lain selain Tuhan maka Tuhan berfikir tentang dirinya sendiri
sehingga menghasilkan akal pertama. Lalu akal pertama berfikir tentang
Tuhan dan dirinya sendiri lalu menghasilkan akal kedua. Demikian
seterusnya akal di bawah berfikir tentang dirinya dan akal diatasnya
menghasilkan akal baru di bawahnya hingga akal kesembila yang tiba-tiba
telah mengandung potensi materi dan berfikir lalu menghasilkan akal
kesepuluh yang menjadi sebab alam materi. Cara berfikir jahiliyah ini
diadopsi oleh Al-Farabi dan menginspirasi para filosof setelahnya
sehingga mereka punya cara pandang parsial tentang teori kausalitas.
Parahnya teori ini melibatkan Tuhan; sebagaimana cara pandang Al-Ghazali
dan Aquinas yang ingin menemukan jawaban atas mustahilnya alam materi
bermula dan kekal. Padahal, kita harus memperbaiki realitas ontologis
'alam materi' itu. Sebagaimana yang kita bahas pada kajian 'Esensi
Shadra', maka alam materi itu bukanlah hal-hal eksternal yang dapat
ditunjuk dan bukan differensia yang menjadi bagian dari kategori genus.
Seharusnya alam yang dimaksud adalah sebuah realitas wujud yang
sederhana dan unik yang tidak dapat dipersepsi samasekali kecuali kita
mengusung esensi sebagai instrumen.
Kausalitas saya kira juga sebuah upaya bentukan dari pikiran untuk mendapatkan penyingkapan dari sekian banyak kegelapan yang dikandung. Karena itu Shadra menjelaskan wujud itu adalah sesuatu yang ditemukan bukan diciptakan. Maka dia telah ada dengan begitu sendirinya sebelum kita (esensi) menemukannya. Semakin manusia punya banyak pengetahuan, maka semakin dia dekat dengan wujud sebab pikirannya manusia itu adalah dioenuhi esensi, dipenuhi kegelapan.
*
Argumen-argumen rasional masa-masa awal pemikiran Islam bila direnungkan dengan seksama merupakan kesesatan-kesesatan yang besar. Semuanya harus ditundukkan pada esensi yang tidak bisa bekerja tanpa waktu. Namun Shadra mampu melihat segalanya dengan mata batin dan melaporkannya dengan baik.
*
Mengenai persoalan manusia-manusia yang berfikir, yakni mereka yang bertanya 'Apakah manusia bebas berkehendak atau ditentukan Tuhan?'. Saya kira pertanyaan ini muncul dari para teolog akibat mereka tidak mampu memahami beberapa ayat tertentu dalam Al-Qur'an dan beberapa Hadits. Mereka bingung apakah ketika manusia mengambil satu keputusan dari dua pilihan adalah berdasarkan kehendaknya sendiri atau dari kehendak Tuhan. Tetapi apa kehendak itu? Saya kira kehendak adalah ekspektasi; sebuah hal alamiah, yakni sebuah gerak dalam proses.
*
Manusia menjebak dirinya dalam kegelapan ketika membicarakan persoalan teologis seperti 'kekekalan materi' dan pengetahuan Tuhan tentang hal-hal pertikular' dan tema-tema seputar itu. Bagaimana kita hendak menduga apakah Tuhan mengetahui ada sebutir koin di dalam tas saya? Apakah itu penting bagi Tuhan? Apakah kita hendak menyamakan kesadaran Tuhan dengan kesadaran kita; sementara kesadaran kita adalah ilmu Tuhan. Dengan demikian masih layakkah kita mengakui bahwa kehendak kita bebas dari Tuhan; bukankah kesadaran kita adalah bagian dari pengetahuan Tuhan.
*
Suhrawardi mengatakan bahwa penyebab jamak dapat melahirkan satu akibat. Namun Shadra menyanggahnya dengan mengatakan bahwa jumlah itu hanya konsep dan yang real itu adalah sebab sekalipun ketika akal mempersepsikannya dan menemukan ada satu sebab tunggal yang berulang-ulang atau terpisah-pisah.
*
Menurut saya sebebnarnya sebab akibat itu hanya muncul untuk karakteristik pikiran. Pikiran yang cara kerjanya sepenggal-sepenggal mencoba meluaskan dirinya melalui kausalitas. Sesuatu yang telah dikuasainya disebut akibat dan hal yang belum diketahui lalu diketahui disebut sebab. Karena dalam akal adalah esensi, maka kausalitas hanya berlaku untuk tataran esensi. Semenata pada wujud yang tunggal dan sederhana itu, tentunya kausalitas tidak berlaku.
*
Ada api. Lalu ada asap. Lalu asap menghilang. 'Ada' saya ketahui masih ada karena saya masih bisa menyadari. Tetapi kesadaran saya sendiri selalu memerlukan sesuatu. Sesuatu itu selalu adalah apa-apa yang telah saya simpan dalam ingatan. Apa yang saya simpan dalam ingatan adalah semua yang telah saya tangkap melalui indra. Kalau saya tidur saya tidak bisa membuktikan bahwa diri saya ada karena saya tidak sadar. Hanya karena ada mimpi, maka saya dapat percaya bahwa: tadi, saat sedang tidur, saya ada. Mimpi juga adalah rekonstruksi dari ingatann-ingatan, sekalipun rekonstruksinya acak.
*
Disebutkan bahwa Sebab murni adalah tempat pertama bergantungnya sebab-akibat dan terakhir adalah akibat murni. Sebab-akibat pada pertengahan adalah tidak berakhir. Namun hubungan antara Sebab murni dengan akibat pertama adalah keputusan tak berdasar pikiran. Ketika pikiran memahami suatu hal terakhir, maka itulah yang dianggap sebagai sebab utama sebab-akibat pertengahan. Sebab utama ini sekaligus dianggap akibat dari Sebab murni. Sebab pertengahan ini akan berubah posisi menjadi akibat bila pikiran telah mampu menemukan hal lain dibaliknya dan menjadikan hal itu sebagai sebab awal sebab-akibat pertengahan. Demikian seterusnya tanpa akhir karena memang rasio manusia terus berkembang dan setiap generasi mentransformasikan kepada generasi selanjutnya. Ini mirip konsep ide dalam sejarah milik Hegel.
Kausalitas saya kira juga sebuah upaya bentukan dari pikiran untuk mendapatkan penyingkapan dari sekian banyak kegelapan yang dikandung. Karena itu Shadra menjelaskan wujud itu adalah sesuatu yang ditemukan bukan diciptakan. Maka dia telah ada dengan begitu sendirinya sebelum kita (esensi) menemukannya. Semakin manusia punya banyak pengetahuan, maka semakin dia dekat dengan wujud sebab pikirannya manusia itu adalah dioenuhi esensi, dipenuhi kegelapan.
*
Argumen-argumen rasional masa-masa awal pemikiran Islam bila direnungkan dengan seksama merupakan kesesatan-kesesatan yang besar. Semuanya harus ditundukkan pada esensi yang tidak bisa bekerja tanpa waktu. Namun Shadra mampu melihat segalanya dengan mata batin dan melaporkannya dengan baik.
*
Mengenai persoalan manusia-manusia yang berfikir, yakni mereka yang bertanya 'Apakah manusia bebas berkehendak atau ditentukan Tuhan?'. Saya kira pertanyaan ini muncul dari para teolog akibat mereka tidak mampu memahami beberapa ayat tertentu dalam Al-Qur'an dan beberapa Hadits. Mereka bingung apakah ketika manusia mengambil satu keputusan dari dua pilihan adalah berdasarkan kehendaknya sendiri atau dari kehendak Tuhan. Tetapi apa kehendak itu? Saya kira kehendak adalah ekspektasi; sebuah hal alamiah, yakni sebuah gerak dalam proses.
*
Manusia menjebak dirinya dalam kegelapan ketika membicarakan persoalan teologis seperti 'kekekalan materi' dan pengetahuan Tuhan tentang hal-hal pertikular' dan tema-tema seputar itu. Bagaimana kita hendak menduga apakah Tuhan mengetahui ada sebutir koin di dalam tas saya? Apakah itu penting bagi Tuhan? Apakah kita hendak menyamakan kesadaran Tuhan dengan kesadaran kita; sementara kesadaran kita adalah ilmu Tuhan. Dengan demikian masih layakkah kita mengakui bahwa kehendak kita bebas dari Tuhan; bukankah kesadaran kita adalah bagian dari pengetahuan Tuhan.
*
Suhrawardi mengatakan bahwa penyebab jamak dapat melahirkan satu akibat. Namun Shadra menyanggahnya dengan mengatakan bahwa jumlah itu hanya konsep dan yang real itu adalah sebab sekalipun ketika akal mempersepsikannya dan menemukan ada satu sebab tunggal yang berulang-ulang atau terpisah-pisah.
*
Menurut saya sebebnarnya sebab akibat itu hanya muncul untuk karakteristik pikiran. Pikiran yang cara kerjanya sepenggal-sepenggal mencoba meluaskan dirinya melalui kausalitas. Sesuatu yang telah dikuasainya disebut akibat dan hal yang belum diketahui lalu diketahui disebut sebab. Karena dalam akal adalah esensi, maka kausalitas hanya berlaku untuk tataran esensi. Semenata pada wujud yang tunggal dan sederhana itu, tentunya kausalitas tidak berlaku.
*
Ada api. Lalu ada asap. Lalu asap menghilang. 'Ada' saya ketahui masih ada karena saya masih bisa menyadari. Tetapi kesadaran saya sendiri selalu memerlukan sesuatu. Sesuatu itu selalu adalah apa-apa yang telah saya simpan dalam ingatan. Apa yang saya simpan dalam ingatan adalah semua yang telah saya tangkap melalui indra. Kalau saya tidur saya tidak bisa membuktikan bahwa diri saya ada karena saya tidak sadar. Hanya karena ada mimpi, maka saya dapat percaya bahwa: tadi, saat sedang tidur, saya ada. Mimpi juga adalah rekonstruksi dari ingatann-ingatan, sekalipun rekonstruksinya acak.
*
Disebutkan bahwa Sebab murni adalah tempat pertama bergantungnya sebab-akibat dan terakhir adalah akibat murni. Sebab-akibat pada pertengahan adalah tidak berakhir. Namun hubungan antara Sebab murni dengan akibat pertama adalah keputusan tak berdasar pikiran. Ketika pikiran memahami suatu hal terakhir, maka itulah yang dianggap sebagai sebab utama sebab-akibat pertengahan. Sebab utama ini sekaligus dianggap akibat dari Sebab murni. Sebab pertengahan ini akan berubah posisi menjadi akibat bila pikiran telah mampu menemukan hal lain dibaliknya dan menjadikan hal itu sebagai sebab awal sebab-akibat pertengahan. Demikian seterusnya tanpa akhir karena memang rasio manusia terus berkembang dan setiap generasi mentransformasikan kepada generasi selanjutnya. Ini mirip konsep ide dalam sejarah milik Hegel.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar