Link Download

Senin, 06 Agustus 2012

Ijtihad Iqbal

Kata Iqbal (2002: 234) persatuan ummat Islam bukan berdasarkan hubungan darah melainkan sesuatu yang bersifat psikologis. Tampaknya yang ia maksudkan adalah persatuan berdasarkan iman. Katanya Kristen di Konstantin pernah dicoba sebagai sistem persatuan tetapi gagal. Saya lihat ini karena memang agama Nasrani bukanlah agama untuk seluruh ummat tetapi untuk Bani Israil saja. Semua ag
ama sebelum Islam memang didedikasikan buat kaum tertentu. Tetapi Islam sebagai agama terakhir memang ditahbiskan untuk seluruh ummat manusia terlepas apapun ras atau sukunya. Maka menjadi mungkinlah Islam sebagai agama untuk menyatukan manusia. Ali Syariati melalui 'Haji' menggambarkan bagaimana rukum Islam kelima itu mampu menjadi energi pemersatu yang dahsyat. Nurdinsyah mengatakan kalau saja semua jamaah haji mau bergerak ke sana untuk membebaskan Palestina, maka cukup dengan air seni jamaah haji saja Israel terhapus.
Dalam mewujudkan persatuan, prinsip Islam tidak malah membuat masyarakat statis. Sebaliknya Islam memotivasi masyarakat supaya proaktif dan dinamis. Al-Qur'an dan Hadits sebagai pedoman prinsipil adalah mengatur persoalan-persoalan pokok/baku/prinsipil manusia. Ketetapan ini tidak akan mengganggu progresivitas dan dinamisme masyarakat. Aturan ini justru mengarahkan ke sana. Kita perlu tahu bahwa dinamisme dan progresivitas adalah wajib, niscaya dan mutlak buat manusia.
Kemunduran Islam bagi saya hanya satu akibatnya yakni semakin jauhnya kita dari Al-Qur'an dan Hadits. Pertentangan modernis dengan tradisionalis, gerakan sufi yang terpinggirkan akibat kecongkakan penguasa dan kejatuhan politik adalah hal-hal yang dikaitkan dengan alasan utama kejatuhan tersebut.
Mengenai konsep ijtihad, saya masih kukuh dengan keyakinan bahwa semakin teguh kita pada aturan-aturan dua pedoman itu, semakin kita tidak perlu berijtihad. Sebaliknya semakin kita melakukan pelanggaran terhadap Al-Qur'an dan Hadits, semakin kita membutuhkan ijtihad, qiyas atau apapun istilah-istilah lain yang bertema sama: menjadikan otak sebagai sumber syariah akibat dideportasi dari Al-Qur'an dan Hadits.
Mengenai hal-hal yang tidak ada aturannya dalam Al-Qur'an dan Hadits, itu artinya bebas dilakukan. Pada ranah yang tidak diatur inilah progresivitas, modernitas dan dinamisme memainkan perannya. Batasnya adalah ketika bertentangan dengan aturan Al-Qur'an dan Hadits.
Saya pikir, agama yang kita pahami dan jalankan sekarang bukan ajaran Rasul Saw. Tetapi imajinasi kaum sufi, buah pikir para filosof dan kepanikan kalangan teolog. Tetapi buah imajinasi, buah pikir dan ''kepanikan'' ini secara umum tidaklah bertentangan dengan inti pesan Al-Qur'an dan Hadits justru sebagian semakin mendekati jiwa kedua pedoman itu. Tetapi jujur, harus diakui ada sebagian kalangan justru berseberangan dengan Al-Qur'an dan Hadits. Bagi saya, mereka yang semakin jauh dari Al-Qur'an dan Hadits bukan sufi, bukan filosof, bukan pula teolog.
Banyak pemikiran-pemikiran yang dianggap sebagai gagasan cemerlang dan solusi untuk masalah yang sebenarnya mereka sendiri perbuat ternyata adalah sebuah konsep keliru yang diwariskan secara turun temurun. Maksud saya adalah dualisme warisan Ibn Rusyd kepada Eropa yang dikemas menjadi sekularisme. Dualisme ini juga memandang manusia sebagai dua unsur terpisah yang tediri dari jiwa dan raga. Konsep dualisme manusia ini populer di tangan Rene Descartes.
Iqbal mengkritis dualisme keliru ini. Menurutnya jiwa dan raga adalah satu kesatuan organis yang tidak bisa dipisahkan (2002:246). Saya melihat raga adalah jiwa yang tampak dan jiwa adalah raga yang tidak tampak. Iqbal juga mengkritik konsep dualisme negara dengan agama. Konsep ini dikenal dengan sekularisme. Sekularisme adalah cara pandang keliru yang memberi pemisahan antara negara dengan agama. Sekularisme juga adalah warisan dualisme.
Sekularisme Turki diinspirasikan oleh keinsyafan atas kejahatan Kristen di Eropa yang mengatur manusia secara sewenang-wenang dengan mengatasnamakan Tuhan. Sekullaris Eropa yang gerah dengan kelicikan ahli agama Kristen menjadikan sekularisme sebagai strategi untuk melepaskan penzaliman manusia dengan mengatasnamakan agama. Islam sama sekali tidak membuat jarak antara negara dengan agama. Dalam Islam, sistem politik, sosial dan individu diatur sedemikian rupa sehingga dualitas itu tidak dikenal. Maka tentunya sekularisme Turki adalah salah resep: yang sakit adalah sariawan, dikasih obat kurap.
Perbedaan antara agama dengan adat adalah soal niat. Ada aturan agama yang dijalankan tapi niatnya bukan lillah, sebaliknya ada adat yang dilaksanakan tetapi niatnya semata karena Allah. Banyak ritual agama dilaksanakan semustinya tidak menyeret agama dengan menuduhnya bid'ah. Tetapi bila kita orang cerdas dan pahan agama, semustinya kita menemukan rasionalisasi danorientasi positif dari kebiasaan-kebiasaan masyarakat itu supaya dalam menjalankannya, masyarakat punya orientasi yang rasional dan dengan itu ritual menjadi ibadah, lillahi ta'ala.
Banyak pula saya melihat syariat yang ''dikerangkeng'' menjadi adat sehingga terlepaslah unsur ibadahnya dan hanya menjadi sekedar ritualitas. Dalam hal ini tugas kita bukanlah menentang ritual itu tetapi memberikan penyadaran kembali kepada masyarakat supaya orientasinya kenbali menjadi ibadah lillahita'ala.
Iqbal mengangkat persoalan ijtihad yang terjadi diTurki--yang saya kurang memahami dia sendiri berposisi di mana--semisal seruan-seruan azan dalam bahasa Turki, saya kira itu bukan ijtihad, bukan pula itu bagian daripada sekularisme, tetapi itu adalah bagian dari sentimentil kepada bangsa Arab. Dekade-dekade awal abad dua puluh memang timbul fanatisme kesukuan yang luar biasa di Timur-tengah. Sentimen-sentimen itu berperan sangat besar dalam menghancurkan dalam meruntuhkan daulah terakhir ummat Islam. Di masa lalu Islam memang mampu menghasilkan pemikir-pemikir yang sangat cemerlang. Dengan adanya mereka progresivitas dan dinamisme Islam termasuk di bidang sains dan hukum sangat menggeliat. Ini dapat saja terjadi karena akidah para pemikirnya dan masyarakat sendiri masih sangat kuat. Sekalipun mereka menghasilkan buah pikir yang liarbiasa besar, tetapi sumbernya adalah Al-Qur'an dan Hadits. Di masa kini pemikiran, produk hukum dan lainnya tidak lagi progresif karena pemikirnya jauh dari Al-Qur'an dan Hadits sehingga produk mereka malah bertentangan dengan kedua rujukan kita itu. Kalaupun ada sebagian pemikir kita yang memang dekat dengan Al-Qur'an dan Hadits, tetapi karena masyarakatnya jauh dengan dua sumber suci itu, maka tetap saja mereka tertolak. Karena semakin lama masyarakat semakin jauh dari Al-Qur'an dan Hadits, maka buah karya segelintir pemikir yang bersemangat dari dua sumber ajaran itu semakin tertolak.
Sejarah perpolotikan Islam sejak tumbangnya Ali bin Abi Thalib selalu berorientasi penguasa. Penafsiran-penafsiran atas Al-Qur'an dan Hadits yang diterima hanya yang bersesuain denga orientasi politik. Sikap-sikap dalam berijtihad para penguasa dan wali fakih Islam selalu berorientasi pribadi. Sering sebuah ajaran diterima dan ditolak karena bertentangan dengan kepentingan pribadi penguasa. Sering pula seorang mufti kerajaan menerima atau menolak suatu ajaran bukan murni berorientasi dua sumber ajaran kita tetapi mengutamakan kelanggengan posisinya sebagai qadhi. Kalaupun ada sebagian penguasa yang ingin iklash berorientasi pada Al-Qur'an dan Hadits, tetapi nafsu wali fakih/mufti pula yang menghalangi. Kalau ada mufti yang serius dan iklahs, tetapi penguasanya pula yang mengorientasikan kepada kepentingan pribadi. Maka wajarlah apa yang dikuro Iqbal (200t:295) dari Snouck Hungrenje yang mengatakan bahwa sedikit saja perbedaan dapat dituduh sebagao bid'ah dan bahkan suatu perselisihan turun-temurun dapat didamaikan seketika, yang menurut Iqbal adalah karena betapa longgar dan terbukanya hukum Islam. Namun bagi saya sendiri, itu bukan karena betapa permisifnya aturan Islam tetapi karena suatu konflik diatur menurut kepentingan penguasa, orientasi politik. Bila penguasa ingin menciptakan sebuah konflik, maka seekor lalat yang mati dapat dijadikan soalan. Tetapi bila seorang penguasa ingin kedamaian, maka sepuluh orang terbunuh dapat dicari jalan damai yang baik. Sikap-sikap seperti ini sangat berbeda dengan Khalifah Rasyidin yang murni berorientasi pada Al-Qur'an dan Hadits.
Persoalan yang timbul diakui karena makin banyaknya persoalan-persoalan yang tidak ada solusinya dalam Al-Qur'an dan Hadits seiring meluasnya ekspansi Islam dan perkembangan zaman. Bagi saya, persoalan-persoalan yang dapat dipastikan tidak ada rulenya dalam Islam berarti bukanlah persoalan syariah tetapi adalah semacam adat juga posisinya. Tetapi tidak ada tindakan atau bahkan yang dipikirkan sekalipun yang sama sekali lepas dari dua podoman kita itu. Bila pedoman praktisnya tidak ada, pasti ada pedoman etisnya. pedoman etis ini penting sekali supaya progresivitas dan dinamisme tidak justru menjadi masalah.
Sampai sekarang saya sendiri masih melihat sistem Republik Islam Iran sebagai sistem terbaik dalam urusan hukum dan perpolitikan. Di mata saya, Arab Saudi dengan sistem monarkinya masih jau ketinggalan. Hari ini, apapun sistem yang dianut negara-negara berpenduduk muslim mayoritas, tugas utamanya adalah memberi pandidikan dan pelatihan bagi generasi penerus untuk setia dan kukuh pada Al-Qur'an dan Hadits. Selanjutnya setiap warga muslimnya harus mengupayakan tercapainya norma-norma hidup yang bersesuai dengan dua pedoman kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar