
Rasul memulai ''proyek''nya melalui ontologi, lalu mengarah ke metafisika. Kemudian menguasai psikologi, lalu antropologi, kemudian politik, lalu militer, komunikasi, diplomasi, hubungan internasional. Dan, di sela-sela disiplin yang saya uraikan ini, begitu banyak lagi ''disiplin'' yang belum sempat digagas atau dipikirkan manusia.
Iqbal ('Pembangunan Kembali Alam Pikiran Islam', Jakarta: Bulan Bintang, 1978[cet.II], h.177) mengatakan orientasi tertinggi sufi adalah kenikmatan spiritual pibadi sementara Rasul hanya menjadikan pengalaman spiritualnya sebagai suatu titik berangkat menuju pembentukan ''satu kekuatan dunia yang hidup''. Saya melihat, berpuasnya sufi pada pengalaman spiritual pribadinya karena mereka tidak dapat menyelam ke alam spirualitas itu sedalam Rasul. Lagi pula, tesis Iqbal tidak sementah itu. Pengalaman yang kita lihat adalah bahwa kebanyakan orang menempuh jalan sufi tidak praktis meninggalkan dakwah dan pembimbingan ummat. Justeru semakin dalam kebatinannya, semakin aktif sufi berdakwa. Hanya beberapa kali sejarah mencatat sufi praktis meninggalkan dakwah yakni ketika penguasa mengklaim sesat atas ajarannya yang biasanya karena kepentingan politik semata, bukan persoalan pemikiran atau teologis.
Apa yang telah dipraktikkan Rasul adalah sebuah model yang tidak bisa lain yaitu untuk ditiru. Semua disiplin ilmu sejatinya menjadikan ajaran Rasul sebagai landasan. Semua bentuk etika harus merujuk pada model yang Rasul telah tampakkan. Semua hukum harus diproduksi berdasarkan garis besar yang telah Rasul rumuskan. Rancangan-rancangan tentang kemanusiaan wajib menjadikan model yang telah diwujudkan Rasul sebagai rujukan dasar. Politik, militer dan segala macam produk lainnya tidak bisa diingkari harus menjadikan contoh dari Rasul sebagai pedoman. Popper telah menegaskan bahwa segala sains berangkat dari metafisika. Maka tidak bisa dipungkiri: pada orang yang telah menyelami alam metafisik sedalam-dalamnya (mii'raj) lalu membuktikan penerapannya pada realitas praktis (Nusantara hingga Andalusia, 1-900 Hijriah) kita berpedoman.
Iqbal terlihat terlalu yakin hanya seorang Rasul saja yang mampu ''menghancurkan yang lama, dan untuk membuka arah-arah baru dari kehidupan'' saat tenggelam dalam alam mistik. Rasul memang adalah pioneer dalam melakukan perubahan kebudayaan bahkan peradaban, tetapi pengikut Rasul yang menempuh jalan Rasul yang benar (syariat) akan sampai juga pada alam spiritual yang dialami Rasul. Sekalipun intensitas ''menghancurkan yang lama, dan untuk membuka arah-arah baru dari kehidupan'' bagi mereka pengikut Rasul tidak sedalam Rasul, namun mereka mampu. Singkatnya, pengalaman mistik wali-wali Allah tidak semata untuk kepentingan pemuasan gairah spiritual pribadi namun juga sebagai pemersiapan tindakan kemanusiaan.
Segala tentang Rasul (Saw.) yang dirangkum ke dalam kata 'sunnah' dan firman Allah yakni Al-Qur'an yang disebut 'wahyu' sifatnya universal. Maka tugas para penerus Rasul, wali-wali Allah itu menerapkan wahyu dan hadits pada ranah-ranah partikular, pada ruang-waktu tertentu, pada adat-adat dan budaya yang berbeda-beda. Karena itu, tugas para wali tidak mudah. Mereka harus punya kepekaan atas situasi-kultur masyarakat tertentu itu, memahami benar wahyu dan hadits serta harus punya kemampuan dan kekuatan berijtihad. Tak ayal, para wali penerus Rasul itu harus mereka yang punya kedekatan sangat baik dengan Allah. Mereka bukanlah orang yang duduk diam, apalagi menyendiri ke hutan untuk mengikuti hasrat mistik.
Wali Allah penerus Rasul harus punya kepekaan yang sangat tinggi: terhadap alam, sosial dan spiritual. Mereka harus mampu menguasai masyarakat hingga ke hulu hati mereka. Mereka juga harus memahami agama melampaui hukum fikih. Mereka wajib memiliki kelebihan yang tidak dipunyai masyarakat. Mereka harus mengungguli semua yang dikuasai masyarakat. Harus ada yang mereka kuasai yang membuat masyarakat takluk, atau lebih enak disebut: memberi solusi nyata terhadap keluhan yang sedang dihadapi.
Sebuah kebudayaan adalah hasil evolusi yang telah berlangsung seumur suatu masyarakat itu sendiri. Produk-produk kebudayaan adalah seperangkat alternatif bagi segala macam persoalan. Karenanya agama yang datang memang sebagai solusi, akan ditolak sebab masyarakat merasa solusi setiap masalah yang ada sudah tersedia. Maka salah satu pendekatan terbaik adalah meyakinkan masyarakat bahwa masalah-masalah yang biasanya muncul bisa tidak kembali hadir bila menjalankan kaidah-kaidah yang ada dalam Islam. Hal ini perlu pembuktian. Sebab, segala hal, tidak hanya sains, termasuk agama, niscaya akan diuji oleh masyarakat.
Iqbal (1978:181) mengatakan, ada tiga sumber pengetahuan manusia yakni diri mereka sendiri, sejarah dan alam semesta. Ketiga hal ini wajib dikuasai para wali Allah penyebar agama. Memahami gejala alam dengan baik dapat membuat kita mampu menyesuaikan diri dengan alam sehingga persoalan-persoalan hidup dapat diminimalisir. Juga, menguasai gelala-gejala alam berarti memahami kondisi suatu masyarakat, sebab masyarakat tersebut pasti dapat bertahan hidup setelah mampu menyesuaikan diri dengan alamnya. Malah, tampaknya tidak ada sebuah kebudayaan yang dibentuk lepas dari gejala dan kondisi alam mereka hidup. Manusia, sejati, belajar dari alam.
Menguasai sejarah artinya mampu mengetahui kejadian yang akan datang karena hukum alam tidak akan acak. Maka, memahami alir dan alur sejarah pastilah membuat kita mengetahui kejadian yang akan datang. Dengan begitu, kita dapat memberikan tawaran yang tepat untuk masa kini supaya terhindar dari buntung dan selalu beroleh untung untuk masa yang akan datang. Sementara salah satu sumber ilmu dalam diri manusia, itulah intuisi atau ranah metafisik yang diakui Popper sebagai sumber segala sains. Tampaknya ilmu IESQ dan psikologi di zaman sekarang juga termasuk di dalamnya.
Iqbal menganjurkan ilmu induktif adalah lebih unggul dan mengatakan model ini sebagai ciri modernitas. Katanya Islam datang menawarkan modernitas dengan membawa ilmu induktif sebagai yang utama. Tampaknya thesis Iqbal ini bertentangan dengan thesisnya yang lain. Awalnya dia mengetakan terdapat tiga sumber ilmu yakni diri manusia, sejarah dan alam, tetapi selanjutnya dia mengemukakan keunggulan sistem induktif. Pertanyaannya bagaimana menerapkan sistem induktif pada sumber ilmu diri manusia yang metafisik itu. Lagi pula melakukan pembuktian atas keabsahan sebuah teori tidak harus dengan sistem induktif. Dengan segala kelebihan dan kekurangan sistem falsifikasinya, Popper telah membuktikan sistem deduksi lebih dapat dipercaya dalam menguji sebuah teori (lihat bahasan 'Falsifikasi Popper').
Sikap Iqbal menolak sistem pengajuan kebenaran melalui teori oleh sistem filsafat Yunani juga tampak kurang baik. Sekali lagi, mari kita melihat tulisan saya tentang 'Falsaifikasi Popper'. Di sana dapat kita temukan bahwa sains yang bermula dari alam metafisik harus diekstraksi terlebih dahulu melalui teori atau premis-premis. Barulah selanjutnya teori dijadikan asumsi awal dalam berjalan menemukan konfirmasinya di alam eksternal. Jadi antara diri manusia dengan alam sebagai sumber ilmu adalah berjalan seiring: dari diri manusia ke alam.
Hal lain yang memperlihatkan inkonsistensi Iqbal adalah ketika dia mengatakan ilmu tidak boleh berasal dari teori, bahkan Iqbal sendiri memberi apresiasi dan secara berulang-ulang terhadap sebuah teori yang bahkan lebih mengarah kepada dongeng, yakni tentang teori evolusi. Pertama mengutip Rumi (Iqbal, 1978: 174) dan selanjutnya Ibn Maskawaih (h. 188).
Maka penting untuk kita pikirkan kembali adalah: Bila sebuah masyarakat telah punya solusi atas masalah yang mereka hadapi, maka untuk apa agama itu? Bukankah kita percaya bahwa arah jalan akal adalah sama dengan jalannya penemuan Rasul. Maka, buat apa Wahyu perlu diterapkan? Bukankah sebuah kebudayaan yang di dalamnya adalah solusi atas segela persoalan hidup masyarakat tertentu adalah produksi akal yang searah dengan Wahyu itu?
Tampaknya Wahyu datang untuk membuat sebuah kepastian yang tanpa ingin membuat manusia berlama-lama membentuk sebuah sistem yang sekalipun menjadi solusi terhadap suatu kebudayaan, maka dianya tidak mapan untuk ruang-waktu berbeda. Agama datang untuk membawa sebuah bagan umum (universal) yang nantinya akal-akal menyesuaikan dengan kondisi khusus (partikular) suatu masyarakat atau kebudayaan tertentu. Lagi pula, dalam sebuah kebudayaan, solusi-solusi yang tersedia tidaklah seinstan dan sepraktis yang diduga. Makanya agama datang dengan fungsi utamanya menjadi panduan bagi manusia supaya tahu mana yang dapat dan mana yang tidak dapat dilakukan. Semua perintah agama sejati dan sebenar-benarnya adalah sebuah panduan bahwa itu baik, perlu bahkan harus dilakukan dan sebuah larangan sejati dan sebenar-benarnya adalah sesuatu yang tidak boleh dilakukan. Akal dapat saja menemukan hal ini dalam pencariannya, tapi tampaknya, seperti sebuah larangan, baru diketahui oleh akal itu tidak baik setelah bosan dilakukan. Iqbal dengan kepercayaan diri tingkat tinggi mengatakan agama (Islam) datang dengan membawa persatuan kepada ummat manusia apapun ras dan suku mereka. Tampaknya pernyataan ini mengingatkan kita bahwa suatu kebudayaan yang diproduksi akal, atau akal itu sendiri dalam bekerja amat sulit melepaskan diri dari egoismenya. Salah satu egoisme klasik (bahkan purba) yang selalu hadir dalam nalar manusia saat hendak berpikir jernih dan berusaha untuk ibjektif adalah chauvanisme. Manusia sangat sulit melepaskan diri dari fanatisme kesukuannya. Akibatnya, dalam sejarah nalar, ego isme selalu mengambil bagian di dalamnya. Oleh Islam, egoisme ini ditentang dengan sangat. Al-Qur'an mengatakan manusia dijadikan bersuku-suku dan berbangsa-bangsa semata untuk saling mengenal, bukan untuk saling menonjolkan egoisme kesukuan dan kebangsaannya. Karena itu, agama memberikan suatu bagan berfikir semurni-murninya supaya dalam perkembanyannya, nalar benar-banar menjadi objektif.
Satu hal lagi yang paling penting adalah, kedatangan agama (terakhir, Islam) untuk membimbing supaya akal berani mewujudkan kesadaran murninya bahwa Tuhan hanya satu dan tidak boleh memberikan perantara-perantara untuk berhubungan dengan Yang Satu itu. Tampaknya memang, memakai perantara-perantara untuk berhubungan dengan Yang Satu agak rasional. Maka agak sulit kiranya untuk menyadari bahwa perantara-perantara itu tidak boleh ada. Sepanjang sejarah, manusia mengakui bahwa Yang Satu itu rasional dan diterima setiap pikiran. Tetapi sejarah juga menunjukkan bahwa manusia sulit menerima bahwa Yang Satu harus dituju secara langsung. Bukankah sejarah juga menunjukkan bahwa rasul-rasul datang untuk membuang perantara-perantara itu dan menunjukkan bahwa berhubungan langsung dengan Yang Satu itu bisa dan harus.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar