Tampaknya mengkritik terlalu dini, tapi
Derrida benar-benar tidak bisa dibiarkan. Dia mengulang kesalaha masa
lalu para filosof kacangan muslim masa lalu. Filsafat kerjanya bukan
mengurus teks. Masalah ekuivokal adalah satu jebakan besar bagi siapa
yang baru berada di pintu gerbang filsafat. Para filosof muslim
kontemporer senantiasa mengingatkan supaya pembelajar filsafat tidak
terjebak dengan kata atau teks tetapi berfokus pada makna di balik
kata. Dalam belajar ilmu logika dan semantik kita selalu diingatkan
dengan itu. Kita juga perlu selalu inta bahwa tidak hanya hal yang
berada pada realitas eksternal saja yang disimbolkan dengan kata, tetapi
semua tingkatan realitas. Dan realitaa itu tidak cuma di eksternal.
Dalam pembelajaran filsafat Islam kita telah banyak mengetahui bahwa
realitas itu banyak tingkatannya dan semuanya punya status ontologis.
Derrida adalah salah seorang yang mempermasalahkan kulit dan
melupakan isi. Dia mengatakan semua persoalan Filsafat adalah masalah
teks, masalah kata. Dia melakukan kesalahan terbesar dengan mengabaikan
status di balik teks. Karya filsafat yang rumit bukan bererti didak
punya makna ontologis, dia punya makna di balik kata. Tidaklah perlu
membawa sebongkah batu ketika ingin menyebutkan benda itu, kita cukup
menyebut 'batu' dan itu disepakatati semua. Konten kata dipahami setiap
akal, menolak teks berarti menolak nalar. Teks filsafay memang rumit dan
tidak teratur, subjektif pula, tapi menolak status teks adalah
kebodohan paling bodoh.
Sebuah kata yang sampai kepada kita
secara spontan memancing pikiran untuk menemukan realitas yang sudah
tersimpan di benak semua manusia. Karya filsafat dengan karakteristiknya
tidak seperti novel yang membuat pembacanya menghayal, karya filsafat
membawa pembacanya untuk berfilsafat secara langsung. Pembakan diarahkan
untuk mengkonstruksi penggalan-penggalan realitas melalui setiap kata
yang tersusun.
Derrida menuduh para filosof Barat modern telah
mereduksi segala hal ke dalam bahasan filsafat. Dan dia sendiri
mereduksi filsafat menjadi hanya sebagai teks. Dia ingin membuang
filsafat karena dianggap itu semua hanya persoalan teks. Ini adalah
kekonyolan besar. Kalau begitu, sastra, sains, surat cinta dan resep
dokter semuanya harus dihapus kalau dianya permainan teks.
Klaim Derrida tampaknya karena dia berlatar belakang filolog. Belajar
dari Nietzsche dan Derrida, tampaknya semua filosof berlatar belakang
filologi akan melakukan hal yang seperti ini pada filsafat. Mungkin
mereka akan jadi bahan tertawaan para filosof berlatar belakang sains.
Filosof berlatar belakang sastra akan geleng-geleng kepala melihat
tingkah Derrida.
Derrida tidak perlu takut semua realitas akan
direduksi ke dalam teks. Seni tari, arsitektur, seni ukir, lukisan dan
lainnya tetap akan hadir untuk mengakomodir pikiran dan rasa manusia.
Masalahnya adalah sekarang ini masyarakat instan yang melahirkan teks,
seni dan krearivitas lain tidak bermakna karena memang benaknya instan,
jadi masalahnya bukan di teks, tetapi manusia itu sendiri. Bagi saya,
usaha Derrida, penerusnya dan pendahulunya yang sibuk dengan teks itu
bukanlah filsafat, kerja itu adalah kerja salah satu disiplin ilmu
turunan filsafat, filofogi atau hermeunetik, atau 'dekonstrusi' saja
namanya, yanik disiplin ilmu yang fokusnya menghujat teks seperti anjing
yang menggonggongi bulan.
Saya sepakat pada Derrida ketika
dia mengatakan seorang filsuf tidak perlu berfokus pada riwayat
hidupnya, yang penting baginya adalah pemikirannya. Karena itu semua
filosof tidak punya autobiografi. Saya sepakat untuk itu, yang berfikir
tentang riwayat hidupnya adalah artis, bukan para filosof. Kita yang
suka mempelajari pemikiran para filosof hampir tidak peduli dengan latar
belakang dan kisah hidupnya.
Derrida adalah filsuf yang
paling banyak dikaji pemikirannya. Kata Muhammad Al-fayyadl, sudah empat
ratus buku dan lima ratus disertasi sudah ditulis tentang isi
pemikirannya ('Derrida', Yogyakarta. LKIS, 2006 [Cet. II] h. 7). Dan
saya sendiri jauh lebih kagum pada Al-Fayyadl daripada pemikir yang ia
kaji. Baru usia dua pulu tahun, buku keduanya tentang pemikir besar
telah terbit. Bayangkan, baru seusia remaja yang umumnya asyik pacaran
dan kerja tak jelas, dia telah menerbitkan buku larbiasa yang
menggunakan referensi murni berbahasa asing: Prancis, Jerman, Inggris
dan lainnya. Untuk Indonesia, saya jamin ini pertama kali dan saya yakin
seluruh dunia belum ada yang mampu seperti Al-Fayyadl.
Kalangan postmodernisme (posmo) menolak pemikiran modernis karena
menganggap akal manusia bukanlah satu-satunya sandaran mencari dan
menentukan kebenaran. Padahal sandaran hidup, mengada dan segala kita
adalah akal pikiran. Pikiran sendiri dipengaruhi oleh alam, kalau
menerima alam adalah persepsi pikiran semata, maka berarti akal itu
dipengaruhi oleh dirinya sendiri. Bila demikian, tidaklah menjadi alasan
untuk menolak akal adalah pusat.
Derrida mengatakan
menjadikan metafisika sebagai sandaran tidak tepat karena artinya akal
sandarannya adalah dogma dan berarti segala persepsi, aksi dan reaksi
akal hanya dogma. Tetapi saya kira bila akal menjadisa Sesuatu itu
sebagai landasan, ka itu adalah kerja alamiah akal. Kalaupun dia
dianggap dogma, maka dogma itu adalah produksi akal juga dan atrinya,
akal tetap sebagai pusat. Budaya pragmatig dan kapitalisme dituduh oleh
posmo sebagai kesalahan filosof modern. Tapi saya lihat para filsuf
modern sangat idealis. Pemikiran mereka sangat abstrak. Kerusakan budaya
mutakhir menurut saya adalah oleh mereka yang memaksakan filsafat yang
ideal dan agung itu untuk diterapkan pada ranah praktis. Di sini saya
mengharapkan kita mampu memahami bahwa pemikiran filsafat itu adalah
untuk memberi gambaran bukan panduan teknis. Kerusakan budaya
kontemporer itu adalah kesalahan tukang bangunan, bukan arsitek, adalah
kesalahan para orakel filsafat modern. Dan saya curiga posmo adalah
gerombolan orakel-orakel berbahaya itu.
Perlu kita sadari
bahwa 'teks' yang menjadi konsenterasi posmo adalah sebuah bahan kajian
rendahan. Logika hukum berfikir harus teris menjadi fondasi filsafat,
bukan teks yang telah orang tulis. Teks itu tidak berarti sama sekali
kecuali realitas di baliknya. Kaum posmo akan mempublikasikan tulisan
tentang kajian atas teks, bukan lagi kajian tas realitas. Tentu ini
bukan filsafat. Setelah mereka, realitas akan ditinggalkan sama sekali.
Yang penting bagi kita untuk teks adalah mengaitkannya dengan
maksud si penulis dan realitas dimalikteks yang pengarangnya maksudkan.
Boncengan pembaca memang tidak dapat dielakkan, tetapi sangat penting
oleh pembaca menekan asumsi pribadinya. Asumsi pribadi ini dapat semakin
dikurangi semakin mampu kita memahami maksud pengarang dan realitas
kontekstual di balik teks. Dekonstruksi tampak malah ingin menyerer teks
jauh dari masud pengarangnya dan realitas di belik teks. Dengan begitu,
teks akan tidak berguna sama sekali, yang ada hanyalah asumsi pembaca
yang sangat kental; dan ini adalah penistaan intelektual terbesar.
Salah satu lasan utama Derrida menyusun dekonstruksi karena ia
melihat teks filsafat penuh ambigu. Menurutnya karakter seperti ini sama
dengan karya sastra. Alasan ini dapat dimaklumi mengingat Derrida
bukanlah orang murni berlatar belakang disiplin filsafat. Dia menilai
teks filsafat demikian karena menggunakan kacamata disiplin semantik.
Perlu diketahui bahwa dikonstruksi dari realitas. Unicorn, pegasus,
boleh ada dalam dunia sastra, itu semua adalah kombinasi pikiran dari
realitas eksternal. Hal ini berbeda dalam filsafat, filsafat adalah
kerja intelek yang sangat murni, dianya tidak bergantung pada
wujud-wujud realitas eksternal. Intelek menyusun dirinya sendiri, bukan
menyusun realitas eksternal. Kalau sastramencoba mengkonstruksi bahan
mentah realitas partikular, filsafat mencoba mengkonstruksi dirinya
sendiri melalui penemuan akan kesejatuan diri, hukum-hukum alami/murni
akal, cara kerjanya, jalannya, arahnya tujuannya dan sebagainya. Makanya
jangan sekali kali mencari refer teks filsafat ke realitas eksternal,
jangan pula kepada asumsi pribadi tetapi kepada mind si filsuf yang
punya karya. Mencari kepada mind pribadi dapat saja tampaknya tetapi
jang kepada 'asumsi' yang dibangun sendiri tetapi dari 'akal murn'i yang
semua manusia miliki.
Sebagai seorang filolog, Derrida
menemukan fariasi model berfilsafat para pendahulu kita sulit dibedakan
dari sastra. Maklum, Cara berfilsafat Plato misalnya, dia menggunakan
jalan sastra, dia mengemukakan ide-idenya melalui fiksi yang tokoh
utamanya adalah Sokrates. Hal ini ditiru belakangan oleh Nietzsche
dengan tokoh favoritnya Zarathustra. Juga, Rousseau, Ibn Tufayl,
Al-Kindi dan beberapa filosof lainnya berfilsafat dengan model yang
sama. Bahkan, pada masa sekarang, banyak orang yang mengemukakan
pemikiran folosofisnya melalui sastra, Camus, Iqbal, Sartre lainnya. Hal
inilah yang membuat bingung Derrida sehingga dia mengklaim filsafat
tidak beda dengan sastra. Filsafat tidak membicarakan hal yang objektif.
Sebuah gagasan baru tidak ada yang objektif.
Alasan Lain
Derrida menolak teks bersandar pada dongeng Mesir kuno yang mengaku
dengan teks orang-orang tidak akan menemukan kebenaran sejati yang itu
ada pada alam. Alasan ini sama sekali tidak tepat untuk era instan
seperti sekarang. Tanpa teks, manusia malah tidak memiliki apa apa
karena realitas kehidupannya sudah sangat sempit; dengan ketakutan dan
ritunitasnya manusia kini sudah seperti berada di dalam botol yang
ditempatkan di dalam botol (pula). Bahkan saya lihat manusia modern
hanya punya alternatif yakni teks, teks itulah yang memicu mereka
melihat diri, dalam realitas.
Yang dilakukan Derrida adalah
kemustahilan. Dia ingin membuang prinsip alamiah akal yang ikut menyeret
prinsip alamiah alam semesta dan apapun yang dapat dijangkau intelek
ataupun yang melampauinya. Prinsip dasar akal dapat dianalogikan seperti
prinsip dasar alam. Bila air dipanaskan hingga 120 derjat, maka dia
akan mendidih, atau bila anda melemparkan sebuah batu, dia pasti akan
jatuh ke bumi. Pikiran menerima pasti 'banyak' lebih banyak daripada
'sedikit', atau 'panas' berarti tidak 'dingin'. Banyak prinsip akal
lainnya. Prinsip inilah yang membuat kita dapat hidup dengan stabil.
Prinsip dasar akal inilah yang membuat kita dapat hidup stabil. Bahkan
akal orang di rumah sakit jiwa dan berkeliaran tanpa busana di jalan
raya menerima ini semua.
Kalau memang ingin menguji kembali
prinsip dasar akal ini menggunakan intelek, maka cara yang ditempuh
Derrida adalah keliru. Saya menawarkan kepada Dia, posmo dan
pengikutnya: bila memang demikian kuatnya hasrat Anda ingin membuktikan
prinsip dasar akal, maka baiknya menggunakan cara Karl Popper. Anda bisa
menguji apapun yang tunduk pada akal Anda, tapi di sini Anda tidak
punya alat memeriksa akal anda sendiri dengan menggunakal akal pula.
Anda bisa melihat mata sendiri hanya dengan menggunakan cermin, tetapi,
untuk melihat cermin Anda juga harus menggunakan mata.
Apa
maksud Derrida? Tidak tahukah dia bahwa intelek itu tidak memiliki
batas. Dia bebar mengarah kemana saja, dalam akal tidak ada jurang,
tidak pila tembok di ujung jalan yang dapat membuatnya berhenti. Akal
ini punya jalan yang tidak pernah putus, terus menerus hingga ia
menemukan sebuah ruang bagi dirinya sendiri yang sangat luas, tanpa
tepi, tidal akan pernah menepi. Ketika ingin mengungkapkan pengalaman
dirinya, inilah yang menjadi masalah bagi dirnya sendiri dan dianggap
ambigu bagi individu yang lain. Maka jalan paling mudah adalah melalui
peminjaman-peminjaman pada setiap partikular-partikular eksternal.
Setiap partikular itu diberi simbol ke dalam kata. Setelah setiap
partikular punya simbol, lalu partikular-partikular itu perlu disusun
untuk memudahkannya dipakai dan diarahkan sebagai analogi dari realitas
tak terbatas di dalam intelek. Dalam menyusun dipakai pula berbagai kata
yang realitasnya tidak dapat dikonfirmasi di alam eksternal, tapi
dianya dapat diketahui, dipahami, disepakati bersama berdasarkan susunan
berurut yang dapat dipahami bersama. Perlu diingat kembali, gabungan
kata-kata ini, yang nantinya disebut teks atau literatur, cuma, ingat,
cuma, hanya simbol atau perlambangan, hanya analogi. Teks itu kosong
bila makna di baliknya tidak dapat dipahami.
Makanya hanya ada satu cara untuk menemu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar