Link Download

Sabtu, 07 Juli 2012

Dekonstruksi Derrida

Tampaknya mengkritik terlalu dini, tapi Derrida benar-benar tidak bisa dibiarkan. Dia mengulang kesalaha masa lalu para filosof kacangan muslim masa lalu. Filsafat kerjanya bukan mengurus teks. Masalah ekuivokal adalah satu jebakan besar bagi siapa yang baru berada di pintu gerbang filsafat. Para filosof muslim kontemporer senantiasa mengingatkan supaya pembelajar filsafat tidak terjebak dengan kata atau teks tetapi berfokus pada makna di balik kata. Dalam belajar ilmu logika dan semantik kita selalu diingatkan dengan itu. Kita juga perlu selalu inta bahwa tidak hanya hal yang berada pada realitas eksternal saja yang disimbolkan dengan kata, tetapi semua tingkatan realitas. Dan realitaa itu tidak cuma di eksternal. Dalam pembelajaran filsafat Islam kita telah banyak mengetahui bahwa realitas itu banyak tingkatannya dan semuanya punya status ontologis.
Derrida adalah salah seorang yang mempermasalahkan kulit dan melupakan isi. Dia mengatakan semua persoalan Filsafat adalah masalah teks, masalah kata. Dia melakukan kesalahan terbesar dengan mengabaikan status di balik teks. Karya filsafat yang rumit bukan bererti didak punya makna ontologis, dia punya makna di balik kata. Tidaklah perlu membawa sebongkah batu ketika ingin menyebutkan benda itu, kita cukup menyebut 'batu' dan itu disepakatati semua. Konten kata dipahami setiap akal, menolak teks berarti menolak nalar. Teks filsafay memang rumit dan tidak teratur, subjektif pula, tapi menolak status teks adalah kebodohan paling bodoh.
Sebuah kata yang sampai kepada kita secara spontan memancing pikiran untuk menemukan realitas yang sudah tersimpan di benak semua manusia. Karya filsafat dengan karakteristiknya tidak seperti novel yang membuat pembacanya menghayal, karya filsafat membawa pembacanya untuk berfilsafat secara langsung. Pembakan diarahkan untuk mengkonstruksi penggalan-penggalan realitas melalui setiap kata yang tersusun.
Derrida menuduh para filosof Barat modern telah mereduksi segala hal ke dalam bahasan filsafat. Dan dia sendiri mereduksi filsafat menjadi hanya sebagai teks. Dia ingin membuang filsafat karena dianggap itu semua hanya persoalan teks. Ini adalah kekonyolan besar. Kalau begitu, sastra, sains, surat cinta dan resep dokter semuanya harus dihapus kalau dianya permainan teks.
Klaim Derrida tampaknya karena dia berlatar belakang filolog. Belajar dari Nietzsche dan Derrida, tampaknya semua filosof berlatar belakang filologi akan melakukan hal yang seperti ini pada filsafat. Mungkin mereka akan jadi bahan tertawaan para filosof berlatar belakang sains. Filosof berlatar belakang sastra akan geleng-geleng kepala melihat tingkah Derrida.
Derrida tidak perlu takut semua realitas akan direduksi ke dalam teks. Seni tari, arsitektur, seni ukir, lukisan dan lainnya tetap akan hadir untuk mengakomodir pikiran dan rasa manusia. Masalahnya adalah sekarang ini masyarakat instan yang melahirkan teks, seni dan krearivitas lain tidak bermakna karena memang benaknya instan, jadi masalahnya bukan di teks, tetapi manusia itu sendiri. Bagi saya, usaha Derrida, penerusnya dan pendahulunya yang sibuk dengan teks itu bukanlah filsafat, kerja itu adalah kerja salah satu disiplin ilmu turunan filsafat, filofogi atau hermeunetik, atau 'dekonstrusi' saja namanya, yanik disiplin ilmu yang fokusnya menghujat teks seperti anjing yang menggonggongi bulan.
Saya sepakat pada Derrida ketika dia mengatakan seorang filsuf tidak perlu berfokus pada riwayat hidupnya, yang penting baginya adalah pemikirannya. Karena itu semua filosof tidak punya autobiografi. Saya sepakat untuk itu, yang berfikir tentang riwayat hidupnya adalah artis, bukan para filosof. Kita yang suka mempelajari pemikiran para filosof hampir tidak peduli dengan latar belakang dan kisah hidupnya.
Derrida adalah filsuf yang paling banyak dikaji pemikirannya. Kata Muhammad Al-fayyadl, sudah empat ratus buku dan lima ratus disertasi sudah ditulis tentang isi pemikirannya ('Derrida', Yogyakarta. LKIS, 2006 [Cet. II] h. 7). Dan saya sendiri jauh lebih kagum pada Al-Fayyadl daripada pemikir yang ia kaji. Baru usia dua pulu tahun, buku keduanya tentang pemikir besar telah terbit. Bayangkan, baru seusia remaja yang umumnya asyik pacaran dan kerja tak jelas, dia telah menerbitkan buku larbiasa yang menggunakan referensi murni berbahasa asing: Prancis, Jerman, Inggris dan lainnya. Untuk Indonesia, saya jamin ini pertama kali dan saya yakin seluruh dunia belum ada yang mampu seperti Al-Fayyadl.
Kalangan postmodernisme (posmo) menolak pemikiran modernis karena menganggap akal manusia bukanlah satu-satunya sandaran mencari dan menentukan kebenaran. Padahal sandaran hidup, mengada dan segala kita adalah akal pikiran. Pikiran sendiri dipengaruhi oleh alam, kalau menerima alam adalah persepsi pikiran semata, maka berarti akal itu dipengaruhi oleh dirinya sendiri. Bila demikian, tidaklah menjadi alasan untuk menolak akal adalah pusat.
Derrida mengatakan menjadikan metafisika sebagai sandaran tidak tepat karena artinya akal sandarannya adalah dogma dan berarti segala persepsi, aksi dan reaksi akal hanya dogma. Tetapi saya kira bila akal menjadisa Sesuatu itu sebagai landasan, ka itu adalah kerja alamiah akal. Kalaupun dia dianggap dogma, maka dogma itu adalah produksi akal juga dan atrinya, akal tetap sebagai pusat. Budaya pragmatig dan kapitalisme dituduh oleh posmo sebagai kesalahan filosof modern. Tapi saya lihat para filsuf modern sangat idealis. Pemikiran mereka sangat abstrak. Kerusakan budaya mutakhir menurut saya adalah oleh mereka yang memaksakan filsafat yang ideal dan agung itu untuk diterapkan pada ranah praktis. Di sini saya mengharapkan kita mampu memahami bahwa pemikiran filsafat itu adalah untuk memberi gambaran bukan panduan teknis. Kerusakan budaya kontemporer itu adalah kesalahan tukang bangunan, bukan arsitek, adalah kesalahan para orakel filsafat modern. Dan saya curiga posmo adalah gerombolan orakel-orakel berbahaya itu.
Perlu kita sadari bahwa 'teks' yang menjadi konsenterasi posmo adalah sebuah bahan kajian rendahan. Logika hukum berfikir harus teris menjadi fondasi filsafat, bukan teks yang telah orang tulis. Teks itu tidak berarti sama sekali kecuali realitas di baliknya. Kaum posmo akan mempublikasikan tulisan tentang kajian atas teks, bukan lagi kajian tas realitas. Tentu ini bukan filsafat. Setelah mereka, realitas akan ditinggalkan sama sekali.
Yang penting bagi kita untuk teks adalah mengaitkannya dengan maksud si penulis dan realitas dimalikteks yang pengarangnya maksudkan. Boncengan pembaca memang tidak dapat dielakkan, tetapi sangat penting oleh pembaca menekan asumsi pribadinya. Asumsi pribadi ini dapat semakin dikurangi semakin mampu kita memahami maksud pengarang dan realitas kontekstual di balik teks. Dekonstruksi tampak malah ingin menyerer teks jauh dari masud pengarangnya dan realitas di belik teks. Dengan begitu, teks akan tidak berguna sama sekali, yang ada hanyalah asumsi pembaca yang sangat kental; dan ini adalah penistaan intelektual terbesar.
Salah satu lasan utama Derrida menyusun dekonstruksi karena ia melihat teks filsafat penuh ambigu. Menurutnya karakter seperti ini sama dengan karya sastra. Alasan ini dapat dimaklumi mengingat Derrida bukanlah orang murni berlatar belakang disiplin filsafat. Dia menilai teks filsafat demikian karena menggunakan kacamata disiplin semantik. Perlu diketahui bahwa dikonstruksi dari realitas. Unicorn, pegasus, boleh ada dalam dunia sastra, itu semua adalah kombinasi pikiran dari realitas eksternal. Hal ini berbeda dalam filsafat, filsafat adalah kerja intelek yang sangat murni, dianya tidak bergantung pada wujud-wujud realitas eksternal. Intelek menyusun dirinya sendiri, bukan menyusun realitas eksternal. Kalau sastramencoba mengkonstruksi bahan mentah realitas partikular, filsafat mencoba mengkonstruksi dirinya sendiri melalui penemuan akan kesejatuan diri, hukum-hukum alami/murni akal, cara kerjanya, jalannya, arahnya tujuannya dan sebagainya. Makanya jangan sekali kali mencari refer teks filsafat ke realitas eksternal, jangan pula kepada asumsi pribadi tetapi kepada mind si filsuf yang punya karya. Mencari kepada mind pribadi dapat saja tampaknya tetapi jang kepada 'asumsi' yang dibangun sendiri tetapi dari 'akal murn'i yang semua manusia miliki.
Sebagai seorang filolog, Derrida menemukan fariasi model berfilsafat para pendahulu kita sulit dibedakan dari sastra. Maklum, Cara berfilsafat Plato misalnya, dia menggunakan jalan sastra, dia mengemukakan ide-idenya melalui fiksi yang tokoh utamanya adalah Sokrates. Hal ini ditiru belakangan oleh Nietzsche dengan tokoh favoritnya Zarathustra. Juga, Rousseau, Ibn Tufayl, Al-Kindi dan beberapa filosof lainnya berfilsafat dengan model yang sama. Bahkan, pada masa sekarang, banyak orang yang mengemukakan pemikiran folosofisnya melalui sastra, Camus, Iqbal, Sartre lainnya. Hal inilah yang membuat bingung Derrida sehingga dia mengklaim filsafat tidak beda dengan sastra. Filsafat tidak membicarakan hal yang objektif. Sebuah gagasan baru tidak ada yang objektif.
Alasan Lain Derrida menolak teks bersandar pada dongeng Mesir kuno yang mengaku dengan teks orang-orang tidak akan menemukan kebenaran sejati yang itu ada pada alam. Alasan ini sama sekali tidak tepat untuk era instan seperti sekarang. Tanpa teks, manusia malah tidak memiliki apa apa karena realitas kehidupannya sudah sangat sempit; dengan ketakutan dan ritunitasnya manusia kini sudah seperti berada di dalam botol yang ditempatkan di dalam botol (pula). Bahkan saya lihat manusia modern hanya punya alternatif yakni teks, teks itulah yang memicu mereka melihat diri, dalam realitas.
Yang dilakukan Derrida adalah kemustahilan. Dia ingin membuang prinsip alamiah akal yang ikut menyeret prinsip alamiah alam semesta dan apapun yang dapat dijangkau intelek ataupun yang melampauinya. Prinsip dasar akal dapat dianalogikan seperti prinsip dasar alam. Bila air dipanaskan hingga 120 derjat, maka dia akan mendidih, atau bila anda melemparkan sebuah batu, dia pasti akan jatuh ke bumi. Pikiran menerima pasti 'banyak' lebih banyak daripada 'sedikit', atau 'panas' berarti tidak 'dingin'. Banyak prinsip akal lainnya. Prinsip inilah yang membuat kita dapat hidup dengan stabil. Prinsip dasar akal inilah yang membuat kita dapat hidup stabil. Bahkan akal orang di rumah sakit jiwa dan berkeliaran tanpa busana di jalan raya menerima ini semua.
Kalau memang ingin menguji kembali prinsip dasar akal ini menggunakan intelek, maka cara yang ditempuh Derrida adalah keliru. Saya menawarkan kepada Dia, posmo dan pengikutnya: bila memang demikian kuatnya hasrat Anda ingin membuktikan prinsip dasar akal, maka baiknya menggunakan cara Karl Popper. Anda bisa menguji apapun yang tunduk pada akal Anda, tapi di sini Anda tidak punya alat memeriksa akal anda sendiri dengan menggunakal akal pula. Anda bisa melihat mata sendiri hanya dengan menggunakan cermin, tetapi, untuk melihat cermin Anda juga harus menggunakan mata.
Apa maksud Derrida? Tidak tahukah dia bahwa intelek itu tidak memiliki batas. Dia bebar mengarah kemana saja, dalam akal tidak ada jurang, tidak pila tembok di ujung jalan yang dapat membuatnya berhenti. Akal ini punya jalan yang tidak pernah putus, terus menerus hingga ia menemukan sebuah ruang bagi dirinya sendiri yang sangat luas, tanpa tepi, tidal akan pernah menepi. Ketika ingin mengungkapkan pengalaman dirinya, inilah yang menjadi masalah bagi dirnya sendiri dan dianggap ambigu bagi individu yang lain. Maka jalan paling mudah adalah melalui peminjaman-peminjaman pada setiap partikular-partikular eksternal. Setiap partikular itu diberi simbol ke dalam kata. Setelah setiap partikular punya simbol, lalu partikular-partikular itu perlu disusun untuk memudahkannya dipakai dan diarahkan sebagai analogi dari realitas tak terbatas di dalam intelek. Dalam menyusun dipakai pula berbagai kata yang realitasnya tidak dapat dikonfirmasi di alam eksternal, tapi dianya dapat diketahui, dipahami, disepakati bersama berdasarkan susunan berurut yang dapat dipahami bersama. Perlu diingat kembali, gabungan kata-kata ini, yang nantinya disebut teks atau literatur, cuma, ingat, cuma, hanya simbol atau perlambangan, hanya analogi. Teks itu kosong bila makna di baliknya tidak dapat dipahami.
Makanya hanya ada satu cara untuk menemu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar