Link Download

Senin, 25 Juni 2012

Tingkatan Eksistensi

  1. Pembahasan ini adalah apa yang sudah lama saya simpulkan. Bahwa setiap mahiyah itu adalah abstraksi dari materi-materi yang selanjutnya bila diamati lebih jauh adalah berangkat dari ketiadaan. Segala sesuatu bila masih bisa disebut sebagai 'apa' maka haruslah bisa dijawab sebagai sesuatu. Sesuatu yang masih bisa dijawab belum boleh disebut sederhana (simple /basith). Dalam hal ini, energi sekalipun yang diakui sebagai penyusun materi paling sederhana belumlah dapat disebut sederhana karena dia masih bisa disebut. Hal-hal yang masih bisa disebut pastilah telah menjadi bawahan dari pikiran. Hal-hal yang masih bisa disebut pastilah dapat ditunjuk. Kalau dapat ditunjuk berarti masih bisa diselidiki, diobservasi, diteliti: adalah mahiyah juga. Hal itu masihlah dapat diberi ruang dan waktu dan niscaya masuk ke dalam kategori sepuluh aksiden. Yang ingin kita temukan malah yang melandasi segala hal yang bisa dipersepsikan bahkan yang melandasi pemersepsi (akal).
    Perjalanan menuju yang simpel itu otomatis menciptakan konsep sebab akibat dalam akal. Tujuannya adalah menemukan yang paling mendasar dari mauju-maujud. Ada tidaknya kausalitas, jawabannya sama dengan pertanyaan ada tidaknya maujud-maujud. Kalau segenap materi hanya bentukan akal, maka kausalitas juga demikian.
    Ketika sibuk dengan sebuah 'dunia', kita merasa seolah-olah dunia yang sedang kita sibukkan itu adalah satu-satunya dunia kita. Tapi saat sedang istirahat sejenak, secara spontan muncul dalam ingatan bahwa kita punya dunia lain yang lebih luas, yang lebih luas itu adalah dunia yang jeuh lebih penting dari dunia yang sedang kita sibukkan ini. Bahkan dunia yang sedang kita sibukkan ini adalah sebab dari dunia yang lebih luas itu. Kita merasa terjebak oleh dunia sibuk ini, padahal dunia ini adalah rekayasa kita sendiri demi tercapainya maksud untuk dunia yang luas itu. Segala material dalam dunia sibuk ini cuma instrumen yang kita siasati untuk dunia ini.
    Dunia sibuk ini hanya bentukan dari pikiran kita dan dia tidak lepas dari dunia luas kita. Dunia sibuk ini di-ada-kan pikiran karena sudut pandang tertentu saja. Bila kita mau, kita bisa menatap dunia luas kita dan melihat dunia sibuk ini sebagai bagian kecil, yang tak terpisahkan, dari keseluruhan dunia kita. Analoginya: di dunia sibuk ruang kantor ada kertas-kartas dan komputer, di dunia sibuk alam materi ada anak dan teman-teman. Kertas-kertas dan komputer adalah juga dari bagian hidup yang luas. Demikian anak dan teman-teman juga hadir dari alam luas, menyatu dengan hidup-sibuk. Saat sedang di kantor, sesekali tersadar bahwa keseluruhan hidup bukan hanya alam sibuk di kantor ini. Dalam kehidupan menyeluruh kadang saat sepi atau terbangun tengah malam sendiri, tiba-tiba kesadaran muncul: mungkin ada alam lain yang lebih luas dan bahkan aku hadir dari sana.
    Misbah Yazdi mengatakan bila ada dua alam yang derajata dimensinya sama, maka tetap akan menjadi satu alam persis dua potong besi dilas. Karena, akal kita telah mengabstraksi dan melimitasi sedemikian rupa. Akal inilah yang membentuk materi, ruang, waktu dan kausalitas menurut dimensi yang akal ini membuatnya. Maka tidak mungkin dimensi lain dari ini dapat diinderai, dapat tunduk pada pikiran kita.
    Boleh saja Ibn Sina membagi wujud pada tiga tingkatan. Yang satu tunduk di bawah persepsi umum, yang kedua untuk sebagian dan yang terakhir hanya bisa dirasakan kehadirannya meski pasti tidak tunduk. Sekalipun demikian, kalau kita punya mata yang melampaui segalanya, maka kita dapat melihat segenap tingkatan wujud itu adalah satu kesatuan tak terpisah.
    Dalam kuliah Filsafat Islam bersama Ust. Musa Kazim, beliau mengumpamakan wujud dengan warna. Warna tidak ditemukan pada realitas eksternal. 'Warna' yang ''agung'' itu termanifestasikan dalam konsep murni hitam, putih, biru dan sebagainya. Konsep biru murni termanivestasi dalam konsep biru, lalu konsep inilah yang dikonformasi dalam biru yang menempel pada mobil, dinding dan lainnya. 'Benda' juga begitu, konsep benda diterapkan menjadi jutaan benda-benda oleh pikiran di ruang eksternal.
    Analogi ini menyeret wujud pada segenap yang dapat disebut ada. Ada itu dibatasi sehingga menjadi banyak hal: titik, materi, ruang, gerak, kausalita dan waktu, hingga membuat kita, bila ditanya orang 'apa itu' akan memberi jawaban: 'itu ialah' bukan lagi 'adakah' yang ditanyai itu. Karena wujud menjelma, melingkupi segenap ke-ada-an kita, kita cenderung tertundukkan oleh kreasi kita sendiri.
    Sedikit apresiasi dapat diberikan kepada kaum eksistensialis yang mujur pada abad-ke-20. Mereka punya kesadaran tentang Ada. Tapi sayang, segala pengetahuan haruslah melalui akal, bila tidak subjektif sekali jadinya. Kekurangan mereka adalah tidak menyusun epistemologi. Untuk menuju Ada mutlak dari ada-ada ini, akal memerkukan banyak jalur, ruang, waktu dan kausalitas. Instrumen-instrumen ini perlu disusun secara sistematis, kerangkanya adalah logika dan isinya yakni epistemologi. Mulla Shadra tampaknya cukup berhasil dalam hal ini. Beliau punya sistem epistemologi yang paling mencengangkan sepanjang sejarah filsafat dengan objek kajiannya yakni jantung ontologi.
    Inilah filsafat, dia tidak menerima apa yang diberitahukan dan yang didogmatisasi, dia perlu mencari buktinya sendiri. Epistemologi dapat menjadi panduan, indikator sekaligus objek yang dapat dikritisi dan disusun epistemologi baru untuk mengisi kekurangannya. Alasan inilah yang membuat filosof barat modern anti kepada sistem epistemologi Yunani dan Barat modern, tetapi ketika mereka keluar dari kerangka ini, tampaknya mereka keluar dari filsafat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar