Manakah yang lebih mendasar, pembatasan suatu mawjud ataukah isi daripada yang dibatasi itu? Tanpa pembatasan, wujud tidak dapat dikenal, tanpa penyenalan, dianya tidak dapat disebut ada. Sebab, satu-satunya penjamin 'ada' adalah akal.
Bayangkan Anda di suatu tempat tanpa cahaya, tidak bersandar anggota tubuh Anda pada apapun, bayangkan tidak ada satupun yang dapat diinderai, termasuk indera perasa kulit. Dalam kondisi demikian Anda tidak dapat memikirkan apapun, dalam keadaan begitu, Anda sendiri tidak ada. Maka semuanya berarti bergantung pada akal. Akal, adalah membedakan, maka membedakan adalah dasar, disebut mahiyah atau esensi. Maka esensilah yang mendasar.
Premis pertama adalah akal itu mendasar sifatnya, tapi mampukah akal bekerja dan berfungsi sehingga dapat membentuk mahiyah tanpa sesuatu 'ada' pada realitas?
Akal mampu membentuk satu konsep tanpa adanya realitas. Sebuah kursi bisa saja tidak hadir di hadapan kita, tapi dia tetap ada dalam konsep pikiran. Maka bila demikian, benarkah akal tidak memerlukan realita eksternal? Saya kira tidak, konsep kursi atau apapun hanya bisa terbentuk dalam akal bila indera telah mempersepsikannya dari realitas eksternal. Tetapi realitas eksternal sendiri adalah bentukan akal.
Atas dasar keyakinan inilah makanya para filosof peripatetik dan filosof Barat modern menjadikan manusia, khususnya akalnya sebagai satu satunya penjamin eksistensi. Bila landasan utamanya adalah akal, maka jelaslah peyakin ini meyakini kemendasaran esensi (mahiyah), bukan eksistensi. Para filosof Muslim yang meyakini akal bukanlah aktor utama mencoba mencari dalil-dalil pembenaran akan adanya Sesuatu yang melampaui akal. Karena itu, saya kira eksistensi mendasar yang dimaksud filosof Muslim janganlah isi daripada mahiyah. Sebab, isi daripada mahiyah, baik mawjud di realitas eksterl maupun konsepsi di dalam pikiran, adalah bentukan akal juga.
Masalah yang diadapi filosof muslim ini langsung melahirkan penghakiman, utamanya oleh para filosof Barat modern adalah persoalan teologis. Argumen-argumen yang dibangun serta merta sebagai alat untuk membenarkan doktrin teologis. (lihat, Russel, 2003). Terlepas dari benr tidaknya asumsi filosof Barat, setidaknya filosof Muslim berhasil membangun realitas ontologis yang tidak hanya orisinal, bahkan jauh melampaui filsafat Yunani dan jauh sekali meninggalkan filsafat Barat modern.
Harus diakui, untuk menemukan pembahasan yang melampaui akal, sangat banyak rintangan yang harus dilalui. Utama dari itu adalah menyangkut gramatikal dan Ekuivokal. Dalam mata kuliah Semantic yang saya ikutu waktu S1 di Aceh dulu, dosen mengajarkan bagaimana sebuah kata tentu harus punya makna yang bertuju (refer) realitas. Realitas dituju haruslah dapat dipersepsi sehingga sebuah kata punya makna. Realitasnya tidak selalu harus benda, boleh juga dia adalah peristiwa. Singkatnya, refernya harus yang dapat dibentuk konsepsinya oleh pikiran. Sebab, sebuah peristiwa dan suatu benda haruslah melalui pemaknaan oleh akal. Tetapi bagaimanakah sebuah realitas ontologis dapat memiliki pembahasaan, atau, bagaimana kata-kata yang digunakan untuk menjelaskan realitas ontologis dapat direfer karena dia melampaui pikiran.
Disamping itu, akan muncul juga pertanyaan: apakah realitas yang melampaui pikiran itu benar-benar ada atau dianya sekedar imaji atau asumsi yang dibentuk akal tanpa memeliki realitas? Terhadap pertanyaan ini, filosof Barat Modern sendiri menerimanya: Kant menyebut ini sebagai Noumena dan Descarter menerimanya sebagai Tak Terbatas. Realitas melampaui ini tercatat pertama kali oleh Plato. Katanya, setiap realitas yang menjelma (eksternal) memiliki realitas diatasnya yang melampaui akal. Realitas atas ini diakui tidak sebatas pada ekuivokal, tidak pula konsepsi pikiran melaikan memiliki realitas. Hegel adalah filsuf yang mencoba menggerap wulayah ini dengan caranya sendiri. Setelahnya, Heidegger mengakui, wilayah ini akan segera muncul tanpa perlu melalui konsepsi pikiran.
Para flosof muslim menempuh proses bertahap dalam berusaha menjangkau wilayah ini. Pertama kali oleh Al-Farabi, mencoba memberi perbedaan antara esensi dengan eksistensi. Selanjutnya Ibn Sina memberi status penegasan dan pendalaman terhadap realitas eksistensi. Selanjutnya Mulla Shadra menemukan pembuktian yang rasional tentang status kemendasaran eksistensi melalui konsep gerak substansial. Gerak substansial, adalah strategi paling rasional untuk membuktikan keberadaan sekaligus kemendasaran eksistensi. Hingga kini, konsep itu belum terbantahkan. Bahkan filsuf Muslim terbesar setelah Shadra, Sir Muhammad Iqbal, mendukung konsep ini. Yang lebih mencengangkan adalah konsep Shadra ini terbukti oleh ilmu fisika modern, baik teori Superstring maupun Mekanika Kuantum.
Sekali lagi yang perlu ditegaskan disini adalah realitas yang menjelman bukanlah sandaran kemendasaran eksistensi (wujud). Sebab, dianya adalah bentukan pikiran juga yang artinya dia adalah esensi (mahiyah).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar