Syarifah Mahni, siswi MIN yang terlalu cantik untuk sekolah
di kampus kami. Dia memang tidak layak berada disini, terlalu agung lingkungan
ini baginya. Wajahnya sepeti bulan penuh. Pakaiannya selalu indah dan bersih.
Temannya hanya beberapa diantaranya. Kami yang udik ini jangankan berfikir
untuk menjalin persahabatan, menolek ke wajahnya saja mata kami tidak sanggup.
Bahkan pernah sekali aku memberanikan diri melihat dia punya kaus kaki, merah
kalau tidak salah, melapisi sepatu warna hitam polos, aku langsung hampir
pingsan. Dia yang bidadari itu hanya layak diukir dengan tinta sang dewa, hanya
Arjuna saja yang berhak menggambar tentang dirinya, mengenai wajahnya kukira
dia juga terpaksa menyerah. Bahkan Tuhan sendiri tampaknya menciptakan dia
sambil menutup mata.
Kerudung putih
sedada yang ia kenakan saat kelas empat, bila di arahkan ke langit akan gelap
buta seantoro semesta, Bagaimana tidak, matahari lari terbirit birit entah
bersembunyi di sudut semesta mana, bintang-bintang pada bertekuk lutut. Kami di
bumi serta-merta menunduk sujud. Matanggumpangdua tiba-tiba meleleh menjadi
air. Bireuenpun mengalami hal yang sama. Seluruh Aceh dilanda nestapa, maka
Indonesia, Asia Tenggara dan seluruh dunia merasa tidak layak bahkan untuk
keharibaan kerudungnya saja.
Duhai ampuni
Hamba. Getar, rasa yang mendidih, rasa pperih bahkan untuk membayangkannya
saja, hamba telah terlalu angkuh.
Aku dapat tahu rumahnya sejak kelas tiga. Sebuah rumah
paling mewah di matangglumpang dua. Aku bertanya pada tuhan kecilku saat aku
kecil waktu itu: kenapa yang cantik kau beikan harta yang kaya pula. kami di
sini sudah jelek melarat pula. Tahun selanjutnya aku mulai merangkai jawaban:
inilah keadilan Tuhan: yang kaya harus cantik dan yang cantik harus kaya,
demikian pula yang papa musti jelek, yang jelek harus papa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar