Iqbal: Meretas Jalan Teologi Baru
Iqbal menjadi pemikir Islam paling berpengaruh hingga saat ini. Bahkan dalam pandangan saya, dia adalah tiga pemikir terpenting dalam sejarah pemikiran Islam selain Al-Kindi dan Al-Ghazali (Miswari: 201:1131-132). Kenapa Iqbal bisa sedalam itu pengaruhnya? Tidak lain hanya karena satu bukunya yang sangat mengguncangkan Dunia: The Reconstruction of Religious Thought in Islam (Rekonstruksi). Saya melihat betapa luar bisanya hal ini: hanya satu buku telah menjadikan author-nya sebagai pemikir paling berpengaruh dalam dunia intelektualitas Islam delapan ratus tahun setelah Al-Ghazali.
Pengaruh Iqbal ini saya kira akan terus bertahan ratusan tahun ke depan. Sekali lagi bayangkan: hanya karena satu buku! Dalam buku itu Iqbal menguraikan berbagai penemuan aktual pasca Ibnu Rusyd yang telah sangat maju di Barat terutama setelah lahirnya Descarter dan Neuwon. Tuhan mengutus ''Jibril'' pada saat yang tepat: tepat setelah teori Relativitas Einstein dimatangkan. Teori Einsten itu adalah teori yang akan terus menjadi pijakan Fisika ratusan tahun ke depan. Teori Einstein adalah penunjuk jalan baru bagaimana kita melihat alam dengan kacamata baru setelah sebelumnya melihat alam dengan kacamata lama, Teori Newton (Chapra, 2009:56). Bahkan Iqbal juga banyak mengomentari: mendukung ataupun menolak gagasan-gagasan filsafat Yunani dalam Rekonstrusinya
Tidak hanya setelah lahirnya fisika baru, Iqbal juga hadir setelah filsafat matang secara menyeluruh di tangan Nietzsche. Filsafat Barat modern dicetus oleh Descartes dan pasca Nietzsche filsafat Barat hanyalah penyajian filsafat yang telah matang dengan mengenakan baju baru. Atau lebih tepatnya hanya sebagai catatan kaki pemikiran para filsuf besar seperti Descartes, Hume, Hegel dan Nietzsce.
''Catatan kaki-catatan kaki'' itu pentung supaya gagasan besar mampu diejawantahkan dalam tema tertentu yang lebih spesifik dan lebih mengena kepada masyarakat. Kita menemukan banyak tulisan-tulisan pemikir muslim abad ke-20 yang dianya (maaf kalau tidak sepakat) hanyalah sebagai catatan kaki pemikiran Sir Iqbal.
Misalnya Kuntowijoyo yang memperjuangkan sejaran sebagai ilmu setelah Iqbal mendeklarasikan sejarah sebagai ilmu bukan bagian dari sastra yang imajinatif itu. Sebab sebelumnya, penulis sejarah selalu melaporkan sejarah menggunakan bahasa simbolik sehingga terkesan fiktif. Juga, imajinasi pendongeng masa lalu sangat luar biasa sehingga kita sulit mempercayai karya-karya mereka semu belaka. Kerana sekurang-kurangnya dua hal itulah sejarah sebelumnya merupakan bagian daripada fiksi.
Seorang filosof Islam bukanlah mereka yang melulu mempelajari hidup dan pemikiran para filosof muslim sebelumnya mulai dari Al-Kindi hingga Mulla Sadra. Filsuf muslim yang benar adalah dia yang selalu mengamati, memahami dan mengkomentari gagasan-gagasan dan penemuan-penemuan dari segala bidang kemudian dia menganalisa, mengritisi, mengoreksi dan mensintesanya lalu memberikan sebuah laporan yang berpengaruh bagi masyarakat utamanya untuk kepentingan Islam.
Jalan seperti itulah yang ditempuh Iqbal. Dia menguasai perkembangan pemikiran Yunani, Islam, modern dan penemuan-penemuan sains sehingga dia dapat memberi argumen yang menarik bagi semua keilmuan itu.
Dr. Zainal Abidin Bagir melihat kesimpulan Iqbal tetap saja kembali kepada gagasan-gagasan mistik (burhani) setelah dia membicarakan segala literatur ilmu sebelumnya.
Bagir mengatakan Iqbal melihat setelah fisika dan filsafat modern melahirkan cara pandang yang berbeda terhadap alam, maka perlu bagi kita untuk membentuk cara pandang yang berbeda terhadap Tuhan. Cara pandang yang baru terhadap Tuhan inilah yang patut kita sebut Teologi Baru atau New Teologi.
Teologi baru inilah yang sudah lama ingin saya usulkan. Saya sudah bosan melihat studi Teologi hanya sibuk memperhatikan masalah kekuasaan antara Ali dengan Mu'awiyyah. Gagasan-gagasan para pemikir muslim klasik tentang teologi juga perlu kita perbaharui sebab cara pandang masyarakat masa kini telah jauh berbeda. Manusia tidak lagi melihat alam adalah ciptaan Tuhan tanpa alasan rasional-metodologis. Teologi baru sekurang-kurangnya harus mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan baru masyarakat menyangkut alam dan sosial kehidupannya.
Untuk menyusun Teologi baru kita dapat menjadikan pemikiran Iqbal sebagai fondasi. Alasannya karena Iqbal telah memberi komentar tehadap berbagai penemuan mutakhir dibidang sains dan pemikiran mutakhir bidang filsafat. Iqbal dalam Rekonstruksi telah memenuhi tema-tema pokok yang dibutuhkan dalam menyusun teologi baru:--setidaknya-- seperti yang diinginkan Pak Bagir yaitu: respon atas sains, teologi pembebasan dan pluralisme.
Ada kalangan yang membantah para pemikir muslim pasca Iqbal tidak layak dikatakan ''catatan kaki Iqbal'' utamanya atas persoalan sains karena banyak teori baru tentang sains telah ditemukan setelah Iqbal pergi. Namun saya kira para pemikir muslim pasca Iqbal hanya merespon persoalan-persoalan yang menjadi catatan kaki bagi teori Relativitas. Selain jumlah mereka hanya beberapa orang, lagi pula kajian mereka tidaklah mendalam, hanya menyinggung. Bahkan teori Kuantum dan Superstring, misalnya, hampir tidak disinggung pemikir muslim. Kalaupun ada diantara mereka yang mencoba mencoleknya, pembicaraan mereka sema-sekali tidak dapat dijadikan referensi untuk membangun teologi Islam baru. Malah, yang suka mengomentari beberapa penemuan besar sains pasca Iqbal yang sedikit banyaknya dapat dijadikan referensi proyek teologi kita adalah mereka yang bukan muslim seperti Francis Fukuyama dan Fritjof Chapra.
Saat ini dan esok kita tidak hanya dihadapkan pada benturan antar peradaban, makah kita telah memasuki masa percampuran peradaban. Jarak dan waktu tempuh samasekali tidak bibatasi apapun lagi. Kalau dulu kita hidup di dalam rumah berbeda-beda yang masing-masing rumahnya berjarak jauh, kini kita tinggal, menetap dan hidup di sekamar yang sempit. Karena itu cara pandang kita terhadap agama kita sendiri dan cara pandang pada agama lain perlu diubah.
Kenapa Iqbal? Memang awal dan menjelang abad ke-20 telah banyak para pemikir muslim yang mencoba merespon dan memberikian alternatif terhadap persoalan persoalan besar yang dihadapi kaum muslim. Sepeninggalan Ibn Rusyd kaum muslim mengalami kejatuhan yang sangat tragis. Spanyol dikristenkan kembali, Afrika utara dikepung Italia dan Prancis, Anak benua dikuasai Inggris, Asia Tenggara diperebutkan Portugal, Inggis dan Belanda. Selanjunya agitasi semakin sukses oleh Lawrence of Arabia ke dalam Ottoman. Akhirnya Ottoman Ambruk. Akibatnya dunia Islam tertinggal jauh, baik bidang militer maupun pendidikan.
Muhammad Bin Abdul Wahab di Arab Saudi mengambil keputusan tegas memurnikan ajaran Islam dengan harapan supya selamat penerapan teks agama Islam secara murni. Sir Sayyid Ahmad Khan di India memilih bekerjasama dengan Inggis supaya dapatlah diberi pendidikan pada kaum muslim India agar mereka tidak semakin jauh masuk ke gua kelam kebodohan. Lalu Jamaluddin Al-Afghani dan Muhammad Abduh di Mesir juga memilih jalur pendidikan kombinatif antara ilmu-ilmu Islam dengan konsep Barat modern supaya kaum muslim tidak tertinggal jauh dari kemajuan Barat. Ada pula keputusan putus asa oleh Kemal Attaturk di Turki dan Shah Pahlefi di Iran yang benar-benar gagal menemukan harapan perbaikan kondisi kaum muslim dari Islam dengan mengadopsi penuh sistem Barat dengan harapan kaum muslim dapat setara dengan Barat dalam hal kemajuan.
Jadi terdapat tiga model usaha intelektual muslim dalam rangka memperbaiki nasib kaum muslim yang sedang sangat terpuruk yaitu (1) penyucian agama (Muhammad Bin Abdul Wahhab); (2) kombinasi agama dan sekularisme (Muhammad Abduh dan Sir Sayyid Ahmad Khan dan (3) penolakan agama (Kemal Attaturk dan Shah Pehlefi).
Meski kesemua intelektual itu punya kekurangan masing-masing, usaha mereka patut diberi apesiasi secara proporsional sekalipun pemikiran dan pengaruh mereka tidak akan banyak membantu proyek teologi kita.
Iqbal berkeyakinan akal tidak mampu mengungkapkan hakikat segala sesuatu melalui intelek. Dia berkeyakinan hakitat hanya dapat dikenal secara langsung tanpa melalui proses penalaran yang disebut intuisi. Pembuktiannya akan keyakinannya itu adalah dia mengutarakan ide-ide besarnya itu melalui syair-syairnya yang ditulis dalam bahasa Urdu dan Persia.
Tema pokok syair-syair Iqbal adalah mengajak kaum muslim untuk tidak berputus asa mengenai kondisi kehidupan mereka yang sedang dalam masa paling tragis. Utamanya dalam Asrar I Khudi Iqbal menyajak manusia terutama kaum muslim untuk menyadari akan mahalnya harga diri mereka, betapa manusia itu adalah makhluk paling mulia disisi Tuhan Maha Besar dan bahwa kaum muslim adalah ummat yang kuat, satu dan dapat kembali bangkit dari keterpurukan.
Utamanya melalui Javid Nama Iqbal memperkenalkan pemikiran-pemikiran para pemikir besar sebelum dirinya secara puitis. Dan dalam Payam I Masyiq Iqbal memperkenalkan pegangan bagi kaum muslim sehingga mereka tidak galau dan mudah goyah serta bersemangat dalam menghadapi segala rintangan hidup dalam masa rumit.
Puisi Iqbal lainnya adalah Bang I Dara. Namun karena saya belum membaca buku itu, saya belum dapat memberi komentar.
Kita tahu bahwa Iqbal tidaklah menulis ilmiah sebagaimana pera pemikir muslim belakangan. Saya hanya menemukan tiga karya Ilmiah Iqbal dalam bentuk buku serta beberapa artikelnya. The Development of Metaphysics in Persia adalah desertasinya yang dibukukan. Di sana dia mengulas tentang hidup dan pemikiran para filosof Persia sebelum dan sesudah Islam. Islam and Ahmadiyahadalah sebuah buku tipis yang merupakan komentar Iqbal tentang sejarah, gagasan dan etika hidup kaum Ahmadiyah yang lahir dan berkembang di India.
Saya melihat Rekonstruksi adalah sebuah penjelasan atas karya-karya puisinya. Rekonstruksi adalah buku yang disusun dari enam ceramah Iqbal di beberapa perguruan tinggi di India. MelaluiRekonstruksi kita dapat menemukan penjelasan rasional dan ilmiah atas gagasan-gagasan Iqbal yang telah jauh hari dia utarakan melalui puisi-puisinya.
Iqbal: Antara Intelek dan Intuisi
Sebenarnya tujuan utama daripada agama kita adalah pengamalan, bukan gagasan-gagasan semata. Ide-ide dan gagasan-gagasan hanyalah jalan menuju pengamalan perintah keagamaan. Namun ketika manusia di zaman ini yang konsenterasinya terlalu berfokus pada gagasan sehingga dia melupakan pengamalan yang merupakan tujuan dari keagamaan. Di samping itu, karena alasan yang sama, pengalaman agama dianggap sebagai ilusi saja sebab sudah saking asingnya pangalaman agama atau intuisi bagi pemeluknya.
Prediksi Iqbal akan semakin benarnya kesejalanan antara sains dengan Al-Qur'an telah banyak buktinya pada masa kita ini. Melalui Fritjof Chapra, Harun Yahya dan laporan dalam buku The end of Science kita dapat mengkonfirmasi kebenaran itu.
Para pengukut jalan intuisi masa lalu adalah mistikus yang terlalu yakin akan kebenaran pengalaman langsung itu. Mereka banyak didukung oleh pengalaman intelek untuk sampai pada gagasan-gagasan mistik itu. Sementara itu, mistikus belakangan ini hanya mengikut saja pelaksanaan ritual mistik tanpa pernah memahami pengamalannya sebab mereka tidak pernah mempelajari ilmu-ilmu intelektualitas.
Meskipun pengalaman langsung agama atau intuisi tidak membutuhkan intelek, namun intelek sangat dibutuhkan dalam proses pengantar menuju pengalaman langsung serta sebagai sarana komunikasi setelah terlepas dai pengalaman langsung itu. Pengalaman agama yang kenikmatannya tiada tara harus dirasakan bersama.
Tujuan agama adalah memperbaiki kualitas intelek dan intuisi sekaligus. Intelek juga sangat berguna buat menerima pesan akan kenyataan agama yang sering mengkritik keterbatasan intelek. Sikap terbuka dalam menerima kritikan ini meniscayakan kita menerima adanya suatu cara lain yang dapat dipakai guna menangkap kebenaran yang intelek tidak mampu untuk itu.
Di samping itu kita harus sadar bahwa sarana interaksi kita dengan alam materi adalah intelek. Di sini, agama niscaya untuk dihadapkan dengan pertanyaan-pertanyaan filosofis yang tidak pernah henti. Agama juga harus mampu membuka diri untuk dihadap-hadapkan dengan penemuan-penemuan sains yang selalu update.
Di sinilah intelek diperlukan guna menghadapi kritikan dari filsafat dan penangan-pandangan sains. Di samping itu, memasuki pengalaman langsung agama bukanlah sebuah pertaruhan semacam judi. Dianya juga perlu pertimbangan-pertimbangan rasional pelakunya supaya tidak muncul dzan dan lebih teguh keyakinannya. Dengan begitu, menjalankan agama menjadi lebih memuaskan. Rasa puas dalam melaksanakan ajaran agama, menurut Prof. Whitehead, dapat merubah perangai pelaksananya. Inilah tujuan tingga agama, ''Aku diutus guna merubah tindakan manusia'' kata Nabi Besar.
Filsafat Yunani telah lama dijadikan pendekatan pemikir muslim masa lalu untuk mempelajari Al-Qur'an. Diberikan banyak manfaat dari semangat filosofis itu, namun ternyata filsafat Yunani, misalnya seperti dalam pandangan Sokrates, hanya berfokus pada dunia manusia semata-mata. Semangat ini sangat berbeda dengan semangat Al-Qur'an yang mengajak manusia merenungkan tentang semesta mulai dari bintang-gemintang, karakter tawon dan semut hingga hal-hal terkecil dari unsur-unsur dalam diri manusia.
Pengikut setia Sokrates, Plato memandang indera hanya sebagai pembentuk opini semata, sementara Al-Qur'an menyatakan telinga, mata dan lainnya adalah anugerah yang luar biasa dan kelak akan dimintai pertanggungjawaban. Agama yang dilihat dari cara pandang filsafat akan tragis nasibnya bila pembelajaran filsafat terhenti. Karena itu, agama harus dikembalikan pada posisinya yang sebenarnya yaitu pengatur hidup manusia.
Al-Ghazali telah melakukan usaha itu. Usaha Al-Ghazali itu sama seperti usaha Kant di Jerman. Mereka mencoba meluruskan cara pikir agama masyarakat supaya posisi agama yang mutlak dan akal yang relatif dapat dilihat secara proporsional. Mereka menyusun etika relijius dan etika rasional secara terpisah supaya akal tidak ikut membawa serta agama yang tak terbatas dalam cara pandang yang terbatas sesuai kareakter intelek itu.
Kant telah mematahkan rasionalisme yang sebelumnya dianggap kokoh melalui Critique of the Pure Reason sama seperti yang dilakukan Al-Ghazali dalah Tahafut Al-Falasifah. Mereka sama-sama membentuk cara pandang etika baru dalam keselarasan hidup. Al-Ghasali mengulasnya dalah Ihya' Ulumuddin dan Kant menguraikannya dalam Critique of the Practical Reason.
Al-Ghazali lebih beruntung karena dia mampu menyelamatkan kemurnian agama dalam intuisi atau, dalam cara pandang filsafat Islam masa kini: tasawuf akhliqi. Namun yang dilakukan Al-Ghazali ini telah mematahkan harapan rasionalitas bagi agama dalam bidang apapun. Dengan itu secara otomatis agama dijadikan berhadap-hadapan dengan rasionalitas. Al-Ghazali tidak memahami bahwa intelek dan intuisi itu bukan oposisi. Intuisi adalah jalan yang lebih maju dari intelek. Dianya adalah dua hal yang berkesinambungan, bukan kontradiksi.
Pesimisme atau keyakinan bahwa intelek mustahil mampu menangkap Ralitas Absolut adalah karena kita melihat intelek dalam mengenal setiap sesuatu melalui klasifikasi. Klasifikasi itu memunculkan kontradiksi akan antar setiap hal. Kita menduga perbedaan itu adalah kontradiksi, padahal itu hanya sensi intelek, sebenarnya setiap sesuatu itu sama sejalan adanya.
Akal eksplorasinya akan mampu mengenal Realitas Untama Wujud. Ini membuktikan akal itu bergerak, tidak diam. Namun ketika dia menemukan Realitas Wujud yang tak dapat terkiaskan dengan apapun dan tak dapat di klasifikasi karena dianya adalah Satu Kesatuan Mutlak, maka akal atau intelek merubah dirinya menjadi sesuatu yang dapat menangkap realitas Kesatuan Mutlak itu melalui sarana langsung tanpa klasifikasi dan kategorisasi, dialah intuisi. Akal sebenarnya mengandung keseluruhannya yang langsung dan menyeluruh seperti benih sebuah pohon tang mengandung segala tentang pohon.
Kant dan Al-Ghazali gagal menemukan bahwa intelek itu adalah semacam lauh mahfuz yang padanya telah terkandung masa lalu, masa kin dan akan datang secara sekaligus. Rupanya akal dalam kerjanya yang terbatas dan menggunakan klasifikasi dalam mengenal benda adalah suatu cara kerja yang diterapkan ketika dia sedang melakukan cerapan atau interaksi dengan alam yang terbatas ini.
Melalui pandangan Naquib Al-Attas kita akan dapat dengan mudah memahami alasan ini. Ruh ketika berinteraksi dengan alam dan menagmbil informasi darinya disebut ''aql'' Sementara dalam kerjanya menghimpun sesuatu yang menyeluruh disebut 'qalb'. Qalb inilah mungkin yang kita kenal sebagai intuisi.
Pemikiran Islam telah praktis terhenti lebih lima ratus tahun. Berbarengan dengan itu pemikiran Eropa telah kembali bangkit dan semakin maju. Awal renesains Eropa sedikit banyaknya mengambil inspirasi dan gagasan-gagasan yang telah ditinggalkan pada masa kemajuan Islam. Guna menghidupkan kembali pemikiran Islam kita perlu mengambilkembali semangat Eropa dengan tidak terpengaruh oleh tampilan luarnya.
Keseluruhan pemikiran Eropa adalah rekaman atas perkembangan pemikiran dan penemuan manusia yang luar biasa. Teori Relativitas Einstein telah merubah cara pandang manusia terhadap alam. Perubahan cara pandang terhadap alam mau tidak mau menuntut kita merubah cara pandang kita akan pola pikir kita dan agama dan substansinya, Tuhan.
Pembaruan kembali pemikiran Islam yang disarankan Iqbal adalah ajakan bagi kita untuk menyusun teologi baru dalam Islam supaya agama ini mampu terus eksis dan dinamis dalam dunia yang serba berubah dan terus bergerak. Al-Qur'an adalah kitab yang ajarannya senantiasa mampu memberi pencerahan dan petunjuk bagi manusia dalam situasi dan kondisi seperti apapun. Akan hal ini serang penyair Jerman, Goethe mengaku yakin akan keniscayaan Al-Qur'an.
Pertama-tama Islam harus mendapat tempat di dalam akal manusia-manusia, lalu secara perlahan Islam merasuki hatinya. Bila hatinya telah dikuasai Tuhan maka jadilah dia sebenar-benar utusan Tuhan. Cara ini harus di tempuh dengan pengenalan yang baik akan Islam.
Terhadap alam ini Islam tidak menjadikannya sebagai musuh atau sesuatu yang harus dihindari. Alam diciptakan dengan tujuan yang jelas, tidak main-main. Alam ini adalah satu satunya wadah bagi kita untuk menjalankan tugas kita sebagai Khalifah. Alam beserta segala peristiwa di dalamnya, bila diperhatikan dengan teliti dan seksama akan menjadi sarana terbaik bagi kita untuk dengan benar mengakui keagungan Pencitanya.
Alam ditundukkan Allah pada manusia sebagai bukti pengutamaan Allah pada manusia diantara semua makhluk lainnya sekaligus untuk menguji manusia: manakah yang tidak terlena dengannya dan manakah yang mampu mengendalikan sifak sombong dan takaburnya. Ujian ini telah ditolak segala makhluk dan hanya manusia saja yang berani memikul beban ini (QS. Al-Ahzab: 72).
Dengan segala kelebihannya manusia adalah penentu di bumi. Dengan potensi yang diberikan Sang Pencipta kepadanya, manusia berwenang menentukan garis nasibnya sendiri. Karena itulah Allah menyatakan tak akan merubah nasib suatu kaum kecuali mereka berinisiatif merubahnya sendiri (QS. Al-'Araf: 11). Tergantung manusia itu sendiri apakah dia mahu berusaha menggunakan segala potensi yang ia miliki atau tidak.
Potensi terbesar dimiliki manusia yang makhluk-makhluk lainnya tidak, termasuk malaikat sekalipun adalah kemampuannya membentuk konsep akan segala benda. Kemampuan ini adalah sebagai bukti penguasaan akannya. Penguasaan itu, sebagaimana diingatkan Al-Qur,an sendiri hanya bisa bila manusia menggunakan inteleknya dengan baik guna mengamati dan mempelajari alam semesta. Jadi, intelek adalah bagian substansial dari ajaran agama. Sangat banyak ayat Al-Qur'an yang meminta manusia menggunakan inteleknya guna menemukan kekuasaan Allah di alam semesta. Intelek dalam usahanya mengamati sesuatu selalu memberikan pertanyaan akannya. Maka adalah hal mustahil dalam Islam mengajukan pertanyaan filosofis dianggap terlarang.
Segala kebudayaan yang tangguh telah dibangun manusia. Kerja ini bisa terlaksana karena mereka menggunakan inteleknya untuk membentuk konsep. Namun tidak ada kebudayaan yang sanggup bertahan lama karena hanya konsep saja yang dibangun. Konsepsi yang dibentuk intelek hanyalah jalan saja bagi pengalaman yang lebih tinggi. Intelektualitas adalah jalan, bukan tujuan. Karena itu setiap peradaban yang menggunakan inteleknya untuk ketamakan dan keserakahan cepat atau lambat pasti akan timbang dengan hina-dina. Intelek hanyalah sarana bagi kita untuk berinteraksi dengan alam. Selanjutnya intelek itu harus menuju samudera hati, persis seperti aliran anak sungai dari mata air menuju samudera. Bila dianya berkumpul dan berhenti di salurannya, maka akan melahirkan banjir, mala petaka.
Pengalam yang lebih tinggi itu adalah pengalaman agama atau orang biasa menyebutnya 'intuisi'. Intuisi itu adalah penghihatan langsung pada Realitas Abadi.pengalaman ini, bila dikaji secara serius dan jujur, sangat sulit ditolak keberadaannya. Dia nyata melebili intelek itu sendiri. Namun karena manusia sudah begitu terstigma dalam pikirannya bahwa intelek adalah satu-satunya cara menerima realitas, maka akan sangat sulit bagi orang yang terlalu pragmatik dan materialistik hidupnya untuk menerima pengakaman ini.
Iqbal terlihat membedakan antara pengalaman kenabian dengan gejala psikologis. Dia mengkritik Prof. McDonald yang menganggap aneh seorang nabi yang mengintai seorang yang sedang dalam kondisi psikologis yang ganjil. Namun, benarkah pengalaman kenabian itu berbeda dengan perbedaan psikologis? Ibnu Khandun adalah orang pertama yang mencoba menganalisa hal ini. Dia mendapatkan apresiasi dan McDonald akan kejeniusannya ini dan mengatakan pasti Ibnu Khaldun akan mengapresiasi buku Variaties of Religious Experience karya Prof. William James.
Iqbal menyiratkan beberapa rincian mengenai karakteristik pengalaman relijius. Pertama adalah kelangsungan pengalaman ini. Dianya hadir seperti pengenalan itelek atas alam materi. Tuhan itu tidak seperti benda-benda yang untuk mengenalnya perlu klasifikasi-klasifikasi dan kategorisasi, maka pengalaman akan Dia tidak sama dengan penglihatan akan materi. Kedua, pengalaman mistik itu tidak dapat dianalisa. Berbeda dengan pengenalan intelek akan sebuah benda yang membutuhkan proses-proses tertentu untuk sampai pada pemahaman akan sebuah benda, pengalaman mistik datangnya secara menyeluruh dan langsung sehingga bahkan di sana penggolongan antara sublek dan objek tidak lagi berlaku.
Ketiga, kesan penyatuan dengan Sesuatu Yang Lain itu menghilangkan subjektivitas kita. Karena itu objektivitasnya, pengalaman ini sama seperti kita melihat sebuah benda dengan intelek kita. Bahkan keyakinan intuisi jauh lebih tinggi lagi sebab relativitas dalam pengalama inderawi bagaimanapun selalu ada. Kita dapat meyakini objektivitas pengalaman inderawi karena adanya respon dari objek. Maka dalam intuisi respon itu hadir secara lebih langsung dan lebih nyata sebab subjektivitas telah menyatu denga Objektivitas.
Keempat, karena pengalaman mistik itu bersifat langsung, maka dianya tidak dapat dikomunikasikan sebagaimana pengalaman inderawi. Hanya proposisinya saja yang dapat disampaikan, bukan isinya. Meski demikian, perasaan itu sifatnya selalu mencari jalan kepada intelek supaya dapat dikomunikasikan. Lagi-lagi, karena dianya tidak dapat ditamsilkan dengan sesuatu apapun dari intelek, maka pengomnikasian akanya tetap saja mustahil (inafiblity ). Meski demikian, pengalaman agama yang intuitif adalah sejalan. Karena itu pastilah selalu terbuka kemunkinan perasaan relijius itu dapat dimengerti akal.
Kelima, meskipun kaum sufi yang sedang berada dalam pengalaman mistik menyangkal kebaradaan waktu yang berturut-turut mereka tetap saja kembali kepada keadaan keadaan waktu berturut-turut itu meskipun kesan pasca pengalaman mistik itu tetap saja berlaku. Meski kembalinya pengalaman kenabian itu jah berbeda dengan sufi, namun keduanya tetap memberi pengaruh pada kealaman materi.
Pengalaman mistik itu memang tidak dapat ditangkap kesannya oleh penalaran. Pengalaman mistik itu adalah bersifat kerohanian. Bila kita dapat menerima hubungan rohani dengan akal dalam tinjauan psikologi modern, maka semakin yakinlah kita bahwa pengalama mistik itu nyata.m
James mengemukakan bahwa bisa saja dalam pengalaman mistik itu dapat saja berjumpa dengan setan, bukan Tuhan. Bukankah alat identifikasi untuk membuktikan itu tidak ada. ''Buah-buah itu bukan dikenal dari akarnya'' dia menganalogikan.
Teori Jamen mengemukakan bahwa pengalaman mistik agama adalah ruang yang dicari untuk memenuhi hasrat akan kesenangan yang nyata yang tidak dipengaruhi oleh desaka-desakan atau sifat-sifat duniawi yang mengecewakan. Mungkin James ingin menegaskan bahwa mistikus agama memilih pengalaman mistik karena skeptisme mereka akan alam materi yang tidak mampu memberi kepuasan untuk mengkspresikan keagamaan. Ini mengesankan pengalaman agama sebagai bentuk pelarian cara pengecut.
Iqbal sendiri mengakui ada aliran seni dan agama yang memberlakukan cara seperti ini. Namun dia menyangkal itu berlaku pada semua agama. Menurutnya agama hadir bukan untuk menjabab segala pertanyaan tentang sebab musabab gejala alam seperti fokus sains. Agama bertujuan meretas dan memberikan jalan bagi kemanusiaan dan alam supaya mendapatkan jalan kembali di mana jalan itu adalah tempat asli bagi manusia.
Agama tujuan memenuhi hasrat manusia yang alam materi ini tidak mampu menjawab segalanya. Hasrat keagamaan ini berbeda denga pengalaman seksual. Agama menyediakan fasilitas untuk menjawab pertanyaan atau rasa penasaran asli kemanusiaan.
Jika demikian adanya, maka akan tampak ketidak adilan agama: Agama hanya untuk sebagian penganutnya saja karena hanya beberapa orang itu saja yang dapat terpuaskan olehnya? Di samping itu, apakah jaminan yang membenarkan kesehihan pengalaman agama sebab tak terkomunikasikan pada orang lain dengan baik? Agama membuka peluang bagi siapapun untuk memasuki pengalaman mistik. Pertanyaan pertama terjawab. Pembuktian pengalaman relijius dapat diidentifikasi dari sikap dan tindakan mistikus setelah kembali dari pengalaman mistik. Pertanyaan kedua terjawab.
Iqbal: Filsatat Menguji Agama
Sering saya kemukakan bahwa sebab filsafat atau sains oleh para pemikir dan saintis muslim zaman keemasan bisa maju pesat karena mereka mengkaji sebuah produk yang telah matang, atau lebih tepatnya telah usai, yaitu filsafat Yunani. Kalau kita sekarang mengkaji filsafat Yunani secara penuh tentu akan melahirkan hasil sama persis seperti prestasi para filosof muslim sebelum kita itu, namun tidak begitu berguna kerena filsafat Yunani tidak relevan lagi buat zaman modern ini. Bahkan boleh jadi, bila kita yang mengkaji, makna pemikiran Yunani dapat semakin kabur, alasannya karena kita sedang menghadapi realitas yang jauh berbeda dengan sebelumnya. Padahal boleh jadi filsafat Yunani itu masih sangat besar perannya untuk masa sekarang ketika dijadikan salah satu rujukan disamping penemuan-penemuan setelahnya.
Bahwa penyebab tidak menjadi besarnya pemikiran Islam saat ini karena mereka merespon sebuah realitas yang sedang berproses (sains dan pemikiran modern) sehingga kita harus teguh berpegang pada pesan Al-Qur'an supaya tidak buru-buru meragukan Al-Qur'an ketika menamukan konsep sains yang bertentangan dengan Kitab Suci kita itu.
Kita diperintahkan Untuk menguji sains kembali bila menemukannya bertolak belakang dengan Al-Qur'an. Hasil kerja akal yang maksimal mustahil bertentangan dengan wahyu yang masih murni. Hasil kerja sains yang maksimal bila berseberangan dengan Al-Qur'an, Ibn Rusyd mengatakan, boleh jadi pemahaman kita terhadap Al-Qur'an yang keliru.
Melihat pergerakan sains yang begitu cepat, Nidhal menawarkan supaya kita memanfaatkan pengalan terbaik kita mengenai alam semesta, memahaminya dengan cara pandang filosofis, banyak membaca dan berusaha memahami Al-Qur'an, serta tidak melupakan sumber-sumber tradisional.
Apa yang disarankan Nidhal itu sebelumnya telah diinspirasikan oleh Iqbal sebelumnya. Dengan pemahaman dan keluasan wawasannya Iqbal mencoba mengkritisi semua konsep pemikiran sebelum dia, sejak Yunani hingga pemikiran mutakhir lalu selanjutnya dia membentuk pola pikirnya sendiri dengan mengambil dukungan bagian-bagian pemikiran yang mengarah pada pembelaan argumennya. Dia menjelaskan kritik dan dukungan terhadapnya dengan jelas.
Filsafat skolastik mengemukakan tiga argumen dalam menjawab soalan-soalan mengenai Tuhan yaitu. Kosmologis, Teologis dan Ontologis. Skolastik telah bekerja cukup luarbiasa dalam melahirkan tiga konsepsi ini, namun dalam dunia filosofis yang terbuka, artumen ini sangat rentan.
Argumentasi kosmologi skolastik menyatakan alam ini adalah sebab terakhir dari sebab musabab (kausalitas). Setiap akibat itu berdiri sendiri dengan hubungannya pada penyebab dan akibatnya. Sebab itu berhenti pada sebab terakhir yang tidak bermusabab lagi. Adanya penyebab utama yang hanya mengakibatkan, tidak dari akibat adalah menyangkan argumen sebab musabab itu sendiri. Keharusan wujud tidak seniscaya keharusan bebab akibat. Jadi dalil ini merobohkan prinsip bangunannya sendiri demana kalau dalil kausalitas tidak ada, maka wujud-wujud yang bergradasi itu tetap ada juga. Jadi buat apa dalil ini!
Argumentasi teologis juga kacau. Argumen ini menganggap Tuhan sebagai pengendali alam yang tanpaNya alam itu tidak bisa melakukan apapun. Dalam posisi ini Tuhan terlihat sebagai pengendali sistem-sistem rumit dari alam yang terpisah dari alam itu sendiri. Di sini fungsi Tuhan sebagai pencipta tidak ada hubungannya. Kalaupun dianggap Dia pencipta, maka Dia adalah pencipta sistem rumit yang asing darinya lalu berusaha mengendalikannya.
Argumen ontologis menyiratkan dalam diri kita melahirkan sebuah keyakinan akan satu Wujud yang absolut. Wujud itu tidak boleh dicari di alam sebab alam sifatnya berubah dan alam tidak dapat melahirkan persepsi akan wujud sebanding dengan cara kita. Karenanya, kita harus mencari sebuah lawan objektif yang punya idea tentang wujud sebagaimana persepsi kita.
Menjadikan alam Sebabai konsepsi suggesti akan adanya wujud mutlak tidaklah dapat diterima karena konsepsi itu sifatnya hanya asumsi saja. Konsepsi yang dibentuk dengan realitas objektif mustahil ada kesamaannya.
Argumen teologis dan ontologis hanya menjadikan yang wujud itu sebagai penggerak sebuah mesin mesin. Adalah mustahil idea dapat membuktukan wujud itu sendiri. Alam objektif yang darinya kita memperoleh pengetahuan sebenarnya juga bukanlah realitas alam itu sendiri yang kita pahami melainkan idea kita yang kita bentuk dari dalam diri kita.
Maka timbullah dualitas antara pikiran dengan realitas. Keduanya punya dunia yang berbeda atau berhadap hadapan. Maka mustahil realitas dikuasai pikiran karena dianya sama-sama independen. Oleh karena itu, Al-Qur'an menyatakan bahwa realitas dan pikiran adalah dua perlambangan yang dari realitas absolut.
Bahwasanya pengalaman menampakkan dirinya dalam tiga taraf yaitu benda (fisika), hidup (biologi) dan pikiran dan kesadaran (psikologi) dimana itulah sumber ilmu alam secara berturut-turut.
Fisika adalah ilmu alam yang obserfasinya meniscarakan penggunaan indera. Apa yang diakuinya ada namun tak terjangkau indera maka dia tak dapat menjelaskannya, misalnya atom. Ilmu alam diakui sebagai ilmu yang dapat diobserfasi indera, (agama dan estetika tidak diakui). Yang dapat diobserfasi itu seperti kursi, meja dan lemari. Namun bila ditanyai lagi apa yang dapat diobserfasi dari benda-benda itu maka kita akan mengemukakan sifat-sifatnya. Maka jelaslah akal hanya mengemukakan sensasinya atas alam, bukan alam itu sendiri. Sensasi itu hanyalah kesan yang diwujudkan akal, bukan realitasnya.
Awalnya seorang filosof bernama George Berkeley mengatakan bahwa akal kita mampu mengenal realitas apa adanya, manun belakangan seorang saintis ahli matematika, Prof. Alfret North Whitehead membuktikan bahwa materialisme seluruhnya tidak dapat diterima.
Langit biru misalnya, hanyalah sesnsali yang diciptakan pikiran. Karena itu segala pengetahuan kita terhadap alam hanyalah pengetahuan subjketif kita semata. Realitasnya berbeda sama sekali. Suara dan warna hanyalah gelombang ether yang tidak dapat diteliti yang masuk ke telinga kita. Maka pengakuan laporan fisika bahwa alam ini sebagaimana yang mereka teliti tidaklah dapat diterima. Alam inderawi hanyalah kesan atau sensasi semata. Realitasnya bukan begitu. Harun Yahya dalam Hakikat di Balik Materi telah menemukan pembuktian mutakhir dalam penelitiannya akan ketidaknyataan alam inderawi.
Pengetahuan manusia, klaim ilmu alam,yang mengaku benar-benar mengenal alam, mengutip istilah Whitehead, setengah impian dan setengahnya lagi dugaan. Karena itu, realitas adalah gejala Realitas yang berada di dalamnya. Albert Einstein telah mematah totalkan teori lama tentang fisika yang meyakini kekekalan materi dan kesubstansipokokannya. Dia memasukkan ruang bersama waktu sekaligus dan menyatakan alam ini bukanlah satu garis lurus yang konsisten namun perubahan terus menerus. Melalui teori relativitas dia mengemukakan bahwa alam benda-benda alam tidak berdiri masing-masing secara independen melainkan saling terikat dan bergantung satu sama lain seluruhnya. Fritjof Chapra telah menguraikan dengan baik perbedaan fisika klasik model Issack Newton dengan fisika modern Einstein.
Karena itu, Whitehead mengatakan alam ini tidaklah statis, dianya dinamis. Namun akal memecah mecahkannya menjadi satuan-satuan tersendiri, memilah-milah ruang dan waktu karena begitulah caranya mengenal alam.
Pandaan Newton meletakkan benda di dalam ruang hampa telah membuat dualitas antara alam dan pikiran. Hal ini sangat mudah dimengerti dan langsung diterima secara mutlak. Namun cara pandang seperti ini malah memberikan kesulitan dalam mengenal karakteristik alam sesungguhnya.
Apakah ruang dalam pandangan Newton akan tetap hampa bila benda ditarik keluar? Pendiri mazhab Stoisisme bernama Zeno telah mengemukakan bahwa gerak itu sebenarnya tidak ada. Menurutnya ruang itu tak ada habisnya dibagi-bagi. Maka gerak dalam ruang tidak mungkin. Badan yang bergerak harus melewati setengah ruang titik tolak ke ruang tujuan. Sebelum mencapai ke setengah tujuan, badan harus melampaui setengah ruang sebelumnya, demikian seterusnya hingga tak ada kesudahannya. Kita tidak dapat bergerak dari satu titik ke titik lainnya tanpa melewati setengah ruang yang tiada berkesudahan itu. Sebuah anak panah melewari satu titik setengah ruang yang tak berkesudahan saat meluncur sebab dia harus berhenti pada setiap titik. Karenanya, sebuah ruang yang berdiri sendiri itu sebenarnya tidak ada: gerak hanyalah sesasi dari pikiran.
Berbanding dengan itu, mazhab pemikiran Islam Asy'ariyah menganggap ruang, waktu dan gerak terjadi pada titik yang sangat kecil yang pembagiannya memiliki satu tidik berkesudahan. Bagi mereka benda yang dibagi-bagi semakin kecil itu berkesudahan sehingga memungkinkan adanya ruang sehingga gerak itu nyata ada.
Ibnu Hazm menolak pendapat benda-benda tiada berkesudahan kecilnya. Pemikir muslim ini dibenarkan matematika modern. Pemikiran Asy'ariyah tidak serta-merta dapat mematahkan paradoks Zeno. Filosof Prancis Henry Bergson dan Matematikawan Bertnard Russel telah berusaha mematahkan pemikiran Zeno. Menurut bergson, gerak adalah Hakikat yang pokok. Menurut Iqbal, kekeliruan Zeno adalah karena kesalah pahamannya tentang ruang dan waktu. Menurut Bergson, argumen Zeno hanyalah pandangan intelektual semata tentang gerak.
Zeno menyatakan ruang dan waktu adalah titik-titik dan detik-detik yang tiada berkesudahan. Dengan itu, karena dua titik itu, badan yang bergerak akan berada di luar tempat. George Cantor mengemukakan ruang dan waktu adalah berkelanjutan; diantara dua titik dalam ruang terdapat titik-titik yang tidak berkesudahan. Dari setiap titik yang tak berkesudahan itu tidak ada dua titik yang berdampingan satu sama lain. Ini artinya setiap titik saling terpisah dan terdapat di antaranya ruang kosong.
Russel telah membuktikan bahwa gerak itu ada. Namun titik yang tak berkesudahan itu bukan menandakan gerak sebagai tindakan melainkan gerak sebagai gambaran luar. Gerak sebagai sesuatu yang dialami, bukan yang dipikirkan tidak dapat di bagi-bagi.
Zeno yang cara berpikirnya matematis menerapkan sistem matematika pada realitas eksternal. Matematika memang tidak berkesudahan namun realitas itu memiliki ruang.
Bagi Einstein, ruang adalah nyata namun selatif bagi sipengamat. Tergantung posisi dan gerak si pengamat itu. Dia menolak konsep Newton yang menyatakan ruang itu absolut. Namun relativitasnya bukanlah pada idea atau persepsi si penatap melainkan pada sudut atau posisi pengamatannya. Karena itu manusia yang mengamati mudah saja digantikan dengan alat perekam.
Teori Einstein hanya menjelaskan struktur benda-benda namun tidak menjelaskan wataknya. Maka, Iqbal meyakini hakitkatnya tetaplah spiritual. Berkat teori Einstein, ruang ini tidak lagi dipandang sebagai 'materi' tetapi 'organisme' dan selanjutnya teori Kuantum dan Superstring semakin mempertegas kenyataan itu.
Tapi teori Relativitas malah mengesankan wakti itu tidak ada, dia hanya sebagai dimensi keempat. Dalam pandangan itu waktu adalah sesuatu yang telah tetap, masa lalu telah ditentukan. Waktu jadinya tidak berguna bagi teori ini.
Waktu yang semacam garis lurus adalah ideal bagi teori kausalitas. Namun Iqbal mengatakan waktu yang seperti ini bukanlah waktu lagi. Ouspenski dapat mengatakan waktu adalah dimensi keempat dari tiga dimensi ruang sehingga dapat memberi informasi peristiwa ke peristiwa bila alam itu objektif, manun akan tidak bisa bila kita merujuk kembali bahwa informasi terhadap alam hanya sensasi, bukan apa adanya.
Sejauh yang dapat saya pahami kesadaran adalah perlawanan terhadap hidup yang dengan itu kita dapat mengumpulkan kesan serta melewati momen demi momen. Kesadaran adalah sesuatu yang bukan material namun mengatur alam inderawi dengan cara yang berbeda dengan tukang mesin. Namun karena indera tidak dapat mengidentifikasi alam pembentuk kesadaran, maka pemahaman akannyapun hanya melalui istilah-istilah yang dipinjam dari hal-hal yang dapat diinderai, maka pemahaman akannya pasti kabur, jauh dari kenyataannya yang sebenarnya.
Pandangan Newton menganai benda-benda dan Charles Darwin mengenai tabiat benda benda alam mengesankan segala sesuatu makanistik. Segalanya termasuk watak, perasaan dan sebagainya dipandang secara mekanik, semua digolongakn bendawi (dan yang) mekanistik.
Maka apakah pandangan terhadap benda-benda yang dipahaminya melalui pemahaman persepsi pikiran dapat mengantarkan pada pengenalan hakikat; padahal pemahaman agama tidak sejalan dengan cara pandang itu. Agama mengenal hakikat dengan cara berbeda dengan ilmu inderawi. Apakah cara pahan seperti ini sains harus menyerah pada cara pandang mekanistik yang materialis?
Kita percaya pada sains sebab dianya dapat disepakati pemahaman akannya secara bersama, dianya objektif. Melalui sains kita dapat banyak mengambil manfaat. Namun kita harus mengingat bahwa jalan sains bukanlah satu-satunya jalan menuju pengenalan Hakikat. Sains hanyalah penggalan-penggalan pandangan atas Hakikat. Penggalan-penggalan itu terlihat tidak sesuai satu sama lain.
Sains membicarakan tentang alam, kehidupan dan pikiran. Tapi bila pertanyaan kenapa ketiga hal itu saling berkaitan, maka sains tidak dapat menjelaskan masing-masing itu secara terpisah. Setiap bidang sains memang mengusasi bidangnya masing-masing, tapi menurut Iqbal agamamemahami setiap bidang sains hingga substansinya. Jadi, sains mustahil membentuk suatu konseptentang Hakikat karena dianya adalah sepenggal bagian tertentu yang sangat sempit dan karena sifatnya relatif dan terbatas.
Misalnya konsep tentang akibat yang meniscayakan adanya sebab. Dalam ilmu sisika dibicarakan tentang organisme, bila dibentang konsep itu maka akan mengantarkan pada akal dan kesadaran yang merupakan luaran otoritas sains. Karena itu kita butuh sistem menyeluruh guna menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Kita dapat saja mengkaji secara mendalam konsep sebab akibat, namun bila dihadapkan pada pertanyaan tentang 'maksud' dan 'tujuan', maka sains tidak lagi mampu memberi jawaban dan bukan wewenangnya(sains).
Ibaratkan di sebuah pabrik mobil, Anda diminta mendeteksi siapa perencana, siapa pembuat dan untuk apa mobil itu di buat sementara Anda hanya mampu mendeteksi logam, maka mustahil Anda dapat memberi jawaban yang lebih memuaskan selain berkutat dari logam ke logam. Pikiran dan kesadaran manusia dengan segenap keunggulannya tidak mampu mendeteksi perancang cerdas dari keserasian dan keindahan alam semesta.
Stephen Hawking telah memberikan argumentasi konyol dengan menolak keberadaan pencipta alam semesta karena modal indera, intelek dan alat-alat teknologi tidak mampu mendeteksi sosok pencipta alam. Jangankan Sang Pencipta, kesadaran kita sendiri tidak mampu kita deteksi. Kesadaran, adalah superior dari segala yang disadari. Jadi menggunakan hal-hal yang dilingkupi kasadaran guna mendeteksi kesadaran itu sendiri adalah mustahil.
Kita mengaku dapat mendeteksi ruang tiga dimensi. Itu mungkin benar sebab kesadaran kitalah yang memberinya bentuk dan gerak. Selanjutnya kita mengaku dapat memahami 'waktu' dengan baik. Ini perlu dipertanyakan. Yang dimaksud waktu di sini adalah dimensi keempat. Jadi waktu dianggap adalah pemberi kesan atas persepsi inderawi menuju kesadaran. Kalau ini yang dimaksud dengan waktu maka pastilah kesan cepat atau lambat dipersepsi oleh beberapa orang dalam mengamati sebuah objek akan sama. Tapi nyatanya tidak. Beberapa orang boleh menunggu bus yang sama di halte yang sama, tapi setiap orang merasakan waktu yang berbeda.
Waktu itu murni dari dalam diri setiap orang, bukan atas pengaruh ruang. Jadi waktulah yang membentuk ruang, bukan sebaliknya. Teori semesta menggembung dalam astronomi modern mengatakan penggelembung alam itu adalah waktu. Jadi waktu selain membentuk ruang dari menurut pengamatan indera (teori astonomi tadi misalnya), sekaligus membentuk kesadaran sehingga kesadaran tu dapat mengsankan alam. Alih-alih kesadaran ingin mengamati waktu, malah kesadaran itu sendiri adalah dari waktu.
Francis Crick (Horgan, 2005) mencoba mendeteksi kesadaran manusia. Dia berusaha menjadikan kesadaran sebagai teori ilmiah. Saya pikir usaha ini ada untungnya. Namun nasibnya takkan jau berbeda dengan ilmu Psikologi.
Walau bagaimanapun Iqbal tetap mengakui adanya waktu empat dimensional. Dalam pemahaman saya alam adalah bentukan murni dari kesadaran, bukan sebaliknya kesadaran yang dibentuk oleh materi. Maka saya tidak dapat menerima adanya dimensi keempat yang disebut waktu. Waktu memang seperti apa yang dikatakan Bergson. Segala peristiwa masa lalu, kini dan akan datang adalah sesuatu yang telah selesai adanya. Manusia melewati masa lalu, menjalankan masa kini dan secara perlahan menghapiri masa depan yang telah usai itu. Iqbal tidak mempertayai takdir yang telah usai. Dia meyakini manusia punya kehendak bebas menentukan masa depannya. Sebagaimana manusia pula, semua gerak telah memiliki garis masa depannya yang tidak boleh diubah. Kebanyakan manusia meyakini kebebasannya menentukan masa depannya. Itu karena kesadarannya adalah berada dalam proses gerak itu. Padahal kesadaran itu sendiri adalah bentukan, bagian dari gerak yang telah memiliki kadar atau garis ketetapannya sendiri.
Usaha keras Iqbal untuk memberi keyakinan kepada kita bahwa kita berpeluang menentukan masa depan sendiri secara bebas patut dipuji. Tetapi semoga ini hanya sebagai usaha membuat masyarakat (utamanya muslim) pada masa itu yang sedang menghadapi kehampirputusasaan karena kuatnya kolonialisme supaya bangkit melawan penjajahan. Sebab, sangat disayangkan kiranya pemikir sekaliber Iqbal yang juga punya iman yang baik menolak banyak bukti dari sumber orisinil Islam bahwa Allah telah menentukan siapa yang dikehendakinya beriman dan siapa yang dikehendakinya tidak. Ada juga rieayat Nabi yang mengatakan bila memang seseorang telah ditakdirkan ke neraka, maka sebaik apapun ibadahnya maka suatu ketika dia akan melaksanakan maksiat dan dia berakhir dengan su'ul khatimah. Sebaliknya bila seorang telah ditakdirkan ke surga, maka walau seburuk apapun imannya, maka suatu kali dia akan diilhamkan amal kebajikan yang menghapus segala dosanya dan dia memperoleh husnul khatimah. Demikian pula garis alam semesta semuanya telah tetap dan tentu. Kita hanya makhlukh yang menjalankan peran sesuai dengan apa yang telah Allah tetapkan dan ketetapan Allah itu takkan berubah. Mungkin banyak cara lain untuk memotifasi semangat manusia dan kaum muslim untuk bergerak dan optimis, tetapi tidak baik mengotak-atik apa yang sudah pasti, ini termasuk hal sakral dalam agama
Kita telah menghadirkan alam sedemikian rupa melalui kesadaran kita.Kesadaran itu harus terus dijaga. Caranya adalah dengan mengamalkan semua perintah dan meninggalkan semua laranga. Perintah dan larangan ini diatur oleh sesuatu yang menjadi sumber utama kesadaran. Apabila perintah dan larangan diabaikan, berarti akan terjadi ketidaksejalanan dalam kesadaran.
Perintah dan larangan itu harus daru sumber kesadaran dan tidak bisa dibuat sendiri karena kesadaran terbatas pada masa kini, lupa untuk masa lalu dan kabur untuk masa kini.
Orang menolak takdir telah tetap karena kasihan orang yang telah beramal baik tapi akhirnya ke neraka bila telah ditetapkan sebagai ahli neraka. Sebenarnya kebaikan dan keburukan itu tidak ada. Yang ada hanya keserasian (menjalankan perintah, meninggalkan larangan), selanjutnya biberi gelar 'kebaikan dan melanggar keserasian (yang diberi belar: keburukan). Orang yang telah ditakdirkan di neraka bukan telah ditakdirkan 'berbuat jahat' melainkan tidak ditakdirkan menjalankan keserasian.
''Gerak adalah bukti ketidaksempurnaan'' kata Iqbal. Jadi Allah mustahil bergerak karena Dia sempurna. Tidak pula dia statis. Al-Qur'an menerangak Allah selalu sibuk mengus makhluknya. Allah tidak dapat disamai oleh makhlukNya. Tidak ada satupun yang menyerupaiNya.
Manusia bergerak pertanda ketidak sempurnaannya, bergerak menuju kesempurnaan. Gerak kolektif itu memiliki titik tertentu masing-masing. Di setiap titik itu disebut kebudayaan. Setiap bangsa memiliki budaya. Budaya itu dilaporkan melalui kesusasteraan, dibuktikan melalui bangunan dan diapresiasikan melalui tarian. Tarian adalah representasi terbaik dari gerak kolektif suatu masyarakat. Siapa yang punya tarian budaya terbaik dialah yang memiliki bukti bahwa mereka adalah masyarakat yang memiliki gerak kolektif terbaik, secara bersama, bahu-membahu menyongsong kesempurnaan Ilahi.
Konsep Tuhan Iqbal
Kalau sains dapat menjawab konsep penciptaan, maka hilanglah ruang bagi Tuhan. Demikian pikir kaum agamawan Eropa saat ini. Seiring sains mampu menjawab semua pertanyaan manusia tentang alam, masyarakat Barat semakin meninggalkan agama. Kekeliruan persepsi seperti ini karena bagi orang Eropa, agama adalah segala hal yang tidak atau belum dapat dirasionalisasi, agama adalah mistisme semata bagi masyarakat Eropa. Bagi mereka, pada hal yang belum tersingkap saja agama punya peran.
Semakin sains dapat menjawab pertanyaan manusia, semakin resah agamawan. Kenapa? Karena bila sains mengungkap semua, agama akan ditinggalkan. Sebagian agamawan resah karena tidak tega melihat manusia menjadi disorientasi. Sebagian lagi gelisah akan kehilanggan jabatan.
Saya melihat masyarakat Barat sering mengalami masalah dalam beragama karena mereka memaknai secara harfiah, secara konkrit bahasa agama yang simbolis. Adapun kekeliruan semua umat beragama dalam memaknai posisi sains dengan agama adalah karena mereka menganggap alam berhadap-hadapan dengan manusia. Juga, karena manusia mengira Tuhan menciptakan alam persis seperti cara kerja seorang mekanik: sementara posisi manusia dalam hal ini adalah sebagai pengamat. Cara pandang seperti ini dibentuk oleh logika Aristotelian yang telah berhasil mempengaruhi dua agama terbesar di dunia, Kristen dan Islam.
Teologi Kristen besar di bawah pengaruh St. Paul. Paul mengkonkritkan segala simbol Injil. Dengan pengaruh Paul agama memang menjadi masuk akal sehingga mudah diterima masyarakat Barat yang sangat rasionalis karena pengaruh logika Aristoteles yang telah mendarah daging. Dampak negatif dari rasionalisasi Injil adalah agama menjadi kehilangan ruhnya serta terpaksa harus terus menyesuaikan diri dengan keniscayaan perkembangan pikiran manusia. Parahnya lagi agama dipaksa harus selalu menurut pada kehendak sains.
Pemikiran filsafat Islam peripatetik tidak kalah malang nasibnya dari teologi Kristen. Aliran ini harus memposisikan manusia berhadap hadapan dengan alam, memposisikan manusiaa sebagai pengamat dari Tuhan yang sedang bekerja mencipta dan menjaga alam. Terhadap alam, manusia diposisikan via a vis dengannya sembari terus melakukan eksplorasi dimana hasil eksporasi itu disebut sains.
Aliran selanjutnya yang dicetus Stihabuddin Suhrawardi mengambil struktur peripatetik lalu membungkusnya dengan cahaya (bungkus dari peripatetik disebut intelek). Aliran ini tetap memposisikan hubungan manusia, alam dan Tuhan sebagaimana peripatetik.
Aliran sufi besar, Biyazid Bistami jauh lebih baik dalam menyikapi posisi ini. ''Pernah suatu waktu ketika Tuhan ada dan tak ada sesuatupun yang lain. Sama saja sekarang ini dengan waktu itu'' (Rekonstruksi, Tintamas h.75). Kutipan ini adalah dari ucapan seorang murid Bistami. Kalimat ini bermaksud mengatakan kebaradaan semua makhuk ciptaan adalah sama saja bagi Dia dengan makhuk semuanya tiada. Konsep ini menjadi pintu masuk bagi pahal Al-Hallaj. Pemikiran aliran Bistami memperlihatkan bahwa alam semesta ada sekaligus tiada, tiada sekaligus ada. Perguliran waktu seperti pemikiran logika tidak berlaku di sini. Sayang, aliran ini tidak memberi posisi yang jelas bagi manusia, bahkan tampaknya manusia disejajarkan dengan posisi makhluk-makhluk lainnya.
Aliran lainnya adalah milik Ibn Arabi. Bila konsepsi Bistami manusia yang naik menuju Tuhan, dalam pemahaman spiritualnya, aliran ini mempercayakan Tuhan turun ke dalam diri makhluknya. Maka diberinamalah konsep ini 'Wahdatul Wujud', karena semua makhluk dianggap sebagai perwujudan Tuhan. Konsep Arabi tetap saja memposisikan manusia setara dengan alam. Bahkan alam, manusia dan Tuhan disetarakan, dianggap sebagai satu konsepsi wujud.
Adalah Mansur Al-Hallaj yang telah mampu memposisikan manusia, alam dan Zat dalam posisi yang baik dari Arabi. Ketika dia mengakui manusia dan Zat adalah satu, dia tidak ikut menyeret alam semesta pada posisi yang sama.
AZTMN081Z Muhammad Iqbal telah lebih baik ketika dia mengakui bahwa realitas alam bukan diamati manusia secara per se. Dia berkata: ''Ruang, waktu dan materi itu merupakan penafsiran-penafsiran yang oleh pikiran dikenakan terhadap tenaga kreatif merdeka dari Tuhan. Ruang, waktu dan materi bukan merupakan realitas yang ada secara per se, tetapi hanya merupakan cara-cara intelek guna memahami kehidupan realitas'' (ibid, h. 74-75)
Iqbal, semua aliran pemikiran Islam sebelumnya dan pemikiran filsafat Barat modern sepakat bahwa alam ini adalah persepsi inderawi manusia sementara persepsi itu adalah dari energi ilahiyah yang disebut waktu..Untuk membuktikan hal ini, Al-Hallaj melalui kalimat kontroversialnya 'Ana Al-Haqq'' adalah yang paling jelas untuk membuktikan energi Zat sebagai sumber kekuatan manusia untuk menciptakan alam dengan cara mempersepsikannya, sementara yang paling jelas membuktikan bahwa alam ini adalah ilusi atau persepsi adalah Immanuel Kant melalui kalimatnya dalam 'Prolegomena to any Future Metaphysics': ''...seluruh pengetahuan melalui indera dan pengalaman tak bermaknah, bahkan hanya sekedar ilusi.''(Metafisika Iqbal, Yogyakarta: Pustaka Pelajar). Bagi Kant, yang kekal adalah 'konsep'. Tapi konsep yang dimaksud Kant itu tidak lebih baik dari 'waktu' atau energi yang kita maksud. Energi kita ini, yang menjadi semangat pengadaan alam adalah melampaui 'idea' Kant. Dia adalah Zat yang Satu yang tidak bergantung pada apapun. Tidak pula sesuatupun yang menyamainya. Dia kekal, tapi kekekalannya tidak seperti kekekasal sel atau organisme yang membutuhkan pergerakan untuk memperbaharui diri. Al-Qur'an menyebutkan Zat yang kita maksud ini sebagai berikut:
''Katakan, bahwa Allah Satu. Allah tempat bergantung. Tidak beranak dan tidak (pula) diperanak. Dan tiada sesuatu apapun yang menyerupai Dia''
Bila Zat kita itu tidak satu, maka semua tingkatan nalar akan sulit mempersepsikan alam ini sebagaimana adanya. Tempat bergantung maksudnya adalah dari Dia yang Satu itu saja energi yang menjadi potensi mempersepsikan alam. Dia tidak satu dalam tiga atau tiga dalam satu. Dia adalah Satu Mutlak. Segala konsep yang kita lahirkan untuk menggambarkan Dia, segala penjabaran dari FirmanNya yang menggambarcan ciriNya atau segala peristilahan yang disematkan kepada Dia tidaklah benar adanya. Dia, tidak akan pernah terimajinasikan oleh kita.
Memang Dia banyak mengistilahkan wujudnya. Misalnya seperti cahaya. Tapi segala sifat dan bentuk cahaya itu adalah cara supaya akal kita dapat membayangkannya, tapi Dia tidaklah seperti itu. Segala sifatNya seperti yang Dia firmankan sendiri juga sebagai cara supaya akal mampu mengenal Zat kita. Sebab akal manusia baru dapat mengenal sesuatu melalui sifat atau ciri cirinya (di samping bentuk).
Bencana besar akan menimpa agama ketika konsep mengenai substansinya (tuhan) dimaknai secara Harfiah. Filsafat Islam Peripatetik menggambarkan Akal Absolut yang berfikir melahirkan akal pertama. Akal pertama yang berfikir melahirkan pemikiran tentang penciptanya, tentang dirnya dan menghasilkan ciptaan. Dalam menafsirkan aliran filsafat ini, Islam tidak mengalami masalah pada substansinya karena mereka mengakomodir jalan pemikiran ini pada ranah filosofis. Ketika Kristen mengejawantah pola pikir ini, maka bencana besar langsung menghantam sunstansinya. Salah satu sebabnya saya kira karena Kristen terlalu serius menyikapi konsep itu.
Islam, sebagaimana dijelaskan Iqbal, memiliki tida cara pendekatan terhadap substansi agama. Pertama keyakinan atau doktrin, kedua pemikiran atau filsafat dan ketiga adalah penemuan sains. Kalaupun Islam berhasil mengembangkan pemikiran Yunani secara mandiri pada abad pertengahan, sekalipun penemuan-penemuan sains belakangan sangat sejalan dengan ajaran agama, substansi keberagamaan Muslim adalah doktrinal. Inilah yang disebut aqidah. Aqidah tidak dibentuk melalui pemikiran maupun penemuan, dianya adalah dokrin yang tertanam pada hatu setiap ummat Islam sejak dia masih kecil. Doktrin tauhid sangat mudah dsn kuat melekat meski pada bocah sekalipun karena dianya adalah fitrah bagi semua manusia. Tuhan Yang Satu, Esa, adalah penjelasan yang sangat simpel, rasional pada para filosof hingga anak-anak sekalipun.
Islam tidak mencampur aduk antara kajian ketuhanan filosofis atau yang disebut teologi dengan doktrin tentang wujud Allah yang dikenal denga aqidah tuhid. Imbas dari kebijaksanaan ini membuat agama Islam hingga saat ini menjadi satu-satunya agama yang masih perawan. Kitab Sucinya tidak terutak-atik, esensi doktrinnya tidak berbalik. Sementara filsafat (serta sains) hanya menjadi kontributor dalam langkah praktis kaum muslim. Filsafat menjadi kontributor bagi pemikiran dan sains menjadi kontributor teknik.
Menafsirkan bahasa agama yang sifatnya simbolis secara serampangan adalah suatu sikap yang keliru. Simbolisme tumbuh subur bahkan mengalir bersama darah ke dalam otak dan hati manusia masa lalu di Timur dan di Barat. Bahkan hingga saat ini, masyarakat India dan Jawa masih menjiwai karakter simbol. Para tokoh pewayangan dan dewa-dewa Hindu adalah perwujudan bentuk dari sifat masing-masing karakter. Sifat intelek manusia memang hanya dapat mengenal sesuatu melalui sifat. Sementara bentuk adalah penyematan bagi masing-masing karakter. Tokoh Ganesha misalnya, adalah sifat kacerdasan dan kejeniusan yang diberi bentuk manusia berkepala gajah.
Keunggulan manusia dibandingkan makhluk lain termasuk malaikat antara lain adalah simbolisasi. Bahasa adalah simbolisasi. Kata adalah perlambangan dari sesuatu, baik itu bensa, sifat, bentuk perbuatan maupun realitas lainnya. Ketika Adam diperintahkan menyebutkan nama-nama benda yang dengan kemampuannya itu diketahui sebagai satu ciri pengetahuan Adam, sebenarnya kecerdasan itu bukan kemampuan menghafal nama-nama yang telah di dikte oleh Allah, tapi pengetahuan yang diberikan Allah adalah potensi melakukan perlambangan atau pewakilan realitas ke dalam bentuk kata. Kita mewakilkan atau memperlambangkan benda bermesin yang bisa terbang dengan kata 'pesawat', misalnya.
Pelambangan selanjutnya semakin berkembang sehingga dikenal metafora. Metafora biasa digunakan bagi perlambangan sastra tingkat tinggi (maksudnya, puisi) dan agama. Contoh perlambangan tingkat tinggi ini misalnya banyak didapat dalam kisah Adam-Hawa. Pohon sudah lebih dari sekedar perwakilan dari sesuatu yang tumbuh dari tanah. Pohon adalah perlambangan sesuatu yang bermanfaat yang tumbuh dari 'tanah'. Tanah yang dimaksud bukan material yang menjadi tempat tumbunya pohon, melainkan sebagai simbol 'manusia'. Selanjutnya ular diibaratkan simbol kejahatan, tulang rusuk sebagai simbol keraguan dan lain sebagainya. Simbolisasi bahasa puisi dan agama biasanya karena sulitnya mewakilkan maksud dari keadaan-keadaan dan peristiwa mistik. Sekalipun, tidak dapat dipungkiri dianya tetap merepresentasikan keahlian manusia. Tapi sayangnya simbol-simbol itu sering hanya dapat ditangkap maksudnya oleh manusia pada waktu dan tempat yang terbatas. Bagi agama, akibat dari keterbatasan ini membuat ummat menjadi keliru dalam memahami orientasi dan tujuan agamanya. Akibat lainnya adalah munculnya multi tafsir yang menyebabkan seringnya pertumpahan darah, perang saudara.
Ketergantungan pada simbolisme sangat berbahaya bagi setiap agama. Agama yang benar bukannya subjektif atau konsesi pribadi semata, agama juga sebagai konsesi sosial. Smentara simbolisme itu sangat subjektif sebagaimana suatu produk karya seni.
Produk seni sering dijadikan media penyebaran pesan agama. Manusia menerima suatu informasi melalui indera adalah melalui rasa, bukan seperti rekaman kamera. Karenanya, hal yang paling mudah diingat dan yang paling membuat orang tertarik adarah sarana yang paling disukai untuk dijadikan instrumen penyampaian pesan khususnya agama.
Allah itu indah dan menyukai hal-hal yang indah. Hadits itu dianggap dukungan bagi seniman dan penyampai pesan agama untuk menjadikan instrumen-instrumen seni sebagai media dakwah. Illuminasi dan kaligrafi sangat ditekankan dalam penulisan mushaf, misalnya. Perlu diingat bahwa illuminasi dan kaligrafi itu sebenarnya hanyalah alat, bukan tujuan. Karenanya, alat bukanlah substansi. Maka, tidaklah berguna instrumen atau alat yang mengangkangi substansi. Nabi melarang pahatan dan lukisan yang bernyawa. Karena itu, adalah tidak benar menjadikan hal yang dilarang itu dikajikan instrumen penyiaran agama.
Saya melihat Wali Songo yang membenarkan wayang sebagai instrumen penyiaran agama itu juga keliru. Wayang itu patung, dilarang. Tapi dijadikan instrumen. Sekalipun para Wali itu punya ijtihad untuk membenarkan karena mungkin salahsatu pertimbangannya adalah karena lebih banyak manfaat daripada kerugiannya, tapi saya kira bila alatnya salah, tujuannya pasti tidak kesampaian. Praktik ini hampir sama dengan Rhoma Irama yang menggunakan seruling yang memang nyata disebut Nabi Saw. sebagai instrumen setan untuk dijadikan Bagian dari media dakwah.
Prof. Amir Zekrgoo mengatakan semakin besar sebuah kebudayaan semakin tinggi kualitas seninya. Ini sebagai bukti masyarakatnya sangat cerdas. Karenyanya, mereka semakin mudah memahami makna dibalik simbol berupa patung, lukisan maupun kata. Nabi Saw. melaknat penyair yang simbol mereka pakai tidak memiliki makna atau makna dibalik kata yang disimbolkan berpotensi menyesatkan orang lain.
Sebagaimana telah kita kemukakan di atas, ummat Hindu hingga menyembah ukiran karena mereka berhenti pada alat yang sejatinya dewa-dewa yang dipahat itu sebagai simbol-simbol dari sifat-sifat Tuhan Yang Sejati. Makanya, sangat berbahaya bahasa simbol itu. Saya kita, bahasa agama yang metaforis itu sangat sederhana mudah dipahami bila tidak ada akal licik yang memprofokasi. Agama Nasrani adalah korban dari kelicikan Paul (lihat Miswari, 'Garudaku Tangguh, Jakarta: PII ), 2011).
George Hegel (Jakarta: Teraju, 2005 h. xvi-xvii), sebagaimana diungkapkan Dr. Mudji Sutrisno dalam pengantar buku 'Nalar Dalam Sejarah' mengatakan filsuf idealis itu merumuskan sistem penalaran abstrak yang tesis dan anti tesisnya berujung pada Sang Idea Absolut, lalu oleh Karl Marx diputar balik menjadi penalaran konkrit yang berorientasi materi, menunjukkan pada kita, jangankansimbol bahasa agama, metodologi filsafat sekalipun, ketika diseret untuk kepentingan tertentu dapat menimbulkan bencana kemanusiaan yang luar biasa.
Sekali lagi, bahasa kitab suci sebenarnya sangat mudah dipahami asalkan dipahami secara telici dan menyeluruh. Kisah awal penciptaan manusia tiada mempersoalkan apakah manusia itu dari monyet atau bukan. Semua kisah dalam kitab suci orientasinya bukan memenuhi tuntukan Sejarah dalam akademi, tetapi bermaksud untuk membentuk pemahaman manusia yang utuh, yang tidak seperti orientasi akademik sebagai data semata, tapi untuk membentuk sikap atau tindakan.
Seperti yang saya katakan sebelumnya, kita tidak mencerap informasi secara pasif, makanya kita harus menyadari karakter mengetahuipun aktif. Perlu segenap elemen tubuh berperan aktif dalam proses mengetahui. Teori mutakhir mengemukakan manusia menghimpun pengetahuannya dengan indera melalui kerja otak. Otak kiri ngumpulkan informasi secara partikular dan otak kanan menghimpul partikular-partikular. Dalam proses ini, intuisi terus membentuk pengetahuan-pengetahun menjadi pemahaman. Karakter intuisi tidak sama dengan kerja otak kiri dan kanan itu. Intuisi memiliki potensi mengenal hal yang tidak partikular. Sekalipun begitu, hal yang tidak partikular itu untuk diketahui melibatkan otak dan segenap unsur tubuh lainnya, di mana di sini tidak ada lagi generalisasi badaniyah dan ruhiyah. Untuk mengenal Zat Absolut, segenap instrumen lahiriyah dan badaniyah harus dilibatkan. Shalat adalah sarana mengenal Zat Absolut karena dalah shalat kita menemukan keaktifan diri secara lahiriyah dan batiniyah yang tersatukan. Makanya, sufi dalam berzikir tidak hanya mengaktifkan ruhani tapi juga badannya dalam aktifitas yang dia rasa sesuai, seperti Rumi dengan menari dan Naqsyabandiyah yang menggerakkan bahu dan kepala. Doa, tanpa diiringi ikhtiyar melalui kerja badan, bukanlah doa.
Mengenal Allah baru bisa didapatkan melalui aktifitas keseluruhan sebagaimana di ungkapkan di atas. Pengenalan melalui penalaran hanyalah asumsi seorang filsuf saja. Tidak pula Tuhan dapat dikenal secara materialistik sebagaimana paradigma Barat hari ini. Iqbal, mengutip Rumi (Rekonstruksi Pemikiran Agama dalam Islam, Yogyakarta: Jalasutra, 2002 h. 157) mengungkapkan penemuanTuhan amal ibadah laksana seorang pemburu yang menemukan jejak tapak rusa. Mengikuti jejak-jejak itu pasti mengantarkan pada aroma bau rusa yang sebagai bukti lebih kuat bahwa rusa itu telah semakin dekat. Saya melihat maksud Rumi jejak-jejak itu umpama syariat (utamanya shalat) sementara thariqat adalah bau rusa itu.
Lebih dari itu, shalat yak aktif itu tidak hanya berhenti pada aktivitas milik gerak shalat semata. Shalat adalah inspirasi untuk melakukan aktivitas gerak yang lebih luas dalam aktivitas sosial. Supaya sosialita itu semakin dinamis, maka diharapkan semua yang terlibat dalam interaksi sosial itu mengambil 'inspirasi', bahkan 'modal dasar'. Karena itu, Nabi Besar tidak punya alasan bagi pelaku sosial aktif (laki-laki) untuk tidak ikut shalat fardhu berjamaah. Dalam Novel Dan Brown 'The Lost Symbol'' telah dijelaskan secara rasional bahwa setiap individu punya energi persepsi untuk fokus pengubah atau penggerak suatu hal. Dan semakin banyak individu yang berkumpun untuk memfokuskan satu hal yang sama, pengarunya menjadi semakin besar. Sayang, ilmu psikologi belum dapat mempejari secara objektif mengenai kondisi kebatinan. Sekalipun demikian, pembuktian kebaikan tubuh melalui shalat telah banyak membuat cengang ahli medis.
Shalat jamaah, secara psikologi sosial memiliki efek yang luar biasa. Lihatlah bagaimana manusia disamakan: tidak ada Arab dan persia, kaya dan miskin, hitam dan putih. Semua ruku' dan sujud menghadap satu arah yang sama. Tujuan tertinggi Islam adalah membangun sebuah peradaban yang di mana di sana tidak ada kasta dan derita. Siapa yang baik dialah saudara, sementara yang buruk adalah musuh semua. Sedari awal Nabi Saw. telah mengingatkan kita bahwa yang paling mulia adalah yang bertakwa. Hubungan darah bisa putus dengan seketika bila ada yang keluar dari iman yang sama. Nabi telah menyerukan bahwa ahlul bayt beliau adalah siapa yang mengikuti dua peninggal: Al-Qur'an dan Hadits.
Pustaka:
Chapra, Fitjof, The Toa of Physic, Yogyakarta: Jalasutra, 2009
Miswari, Garudaku Tangguh, Jakarta: PII Press, 2011
Iqbal Muhammad, Pembangunan Kembali Alam Pikiran Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1978
Iqbal, Muhammad, Rekonstruksi Pemikiran Agama dalam Islam, Jakarta: Tintamas, 1986
Iqbal, Muhammad, Pembangunan Kembali Alam Pikiran Islam, Yogyakarta: Jalasutra, 2002
Horgan, John, The End of Science, Jakarta: Teraju, 2005
Saran:
http://www.youtube.com/watch?v=XL30W1kvmiI
http://www.youtube.com/watch?v=Pcm7aqz3hI0
Tidak ada komentar:
Posting Komentar