Tergerak kembali untuk mendudukkan persoalan bahwa filosof itu berbeda jauh dengan pembelajar filsafat. Seorang filosof adalah dia yang alami dilahirkan oleh alam. Akal yang dia miliki digunakan untuk merenungkan apa saja persoalan yang 'muncul' maupun yang 'dimunculkan'. Sementara pembelajar Filsafat mempelajari dan meneliti hasil-hasil pemikiran, cara-cara berfikir filosof. Cara berfikir dan buah pikir itulah diteliti dan dikaji. Ada pula diantara pembelajar Filsafat yang menjadikan cara berfikir dan buah fikir filosof untuk menyusun sebuah teori baru atau menanggapinya, tapi hasil karya ini tidak dapat dikatakan karya filsafat yang murni karena tidak bisa melepaskan diri dari disiplin akademis yang terbatas dan banyak aturan anehnya itu.Hal ini bertentangan dengan filsafat yang mengkaji segala wujud tanpa dikekang aturan manapun. Bagi saya, Mulla Sadra adalah representasi dari yang dimaksudkan ini.
Untuk penjelasan, yang 'muncul' maksudnya adalah segala sesuatu yang hadir dari intuisi atau akal murni. Sementara yang 'dimunculkan' adalah kesimpulan dari pencerapan-pencerapan akal praktis atas informasi-informasi dari indra.
Sementara yang dimaksud dengan 'wujud' adalah segala sesuatu yang dapat dimunculkan akal. Tidak persoalan dianya itu empiris atau tidak. sesuatu disebut empiris bila dapat ditangkap indra sebab memiliki eksistensi. 'Eksistensi' pula harus dipersoalkan karena bila dianya tidak eksis bagi indra namun eksis bagi akal. Namun ahli Filsafat sepakat hal-hal yang eksis bagi akal saja, tidak bagi indra disebut 'esensi'. Bagi Aristoteles, esensi adalah jiwa daripada segala eksistensi.
Cara berfikir filsuf memang sulit dipelajari orang lain karena dia melahirkan cara (atau sistematika) berfikir yang lahir dari reaksi atas persoalan yang dihadapi. Oleh sebab itu, sangat sulit bagi pembelajar metodologi berfikir filsuf untuk memahaminya karena bukan mereka yang menghadapi persoalan yang dihadapi seorang filosof. Oleh sebab itu, muncul pertanyaan dari seorang yang baru mula-mula belajar Filsafat, apakah kajian tentang wujud yang dilakukan para filosof hanya berkutat pada cara penyampaian serta bahasa yang digunakan dalam melihat satu wujud? Ada pihak yang membenarkan pernyataan ini, alasannya adalah wujud yang dibicarakan setiap filsuf adalah sama, namun karena cara, rumusan serta bahasa yang digunakan untuk menjelaskan wujud sangat berbeda karena sangat-sangat subjektif. Wujud yang dikenal di dalam kesadaran atau disebut juga di dalam akal murni atau intuisi filsuf dan sufi halikatnya adalah sama. Namun sufi memilih mengekspresikan kesannya melalui tindakan semenatara filsuf memilih jalur bahasa karena merasa bertanggung jawab untuk membagi pengetahuan. Terkesan sufi hanya mementingkan diri sendiri sementara filsuf ingin berbagi, tapi perlu kita pertimbangkan juga bahwa sufi juga berusaha membagi kesannya itu melalui amalannya dan mengajarkan yang lain untuk ikut memiliki kasan wujud itu melalui praktik-praktik seperti yang ia lakukan.
Karena keterbatasan bahasa untuk mengungkapkan wujud yang ada di dalam akal murni, maka seorang sufi bernama Qadi Qadan menggubah puisi "Tinggalkan tata bahasa dan sintaksis, aku merenungkan kekasih." Yang dilakukan Qadan jauh lebih baik karena memang bila wajud yang akan mengalami distorsi dan salah paham itu bila di ungkapkan, maka akan berakibat fatal, persis seperti yang dialami Al-Hallaj. Sepuluh tahun akhir di hidupnya Friedrick Nietzsche memilih diam seperti yang diserukan Qadan.
Jalan para filosof memang diakui banyak kalangan terlalu rumit, namun ada yang mencoba membela pernyataan itu dengan mengatakan bahwa sesuatu yang dipikirkan dengan rumit akan dapat diamalkan dengan mudah. Sementara bila dianya tidak dipikirkan dengan susah-payang akan mengalami kerumitan dalam pelaksanaannya. Cara berfikir filosof serta ibadah mereka dapat diperbandingkan dengan cara beribadah sufi serta cara berfikirnya dapat dijadikan analisa pertimbangan. Dan saya kita keduanya ini mendapatkan dukungan dari Al-Qur'an dan Hadits.
Wijud terus-menerus dikaji para filosof serta tidak pernah menggunakan disiplin berfikir tententu adalah bukti bahwa filsafat memang tidak berurusan dengan persoalan-persoalan teknis dan dinamis. filsafat harus konsisten membicarakan wujud dan jangan membicarakan hal-hal yang bersifat dinamis seperti sains karena kalai tidak filsafat tidak layak lagi disebut filsuf. Filsafat berhak menjadikan sains atau disiplin tertentu dari sains sebagai objek kajiannya, namun dia tidak boleh menggunakan cara berfikir saintis.
Sia A ada (maujud), si B ada. Sia A dan si B disebut berbeda karena antara keduanya ada seseuatu yang disebut 'jarak'. Dan jarak juga maujud. Maka si A dan si B adalah satu sebab jarak yang membuat si A dan si B berbeda juga adalah wujud. Jadi tidak ada tiga persona atau objek di sana ( si A, si B dan jarak), yang ada hanyalah wujud. Substansi konsep wujud menerangkan bahwa segala sesuatu dapat disebut berbeda setidaknya karena adanya jarak (ruang), waktu, potensi, prediket dan kondisi. Dan segala "pembeda" itu hanya muncul pada akal praktis, sementara pada hakikatnya semua pembeda itu juga adalah wujud dan ini artinya segalanya adalah wujud yang satu di mana akal praktislah yang memaksakan untuk mengesankan wujud untuk diklasifikasi. Padahal, akal itu sendiri adalah wujud juga?
Oleh karena itu, Immanuel Kant menggolongkal akal kepada akal murni dan akal praktis. Akal murni adalah akal yang berurusan dengan penalaran dan pengklarifikasian. Dan bila kita akal itu sendiri adalah wujud, maka akal juga adalah satu dengan segala yang wujud, sehingga tidak satupun yang dilahirkan akal itu mutlak dan absolut. Oleh sebab karena Tuhan tidak mungkin dijangkau akal praktis.
Debat yang mempersoalkan manusia berkehendak atau tidak tergantung pada "pembagian" akal. Manusia dapat dikatakan berkehendak bila tinjauannya adalah akal murni. Sementara manusia diyakini tidak memiliki kehendak sama-sekali karena sudut pandangnya adalah akal praktis yang memang sifatnya tidak mampu menjangkau apa yang menjadi pekerjaannya yaitu mengkaji wujud.
Abu Hamid Al-Ghazali dari awal sudah menyatakan bahwa Tuhan memang tidak mampu di identifikasi memalui akal (praktis). Oleh karena itu, dia menyerukan apresiasi pengenalah Wajib Wujud melalui akal murni atau disebutnya qalb.
Kalangan sufi (mengaku) memikili ilmu laduni karena mereka telah berhasil menemukan Wajibul Wujud. Konon, kepemilikan akal hal ini umpama berdiri di mercusuar pengatahuan sehingga segala pengetahuan praktis dapat dipahami tanpa melalui indra dan penalaran. Logika yang dipakai: sebab akal praktis adalah pengejawantahan dari akal murni.
Menurut Muhammad Iqbal, kata ruh yang diistilahkannya dengan khudi (self) atau ego, sebagai dicantumkan dalam Al-Qur'an: 85 bukanlah makhluk sebagaimana ciptaan (khalq). Namun dia adalah amr. Karena segala ciptaan terbatas dan ruh itu bukan ciptaan,maka alasan ini memungkinkan kebenaran bahwa akal murni memungkinkan menjangkau Wajibul Wujud.
Syed Muhammad Naquib Al-Attas mengemukakan, akal, hati dan jiwa adalah pengejawantahan dari ruh, maka thesisnya membenarkan pernyataan di atas bahwa akal praktis adalah pengejawantahan dari akal murni. Maka saya mencoba menarik kesimpulan bahwa ruh, ketika berurusan dengan penalaran atau pemikir praktis maka dianya akan terbatas. Karena itu, slogan yang tepat untuk semboyan idi adalah "aku ada maka aku berfikir" bukan sebagaimana yang disampaikan Rene Descartes "aku berfikir maka aku ada".
Karena yang dianggap wujud adalah segala yang mampu diciptakan akal baik dia hasil intuisi, pemikiran maupun khayalan, maka perlu bagi kita untuk mengenal jenis-jenis wujud. Dan segala pembagian wujud itu lahir dari bagaimana akal membedakan segala wujud.
Untuk memecahkan persoalan ini kita membutuhkan ilmu Logika. Uniknya, setiap pembahasan mengenai Logika selalu harus diawali dengan pertanyaan-pertanyaan rumit yang terkesan mudah namun "menjebak". Misalnya pertanyaan: mana yang dahulu muncul, kata atau makna? Kebenaran pernyataan ini tergantung sejauh mana kita mampu memberi penalaran atas jawaban yang diberikan. Namun Dr. Muhsin Labib menyimpulkan kata terlebuh dahulu muncul, sementara makna adalah penjelasan atau penjabaran dari pada makna. Dia mengurutkan latar-belakang lahirnya sebuah kata sebagai berikut: ada--apa--substansi--prediket--persona(hal)--konsep--kata. Setelah akal menemukan objek, objek itu diidentifikasi sehingga melahirkan makna, lalu diferifikasi sehingga memiliki identitas yang membedakannya dengan kesan yang telah pernah ada di akal sebelumnya sehingga menjadi independen untuk selanjutnya dilegalisakikan atau "dipatenkan" agar dapat di transformasikan dengan simpel dan praktis. Bila kata tidak ada, maka, menurut Dr. Muhsin, kita harus menghadirkan segala wujud ke hadapan orang yang dikomunikasikan.
Namun saya kira penafsiran juga adalah penginformasian secara sistematis atas latar belakang sebuah kata yang ditafsirkan itu. Jadi, mana duluan kata atau makna adalah persoalan pengistilahan. Maksudnya, tergantung juga bagaimana kita menyepakati arti kata 'makna' itu sendiri.
Pernyataan "semua pernyataan memerlukan bukti agar dianya dapat disebut ilmiah dan logis" harus dikritik dengan mempertanyakan apakah "alat" atau metodologi yang digunakan untuk membuktikan pernyataan itu". Alat mengkaji alat pembuktuan juga harus dibuktikan keabdahannya juga. Demikian seterusnya. Pernyataan inilah yang membuat Immanuel Kant tergerak untuk mengkaji alat berfikir dan alat oengkajian itu sendiri yakni akal. Kesimpulannya mengenai hal ini adalah, akal murni yang digunakan sebagai alat berfikir dan menalar juga bermasalah. Akal praktis adalah juga termasuk wujud sehingga mustahil mengenal wujud. Penalaran dan pendefinisian adalah pekerjaan mereduksi. Karena segala sesuatu yang direduksi telah mengalami degradasi, maka yang terjadi adalah lepasnya segala yang didefinisikan dan dinalar dari hakikat aslinya. Sehingga, segala hal yang mampu diidentifikasi akal bukanlah kebenaran, segala itu adalah pembenaran. Karena dia itu pembenaran, maka selalu relatif dan pastinya selalu terbuka kemungkinan untuk dimaknai beda oleh akal yang lain. Karena Tuhan tidak mampu di identivikasi oleh akal praktis, maka apapun yang mampu kita kesankan, bayangkan atau khayalkan, maka itu bukan Tuhan.
Untuk melepaskan diri dari persoalan kritik atas instrumen pembuktian, Logika membela diri dengan merumuskan dua pembagian Logika, yang satu dinamai Logika Swa Bukti dan saunya lagi di sebut Logika yang memerlukan bukti. Alasanya adalah apabila tidak menjadikan logika swa bukti sebagai fondasi, maka tidak ada satu halpun yang dapat dijadikan objek pengkajian dan semua ilmu harus ditolak dan dihapuskan. Alasan ini saya lihat persis seperti seekor burung unta yang memasukkan kepalanya ke dalam pasir. Burung itu menganggap permasalahan akan selesai dengan cara seperti ini atau memang pasrah?
Logika seperti ini persis seperti hukum kausalitas yang dibangun para Teolog untuk mengidentifikasi keberadaan Tuhan. Sebagaimana yang dikritik Iqbal, hukum kausalitas sebenarnya menolak dirinya sendiri dengan menyatakan adanya pengebab utama dari urutan sebab akibat. Namun bila menerima bahwa semua dari hasil pemikiran dan penelitian adalah pembenaran, bukan kebenaran, maka logika swa bukti "tidak akan diganggu". Aerta harus diakui Logika tidak logis.
Akal praktis dalam "mereduksi" wujud selain dirinya mencari kontradiksi atas wujud-wujud untuk dapat menjadi kannya pengetahuan. Bila tidak, akal itu sendiri tidak akan dapat menemukan apa-apa dan dia sendiri akan kehilangan esensi karena kehilangan fungsi dan menjadi satu dengan wujud-wujud lain. Seperti rumus Mtematika, misalnya, "untuk mengetahui 2n adalah genap, maka tunjukkan 2n adalah ganjil".
Untuk menemukan perbedaan wujud-wujud, maka dirumuskanlah delapan syarat lahirnya kontradiksi, yaitu kesatuan-kesatuan: (1) wujud; (2) prediket; (3) tempat; (4) waktu; (5) aktus dan potensi; (6) bagian dan himpunan atau universalia dan himpunan; (7) kondisi, dan terakhir; (8) relasi. Menurut Dr. Muhsin Labib, Mulla Sadra menambahkan satu kesatuan lagi yaitu kesatuan prediksi. Hal ini dilakukan Sadra karena ketika dia hendak mengklarifikasi sejumlah istilah yang disalah pahami (sulit dibedakan) oleh orang lain. Namun seorang pembelajar Filsafat mencurigai penambahan ini adalah strategi Sadra untuk menutup selah kritik atas konsep-konsep.
Mentra 58, 29 Mei 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar