Link Download

Rabu, 23 Maret 2011

Konsep Takdir Teologi Klasik

Teologi, Filsafat dan Tasawuf, adalah tiga disiplin yang mempunyai beberapa kesamaan. Kesamaan yang paling menonjol diantaranya adalah ketiganya mempunyai ruang konsentrasi untuk mengkaji tuhan.

Metode yang ditempuh ketiganya berbeda dalam mengkaji Tuhan. Teologi melakukannya dengan melalui analisa teks wahyu. Filsafat berangkat dari keraguan akal dan tasawuf dengan cara merasakan kehadiran-Nya melalui tindakan aksi.

Ketiganya memiliki masing-masing kelebihan dan kekurangan tertentu. Teologi hanya mampu menjelaskan Tuhan melalui apa yang Tuhan informasikan sendiri melalui wahyu dan tidak merasakan kehadiran Tuhan. Namun Teologi akan terhindar dari kekeliruan konsep akan Tuhan. Sementara filsafat selain berpotensi keliru juga miskin cita rasa akan kehadirannya. Meski begitu, filsafat punya argumen yang kuat dalam mempertahankan argumen rasional tentang konsep ketuhanan. Tasawuf dapat memberi kenikmatan akan kehadiran Tuhan meski sumber kenikmatan itu berpeluang datangnya dari setan serta tidak mampu memberi penjelasan akan "Tuhan" itu sendiri.

Teologi Islam berkutat pada perdebatan antara dua aliran besar yang, padahal, berawal dari perpecahan politik: Qadariyah dan Jabriyah. Aliran Qadariyah menganggap manusia punya kewenangan penuh atas keputusan dan tindakan yang diambil dan Allah hanya menjadi sebagai fasilitator terhadap kebijakan itu. Sementara aliran Jabariyah menganggap manusia tidak punya kuasa apapun dalam memutuskan segala sesuatu. Aliran ini melihat segala keputusan dan tindakan manusia dikendalikan oleh Allah keseluruhannya.

Allah SWT yang Maha atas segala sesuatu ketika menciptakan segala sesuatu telah tau segala potensi ciptaannya. Dan karena kekuasaannya pula, segala ciptaanya-Nya sudah dikehendaki dan diketahui segala apa yang akan terjadi dan yang akan dilakukan makhlukNya.

Allah sudah tau Azazil akan ingkar untuk bersujud menghormati Adam. Ketika Allah menghendaki menciptakan Azazil, maka segala potensinya sudah berlaku bersama "niat" penciptaan itu. Jadi segala tindakan Azazil adalah berdasarkan potensinya. dan potensi itu berada bersama penciptaannya tanpa terpisah satu sama lain. Demikian Azazil, demikian pula semua ciptaan Allah yang lain. 

Pemikiran aliran yang menyatakan manusia berhak menentukan segala keinginannya hanya efektif untuk memotivasi manusia untuk semakin serius beribadah dan mengejar cita-cita. Kita memang selalu merasa nyaman dalam kebohongan daripada sedikit bersusah payah dalam kebenaran.

Kita memang sulit menerima kebenaran dan selalu merasa diri berkehendak dalam menentukan tindakan kita. Kita lupa bahwa kehendak, keputusan dan pikiran kita ditentukan oleh potensi yang ada dalam dirikita dimana potensi itu adalah manunggal dengan "diri" itu sendiri.

Dalam mengkaji Kitab Suci, kita lebih suka menafsirkannya sesuai keinginan. Bukan mengkaji Kitab Suci untuk memahami maksud dari Kitab suci itu sendiri. Sehingga meski Kitab Sucinya satu, selalu multi tafsir.

Demikian pula dalam melihat dunia. Kita selalu ingin dunia yang kita lihat sesuai dengan keinginan kita. Bukan melihat dunia apa adanya.

Kalau teologi Islam masih saja berkutat pada persoalan Jabariyah dan Qadariyah, peradaban Islam akan semakin mundur. Peradaban itu lahir dari kebudayaan-kebudayaan yang tangguh. Kebudayaan yang tangguh adalah efek dari tingginya ilmu setiap individu. Ilmu kita harus semakin dinamus dan progresif serta mampu menjawab segala persoalan ummat. Untuk mendukung dan menjaga progresivitas Ilmu, kita perlu sebuah perisai tangguh yang dapat menjaga dan membantu mengembangkan progresivitas kajian keilmuan. Perisai ini kita sebut Teologi. Teologi juga harus dapat dijadikan sebuah visi atau paradigma keilmuan. Bila Teologi Islam masih saja berkutat pada masalah-masalah yang tidak jelas ujung pangkalnya itu, maka perkembangan ilu Islam hanya sebatas impian dan imajinasi.

Mentra 58. 23 Maret 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar