Link Download

Rabu, 23 Maret 2011

Kritik Metafisika dan Posisi Al-Qur'an

Bagaimana kita membangun sebuah teori? Seperti apa cara kita memandang sebuah realitas? Sampai bilakah teori kita bertahan?

Mengingkari subjektivitas samadengan mengingkari semua pengetahuan manusia yang telah dibukukan dan telah diterapkan. Subjektivitas yang saya maksudkan adalah buahpikir atau gagasan dari seseorang. 

Tuhan kita tidak menciptakan sesuatu apapun dalam bentuk yang sama. Tidak bulir-bulir salju, tidak loreng harimau, tidak sidik jari manusia, tidak pula pembentuk atom. Tidak ada kembar identik yang sama.

Ketika Tuhan ingin berbicara, Dia berbicara melalui makhluk-makhluk-Nya di alam semesta. Dan ketika manusia ingin menyampaikan pesan penting, Dia akan hadir melalui Ruh-nya yang ada disebut akal manusia. Kalam Tuhan akan hadir melalui akal yang selalu mengingat-Nya, mengingat segala ciptaan-Nya baik selagi dia berdiri, duduk bahkan saat dia berbaring.

Belakangan ada teori yang mendewakan hingga mengabsolutkan metode induktif sebagai cara mencari sesuatu yang mereka sebut "kebenaran objektif". Mereka mengharuskan segala teori berdasarkan indikator tertentu yang disepakati bersama. Karena indikator itu niscaya, maka lolos tidaknya sebuah argumen menjadi ilmu melalui teori. Maka ilmu ditentukan konsensus! Ilmu dan kebenaran bukanlah politik demokrasi atau sistem poling yang menentukan sesuatu benar atau salah menurut suara mayoritas.

Sangat banyak sebuah gagasan brilian dan cemarlang berawal dari pencetusnya dianggap gila. Sokrates, Muhammad Saw, Galileo Galilei, Friedrick Nietzsche dan Albert Einstein adalah beberapa diantaranya. Untungnya nama-nama di atas terbuktikan kebenarannya oleh waktu dan pengalama manusia merasakannya. Ini salahsatu yang patut kita syukuri.
Untungnya teori-teori mereka terselamatkan karena ada sebagian kecil mereka yang hidup di tengah-tengah para penemu itu dapat dipahami dan diapresiasi oleh mereka hingga buah pikir-buah pikir itu terselamatkan dan dapatlah manusia tersadarkan oleh kebenaran.

Kalau filsuf adalah orang yang berjasa menurunkan puisi para penyair hingga siap untuk bisa menjadi sajian renyah bagi awam, maka Umar bin Khattab dan Aristoteles adalah "filsuf" yang berjasa menurunkan kehendak Tuhan ke dalam aturan-aturan hukum Fikih dan hukum alam semesta sehingga kita mampu memahami pesan yang tinggi dan tak terpahami bila kita langsung yang mencernanya. 

Positivisme adalah teori yang paling keliru sepanjang sejarah gagasan dan Ilmu Pengetahuan. Wittgenstein dan Hume adalah dua diantara sekian tokoh pendukungnya. Mereka lupa bahwa setiap ide maupun gagasan yang dibukukan sehingga menjadi sebuah teori semuanya lahir dari sesuatu yang bukan materi. Semua ide dan gagasan bentuknya adalah matefisik. Lalu positivisme datang dan melarang Metefisika sebagai bagian basis Ontologi. Ini benar-benar aneh dan tidak masuk akal. 

Sebuah teori memang tidak akan berguna bila tidak mampu menjadi solusi bagi khalayak. Bila tidak, teori itu hanya akan memuaskan kegelisahan intelektual filsuf. Namun bagaimana bila teori itu tidak sanggup dan dapat diterima akal epistemolog? Apakah teori itu mudah saja dimasukkan keranjang sampah?

Dalam hal ini, kita memerlukan beragam jalur epistemologi untuk memfalsifikasi teori. Bagi epistemologi yang masih fanatik terhadap, dan masih bercirikan: objektivisme dan materialisme, akan menjadi musuh besar bagi kebenaran. Seperti yang dikatakan Karl Popper (2008: 32), kebenaran sebuat teori bahkan tak sebatas harus melalui pengujian ilmiah. Dianya harus juga dapat dibuktikan melalui pengalaman. Pembuktian kebenaran sebuah teori melalui pengalaman kadang kala membutuhkan proses waktu yang panjang di mana pernyataan sebuah teori harus menunggu kondisi yang tepat untuk terjadinya kondisi seperti yang surah dalam teori.

Adakah semua teori itu adalah sebuah kerangka yang utuh secara keseluruhannya? Karena kalau sebuah teori adalah sebuah kerangka yang utuh, maka bila suatu pengujian telah membuktikan dianya salah maka harus begitu saja dibuang ke dalam keranjang sampah. Apalagi saat ini kita sangat miskin sudut pandang Epistemologi. Namun Epistemologi kita "kaya warna" maka meskipun sebuah metode mengingkari metode itu, maka mungkin pendekatan Metodologi yang lain dapat memaklumi atau bahkan menerimanya.

Semua ide bisa jadi berawal dari text book. Tapi text book itu selalu hanya menjadi motivasi dan sumber inspirasi. Namun ide-ide yang baru selalu datang saat perenungan yang selalu berkaitan dengan alam semesta. Alam sifatnya selalu jujur dan apa adanya. Jadi setiap ide dan gagasan, seburuk apapun dia, selalu memiliki ruang kebenaran. Karena itu, adalah kejahatan besar bila serta merta kita membuang sebuah teori hanya karena telah gagal diuji oleh suatu metodologi tertentu. 

Adalah tugas kita untuk selalu mengkonservasi semua literatur yang telah dianggap usang oleh sain modern dan saya yakin pada ruang watu dan metodologi lainnya gagasan-gagasan itu akan sangat berguna dan dihargai. Terusterang saya kecewa dengan pemikir awal Masehi yang serta merta membuang text Injil asli dan memberdayakan injih hasil penyesuaian dengan Logika Yunani saat itu.

Kita mungkin perlu mempertimbangkan posisi Metafisika sebagai bagian dari sumber Ontologi, objek kajian Filsafat Ilmu. Metafisika Islam, terutama saat berbicara mengenai tema-tema kentang konsep Tuhan, maka Allah yang mengakui dirinya sebagaimana yang ditegaskan dalam surat Al-Ikhlas (Iqbal, 1986) tidaklah sama seperti tuhan yang disebutkan dalam kitab-kitab Perjanjian atau Kitab Suci agama lain (Al-Attas, 2005).

Sumber Metafisika Tuhan (Allah) dalam Al-Qur'an telah terbukti kebenarannya melalui banyak metodologi pembuktian ilmiah (Yahya, 2003). Sifat Al-Qur'an tidak sama seperti sebuah buku bunga rampai yang mudah saja masing-masing temanya dipisahkan satu sama lain. Al-Qur'an hingga setiap kata-katanya memiliki keserasian yang begitu luar biasa sehingga satu kata atau satu ayat pun tidak boleh dikaji secara terpisah. (Shihab, 2007). 

Sebab itulah metode Hermeunetika tidak tepat digunakan untuk mengkaji Al-Qur'an. Inilah bagian dari alasan kenapa dalam banyak surat dari Al-Qur'an, saat sedang berbicara satu persoalan, (terkesan) tiba-tiba beralih membicarakan kasus yang lain. Kalangan yang tidak memahami sering menuduh ini adalah inkonsistensi Wahyu terakhir ini.

Sebab itulah, beberapa ayat saja dari Al-Qur'an yang telah terbukti benar secara ilmiah, dapat ditetapkan Kitab suci ini benar secara keseluruhannya. 

Mentra 58, 23 Maret 2011

Daftar Pustaka:

Al-Attas, Syed Muhammad Naquib, Prolegomena in to the Metaphsics, Kuala Lumpur: University Malaya, 2005

Iqbal, Muhammad, Rekonstruksi Pemikiran Agama dalam Islam, Jakarta: Tintamas, 1986

Popper, Karl, Logika Penemuan Ilmiah, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008

Shihab, Quraish, Mukjizat Al-Qur'an, Bandung: Mizan 2007

Yahya, Harun, Keajaiban Al-Qur'an, Bandung: Dzikra, 2003

Tidak ada komentar:

Posting Komentar