1. St. Augustine
Sebelum Plotinus, telah berkembang ajaran Kristen yang dalam golongan tertentu turut memperkaya khazanah agama itu dengan filsafat Yunani. Periode ini kita namai Teosentrisme yang terbagi menjadi aliran Patristik dan Skolastik. Kedua aliran ini memang menyerap ajaran filsafat dengan sanat mendalam tetapi hanya menggunakannya sebagai penguat doktin agama. Karena alas an ini kita sebut dengan Teosentrisme yakni kajian yang berfokus pada doktrin ketuhanan.
Patristik berarti ajaran yang menyerahkan otoritas keagamaan dan intelektual kepada pemimpin gereja. Mereka dipatuhi seperti patuhnya seorang anak kepada bapaknya. Terdapat beberapa tokoh besar dalam ajaran ini seperti Justinus Martir, Klemens (150-215), Tertilianus (160-222) dan yang terpenting adalah St. Augustine.
St. Augustine (354-430)
punya pemikiran unik. Katanya manusia tidak memiliki keraguan. Setidaknya,
ketika kita ragu, maka kita juga sedang berada dalam sebuah keyakinan yaitu
kita yakin kita sedang ragu. Maka keraguan itu sendiri adalah keyakinan.
Uniknya lagi, ketika kita ragu maka kita berfikir, berfikir itulah yang semakin
mengkuhkan bahwa kita ada.Kesimpulannya, kita ragu maka kita ada.
Menurut Augustine, segala
sesuatu berasal dari Cahaya Baik, karena itu Yang Baik mustahil menghasilkan
yang buruk, 'evil’. Keburukan, atau apapun yang berkonotasi negatif hanyalah
penyematan oleh kita sebab kerja akal untuk mengenal sesuatu adalah melalui
pembedaan.Sesuatu yang dianggap negatif bukanlah kontra positif atau Cahaya,
melainkan sesuatu yang jauh dari Cahaya.Gelap tidak ada, yang ada hanyalah
kekurangan cahaya yang sangat.
Segala sesuatu
berasal dari Cinta. Manusia harus melakukan sesuatu semata karena cinta sebab
energi dan motovasi gerak tindakan kita hanyalah dari Cinta. Karena manusia
terbatas maka dia mencintai, jadi bila ada manusia tidak mencintai berarti dia
orang yang riya dan sombong sebab dia mangira dirinya mampu melakukan semuanya sendiri tanpa
membutuhkan peran dari yang lain darinya.
Cinta manusia
pada manusia adalah untuk mengapresiasi yang dicintai (building other
person). Manusia mencintai yang lain karena dirinya tidak sempurna. Karena
itu cinta manusia penuh motif, maksudnya mereka mencintai karena ingin
melengkapi dirinya.
Cinta Tuhan
adalah satu-satunya cinta sebab cintaNya tidak bermotif. Dia adalah Maha
Sempurna.Dia mencintai bukan untuk melengkapi diriNya.Bahkan manusia sendiri mencintai
Tuhan karena dirinya yang kesepian, kerinduan dan terasing. Manusia menurut
Rumi adalah bagi sepotong seruling yang terpisah dari hutan bambu.
''Apa beda suka dengan
cinta? ''Ketika pertanyaan ini saya ajukan banyak jawaban yang muncul. Mrs. Gerrardette
Phillips mengatakan suka itu dapat berhenti bila keinginan sudah terpenuhi.
Misalnya orang yang sedang lapar menyukai sepotong roti, apabila dia sudah
kenyang maka 'suka' itu hilang.Cinta adalah sesuatu yang tak memiliki alasan.
Cinta itu muncul seketikan dan takkan hilang. Cinta tidak membutuhkan
pengenalan mendalam atau ekspektasi jauh.Malah cinta bisa semakin absurd
semakin kita mengenal.Oleh sebab itu untuk percaya kepada Tuhan kita hanya
butuh iman, buka pengenalan-pengenalan melalui rasio.
Augustine menyatakan Ruh itu
satu dan semua persona menyandang satu Ruh.Oleh sebab itu dia mengakui semua
manusia yang lahir telah menyandang dosa warisan dari semenjak kejatuhan
Adam.Dalam pandangan Kristen agama adalah hina. Pikiran seperti ini tidak lepas
dari kondisi masyarakat Yunani dan sekitarnya yang hidup tertindas lalu
menganggap dunia ini terkutuk karena putus asa dan hanya memfokuskan hayalan
pada dunia setelah kematian.
Ibn Rusyd menolak pandangan
kesatuan ruh. Dia mengatakan masing-masing manusia punya ruh sendiri-sendiri.
Makanya dia menolak adanya dosa warisan. Menurutnya semua manusia lahir dalam
keadaan suci, Al-Qur'an juga mensiratkan berita bahwa manusia kelak diakhirat
mempertanggungjawabkan amalnya masing-masing. Argumen Ibn Rusyd mengesankan
pandangan kesatuan ruh adalah tidak mungkin.
Bila
Aquinas sangat dipengaruhi oleh Aristoteles, maka Augustin sangat dipengaruhi
oleh Plotinus. Antara Plotinus dengan Aristoteles tidak banyak kesamaan. Jadi
Filsafat Aquinas dengan Augustine berbeda.
2. St. Thomas Aquinas
Aquinas menjadi filosof terbesar zaman
Skolastik Kristen. Zaman Skolastik dibagi tiga yakni Skolastik awal muncul
setelah kemunduran Romawi yang ikut menenggelamkan aliran Patristik. Ketika
Romawi bangkit kembali, ajaran Kristen masih tetap kuat, tetapi pola
pengajarannya berubah menjadi sistem sekolahan sehingga disebut Skolastik.
Tokoh
terbesar zaman Skolastik awal yakni PeterAbaelardus (1079-1180). Selanjutnya
muncul zaman uncak Skolastik dengan tokoh terbesar yakni Albert Magnus
(1203-1280) dan Thomas Aquinas (1225-1274). Setelah mereka adalah zaman akhir
Skolastik dengan tokoh terbesar yakni William Ockham (1285-1349) dan Nicolas
Cusasus (1404-1464).
Ajaran
Skolastik Kristen memiliki ciri pemanfaatan filsafat, terutama ajarana
logikanya, untuk dimafaatkan sebagai argumentasi agama terutama eksistensi
Tuhan. Karena itulah kita memasukkan ajaran Skolastik Kristen sebagai aliran
Teosentris. Karena pengandalan atas rasio, filosof seperti Aristoteles, Ibn
Sina dan Ibn Rusyd menjadi tokoh penting yang mempengaruhi ajaran Skolastik
Kristen.
St. Thomas Aquinas
adalah salahsatu filsuf penting dan terbesar. Namanya bersanding dengan para
filosof besar seperti Plato, Aristoteles, Descartes dan Immanuel Kant. Dia
adalah filsuf besar pertama setelah gagasan-gagasan besar dari Yunani berakhir
pada Plotinus. Karena itu mempelajari ajaran Aquinas, hampir sama dengan
mempelajari seluruh ajaran Skolastik Kristen.
Pada masanya di Paris,
Aquinas sempat dihadapkan pada konflik karena dicurigai menganut paham Averrost
(Ibn Rusyd). Averroisme memang dianut banyak kalangan Universitas di Paris kala
itu. Meski punya komunitas besar, Averroist tetap dianggap terlarang.
Kemungkinan karena Averrost banyak dipengaruhi pemikiran Arab. Dan gagasan ini
ternyata benar memberi efek buruk bagi gereja dengan lahirnya sekularisme.
Aquinas menguasai dengan baik pemikiran Aristoteles. Dia mendapatkan terjemahan
karya Aristoteles dari seorang sahabatnya dan memberi banyak komentar. Averrost
juga sangat banyak dipengaruhi Aristoteles. Mungkin karena itulah Aquinas
dicurigai sebagai pengikut Averrost.
Selanjutnya Aquinas mengatakan pemikiran Aristoteles lebih baik dijadikan
dasar filsafat Kristen daripada pemikiran Plato. Dia melanjutkan, kaum Muslim
dan Averroism Kristen telah salah memahami Aristoteles. Ini memungkinkan dua
hal. Pertama Averrost sendiri yang salah memahami pemikiran Aristoteles dan
kedua, boleh jadi memahami Aristoteles melalui Averrost tidak memadai. Namun
demikian Russel (2004: 600) meluruskan bahwa pemikiran logika dan Filsafat
Aristoteles belum final. 'Belum final' maksud Russel ini saya kira lebih
tepatnya disebut ''tidak final lagi''. Artinya pemikiran Aristoteles itu sudah
baik untuk sebelum zaman pencerahan. Namun untuk saat ini tidak memadai lagi
seiring berubahnya cara pandang manusia terhadap alam dan diri mereka sendiri
disertai penemuan-penemuan mutakhir.
Demikianlah
sebuah peradaban hidup dalam keyakinan mendalam setiap persona secara global.
Kapan peradaban itu bergerak? Ketika ada yang datang mengungkit keyakinan yang
telah mapan itu.Pergerakan peradaban itu adalah perubahan kebudayaan. Peradaban
itu Dilihat dari luarnya memang statis tapi dari dalam dia terus bergerak.
Trinitas Kristen yang diperkenalkan oleh St. Paul (Hart: 2004) bertahan dengan
baik. Selanjutnya Aquinas mengungkit konsep itu dan memberikan nuansa
baru sehingga menjadikannya lebih rasional. Sekarang konsep Trinitas diragukan
banyak orang sejak masa Galilei. Karena itu, kita membutuhkan seorang pemikir
yang dapat merasionalkan kembali konsep itu, menjadikannya relevan sesuai
dengan penemuan ilmiah mutakhir. Tidak hanya Kristen, semua agama saat ini
dibuat kelabakan oleh sains yang bergerak cepat. Saya kira semua aliran agama
tidak perlu panik merespon perubahan ini.Kita harus sadar bahwa bahasa agama
adalah bahasa simbolik, abstrak dan bahasa sains sangat konkrit. Kalau Kristen
mengatakan Tuhan adalah ''tiga jelmaan'', maka Al-Hallaj mengatakan semua
adalah Tuhan, semua adalah tidak ada, yang ada hanya Tuhan. Semua dialektika
itu adalah dialektika agama, semuanya simbolis, perlambangan.
Saya menemukan kemiripan
peran antara Aquinas dalam dunia Kristen dengan Iqbal dalam dunia Islam.
Iqbal, sama dengan Aquinas mencoba merekonstruksi paham teologis bagi
agama mereka masing-masing. Aquinas mengatakan eksistensi Tuhan tidak
perlu dibuktikan melalui realitas alam. Baginya manusia telah mengenal esensi
Tuhan dan setidaknya itulah yang penting.
Berbarengan dengan
itu, Iqbal juga mengkritik argumen teologis dalam Islam dengan menerangkan
bahwa kesadaran manusia hanya membentuk realitas dalam dirinya sendiri, bukan
apa sebenarnya (Iqbal, 1978). Karena itu alam tidak ideal dijadikan sandaran
pengenalan Tuhan.
Menurut Aquinas,
para filosof dapat menemukan Tuhan dengan kedalaman pemikiran mereka. Namun
karena tidak semua orang berkesempatan menjadi filosof, maka orang awam cukup
mengenal Tuhan melalui infornasi para nabi. Argumen ini sejalan dengan pendapat
Ar-Razi yang kontrofersial dengan mengatakan sebenarnya Nabi tidak dibutuhkan kalau semua orang menjadi
filsuf. Namun karena tidak semua orang bisa menjadi filsuf, maka Nabi
dibutuhkan untuk menyampaikan berita yang tidak dipahami orang awam.
Menurut Aquinas,
kepercayaan akan Tuhan hanya bisa dibuktikan melalui iman. Sebab segala yang
tidak terjangkau indera tidak dapat dibuktukan. Russel menolak pandangan
tersebut, menurutnya Tuhan yang tidak tertangkap indera bisa dibuktikan melalui
makhlukNya. Tapi Aquinas tetap saja mengemukakan argumen untuk
membuktikan keberadaan Tuhan melalui teori kausalitas yang oleh Iqbal telah
dianggap keliru.
Perdebatan
antara al-Ghazali dengan Averrost mengenai apakah Tuhan mengetahui hal-hal yang
partikular adalah pembahasan yang sengit di Eropa kala itu. Setidaknya,
masyarakat Barat yang fnatik pada Averrost turut mempercayai bahwa Tuhan tidak
mengetahui hal-hal partikular. Ini membuat Aquinas angkat bicara. Dalam
bukunya Summa Contra Gentiles, Aquinas
menyatakan bahwa Tuhan adalah Maha mengetahui dan pengetahuanNya meliputi
segala sesuatu.
Mengenai pembicaraan apakah Tuhan tidak
perlu mengetahuihal-hal partikular--sebab itu Dia tidak mengetahui,
Aquinas pendapat lain. Aquinas mengatakan bahwa cara mengetahui Tuhan berbeda
dengan manusia. Manusia melakukan distingsi (pembedaan-pembedaan) untuk
mengetahui, sementara Tuhan mengetahui secara menyeluruh.
Jadi yang
disebut partikular itu tidak ada bagi Tuhan. Hal-hal partikular adalah
pengetahuan manusia yang berasal dari kesadarannya, sementara kesadaran manusia
itu sendiri dari Tuhan. Paham Aquinas sangat menarik bagi saya, apalagi
ketika dia mengatakan segala kehendak manusia adalah berasal dari kehendak
Tuhan. Paham teologis ini sejalan dengan yang saya pikirkan dan saya percayai
sampai hari ini.
Manusia
sebenarnya tidak bisa menentukan sendiri pilihannya. Semua keputusan dan
tindakan manusia adalah dari Allah. Ini sesuai pula dengan informasi Al-Qur'an
bahwa Allah merahmati atau melaknat sesiapa yang Dia kehendaki.
Dalam jilid kedua buku
yang sama, Aquinas membahas tentang Ruh. Averrost mengatakan Ruh itu
diciptakan bagi masing-masing manusia, jadi untuk setiap manusia yang lahir dia
mendapatkan ruhnya sendiri. Pandangan ini bertentangan dengan paham St.
Augustine yang menyatakan setiap manusia lahir menyandang dosa keturunan.
Alasannya karena Ruh itu adalah Satu.
Saya lebih sepakat
dengan Augustine menganai hakikat Ruh. Saya melihat setiap benda dan hewan
memiliki ruh. Ruh hadir pada semua keberadaan dengan kapasitasnya
masing-masing. Pada hewan dan tumbuhan ruhnya tidaklah kekal karena fakultas
ruhnya tidak dalam sehingga kehadiran ruh tidak mendalam. Sementara fakultas
manusia sangat memadai bagi eksistensi Ruh yang lebih mendalam sehingga dianya terus
hidup (kekal).
Aquinas tidak sepakat dengan Augustine, dia lebih cenderung bahwa roh manusia
itu bagi diri masing-masing. Perbedaan paham ini turut mempengaruhi perbedaan
keduanya dalam memahami kehendak manusia. Aquinas lebih sepakat manusia
punya kehendak bebas dan Tuhan sebenarnya tidak mengetahui hal-hal partikular.
Saya melihat antara
Augustine dengan Aquinas, sebagai filsuf, Augustine jauh lebih baik,
utamanya menganai hakikat Ruh. Tapi saya kira kita , Augustine telah salah
paham mengenai ''dosa keturunan''. Dalam pemahaman yang lebih filosofis, tidak
ada yang disebut 'dosa' ataupun hal-hal lain yang berkonotasi buruk. Sebab,
segala wujud yang menyandang aneka sifat adalah berasal dari Yang Maha Baik.
Dari yang baik mustahil termanifestasi yang buruk. Maka, sesuatu yang disebut
'dosa' itu maksudnya adalah suatu manifestasi ''terjauh'' sehingga jauh dari
Sumber Kebaikan.
Tapi benarkah ruh
manusia itu jauh dari Baik? Literatur Islam menyatakan bahkan ruh manusia
bahkan bisa melampaui malaikat dan bisa lebih rendah daripada binatang ternak.
Di sisi lain, teolog Islam mengakui manusia menangis ketika dilahirkan ke dunia
karena telah dipindahkan dari tempat mulia ke tempat yang hina. Namun, walau
bagaimanapun alam ini adalah satu-satunya wadah beribadah (atau bermaksiat)
sebagai penentu tempat kembali. Jadi kalau memang perolehan ''tempat hina'' ini
disebut sebagai 'dosa' yang bermakna 'kekurang-baikan'', maka benarlah
Augustine.
Buku ketiga
membicarakan tentang etika. Di sana di bahas tentang etika perkawinan, hubungan
seks, kehendak manusia dan sebagainya. Menurut Aquinas, ikatan pernikahan tidak
boleh diputuskan karena anak membutuhkan ayah walau bagaimanapun. Poliandri
membuat sulit mengetahui ayah dari anak. Poligami dikatakan tidak adil bagi
perempuan.Dia mengatakan setidaknya harus diterapkannya poliandri yang ketat.
Buku keempatnya banyak
membicarakan persoalan teologi. Aquinas sepakat bahwa Kristus dari Roh Kudus
namun menolak dia sebagai anak Tuhan.
Dalam bagian ini ikut pula dibahas mengenai kebangkitan manusia.Tema ini juga
menjadi bagian penting dalam perdebaran Al-Ghazali dengan Averrost. Al-Ghazali
mengatakan pada saat kebangkitan nanti di akhirat, yang dibangkitkan tetap
jasad ini, sementara Averrost mengatakan bukanlah jasad ini yang dibangkitkan
sebab alam akhirat bukan alam partikel sebagaimana di dunia sekarang.
Aquinas
mengatakan seorang kanibal dan korbannya akan bangkit dengan tubuh
masing-masing secara utuh. Korban tidak bangkit dengan bagian tubuh yang tidak
lengkap dan pelaku tidak bangkit dengan anggota tubuh yang berlebihan. Dengan
ini terlihatlah pandangan Aquinas lebih dekat dengan Al-Ghazali.
Garis besar pemikiran
Aquinas sama seperti Augustine yaitu menemukan korelasi pemikiran Aristoteles
dengan ajaran Kristen. ''Penemuan argumen untuk sebuah kesimpulan yang
dikemukakan sebelumnya bukanlah filsafat'' kata Bertenand Russel.
Sebab itulah saya
curiga mungkin tidak ada yang namanya ''Filsafat Islam''. Bahkan saya menduga
tidak akan ada yang namanya 'filsafat Islam'. Sampai kapan? Sampai kaum muslim
masih ada atau setidaknya sampai orang Islam masih percaya dengan kebenaran
Al-Qur'an. Setidaknya, opini ini bertahan hingga saya belajar filsafat Islam
secara mendalam.
Filosof
Barat setelah Yesus yang kita bicarakan ada tiga orang yaitu Plotinus, St.
Augustine dan Aquinas. Di mata saya diantara mereka bertiga hanya ada nama
Plotinus yang layak disebut sebagai seorang sebagai filsuf sejati. Dia adalah
bagian dari para pencari kebijaksanaan, sama seperti Plato, Descartes,
Kant dan Nietzsche.
Setelah aliran Skolastik, di Barat terbitlah ajaran
filsafat Modern yang dimulai oleh Machiavelli di Italia dan ditutu oleh
Nietzsche.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar