Bila mengambil yang
sebagian, maka tentunya yang keseluruhan tidak terhimpun di dalamnya.
Namun bila mengambil keseluruhannya, tentunya yang sebagian sudahlah
berada di sana. Mengambil yang sebagian, tentu tidak dapat memastikan
yang inti telah diambil. Kalau saya mengatakan ''saya melihat hewan''
maka boleh juga saya mengatakan ''saya tidak melihat kambing'',
tapi saya tidak mungkin mengatakan ''saya tidak melihat makhluk yang
bergerak''. Seseuatu yang lebih spesifik bila ditunjuk pastilah telah
melalui sesuatu yang tidak lebih spesifik darinya. Sesuatu yang lebih
spesifik bila ditunjuk memunginkan pengabaian hal yang lebih spesifik
setara terabaikan.
Aksoma ini menuntut kita mencari sesuatu
yang tidak memiliki kesamaan. Yang diperlukan adalah suatu mahiyah yang
sama sekali tidak memiliki kesamaan dengannya. Kalau kita mengambil
sebuah genus benda hidup, maka dia punya beberapa kesamaan dengan genus
lain yaitu benda mati. Kalau mengambil spesies kambing, maka kambing
punya beberapa persamaan dengan mahiyah lain seperti sapi. Seterusnya
menghentikan kita pada kategori aksiden yang disepakati saja sepuluh
jumlahnya di sini, yakni: substansi, kuantitas, kualitas, relasi,
postur, akara spasial (aina), akasa temporal (mata), posesi (hubungan
dengan di sekitar), aksi dan pasi. Bila suatu mahiyah yang paling
sederhana masih memiliki yang lain yang identik, yaitu sama-sama
sederhana, maka itu artinya mahiyah tersebut belum sederhana. Karena itu
perlu dicari lagi sehingga ditemukan satu mahiyah yang paling
sederhana. Dari mahiyah yang sederhana itu kita dapat mencari apakah
mahiyah atau wujud yang lebih mendasar?
Untuk dapat mengetahui
mana yang lebih mendasar antara wujud dengan mahiyah bukanlah cara yang
mudah. Persoalan ontologi filsafat tidak seperti hukum fikih yang
ketersediannya hitam putih dan menurut konsesi atau otoritasi.
Permasalahan dalam filsafat Islam adalah permasalahan yang sangat rumut.
Orang menghabiskan seluruh hidupnya bahkan hanya untuk memahami dengan
baik inti pemikiran Filsafat ini yang berada di tangan Ibnu Sina. Tapi
Ibnu Sina menyelesaikannya di usia muda.
Akal membawa potensi
abstrasi atau pemberian bentuk sehingga objek-objek eksternal dapat
dikenali. Pertanyaannya adalah: manakah yang lebih mendasar antara
pemberian bentuk itu dengan diri benda itu sendiri? Tanpa diberi bentuk,
benda itu sendiri takkan pernah mampu dikenali oleh kita. Kalau
landasan kita adalah akal, maka akal hanya mampu memberi bentuk, untuk
menjawab pertanyaan 'apa itu?' Bila demikian, maka filsafat Barat Modern
aliran Rasionalisme tampaknya berprinsip kemendasaran esensi, sebagian
kalangan filsof Muslim seperti Mir Damad dan Suhrawardi juga demikian.
Tapi Mulla Shadra tidak percaya hal demikian. Dia lebih cenderung kapada
Ibn Sina yang mengatakan ada sesuatu yang menjadikan akal itu berada
dan ada sesuatu yang lain juga yang membuat materi diberadakan terlebih
dahulu sebelum kita memberikan quid est nya melalui potensi akal kita
sehingga sesuatu harus terlebih dahulu berada barulah akal kita
memberikan quid est atau ma hiya.
Sesuatu, 'kuda' misalnya,
boleh ada atau tidak di realitas eksternal, tapi dianya tetap berada di
dalam pikiran kita. Jadi quiditas pada realitas eksternal tidaklah
mendasar. Yang mendasar adalah 'ada' itu sendiri. Quiditasnya untuk real
berada di realitas eksternah hanya penyematan dari akal. Akal dapat
memberi penyematan hanya karena sesuatu itu ada (being). Sesuatu yang
diluar adalah ditentukan oleh substansi yang meliputi akal, jiwa dan
badan. Akal itu sifanya transenden yang mengilhami jiwa. Jiwa itu
transenden tapi gejalanya dapat diamati melalui perwujudannya yang dapat
diamati yakni badan (Seyyed Hossein Nasr, 'Tiga Mazhab Utama Filsafat',
Yogyakarta: Ircisod, 2006, h. 58). Oleh Mulla Sadra, Substansi yang
awalnya dianggap sebagai tempat aksiden bergerak dan berubah, oleh
Shadra dikatakan dapat berubah pula. Substansi yang bahkan adalah dasar
gerakan menjadikan tampaknya persoalan filsafat dalam Islam semuanya
telah berakhir. Tapi apalah gunanya perdebatan ini? Persoalan ini
berimplikasi pada persoalan ketuhanan yang panjang perdebatannya.
Bila merenungkan lebih jauh, maka kita akan menemukan bahwa realitas
eksternal ini hanyalah bentukan akal kita dan itu mahiyah, buka wujud.
Tapi kalau Descartes mengatakan bahwa hanya akal sebagai penyangga utama
(ashal), berarti itu prinsip kemendasaran esensi. Tapi Descartes lebih
jauh mempercayai juga bahwa ketakterbatasan adalah penjamin rasionalitas
dan ketakterbatasan itu lebih mendasar, penyangga akal. Berarti dia
meyakini eksistensi yang lebih mendasar. Kant juga percaya noumene lebih
mendasar daripada fenomena.
Ibn Sina (Avicenna) mengatakan
eksistensi itu nemiliki berbagai tingkatan. Ada eksistensi yang mungkin,
yaitu wujud pada realitas eksternal, dia bisa ada, bisa tidak dan wujud
ini, ada atau tidaknya bergantung pada akal, sebab akal itu sangat kuta
untuk menentukan ada tidaknya realitas dan ini subjejtif dan objektik
bagi akal yang normal-sederhana. Sementara wujud niscaya itu adalah
pemberi wujud pada akal sehingga akal itu memberi wujud pada realitas
eksternal. Wujud niscaya ini juga terbagi dua. Yang memberi wujud pada
realitas akal itu adalah identik dengan diriNya. Tetapi Wujud niscaya
itu juga pada satu sisi terlepas sama sekali dari yang Dia beri wujud,
Wujud Niscaya dengan DiriNya sendiri. Yang pertama disebut bi shifat (bi
asma) dan kedua bi dzhat. Bila gagal memahami wujud niscaya ini terbagi
dua, maka kita dapat terseret pada paham panteisme. Dia, pada satu sisi
identik dengan makhluknya dan pada sisi yang lain berbeda sama sekali.
Al-Hallaj memang mengatakan ''Aku adalah Wujud Mutlak'' tapi dia mengaku
itu adalah suara dari Wujud Mutlak itu, bukan dirinya yang mengatakan.
Perlu ditegaskan disini, bahwa akal manusia itu adalah manifestasi
tertinggi dari segala wujud. Selain mampu membentuk alam materi melalui
persepsinya, dia juga dapat melihat alam ini dengan pandangan yang
berbeda bila dia lebih dekat dengan Wujud Niscaya. Bila lebih dekat
lagi, maka dia mampu berintaksi dengan wujud lain yang tidak mampu
dijangkau akal lain. Bahkan pada status teringginya, akan tidak terlihat
lagi pebedaan akal yang merupakan wujud mungkin ini dengan Wujud
Niscaya. Tetapi penyatuan dengan Wujud Niscaya ini tetap sebagai
Sifat-Nya, bukan Dzatnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar