Link Download

Senin, 25 Juni 2012

Dari Logika Suhrawardi ke Ontologi Avicenna

Bila mengambil yang sebagian, maka tentunya yang keseluruhan tidak terhimpun di dalamnya. Namun bila mengambil keseluruhannya, tentunya yang sebagian sudahlah berada di sana. Mengambil yang sebagian, tentu tidak dapat memastikan yang inti telah diambil. Kalau saya mengatakan ''saya melihat hewan'' maka boleh juga saya mengatakan ''saya tidak melihat kambing'', tapi saya tidak mungkin mengatakan ''saya tidak melihat makhluk yang bergerak''. Seseuatu yang lebih spesifik bila ditunjuk pastilah telah melalui sesuatu yang tidak lebih spesifik darinya. Sesuatu yang lebih spesifik bila ditunjuk memunginkan pengabaian hal yang lebih spesifik setara terabaikan.
Aksoma ini menuntut kita mencari sesuatu yang tidak memiliki kesamaan. Yang diperlukan adalah suatu mahiyah yang sama sekali tidak memiliki kesamaan dengannya. Kalau kita mengambil sebuah genus benda hidup, maka dia punya beberapa kesamaan dengan genus lain yaitu benda mati. Kalau mengambil spesies kambing, maka kambing punya beberapa persamaan dengan mahiyah lain seperti sapi. Seterusnya menghentikan kita pada kategori aksiden yang disepakati saja sepuluh jumlahnya di sini, yakni: substansi, kuantitas, kualitas, relasi, postur, akara spasial (aina), akasa temporal (mata), posesi (hubungan dengan di sekitar), aksi dan pasi. Bila suatu mahiyah yang paling sederhana masih memiliki yang lain yang identik, yaitu sama-sama sederhana, maka itu artinya mahiyah tersebut belum sederhana. Karena itu perlu dicari lagi sehingga ditemukan satu mahiyah yang paling sederhana. Dari mahiyah yang sederhana itu kita dapat mencari apakah mahiyah atau wujud yang lebih mendasar?
Untuk dapat mengetahui mana yang lebih mendasar antara wujud dengan mahiyah bukanlah cara yang mudah. Persoalan ontologi filsafat tidak seperti hukum fikih yang ketersediannya hitam putih dan menurut konsesi atau otoritasi. Permasalahan dalam filsafat Islam adalah permasalahan yang sangat rumut. Orang menghabiskan seluruh hidupnya bahkan hanya untuk memahami dengan baik inti pemikiran Filsafat ini yang berada di tangan Ibnu Sina. Tapi Ibnu Sina menyelesaikannya di usia muda.
Akal membawa potensi abstrasi atau pemberian bentuk sehingga objek-objek eksternal dapat dikenali. Pertanyaannya adalah: manakah yang lebih mendasar antara pemberian bentuk itu dengan diri benda itu sendiri? Tanpa diberi bentuk, benda itu sendiri takkan pernah mampu dikenali oleh kita. Kalau landasan kita adalah akal, maka akal hanya mampu memberi bentuk, untuk menjawab pertanyaan 'apa itu?' Bila demikian, maka filsafat Barat Modern aliran Rasionalisme tampaknya berprinsip kemendasaran esensi, sebagian kalangan filsof Muslim seperti Mir Damad dan Suhrawardi juga demikian. Tapi Mulla Shadra tidak percaya hal demikian. Dia lebih cenderung kapada Ibn Sina yang mengatakan ada sesuatu yang menjadikan akal itu berada dan ada sesuatu yang lain juga yang membuat materi diberadakan terlebih dahulu sebelum kita memberikan quid est nya melalui potensi akal kita sehingga sesuatu harus terlebih dahulu berada barulah akal kita memberikan quid est atau ma hiya.
Sesuatu, 'kuda' misalnya, boleh ada atau tidak di realitas eksternal, tapi dianya tetap berada di dalam pikiran kita. Jadi quiditas pada realitas eksternal tidaklah mendasar. Yang mendasar adalah 'ada' itu sendiri. Quiditasnya untuk real berada di realitas eksternah hanya penyematan dari akal. Akal dapat memberi penyematan hanya karena sesuatu itu ada (being). Sesuatu yang diluar adalah ditentukan oleh substansi yang meliputi akal, jiwa dan badan. Akal itu sifanya transenden yang mengilhami jiwa. Jiwa itu transenden tapi gejalanya dapat diamati melalui perwujudannya yang dapat diamati yakni badan (Seyyed Hossein Nasr, 'Tiga Mazhab Utama Filsafat', Yogyakarta: Ircisod, 2006, h. 58). Oleh Mulla Sadra, Substansi yang awalnya dianggap sebagai tempat aksiden bergerak dan berubah, oleh Shadra dikatakan dapat berubah pula. Substansi yang bahkan adalah dasar gerakan menjadikan tampaknya persoalan filsafat dalam Islam semuanya telah berakhir. Tapi apalah gunanya perdebatan ini? Persoalan ini berimplikasi pada persoalan ketuhanan yang panjang perdebatannya.
Bila merenungkan lebih jauh, maka kita akan menemukan bahwa realitas eksternal ini hanyalah bentukan akal kita dan itu mahiyah, buka wujud. Tapi kalau Descartes mengatakan bahwa hanya akal sebagai penyangga utama (ashal), berarti itu prinsip kemendasaran esensi. Tapi Descartes lebih jauh mempercayai juga bahwa ketakterbatasan adalah penjamin rasionalitas dan ketakterbatasan itu lebih mendasar, penyangga akal. Berarti dia meyakini eksistensi yang lebih mendasar. Kant juga percaya noumene lebih mendasar daripada fenomena.
Ibn Sina (Avicenna) mengatakan eksistensi itu nemiliki berbagai tingkatan. Ada eksistensi yang mungkin, yaitu wujud pada realitas eksternal, dia bisa ada, bisa tidak dan wujud ini, ada atau tidaknya bergantung pada akal, sebab akal itu sangat kuta untuk menentukan ada tidaknya realitas dan ini subjejtif dan objektik bagi akal yang normal-sederhana. Sementara wujud niscaya itu adalah pemberi wujud pada akal sehingga akal itu memberi wujud pada realitas eksternal. Wujud niscaya ini juga terbagi dua. Yang memberi wujud pada realitas akal itu adalah identik dengan diriNya. Tetapi Wujud niscaya itu juga pada satu sisi terlepas sama sekali dari yang Dia beri wujud, Wujud Niscaya dengan DiriNya sendiri. Yang pertama disebut bi shifat (bi asma) dan kedua bi dzhat. Bila gagal memahami wujud niscaya ini terbagi dua, maka kita dapat terseret pada paham panteisme. Dia, pada satu sisi identik dengan makhluknya dan pada sisi yang lain berbeda sama sekali. Al-Hallaj memang mengatakan ''Aku adalah Wujud Mutlak'' tapi dia mengaku itu adalah suara dari Wujud Mutlak itu, bukan dirinya yang mengatakan.
Perlu ditegaskan disini, bahwa akal manusia itu adalah manifestasi tertinggi dari segala wujud. Selain mampu membentuk alam materi melalui persepsinya, dia juga dapat melihat alam ini dengan pandangan yang berbeda bila dia lebih dekat dengan Wujud Niscaya. Bila lebih dekat lagi, maka dia mampu berintaksi dengan wujud lain yang tidak mampu dijangkau akal lain. Bahkan pada status teringginya, akan tidak terlihat lagi pebedaan akal yang merupakan wujud mungkin ini dengan Wujud Niscaya. Tetapi penyatuan dengan Wujud Niscaya ini tetap sebagai Sifat-Nya, bukan Dzatnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar