Lama tidak kembali ke
keluarga. Istri sudah lama menanti, semakin bertambah usia, semakin
manis saja dia. Tapi kulitnya semakin hitam. Aku menyalahkan diriku
sendiri yang mungkin kurang memberi uang belanja. Istri harus bekerja
keras di bawah matahari.
Isteri senang aku datang. Anakku? Oh, ternyata dia sudah sangat besar, lebih besar dari yang kubayangkan.
Putriku punya kulit yang jauh lebih putih daripada ibunya. Pasti karena
ibunya memaksa supaya dia jarang keluar rumah, apalagi untuk bekerja.
Kecantikannya bertambah karena dia tidak mengikut wajah ibunya (mengikut
wajahku barangkali?)
Kuperhatikan puteriku. Dia menatap aku
dalam dan ragu. Aku tahu wajahnya menunjukkan marah: kenapa ayah baru
kini pulang. Kuperhatikan ibunya, kutahu istriku itu setiap hari dan
setiap detik bercerita baik tentang aku. Karena itu segera saja kami
bertiga berangkulan. Kunikmati tiga badan satu jiwa, kurasakan detak
jantung kita begitu padunya, hingga terasa tidak ada yang berdetak,
jadinya hening. Aliran darah di tiga jasad ini tak bisa kuukir.
Rupaya puteriku lebih tinggi dari ibunya yang tinggi. Tingginya hampir
sama dengan aku. Puteriku suka pakai kebaya, mungkin putih warnanya.
Selendang yang suka diakenakan bewarna biru, biru muda tampaknya. Dia
suka pakai batik, batinya bewarna cokelat, cokelat muda. Putriku jadi
primadona di kampung kami, bahkan di Matanggangllumpangdua kuyakin itu.
Keluarga besar kami yang perempuan memang cantik-cantik. Keluarga Ibu di
Tanjoeng Beuridi boleh kamu pergi lihat sendiri, tampaknya cuma
keluarga besar kami yang paling cantik. Keluarga Besar Ayah apa lagi.
Boleh lihat sendiri ke Neuheun, Bayu dan Meurah Mulia.
Tampaknya sudah enam belas atau tujuh belas tahun aku meninggalkan
isteriku. Tampaknya waktu aku pergi perutnya sudah berisi janin. Kami
sudah punya putera sebelumnya. Tapi di mana kini dia? Kata ibunya dia
sangat tertekan dengan ayahnya yang suka pergi bahkan sejak dia bayi.
Kini dia tinggal di sebuah pulau, kecil tapi lebat dan kaya dengan aneka
satwa, flora dan fauna. Dia suka berkawan dengan segala jenis binatang.
Teman paling dekatnya adalah seekor harimau jantan yang sangat besar.
Kami bertiga pergi menjumpainya di sana. Kami berkendara perahu
motor putih. Saat mendarat kubawakan hadiah kepadanya seekor harimau
jantan besar. Puteraku benar benar marah padaku. Meski dari ras berbeda,
tapi harimau pemberianku langsung begitu akrab dengan habitat barunya.
Akhirnya puteraku mahu bertemu denganku karena rayuan ibunya.
Ternyata puteraku mewarisi kebiasaan kakeknya Ibuku yang juga suka
berkawan dengan harimau. Kuberitahukan, bahwa berkawan dengan harimau
jangan sampai lupa mewasiatkan padanya supaya bila kamu mati agar dia
suka datang ke makammu untuk berbezuk dan amanahkan supaya dia cari
makan sendiri. Bila tidak harimau itu akan menggali kuburmu dan
mengambil sesuatu di otakmu.
Sebenarnya aku khawatir putraku yang
suka berkawan denga harimau-harimau. Apalagi persediaan makanan buat
mereka di pulau itu semakin menipis. Kondisi harimau-harimau yang
galak-galak kuyakini adalah karena mereka sering kelaparan. Aku juga
memang pernah mengirim beberapa ekor sapi untuk santapan teman-temannya
putera yang bertaring panjang itu. Tapi aku tetap saja ragu.
Saat berpamitan ada sedikit insiden di pulau itu. Meski sedikit membuat
panik, tapi kami berhasil pergi. Tidak ada yang bisa kuucapkan pada
putera tercinta selain untuk berhati-hati. Sebelumnya sempat kuminta
kembali bersama tapi dengan mantap doa menolak. Kuhargai puteraku yang
punya prinsip kukuh.
Kembali ke cerita tentang puteriku. Aku
khawatir sangat dengan zaman yang akan menghancurkan hampir semua
wanita. Apalagi karmaku akan kembali kepada puteriku. Dan itu adalah
hukuman yang paling menyakitkan meski kuakui itu setimpal.
Akhirnya yang kukhawatirkan juga terjadi. Dengan besar hati kubesarkan
hati puteriku untuk tidak pernah menyesali diri dan jangan meratapi
hidup. Selalu kubesarkan hatinya. Kami membesarkan puteranya meski aku
tidak punya menantu. Cucuku itu tampan juga, mirip aku. Saat itu
isteriku sudah tidak ada lagi. Saat merenung kukorek kubur ayahku.
Kutemukan kerangkanya rapi. Kuperhatikan semua sendi tulang. Kulirik,
ternyata di baliknya ada sebuah kerangka yang lebih kecil, lebih baru,
tapi lebih hitam, tampaknya yang itu kerangka isteriku. Kutemukan di
sini kerangka dua orang yang paling mencintaiku di dunia ini.
Merenung tentang jasad itu kukatakan pada diri sendiri dan mereka yang
masih bisa berdiri dengan kaki: di sana tidak mengasyikkan, kuburan
adalah tempat yang sangat menakutkan. Sembari kuingatkan orang yang
masih hidup dan tentunya diriku sendiri. Mari merenungkan tentang betapa
tidak enaknya mati, betapa tidak mengenakkan di dalam kuburan. Maka
mari jadikan hidup lebih berart: MARI MENCIPTAKAN KARYA KARYA YANG LEBIH
BERMAKNA, MARI TERUS MEMPERBAIKI DAN PERBANYAK IBADAH. Mari terus
berusaha agar mati tidak segera tiba, mari sebisa mungkin menundanya.
Merenung kalimat terakhir, terinsafi untuk berhenti merokok. Tapi tanpa
sebatang itu, karya ini takkan ada. Tanpa menghisap rokok, surat ini
takkan tertuliskan. Bila begitu, bagaimana bisa membagi keinsyafan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar