Revitalisasi Peran PII di Tengah Persoalan Bangsa: Pidato Harba Ke-64
Oleh: Muhammad Ridha
Ketua Umum PB PII
Bismillahirrahmanirrahim
Ba’da Muqaddimah..
Satu hal yang tidak boleh kita lepaskan dari perspektif kita dalam membangun, mengembangkan dan menjaga eksistensi PII di tengah-tengah ummat adalah rujukan pada niatan awal para pendiri PII. Hal ini penting karena kita sebagai generasi penerus dari para pendahulu. Dalam tafsir azasi yang disusun oleh Bapak Anton Timur Djailani dan di tetapkan pada Kongres PII di kediri pada tahun 1953, terterangkan orientasi pergerakan PII. Bahwa PII ada dalam rangka menjaga dan mengisi kemerdekaan Indonesia. Di awal berdirinya PII, persoalan internal dan eksternal bangsa saat itu mendesak para pemimpin, khususnya para aktivis gerakan untuk secepatnya menata dan merespon berbagai permasalahan yang mengancam kemerdekaan. Secara internal, Indonesia yang notabene terdiri dari berbagai kelompok agama, identitas daerah, identitas kebangsaan, identitas idiologi, saling bersaing menjadi penentu arah Indonesia merdeka. Sedangkan dari luar, ancaman agresi militer Belanda sudah didepan mata.
PII yang dilahirkan pada 4 Mei 1947 dengan tokoh pendirinyanya Joesdi Ghazali, menangkap realita yang dihadapi bangsa Indonesia. Keterancaman masa depan Indonesia yang merdeka sangat tampak dalam menghadapi perbedaan-perbedaan ideologis antara Islam, Nasionalis dan Komunis. Ummat Islam Indonesia adalah bagian terbesar dan utama dalam merebut kemerdekaan Indonesia. Pada saat itu munculah dikalangan elit ummat Islam Indonesia upaya-upaya mempersaatukan kekuatan. Kehadiran Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII), kelahiran HMI (Himpunan Mahasiswa Islam—ed.) menandakan bahwa segmentasi-segmentasi pemuda dan mahasiswa telah menemukan wadahnya dan diterima oleh publik dalam mempersatukan pemuda dan mahasiswa Islam.
Pada tanggal 4 Mei Bapak Joesdi Ghazali, Anton Timoer Jaelani, Ibrahim Zarkasyi dan Amien Sjahri dan beberapa tokoh dari berbagai organisasi pelajar yang hadir, mendeklarasikan PII di Yogyakarta. Pada hari itu juga berbagai organisasi pelajar Islam yang berada di sekitar Yogyakarta meleburkan diri dalam PII. Kehadiran PII mampu menjawab keresahan umat pada saat itu, sehingga berbagai organisasi-organisasi pelajar lain yang beranggotakan pelajar muslim memutuskan berfusi kedalam PII.
Kejelian, ketepatan, dan kemampuan untuk mentransendensikan objektivisme diri adalah poin penting yang kita perlukan. Bahwa kehadiran PII adalah jawaban keresahan ummat pada saat itu dan menjadi harapan ummat Islam Indonesia khususnya di kalangan pelajar.
Tri komitmen PII: kepelajaran, ke-Islaman dan ke-Indonesiaan yang berorientasi menjadi kader pelopor untuk mengawal dan mengisi kemerdekaan Indonesia telah mampu memberikan nafas gerakan sampai pada kita saat ini. Kebijaksanaan dan kedewasaan para pendiri pada saat itu dalam memandang diri, ummat dan bangsa dengan nilai - nilai prinsipil dalam Islam, patut dan harus kita pegang teguh dalam menjaga misi dan eksistensi PII. Sikap yang dewasa dalam memahami realitas keberagaman pola keberagamaan Islam di Indonesia yang terpilah-pilah kedalam berbagai organisasi - organisasi besar seperti NU, Muhammadiyah, Persis, Perti dan sebagainya, harus dibangun. Perbedaan yang demikian dipandang bukanlah hal yang prinsipil demi kemajuan bangsa Indonesia. Kader - kader PII tidaklah elok dipilah – pilah dan dikotak - kotakan ke dalam berbagai perbedaan - perbedaan yang demikian, apatah lagi jika didikotomikan pelajar santri dan pelajar umum yang merupakan produk dari sistem kolonial. Konflik - konflik yang tidak produktif karena perbedaan atas keberagaman yang demikian, akan membawa pada krisis ummat Islam dikemudian hari.
Sahabat-sahabat PII sekalian..
Sekarang kita sudah berada dalam usia PII yang ke 64, suatu rentang usia yang cukup panjang, yang dilalui oleh gerakan Pelajar Islam Indonesia. Dalam kesejarahannya tersebut, PII selalu membina dirinya dan membina masyarakat. Proses kesejarahan tersebut telah menghasilkan kompleksitas sistem pergerakan kita. Pergesekan kita dengan realitas, yang tercatat didalam momentum - momentum sosial politik di negara kita ini pun turut membangun kompleksitas kedirian organisasi. Telah banyak karya - karya yang dibentuk oleh para aktivis PII sebelum kita. Berkembangnya sistem perjuangan, berkembangnya sistem kaderisasi serta berkembangnya alat dan perangkat organisasi.
Dan saat ini organisasi kita, PII, ini adalah produk dari sejarah, dan sekaligus pencetak sejarah. Atas dasar kesadaran akan kesejarahannya, kader – kader PII harus mengambil hikmah dengan sikap kritis dan optimis bahwa wadah kita ini adalah wadah yang potensial untuk berbuat; membina diri sebagai pribadi muslim, wadah yang potensial untuk alat perjuangan, wadah yang potensial untuk mencapai sukses studi, wadah yang potensial untuk berlatih. Kita sangat apreciate terhadap karya - karya dan sumbangsih para pendahulu kita melalui PII sebagai wadah pembangun bangsa dan ummat ini.
Namun, kita keliru jika berfikir bahwa peran besar yang mereka lakukan hanya akan mungkin terjadi dimasa - masa yang lalu. Kita jangan sampai keliru dalam menghikmahi dan mengambil pelajaran dari sejarah. Keliru memaknai sejarah akan membuat kita menjadi inferior dan underestimate terhadap diri kita sendiri. Kekeliruan kita dalam menelaah sejarah akan berakibat kita kehilangan daya nalar dalam menangkap realitas kekinian kita. Bahwa prinsip - perinsip yang perlu kita ambil didalam kesejarahan PII adalah ikhlas dalam artian yang sebenarnya. Para pendiri kita telah membumikan dan menerapkan makna ikhlas dalam perjuangan dengan sebenarnya. Mereka mendirikan dan membentuk PII bukan untuk membesarkan diri dan organisasi, tapi dalam rangka menjawab persoalan faktual yang dihadapi ummat dan bangsa indonesia saat itu.
Besarnya PII adalah konsekuensi, bukanlah tujuan dari pada pendiri kita. Bahkan pada suatu waktu, Joesdi Ghazali pun heran bahwa pada tahun 90an PII masih ada di Indonesia. Niat yang ikhlas, kemudian harus diiringi dengan visi yang melampaui zamannya, tetapi tetap berpijak pada realitas dimasanya, adalah formulasi idealisme yang mampu menggerakan PII dalam melintasi zaman dengan penuh dinamika. Visi untuk menyatukan ummat Islam Indonesia dan menjayakan Islam Indonesia dengan slogan “izzul Islam wal muslimin”, tetap akan relevan sampai masa yang akan datang. Menegaskan tujuan gerakan, kesempurnaan pendidikan dan kebudayaan yang sesuai dengan Islam bagi segenap rakyat Indonesia dan segenap ummat manusia adalah tujuan strategis dalam upaya meletakkan fondasi peradaban.
Pada suatu ketika, jika saatnya tiba, PII akan memainkan peran melewati batas - batas negara dan bangsa. Visi ini bukanlah mustahil dan adalah sangat mungkin pada suatu ketika. Dengan perkembangan zaman yang mulai kita rasakan saat ini, tujuan mulia dari para pendiri kita itu akan menjadi kenyataan. Kedewasaan bersikap dan bijaksana dalam memahami realitas ummat Islam Indonesia adalah poin kedua yang perlu kita langgengkan dari para pendahulu kita. Tampaknya sulit untuk kita harapkan keseragamaan pola keagamaan dalam ummat Islam di dunia ini, apatah lagi jika pada saat sekarang ini, kita berada dalam zaman dimana setiap identitas saling menegaskan keberadaannya. Menjadi syarat penting memiliki sikap dewasa dan bijaksana dalam mengelola perbedaan di internal ummat Islam. Sejak dahulu di Indonesia sebelum kemerdekaan, saat kemerdekaan, setelah kemerdekaan saat ini dan sampai masa depan haruslah dihadapi dengan sikap yang telah diteladankan oleh para pendahulu PII.
Pendidikan
Sahabat-sahabat PII setanah air...
Saat ini keresahan kita terhadap dunia pendidikan, khususnya Indonesia, menuntut kesungguhan kita untuk berperan didalam menjawab persoalan - persoalan mendasar. Kita yakin dan percaya bahwa pendidikan adalah fondasi peradaban untuk menciptakan suatu tatanan masyarakat yang ideal. Untuk itu kita perlu belajar tentang proses bagaimana tatanan masyarakat, tentang proses bagaimana kejayaan - kejayaan pedaradaban Islam pada masa kekhalifahan yang telah lalu. Islam sebagai Addin telah mampu memerdekakan manusia dalam hal moralitas dan spiritualitas, yang sekaligus menjadi fondasi dalam membangun sebuah sistem pendidikan. Proses sekularisasi yang sedang menggejala hampir keseluruh pelosok bumi pada saat ini adalah tantangan terhadap keyakinan kita yang menempatkan Islam sebagai suatu konsep yang mengatur kehidupan manusia secara keseluruhan. Sistem pendidikan, mainstream yang ada saat ini mengalami keterpisahan antara ilmu dan tujuan ilmu. Moralitas dan spiritualitas mengalami keterpisahan dalam proses mengilmui dan mengetahui ( ilmu pengetahuan ), sehingga kita mengalami suatu fenomena yang disebut Francis Fukuyama dengan great destrucsion. Amerika (USA), sebagai prototype negara yang maju secara ilmu pengetahuan mengalami goncangan sosial yang hampir tidak bisa menemukan jalan keluar. Peradaban dunia yang lain yang mengedepankan kemajuan teknologi, mengalami absurditas ketika teknologi menjadi permasalahan terhadap kelestarian bumi. Ilmu pengetahuan akhirnya menjadi permasalahan bukan menjadi jawaban atas permasalahan manusia dan kemanusiaan serta alam
Islam mempunyai pandangan tauhid dalam setiap aspeknya. Worldview atau cara pandang antara manusia, alam dan Penciptanya adalah satu kesatuan. Yang satu merupakan bagian dari yang lainnya. Cara pandang yang sekuleristik menyebabkan keseimbangan alam, manusia dan spiritualitasnya menjadi terganggu sehingga menjadi ancaman bagi kelangsungan kehidupan alam semesta. Dibangku - bangku sekolah para pelajar dididik berdasarkan cara pandang yang tidak utuh dan seakan terlepas dari motif-motif keberagamaan terutama prinsip-prinsip yang harusnya mendasari ilmu pengetahuan. Dari pendidikan dini sampai pendidikan tingkat tinggi, cara pandang pendidikan yang demikian terus dijajalkan sehingga semakin menjauhkan manusia - manusia terpelajar dari cara pandang tauhid. Akhirnya manusia - manusia itu menjadi manusia yang terasing dari kefitrahannya.
Dalam segi kebudayaan sedang terjadi perang hegemoni, yang sangat rumit dan berlangsung secara konsisten. Hilangnya batas - batas geografis dalam era globalisasi informasi memungkinkan persentuhan dan pertukaran budaya yang sangat intensif. Ini adalah satu hal tidak mungkin kita tolak apalagi kita hindari. Dituntut adanya kekuatan pertahanan diri yang sangat kuat untuk menjaga nilai - nilai kefitrahan yang dituntunkan oleh agama kita. Kaum pelajar adalah kaum yang potensial mengalami transisi identitas dan sekaligus kaum yang paling familiar dengan pekembangan teknologi informasi. Ini adalah tantangan kita untuk menbangun suatu fondasi akidah ( keberimanan yang kokoh ) dan argumentatif sehingga mampu menghadapi agresi budaya hedonistik, matrealistik, kapitalistik dan sebagainya, serta sekaligus mampu untuk mensyiarkan keluhuran Addin kita ( Islam ) keseluruh alam semesta ( rahmatan lil alamin ).
Kita sebagai pelajar tidak selayaknya lari apalagi mengisolasi diri dari perkembangan zaman yang ada. Kita adalah generasi yang mau tidak mau harus menaklukan perubahan zaman dan mempertanggungjawabkan keyakinan kita dan menunjukan keagungan dan kebenaran ajaran yang dibawa oleh Muhammad SAW. Dakwah dizaman sekarang dimana setiap identitas kebudayaan di akui keberadaannya, adalah dakwah yang kompetitif ( fastabiqul khairot ). Keagungan Islam dan keluhuran nilainya serta solutifnya ajaran- ajarannya harus terkomunikasikan sedemikian rupa, sehingga manusia - manusia berilmu di dunia ini menemukan jalan hidayahnya kedalam Islam. Bersikap tegas dan simpatik sekaligus proaktif adalah sikap yang harus kita pegang dalam melakukan dakwah fastabiqul khoirot. Dengan berjiwa besar dan berfikiran besar serta yakin akan kemuliaan Islam akan sangat membantu kita dalam menjalankan tugas - tugas kekhalifahan kita dimuka bumi.
Menyikapi kondisi terkini berkaitan dengan masa depan dakwah Islam di Indonesia, kita dihadapkan pada suatu tantangan yang datang dari dalam dan luar. Stigma tentang islam sebagai sumber terorisme, telah menguasai sebagian besar para penentu kebijakan di negara kita dan terus diturunkan ke level ummat secara massif. Kita tentu saja tidak sepakat dengan tindakan - tindakan yang brutal dan tidak menjunjung nilai - nilai kemanusiaan, tetapi kita juga tidak mau terjadi over generalisasi yang diupayakan oleh para pemegang opini publik di negara ini yang menyudutkan gerakan Islam yang terus berupaya untuk menciptakan tatanan yang islami dinegara Indonesia. Propaganda anti terorisme telah dimanfaatkan sedemikian rupa untuk mendangkalkan Islam sebagai Addin yang ingin membentuk suatu tatanan peradaban Islam, sekaligus membunuh daya kritis yang konstruktif yang berdasarkan pada prinsip - prinsip Islam. Kita tidak ingin bangsa Indonesia yang mayoritas beragama Islam didangkalkan kemudian menjadi inferior terhadap Addin-nya sendiri sehingga kehilangan identitasnya.
Selamat Hari Bangkit Pelajar Islam Indonesia ke 64, mari kita perbanyak kehadiran kita ditengah masyarakat.
Jakarta,
jayalah PII....selamat harba ke-64
BalasHapus