"Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu pengatahuan beberapa derajat" (QS. Al-Mujahidah: 11).
"Apabila anak adam meninggal, terputuslah amalannya kecuali tiga perkara: shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan dan anak yang shalih yang mendoakannya" (HR. Muslim).
“Hai muda arif budiman/ hasilkan kemudi dengan pedoman/alat perahumu jua kerjakan/itulah jalan membetuli insan” (Hamzah Fansury)
“Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, sehat, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”. (Undang-Undang Nomor : 20 Tahun 2003 Bab II Pasal 3)
Hakikat Pendidikan
Manusia makhluk yang memiliki unsur jasmani dan rohani. Kedua unsur ini saling menyokong satu sama lain. Seperti air yang terdiri dari pencampuran unsur hidrogen dan oksigen, maka bila salah satu diantara keduanya tidak ada maka tidaklah patu disebut air. Demikian pula manusia, bila salah satu dari unsur jasmani atau rohani maka dianya tidaklah boleh disebut manusia 1. Oleh sebab itu, bila pendidikan pada manusia harus diarahkan pada didikan untuk jasmani dan rohani. Ketika Al-Qur’an mengatakan Allah akan meninggikan derajat orang berilmu, maka derajat itu jangan diukur dari segi materi seperti harta kekayaan yang melimpah. Sebab standar itu mendeskriminasi sebagian unsur manusia lainnya. Standar itu hanya akan menjadikan manusia tidak ada beda sama-sekali dengan binatang.
Pendidikan Islam adalah pendidikan yang berkonsenterasi pada pembentukan jasmani dan rohani manusia. Oleh sebab itu sistem pendidikan Barat modern yang sema-sekali mengabaikan unsur jasmani manusia bertentangan dengan Islam.
“Al-Qur’an adalah kitab yang mengutamakan amal daripada gawagan” kata Allama Muhammad Iqbal2.. Oleh karena itu pendidikan Islam harus mengedepankan praktik daripada konsep semata. Islam memiliki definisi ‘bodoh’ yang unik. Orang yang ‘bodoh’ dalam pandangan Islam adalah orang yang boleh jadi telah mengetahui kebenaran namun dia enggan menerapkannya. Ini mengesankan islam sama-sekali tidak peduli seseorang itu punya pengetahuan atau tidak. Yang dihitung adalah ada tidaknya dia menerapkan apa yang diketahuinya.
Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas memberikan contoh iblis yang konon pengetahuannya akan keagungan dan keesaan Allah lebih dalam daripada malaikat-malaikat, namun, karena dia enggan mengaktualisasikan pengetahuan itu ke dalam bentuk perbuatan melalui pengabdian dan peribadatan, maka dia tetap divonis sebagai musuh Allah3. Berdasarkan landasan tersebut, pendidikan Islam haruslah berfokus pada pembentukan karakter atau psikomotor. Pembentukan ini haruslah melalui upaya penyadaran serta pembiasaan secara terus menerus tanpa limit waktu.
Secara yuridis bunyi UU tentang sistem pendidikan nasional memang telah berpihak pada sistem pendidikan Islam. Namun dalam praktik, konsep itu malah semakin jauh dari konsep konsep yang dirumuskan. Sistem tersebut mengisyaratkan bahwa...
“...pendidikan kita harus memiliki karakter positif yang kuat, artinya praktik pendidikan tidak semata berorientasi pada aspek kognitif, melainkan secara terpadu menyangkut tiga dimensi taksonomi pendidikan, yakni: kognitif (aspek intelektual : pengetahuan, pengertian, keterampilan berfikir), afektif (aspek perasaan dan emosi: minat, sikap, apresiasi, cara penyesuaian diri), dan psikomotor (aspek keterampilan motorik), serta berbasis pada karakter positifdengan berbagai indikator.”4
Konsp Pendidikan Islam
Konsep pendidikan yang unggul dan sukses adalah konsep pendidikan yang memiliki cara pandang dunia (weltanschaung) yang signifikan dan menyeluruh akan ilmu. Islam memandang ilmu sebagai sarana untuk mensejah terakan manusia. Baik untuk segi jasmani manupun ruhaninya, baik untuk kesejahteraan dunia maupun akhiratnya. “Siapa yang menghendaki kesejahtraan akan dunianya, hendaklah dengan ilmu. Siapa yang menhendaki kesejahteraannya di akhirat, maka adalah juga dengan ilmu” kata Nabi Besar Saw.
Ilmu dalam pandangan Islam adalah adalah sekaligus antara pengetahuan dan pengamala. Sistem ilmu dalam Islam memiliki basis ontologi, epistemologi dan aksiologi tersendiri yang berbeda dangan sistem ilmu modern yang notabenenya adalah Barat. Konsep ontologi Barat mengabaikan metafisika sebagai salahsatu bagian dari basis ontologi. Hal ini berakibatkan pengkajian atas segala sesuatu tidak menyeluruh. Persis seperti melihat hutan belantara dari atas pesawat. Yang mampak hanya daun, daun dan daun. Sama sekali abai akan adanya beraneka jenis tumbuhan, binatang dan melihat tanah sebagai tempat tumbuhnya batang yang menghasilkan daun yang dilihat itupun gagal.
Ilmu terapan dalam Islam berguna sebagai sarana penunjang kemaslahatan hidup. Agar sarana ini dapat dipergunakan dengan baik, maka perlu pendalaman kesadaran kerohanian. Seemetara-ilmu ilmu sesial hanya boleh bergina sebagai alat untu merumuskan model, sistem dan praktik pehidupan yang telah dikonsepkan dalam al—Qu’an dan sunnah. Ilmu-ilmu sosial tidak boleh brbicara pada tataran bagaimana idealnya suatu masyarakat atau individu karena ranah ini bukan wewenang ilmu murni. Bila diabaikan, maka akan lahir konsep-konsep sosial seperti marxisme, kapitalisme dan lainnya. Pada konsep itu kade-kadang kita menemukan beberapa hal yang kebetulan agak bersamaan dengan konsep yang dimikiliki Islam dan segera mengklaim konsep itu islami. Padahal konsep-konsep itu kebetulan saja sesuai dengan Islam. Imu murni (sains) tidak memeliki wewenang mengatur kehidupan manusia karena ilmu itu adalah hasil produk akal manusia. Bila dijadikan pedonan, maka kita menjadikan akal manusia sebagai ilah, sebagai tuhan.
Bila ingin bijaksana memposisikan sains yang telah menghipnotis manusia-manusia modern, maka posisi kita adalah melihatnya sebagai produk akal manusia secara total. Sehingga kalaupun pada beberapa bagian—meskipun belakangan di hampir semua bagian—bersesuaian dengan Al-Qur’an dan Hadits, maka itu adalah kebetulan semata meskipun akal manusia yang murni takkan bertolakan dengan Al-Qur’an dan Hadits. Ini perlu untuk menghindari kita dari keraguan pada Al-Qur’an dan Hadits bila sewaktu-waktu temuan sains berseberangan dengan Al-Qur’an dan Hadits. Bila menemukan ini, sikap kita adalah meneliti kembali konsep dan temuan sains itu sebab akal manusia itu terbatas. Sikap seperti ini juga diperlukan agar kita tidak terpengaruh untuk menjadikan konsep-konsep sains (utamanaya ilmu-ilmu sosial) sebagai pedoman hidup karena terkagum-kagum akannya.
Sebagai catatan, hal ini bukan berari Islam ingi mengabaikan sains. Sains adalah alat penunjang bagi kesejahteraan kita. Bila musuh kita yang menguasainya, maka sains akan dijadikan alat untuk menghancurkan akidah dan tatanan sejahtera berdasarkan Islam. Dari cara pandang ini, maka mempelajari dan menguasai sains menjadi wajib bagi kita sewajid hukum jihad yang sama dengan sains sebagai sistem pertahanan Islam.
Dalam Islam hukum berjihad menjadi hal kedua paling wajib setelah syahadah saat muslim sedang tertindas akibat pendudukan musuh di tanah kita. Maka kita dapat melihat sendiri bagaimana sains yang dikuasai Barat menghancurkan nila-nilai moral dan akidah kaum musli. Kita juga dapat menyimpulkan sendiri bagaimana hukum mempelajari dan menguasai sains saat ini.
Filsafat Pendidikan Aceh
Aceh memiliki masa lalu yang gilang-gemilang mengenai pendidikan. Pada masa kejayaan kerajaan-kerajaan Islam di Aceh, telah sangat banyak ulama-ulama masa lalu yang memperoleh ilmu dari Aceh lalu menerapkannya di daerah asal mereka masing-masing. Aceh hingga sekarang masih memiliki sistem dan lembaga pendidikan yang telah terbukti mampu melahirkan ulama dan tokoh yang berpengaruh. Hingga perang memanas melawan kerajaan Belanda, Aceh merupakan pusat ilmu pengetahuan bagi dunia Melayu-Nusantara. Melalui lembaga pendidikan yang disebut ‘dayah’6, Aceh telah melahirkan banyak ilmuan dan ulama. Sebut saja Hamzah Fansury yang diakui sebagai pelopor kesusteraan Melayu. Kemudian Syeikh Abdurrauf As-Singkili adalah ulama pertama yang menulis tafsir Al-Qur’an dalam bahasa Melayu5.
Dayah merupakan lembaga pendidikan tradisional di Aceh yang mengedepankan pembentukan moral. Di sana santri diajarkan berbagai disiplin ilmu lalu kemudian apa yang telah diajarkan itu dipraktikkan. Takzim kepada guru (teungku) merupakan aplikasi dari konsep menghormati guru yang diajarkan dalam Islam.
Santri dayah diajarkan segala disiplin ilmu yang mereka butuhkan untuk bekal dalam berkehidupan kelak. Jadi di dayah tidak hanya diajarkan ilmu-ilmu keagamaan seperti Aqidah, Fiqih dan Tasawuf. Santri juga diajarkan ilmu-ilmu bercocok tanan dan segala bidang yang dianggap perlu pada amasa itu. Selain sebagai basis inteletual, dayah juga merupakan pusat rekrutmen militer guna pertahanan kerajaan di masa lalu7. Namun sejak menguatnya tekanan Belanda di Tanah Rencong, sega disiplin ilmu yang dianggap berbahaya ditekan dan dihapus dari kurikulum pendidikan dayah. Prof. Tgk. Muslem Ibrahim pada suatu kesempatan pernah mengatakan bahwa suatu ketika di masa lalu, santri dayah turun memperbaiki sebuah kapal milik asing yang rusak di tengah laut. Ini membuktukan pendidikan di dayah tidak hanya berfokus pada ilmu-ilmu keagamaan namun juga segala ilmu yang menyangkut kemaslahatan dunia dan akhirat.
Pembentukan karakter di dayah sangatleh mudah mengingat santri diharuskan menetap di pondok sehingga pendidik mampu mengontrol segala aktivitas dan praktik keilmuan para santri. Karena pada masa lalu di Aceh hanya memiliki satu sistem pendidikan yaitu berupa dayah. Karena itu terptalah keseragaman pola pikir dan kesadaran kegamaan dan terciptanya masyarakat relijus pada segenap penjuru dan segala lapisan. Lingkungan yang bersih dan bebas dari hal-hal yang merusak akidah menjamin santri dapat mengaplikasikan ilmu-ilmu mereka dari dayah tanpa tekanan dan pengaruh buruk.
Berangkat dari semangat dia atas, sistem pendidikan nasional dapat mencontoh sistem tersebut dan menerapkannya di masa sekarang dan akan datang. Tentunya perlu pengayaan kurikulum dan mata ajar yang lebih kaya untuk menjawab tantangan era modern.
Balakangan sudah dipraktikkan oleh beberapa lembaga sebuah sistem pendidikan pesantren dengan pengayaan disiplin ilmu tertentu yang disebut pesantern modern, pondok modern atau dayah modern. Namun lembaga jenis ini masih dikelola swasta sehingga terdapat dua kemungkinan dalam dapat mengakses pendidikan ini, yaitu harus mengeluarkan uang yang banyak atau menerima segala kekurangan akibat masalah keterbatasan pendanaan.
Departemen Agama sudah membuat perencanaan untuk mendirikan sekolah yang bermodel pesantren modern. Namun sekalipun sistem ini berjalan dengan baik, maka sebuah kebudayaan yang bermartabat akan sulit tercipta karena sebaik apapun pendidikan yang diterima seseorang namun bila kontrol sosial lemah guna memelihara dan mengembangkan ilmu-ilmu yang didapat maka segala ilmu yang dimiliki lama-lama akan luntur akibat berkompomi dengan sosial masyarakat yang mau tidak amau akan terjadi.
Sehaba apapun model dan konten pendidikan yang titerapkan, namun bila sosio-kultural tidak berpihak pada nilai-nilai pendidikan yang ada, maka pendidikan itu tidak akan berarti. Oleh sebab itu pemerintah perlu menyusun UU yang mengatur warga negara untuk tidak diberikan kesempatan untuk merusak nilain dan isi pendidikan nasional kita.
Di Aceh sangat memungkin diterapkan sistem pendidikan dayah modern karena kontrol masyarakat juga masih ada. Di samping itu, syariat Islam yang berlaku di Aceh juga sangat memungkinkan bagi pemeliharaan dan pengembangan bekal keilmuan alumni dayah.
Aceh dapat menjadi pelopor sistem pendidikan yang ideal menurut pandangan Islam dan pandangan segenap kalangan yang jujur menginginkan senuah kebudayaan yang tangguh dan berwibawa. Sejarah telah membuktikan Aceh hampir selalu menjadi pelopor berbagai sistem dan pola pikir kebangsaan Indonesia bahkan dunia. Lihatlah bagaimana negara-negara yang memiliki persoalan pemberontakan daerah datang ke Aceh untuk mempelajari strategi resolusi konflik.
Aceh telah membuat dinuia politik terkagum-kagum dengan terpilihnya gubernur yanpa diusung oleh partai politik. Otonomi daerah dan penerapan syariat Islam menjadi hukum formal adalah sebagian dari pada skian banyak bukti bahwa Aceh adalah sebagai lokomotif perubahan negara Indonesia.
Aceh telah ratusan tahun yang lalu membungkam mitos sepanjang sejarah kemanusiaan khususnya Islam tentang mustahilnya wanita menjadi seorang kepala negara dengan melantik rutu sebaigai kepala negara berturut-turut empat orang. Praktik ini adalah lompatan lebih seribu tahun ke depan pada masa itu. Ini membuktikan bahwa Aceh adalah kawasan yang dinamis dan progrefil. Di samping itu, Prof. Teungku Hasbi ash-Siddique dari Pasai adalah penggagas Fikih Mazhab Indonesia. Bahkan penyebar agama Islam di Tanah Jawa Maulana Malik Ibrahim atau dikenal dengan Fatahillah atau adalah ulama dari Pasai.
Fakta-fakta di atas adalah untuk menumbuhkan semangat dan optimisme kita bahwa perubahan sistem pendidikan nasional sangat mungkin di muali dari Aceh. Dan hal ini dapat dikatakan hampir pasti bila dari sekarang kita bangun dan menggali dan meneliti sistem pendidikan tradisional Aceh, mengumpukan dan menyusun sebuah sistem pendidikan nasional yang benar-benar dapat menjadi acuan dalam merumuskan sistem pendidikan nasional kita yang semakin mengarah pada jugang kehancuran dan pengjancuran.
*Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Pendidikan oleh Pengurus Wilyah Pelajar Islam Indonesia (PII) Aceh.
Catatan:
1. Qurish Shihab, “’Membumikan’ Al-Qur’an” (Bandung: Mizan), 2002
2. Muhammad Iqbal “Membangun Kembali Pemikiran Agama dalam Islam” (Jakarta: Tintamas), 1986
3. Syed Muhammad Naquib Al-Attas, “Prolegomena in to the Mataphysic” (Kuala Lumpur: International Institute of Islamic Thought and Civilization [ISTAC]), 2001
4. http://dedekusn.com/pendidikan/pentingnya-karakter-positif-pendidikan/#more-471 diakses: 01/05/2011.
5. Oesman Bakar dalam “Ensiklopedi TematisSpiritualitas Islam: Manifetasi” (Bandung: Mizan), 2002 Seyyed Hossein Nasr (ed.)
6. Dayah (dalam bahasa Arab; زاوية zawiyah. Artinya sudut, karena pengajian pada masa Rasulullah dilakukan di sudut-sudut mesjid) adalah kata yang digunakan untuk sebuah lembaga pendidikanIslam di Aceh (di pulau Jawa disebut pesantren). Lihat http://id.wikipedia.org/wiki/Dayah
7. http://id.wikipedia.org/wiki/Dayah diakses: 01/05/2011.
8. Empat ratu Aceh Darussalam: Sri Ratu Safi al-Din Taj al-Alam (1641-1675); Sri Ratu Naqi al-Din Nur al-Alam; Sri Ratu Zaqi al-Din Inayat Syah (1678-1688) Sri Ratu Kamalat Syah Zinat al-Din (1688-1699), dan; Sultan Badr al-Alam Syarif Hashim Jamal al-Din (1699-1702) .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar