Link Download

Jumat, 14 Januari 2011

Subang Selalu Senang (Sebuah Laporan Kursus Pemandu)

Bismillahirrahmanirrahim.

Tidak ada wanita yang paling hebat di Indonesia selain PII Wati. Di tengah kegetiran, kesulitan dan kesusahan; mereka mampu memberi manfaat untuk orang lain. Setidaknya itulah pemandangan yang kulihat di dalam gerbong kereta Api yang sangat padat, panas dan pengap dalam perjalananku menuju Subang. Dalam kepanasan yang luar biasa, mereka  masih sempat mengeluarkan sesuatu dari ransel untuk menjadikan benda itu sebagai kipas. Seorang anak yang menangis menjerit karena panas dan pengap. Ibunya yang juga dalam keadaan yang susah jadi panik. Wanita-wanita terbaik di Indonesia itu mengipasi anak itu. Anak tersebut-pun menjadi agak nyaman.

 Pemandangan PII Wati yang heroik seperti ini tidak kutemukan pada PII Wati di Aceh. Di sana, PII Wati-nya cemen, mengkek, manaja dan menyebalkan. Kehadiran mereka bukan malah membantu, sebaliknya selalu menambah beban dan merepotkan. Kukira hanya PII Wati Aceh saja yang tidak punya jiwa herok Malahayati dan Cut Nya’ Dhien. Karena hanya PII Wati Aceh saja yang demikian dan lainnya tidak: PII Wati tetaplah wanita-wanita terbaik, di Indonesia, setidaknya.

***

Allah SWT telah memberikan kelonggaran dalam shalat dengan memebenarkan menjamaknya bila dalam berperjalanan: Setidaknya menurut jarak tertentu. Setahuku 83 km atau lebih. Allah SWT tidak menghitungnya menurut waktu atau jarak tempuh. Mereka yang “terlalu pintar berijtihad” menganggap bila naik pesawat kita tidak boleh jamak shalat. Padahal naik pesawat maupun kereta api, misalnya, tidak lepas dari perlunya menjamak shalat. Sebab, proses-prosesnya juga menyita waktu, seperti menunggu pemberangkatan. Hal inilah yang dialami Musa. Dia memutuskan tidak menjamak ashar ke dalam zuhur saat kami transit di lokasi Training LBT PII di Karawang. Akibatnya, entah bagaimana caranya, dia harus bisa menyelesaikan shalat asharnya satu menit seja sebab kereta api yang akan berangkat ke arah stasiun Sadang beberapa detik lagi tiba. Melihat Musa, saya teringat dengan kebaikan Allah SWT yang tidak diindahkan makhluknya.

***

Sebelumnya kikira akulah satu satunya instruktur PII yang mengelola training sendirian. Aku pernah melakukannya pada Ramadhan 2008 di Kopelma, Darussalam.. Ternyata, Zaki, PW PII Jakarta Raya, juga melakukan hal yang sama di karawang. Sama, Intermediate Training juga. Untungnya, aku lebih beruntung dari Zaki, keterbatasanku karena seorang diri dapat kututupi dengan mengundang KB PII yang telah menjadi dosen-dosen ternama IAIN Ar-Raniry untuk mengisi materi-materi.

***

Awalnya kami tidak berencana melaksanakan Kursus Pemandu (KP), namun karena aku tidak ingin ditinggalkan sendiri di lokasi Training Sunbang oleh teman-teman yang bukan tim instruktur LBT, aku menawarkan mereka untuk kita laksanakan KP. “Bagaimana kalau kita KP: Agar tidak dianggap makan grati saja oleh PII Subang.” Tawarku. Beberapa di antara mereka menerima dengan semangat tawaran itu, yang lain ragu-ragu. Ada juga yang tidas setuju. Seorang Mu’addib tidak saja hanya melaksanakan ta’dib secara tunduk dan patuh pada “kitab keramat PII’ itu, bagiku, yang jauh lebih penting dari itu adalah semangat dan realitis dalam menerapkan konsep-konsepnya. Semangat itulah yang membuatku terus memotifasi kader-kader pasca Intra untuk mengikuti KP. Selain itu, seorang Mu’addib harus menggiring sasarannya ke arah yang diinginkan tanpa kesan pemaksaan. Ini juga yang kulakukan hingga terrlaksanalah KP itu setelah melalui proses persuasi selama dua hari.

Hari ke-3 training, KP dibuka dengan jumlah peserta enam orang. Kami melaksanakannya dengan persiapan seadanya. Modal paling penting telah terpenuhi: ada Ta’dib dan Mu’addib qualified. Sebelumnya, Zaki yang tidak istirahat setelah mengelola Intra di Karawang, langsung kembali memegang kendali LBT Subang, menawarkanku, masuk tim. Aku menolaknya bukan karena sombong. Namun aku mengatakan, kalau aku pemail bola sepak, telah gantung sepatu. “Saya memang belum gantung Ta’dib, namun saya telah gantung Silabus, Batra dan Intra. Jadi artinya aku akan mengelola KP.

Aku memutuskan tidak lagi mengelola, terutama Intra dan LBT, karena ingin memberi kesempatan pada para instruktur-instuktur baru untuk belajar dan agar mereka yang belum memenuhi kualifikasi tertentu dapat mewujudkannya dengan banyaknya kesempatan untuk itu. Aku telah menjadi Koordinator Tim (Kortim) LBT dan Intra, masing-masing sebanyak tiga kali. Bagiku, kalau aku pemain bola, sudah saatnya memundurkan diri.

Dua orang antara peserta awal terpaksa tidak mengikuti KP karena diminta membantu tim LBT menjadi observer ruangan dan obserfer materi. Karena kerja observer adalah mengawasi, maka Yazid menyebut observer sebagai “malaikat”. Namun kehilangan dua orang itu tidak membuat KP urung dilaksanakan.  Berdatangan beberapa peserta lain, diantara mereka ada yang baru saja mengikuti Intra di Karawang.  Total peserta adalah tujuh orang. Lebih banyak satu orang daripada Kursus Mu’allim (KM) yang dilaksanakan PD PII Bireuen selepas Lebaran Puasa 2010. KM tersebut adalah yang paling unik sepanjang sejarah sebab beberapa materinya, temasuk baiat peserta dilangsungkan di warung kopi Star Black, Bireuen, tepatnya di lantai dua, di tengah kerumunan manusia yang sedang online dan menikmati kopi.

Menerapkan ta’dib, menurutku sama seperti menerapkan Al-Qur’an dan Hadits. Kita harus benar-benar memahami jiwanya. Kita harus memahami dengan benar psikologi sasaran. Setiap realitas yang ada tidak boleh serta-merta dihadapi secara frontal. Kita harus benar-benar memahami kondisi psikologis individu dan sosio-kultural sasaran. Setidaknya inilah yang kuterapkan saat mengelola Intra di Lhokseumawa 2010. Di atas kertas, banyak dari peserta tidak layak diluluskan sebagai peserta Intra. Namun karena mengingat kondisi mental-psikologis peserta bila tidak diluluskan, akan berdampak pada berkurangnya semangat mereka ber-PII. Selanjutnya aku harus realistis dalam melihat kondisi PII Lhokseumawe dan Aceh Utara: Kalau mereka tidak diluluskan, PII Lhokseumawe dan Aceh Utara tidak punya pilihan lain dengan tetap harus melibatkan mereka sebagai pengurus. Jadi, pertimbanganku, Intra ini harus intensif. Harus banayak penekanan pada sistem manajemen organisasi dan pemahaman administrasi. Dengan catatan tidak melupakan fokus utama Intra yaitu kemampuan analisa sosial serta kepekaan terhadap persoalan-persoalan ummat.

Intra dilanjutkan dengan KP. Kualitas kader yang baru saja lulus Intra tidak memiliki banyak perubahan, terutama kelayakan mengikuti sebuah kursus, ditambah minat beberapa peserta menurun untuk mengikuti KP dengan alasan sekolah sudah dimulai kembali. Kuputuskan tidak membaiat seorang pun dari peserta Intra. Kukatakan tidak dianggap lulus Intra tanpa lulus KP. “Ijtihad” ini kulakukan dengan alasan karena kulihat banyak kader Batra PII Lhokseumawe dan Aceh Utara berhilangan begitu saja pasca training. Aku menduga, dan menemukan sedikit indikasi, ini disebabkan kurangnya loyalitas kader pasca Batra. Hal ini terjadi biasanya karena kader belum pahan benar tentang PII. Seorang kader akan memiliki loyalitas tinggi bila dia telah memiliki banyak kesan dengan PII. Hal ini harus diselesaikan dengan cara mem-Pra-Batra kan kader-kader. Kalau mengharapkan persoalan ini dapat diselesaikan melalui ta’lim, kukira keliru. Sebab, ta’lim bagi peserta yang lemah dalam semangat dan kendur dalam minat hanya membuat kader betah mengikuti ta’lim dua atau tiga kali pertemuan. Sebab itu, kupaksakan agar PII Lhokseumawe dan Aceh Utara punya banyak pemandu.

***

Innovasi yang membuat kader PII Aceh tercengang berawal dari permintaan Teuku Qadarisman, Kabider PII Bireuen, padaku untuk memberikan semacam kajian bagi para kader Pasca Intra anggota Brigade agar mereka dapat memiliki suatu konsep dalam menangani  sekitar 30-an anggota Brigade PII Bireuen yang baru saja LBTD pada Ramadhan 2010 di SMP 5 Bireuen. Aku berfikir satu hari untuk menjawab permintaan Risman. Inspirasi melaksanakan kursus yang dapat menciptakan para mu’allim gaul muncul saat dagangan underwear laris manis di Matangglumpangdua: Para mu’allim itu akan menangani anak-anak Brigade yang memiliki karakter berbeda dengan kader-kader PII lain. Meski seorang mu’allim itu harus menonjolkan suri tauladan serta rajin beribadah, sesuai petunjuk kitab keramat kami, ta’dib, namun mereka harus dibungkus dengan baju gaul dan semangat pantang kendur. Sekali lagi, yang akan mereka tangani adalah kader-kader PII yang barusaja lulus LBTD. Para pemateri dalam KM gaul itu adalah Khairil Anwar, Amrizal dan Putra Diansyah. Aku menyukai instruktur-instruktur yang tidak pernah berhenti belajar dan selalu meningkatkan kualitas inteletual mereka. Ini pula yang langka di Aceh. Mungkin inilah alasanku kenapa tidak pernah bisa memandang Supyan “Ali” Suri secara negatif. Minatnya akan ilmu memberi hijab bagi mataku akan tindakan-tindakannya yang negatif. Sama seperti Ali, Amrizal juga dipandang negatif, dengan alasan yang berbeda, oleh beberapa kader PII, sebab mereka tidak memakai cara berfikir: positif-kritis.

Awan terjadinya error dalam KP kami di Subang saat aku membawakan materi yang membicarakan posisi manusia dalam pandanganta’dib serta Ta’dib dalam pendidikan Islam. Saat aku sedikit membuka wacana pada filsafat manusia, peserta terlihat begitu antusias, terutama saat aku mengaitkan kajian manusia denga terori-teori ilmuah modern dan kontemporer. Dalam buku “Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed Muhammad Naquid Al-Attas”, Wan Muhammad Nur Wan Daun menerangkan bahwa menurut Al-Attas, dari tiga sistem pendidikan Islam—talim, ta’dib dan tarbityah—sistem ta’dib lebih baik sebab dia membentuk adab, moral, etika dan akhlak manusia. Dengan cara itu, adab manusia-manusia akan membentuk kebudayaan. Rasulullah sendiri diutus untuk meluruskan akhlak, adab.

Sistem tarbiyah hanyalah membentuk manusia yang memiliki karakter ketuhanan dan mendekatkan manusia pada pengabdian semata. Hal ini tidak dapat menjadikan manusia sebagai “Khalifatullah” untuk memakmurkan bumi. Amanah memakmurkan bumi membutuhkan kepekaan tingkat tinggi serta memiliki kemampuan formulasi dan pendekatan yang integral dengan realitas yang sedang berlaku. Hal ini bukan berarti menuntut manusia untuk pandai mengakal-akali amanah Allah, melainkan menggunakan akal untuk menerapkan amanah Allah dengan santun dan realistis agar target tercapai. Jalan ini tidak akan membuat manusia menjadi alien, paradoks dan melahirkan penyakit  hati serta depresi karena hanya mampu melihat realitas yang semakin bangsat tanpa mampu melakukan suatu kontribusi apapun.

Disamping itu sistem pendidikan Islam: Ta’lim (Bukan “ta’lim” yang merupakan bagian dari sistem kadersasi PII yang tertera dalam buku panduan kaderisasi PII’ “ta’dib”) hanya memberi peran dalam memberi pengetahuan yang sekedar tau saja tanpa memberi kesadaran dan motifasi untuk mengamalkan apa yang diketahui. Islam adalah agama yang mengutamakan pengamalan dari sekedar pengetahuan. Pengetahuan tidak akan mempu membentuk kebudayaan atanpa ada pengamalan.

***

“Mana laporannya” Pertanyaan itu yang selalu keluar dari mulut Musa setiap berjumpa ataupun sekedar papasan denganku. Awalnya kalimat itu membuatku risih. Lama-lama menjadi terbiasa. Kuanggap saja itu sebagai ucapan tegur sapa.

“Kan, maksimal empat belas hari” sanggahku. “Aku akan membuat laporan yang bagus untukmu. Persis seperti sebuah jurnalisme sastrawi. Deskripsi peserta akan kusajikan dengan jelas. Kualitas peserta akan kuuraikan seperti sebuah cerita hingga nilai mereka dapat diberikan langsung oleh yang membaca. Pelatih itu bukan hakim.” Kataku. Meski aku sendiri tidak yakin dengan apa yang baru saja kujanjikan pada Musa, aku memimpikan laporan yang tidak memberi nilai-nilai seperti menghakimi peseerta. Aku merindukan sebuah laporang yang mampu disajikan secara benar-benar deskriptif sehingga setiap pembacanya bisa memberi nilai sendiri pada masing-masing peserta.

***
Kondisi Lokasi

Setelah turun dari bis yang telah mengantarkan kami menempuh waktu lebih satu jam dari stasiun Sadang, kami berjalan kaki, mungkin sampai satu kilometer jarak yang kami tempuh dengan berjalan di tengah gelap gulita. Hanya sesekali kami menemukan cahaya dari teras rumah-rumah warga yang di pinggir jalan. Aku terseok-seok dengan sebuah koper milik Anis, seorang instruktur dari PII Jawa Tengah yang membantu PW PII Jakarta mengelola LBT.

SMK PGRI Subang adalah lokasi yang kami tuju. Tiba di sana kami disambut beberapa orang panitia. Kata Yazid, PD PII Subang haya memikili beberapa orang kader Intra. Lokasi ini sangat kondusif: agak jauh dari pemikiman warga; punya lapangan yang luas hingga peserta dan panitia bisa bermail volley dan basket bila ada waktu luang (meski ada gawang dan lapangan untuk bermain futsal—sialnya kami tak bisa main pertandingan yang Indonesia menjadi juara Asia itu karena bolanya di rung guru dan; ada sebuah masjid kecil di dalam komplek sekolah, jadi kami tidak perlu repot-repot shalat terlalu jauh atau harus menyulap salah satu ruang belajar menjadi mushalla seperti yang sering di lakukan di PII Aceh saat training.

Ruang KP tak terganggu oleh panitia, peserta LBT maupun oleh instruktur. Ruang KP berada di ujung dari seluruh ruangan. Selain tidak terganggu, tempat ini jauh lebih segar sebab udara bebas keluar masuk tanpa hambatan. Meskipun jarak antara ruang tidur peserta dan instruktur dan ruang instruktur agak jauh namun hal ini tak pernah menjadi kendala. Ingat KP Kami lima hari.

Yang agak menjadi kendala adalah rasa tidak enak dengan panitia. Kami rasa, mereka tau kami cuma makan gratis dan memberatkan mereka saja. Padahal awalnya aku mempersiapkan peserta KP dengan materi yang longgar agar bisa membantu kerja panitia. Namun setelah KP dimulai, panitia menolak peserta KP ikut memasak, entah karena takut menghambat jalannya kursus atau karena bibit sentimen itu telah ada. Yang jelas, setelah dua hari KP dimulai, panitia meminta peserta KP menyumbangkan uang guna memenuhi kebutuhan konsumsi. Katanya panitia sedang kesulitan pendanaan. Tapi mungkin tidak ada di antara peserta KP yang membayar, sebab, aku tau, tidak seorangpun di antara mereka yang punya uang lebih dari sekedar ongkos. Bahkan aku dan Yazin tidak punya uang meski seribu rupiahpun. Tumpuan kami adalah Zaki. Kalau Zaki tidak mau bawa pulang kami, mungkin kami berdua harus pulang dengan berjalan kaki ke Jakarta. Untungnya Melly dapat kiriman uang dari saudaranya. Aku dan Yazid diberi masing-masing lima ribu rupiah. Dan untunglah Zaki tidak melupakan kami.

Kondisi Ruangan
 Ada beberapa alasan kenapa pelatih atau instruktur harus mengganti-ganti posisi duduk peserta. Pertama karena masalah keaktifan peserta. Kedua, karena kedekatan peserta di mana bila yang lebih akrab duduk berdekatan mereka akan membuat forum di dalam forum. Roker posisi peserta pada KP ini kukira tidak perlu karena semua peserta aktif. Kalaupun ada yang aktifnya di bawah rata-rata, maka itu semata-mata karena sedang sariawan seperti Gugun, atau karena sedang memiliki beban pikiran seperti Pepy sebab seperangkat alat mandinya hilang.

Keberadaan kursi-kursi dan meja-meja di belakang posisi duduk peseta memang agak mengganggu. Namun, kursi-kursi dan meja-meja ini sering dimanfaatkan peserta-peserta wan untuk tidur. Hampir setiap malam peserta wan tidur di ruang belajar. Hampir setiap malam kami semalaman melewatkan malam dengan online, main game dan nonton Holywood. Saya sarankan adegan ini jangan ditiru di KP lain, bila tidak ingin KP-nya sampai lima hari seperti kami..

***

Ahmad Syair

Kawan kawan dapat melihat foto profil fb-nya dengan gambar pemuda kartun pakai kacamata. “Biasanya yang pakai foto profil gambar kartun atau bunga orangnya jelek, tidak PD” kataku pada Syair. “Enggak loh ,Bang. Saya ini ganteng, loh” Sanggahnya sambil memperlihatkan foto-foto profil lainnya. Kulihat salah satu fotonya. Dia memang lumayan (Takmungkin kusebut dia ganteng karena aku sejenis kelamin dengannya. Nanti banyak yang curuga). Foto itu adalah seorang remaja yang berperawakan mirip Cina. Lumayan.

Syair suka menanggapi dengan cepat setiap pertanyaan yang diberikan ataupun menanggapi temannya. Namun kecepatan ini tidak disertai dengan daya analisa yang memadai. Dia juga terlihat gagok dalam berbicara sebab kata-kata yang keluar dari mulutnya terlalu cepat. Mungkin karena lidahnya tak mampu mengimbangi pikirannya yang mengalir tajam.

Romadoni

“Salah satu tujuan saya mengikuti KP ini adalah untuk membangunkan saya dari tidur ini” Spontan saja kalimat yang keluar dari mulut Doni membuat teman-teman tertawa. Dia memang terlalu banyak tidur. Saat meteri berlangsung dia ketiduran. Saat istirahat dia paling cepat tidur. Selesei imam salam kepalanya langsung tertunduk dan tertidur. Aku menduga sel-sel otaknya belum benar-benar aktif. Kira-kira seperti bayi yang butuh banyak tidur. Mungkin!

Melly menggelarinya “Abu Nawm” Dai memiliki banyak kelemahan dalam berbicara. Dia gagok. Aku meragukan kemampuannya mengelola sebuah kursus, apa lagi menjadi pemandu ruangan saat Pra-Batra. Kekurangannya ini terlihat jelas saat dia Kultum. Aku menyarankannya banyak-banyak membaca. Membaca selain dapat menjadi kekuatan untuk menulis, juga memberikan kefasihan lidah dalam berbicara.

Aku heran kenapa di sini peserta LBT tidak diwajibkan kultum oleh Kortim. Setahuku hampir semua training di Aceh pesertanya wajib kultum. Apalagi dengan kondisi yang sangat mendukung seperti ini. Jadi, kuputuskan para peserta KP memberikan kultum secara bergilir pada beberapa hari menjelang training bubar.

Sayangnya Doni terlalu mudah terkena rayuan Melly. Dia bahkan di-per-alat dan dijadikan persis seorang pembantu bagi perempuan itu. Dia senang-senang saja melakukan apa yang diperintahkan Melly. Cinta memang menuntut pengorbanan. Apalagi mendapatkan kesempatan duduk semeja dengan Melly dan sering difoto oleh gadis itu. Kukira kalau lebih sering lagi difoto oleh Melly, dia bahkan akan rela menyerahkan nyawanya untuk PII Wati asal Cianjur itu.

Yazid Qubuddin

Dia memiliki pikiran-pikiran cemerlang dan orisinil. Sayangnya dia terlalu banyak main-main dan menjadi penyebab utama kenapa sebuah KP harus memakan waktu sampai lima hari. Katanya: ”Di Menteng pun mau ngapain, Bang. Makan ’aja terancam”. Kata-katanya itu memang benar. Untunglah ini tidak diutaraka di hadapan orang, kalu tidak bisa malu aku. Kepada kawan-kawannya yang mendesak agar segera saja seluruh materi diselesaikan. Dia menjawab. ”Di rumah, pun mau ngapain’. Tapi kalau alasan ini di sampaikan pada Pepi, perempuan mungil itu akan merengek-rengek dan menjerit lantang ”Pokoknya aku mau pulaaang’ setelah puas menjerit, setelah berulang kali didesak kenapa buru-buru pulang –karena kami khawatir jangan-jangan ibunya masuk rumah sakit atau kakaknya mengalami pendarahan yang membuat dia hendak buru-buru pulang—dia akan bersuara dengan irama yang sangat lembut dan membuat kucing-kucing sedang bunting bersedih ”Di sini boseen” Ah, bosan. Kupikir karena pamannya sedang di ruang ICU akibat kecelakaan lalu-lintas atau ada kepentingan apa yang mendesak. Mendengar itu Yazid menengadahkan wajahnya ke langit, memejamkan mata dan meremas rambutnya seraya berkata ”Alaaah, maak.” Kucing kurapan pencuri tahu-tempe milik panitia yang sedang memasak ikut mengelus kepala. Kalau kucing itu bisa bahasa manusia, aku sangat yakin dia akan berkata sama seperti yang diucapkan Yazid ”Alaaah, maak.”

Di antara mereka semua, Yazid adalah peserta KP yang paling dekat denganku karena  dia paling sering datang ke Menteng. Kami sering berbagi online, sharing ide dan gagasan bersama dan bersama menertawakan kegetiran yang kami hadapi. Di lokasi training Subang, kami masih melakukan hal yang sama bersama. Pikiran-pikirannya terlalu banyak dipengaruhi Korpu Brigade PII periode lalu. Katanya hanya dengan revolusi baru kita ’kan mampu menciptakan perubahan. Aku menganggap aneh ide demikian, aku yakin ini adalah buah pikir As’ari atau As’ari dkk. Ide ini sangat tidak realitis. Kondisi masyarakat, politik, dunia global dan sistem negara saat ini benar-benar tidak memberi selah sedikitpun untuk ide ini.

”Rekayasa Sosial” kata Korpus Brigade PII periode-periode lalu. Apanya yang mau di rekayasa: Merekayasa Menteng  Raya 58 saja mustahil. Lagi pula begini: Kader yang mau berbuat secara serius untuk Brigade PII adalah mereka yang telah selesai mengikuti LBTD. Mereka belum tersentuh pada kepekaan emisional maupun pemahaman sosiologi. Jadi bagaimanapun ide-ide tentang sosial takkan mampu mereka terima. Kalaupun mereka telah di-Intra-kan sehingga sedikit banyaknya mereka telah mampu memahami persoalan dan memiliki bekal tentang gerakan sosial; namun pasca Intra, komitmen ke-Brigade PII-an akan kendur, sehingga semangat gerakan akan misi-misi Brigade PII tak lagi mereka respon dengan semangat. 

Ujang Gugun Gunawan

Tak kusangka dia adiknya Eka Setiawati. Kecantika Eka sama sekali tak mengalir pada adiknya ini, meskipun pemuda ini ganteng dan keren. Dia suka diam saja dan kadang-kadang tersenyum mengamati komentar-komentar temannya. Dia adalah komandan Brigade PII Karawang. Namun belum mengikuti LBTD. Tapi dia teken kontrak untuk ikut LBTD. Ini persis seperti yang dilakukan Ping, Komandan Korda Brigade PII Bireuen. Alhamdulillah Ping telah melaksanakan kewajibannya. Mudah mudahan Gugun juga.   

Tinggi, keren dan pendiam. Ini adalah karakter yang disukai cewek-cewek. Aku yakin setiap malam ada beberapa cewek yang merindukannya sekaligus dalam waktu bersamaan. Melihat kawan-kawannya yang sedang alot bertengkat, dia tetap diam dan tenang; sesekali tersenyum. Ini misteris. Kenapa dia tak terpancing untuk merespon topik yang sedang diperbincangkan, padahal sering panas, apalagi Nellya aktor utamanya: Sama sekali tidak memahami, atau tak paham sama-sekali; atau kadang-kadang paham betul dan kadang-kadang tak tahu sama sekali. Tapi yang membuat aku salit padanya adalah kemampuannya yang di atas rata-rata dalam menguasai forum saat dia berpraktik Micro Teaching. Juga sangat dewasa dan berwibawa.

Anto Suryanto

Gerak. Kehidupan ada karena gerak. Mata berfungsi: melihat, karena ada gerak. Aku yakin bila unsur-unsur atom dari setiap benda tidak bergerak, tidak akan mampu mata-mata melihat sesuatu apapu.

Mereka yang pesimis dan putus asa dalam hidup adalah orang yang malas bergerak. Allah SWT hanya menyuruh kita bergerak, lalu rezeki kita Dialah yang mengaturnya. ”Selesai shalat, maka bertebaranlah di muka bumi mencari karunia Allah SWT.” Itu adalah perintan untuk bergerak.

Demikianlah inspirasi kudapat dari kuliah yang hanya disampaikan Anto selama tujuh menit dihadapan jamaah shalat fardu Isya: Kuliah Tujuh Menit!.

Tipikalnya pendiam. Dia rajin membaca. Diamnya ini tidak lantas membuatnya kikuk maupun kaku dalam membawa materi. Seperti yang telihat saat Micro Teaching, Ketum PD PII Karawang ini begitu bersemangat dalam menyampaikan materi. Penguasaan materi dibarengi dengan keahliannya menguasai suasana ruangan. Sempurna. Inilah tanggapan yang dapat kuberikan pada pemuda tinggi, tegap berkulit cokelat ini. Kalau boleh memilih satu peserta KP terbaik, maka dialah orangnya. Dan aku berhak untuk itu.

Pepi Oktaviani

“Puulaaang. Aku mau pulaaaang.” Inilah kalimat yang selalu keluar dari mulut siswi SMA kelas XII ini. Bila sedang istirahat atau waktu luang untuk mengerjakan tugas-tugas, dia selalu menjerit dan terkadang kalau sudah lelah menjerit, dia berbisik pelan: “Puulaaang. Aku mau pulaaaang.” Seruan lembut penuh pilu itu akan membuat tikus-tikus di selokan berhenti bekerja, tertegun sebentar, lalu mengucurkaan air mata dan kemudian kembali mengais sampah untuk makan malam.

Sulit bagiku menemukan minat dan keahlian yang dimiliki PII Wati berkulit putih dan mungil ini. Hingga suatu hari aku memintanya membacakan puisi-puisiku di catatan fb. Dia begitu menghayati pekerjaannya ini. Totalitas dalam mengekspresikan untaian kata dalam sebuah puisi. Intonasi yang berirama luar biasa dipadukannya dengan gerak tubuh yang sempurna.

Kalau Melly sedang ngos-ngosan menyampaikan pemikiran filsafatnya, Pepi hanya mampu melongoh, melotot matanya namun teduh, membuka mulut lebar-lebar dan setelah Nelly selesai ”mengoceh”, selalu Pepi bertanya dengan nada minta dikasihani pada Melly ”Apa, Kak? Aku ’gak ’ngerti.”

Dua orang Wati di ruangan kami ini benar-benar bertolak belakang satu sama lain: yang satu terlalu logika-logikaan dan gila filsafat, satunya lagi berlebihan menggemari sastra terutama puisi hingga terserap ke dalamnya.

Melly M Azizah

Kehadiran Melly mengingatkanku pada pepatah; “Bila engkau tertawa, maka dunia akan tertawa bersamamu. Dan bila kau menangis, maka engkau sendiri”. Sebab itu Melly memilih untuk menjadi pribadi yang senantiasa ceria. Keceriannya ini mampu menghipnotis teman-temannya yang lain hingga membuat mereka selalu senang. Karenanya Subang selalu senang.

***

Kondisi Lokasi

Setelah turun dari bis yang telah mengantarkan kami menempuh waktu lebih satu jam dari stasiun Sadang, kami berjalan kaki, mungkin sampai satu kilometer jarak yang kami tempuh dengan berjalan di tengah gelap gulita. Hanya sesekali kami menemukan cahaya dari teras rumah-rumah warga yang di pinggir jalan. Aku terseok-seok dengan sebuah koper milik Anis, seorang instruktur dari PII Jawa Tengah yang membantu PW PII Jakarta mengelola LBT.

SMK PGRI Subang adalah lokasi yang kami tuju. Tiba di sana kami disambut beberapa orang panitia. Kata Yazid, PD PII Subang haya memikili beberapa orang kader Intra. Lokasi ini sangat kondusif: agak jauh dari pemikiman warga; punya lapangan yang luas hingga peserta dan panitia bisa bermail volley dan basket bila ada waktu luang (meski ada gawang dan lapangan untuk bermain futsal—sialnya kami tak bisa main pertandingan yang Indonesia menjadi juara Asia itu karena bolanya di rung guru dan; ada sebuah masjid kecil di dalam komplek sekolah, jadi kami tidak perlu repot-repot shalat terlalu jauh atau harus menyulap salah satu ruang belajar menjadi mushalla seperti yang sering di lakukan di PII Aceh saat training.

Ruang KP tak terganggu oleh panitia, peserta LBT maupun oleh instruktur. Ruang KP berada di ujung dari seluruh ruangan. Selain tidak terganggu, tempat ini jauh lebih segar sebab udara bebas keluar masuk tanpa hambatan. Meskipun jarak antara ruang tidur peserta dan instruktur dan ruang instruktur agak jauh namun hal ini tak pernah menjadi kendala. Ingat KP Kami lima hari.

Yang agak menjadi kendala adalah rasa tidak enak dengan panitia. Kami rasa, mereka tau kami cuma makan gratis dan memberatkan mereka saja. Padahal awalnya aku mempersiapkan peserta KP dengan materi yang longgar agar bisa membantu kerja panitia. Namun setelah KP dimulai, panitia menolak peserta KP ikut memasak, entah karena takut menghambat jalannya kursus atau karena bibit sentimen itu telah ada. Yang jelas, setelah dua hari KP dimulai, panitia meminta peserta KP menyumbangkan uang guna memenuhi kebutuhan konsumsi. Katanya panitia sedang kesulitan pendanaan. Tapi mungkin tidak ada di antara peserta KP yang membayar, sebab, aku tau, tidak seorangpun di antara mereka yang punya uang lebih dari sekedar ongkos. Bahkan aku dan Yazin tidak punya uang meski seribu rupiahpun. Tumpuan kami adalah Zaki. Kalau Zaki tidak mau bawa pulang kami, mungkin kami berdua harus pulang dengan berjalan kaki ke Jakarta. Untungnya Melly dapat kiriman uang dari saudaranya. Aku dan Yazid diberi masing-masing lima ribu rupiah. Dan untunglah Zaki tidak melupakan kami.

Kondisi Ruangan
 Ada beberapa alasan kenapa pelatih atau instruktur harus mengganti-ganti posisi duduk peserta. Pertama karena masalah keaktifan peserta. Kedua, karena kedekatan peserta di mana bila yang lebih akrab duduk berdekatan mereka akan membuat forum di dalam forum. Roker posisi peserta pada KP ini kukira tidak perlu karena semua peserta aktif. Kalaupun ada yang aktifnya di bawah rata-rata, maka itu semata-mata karena sedang sariawan seperti Gugun, atau karena sedang memiliki beban pikiran seperti Pepy sebab seperangkat alat mandinya hilang.

Keberadaan kursi-kursi dan meja-meja di belakang posisi duduk peseta memang agak mengganggu. Namun, kursi-kursi dan meja-meja ini sering dimanfaatkan peserta-peserta wan untuk tidur. Hampir setiap malam peserta wan tidur di ruang belajar. Hampir setiap malam kami semalaman melewatkan malam dengan online, main game dan nonton Holywood. Saya sarankan adegan ini jangan ditiru di KP lain, bila tidak ingin KP-nya sampai lima hari seperti kami.

Mentra 58, 12 Januari 2011


Tamat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar