Manusia beserta alam berada dalam waktu. Manusia selaku bagian dari alam mendapatkan tugas khusus dari Allah guna melakukan pengendalian akan alam dengan tujuan utama yaitu menjadikannya sebagai wadah pengenalan akan Tuhan. Melakukan tugas ini nyatanya amat berat bagi manusia, namun karena karena semangatnya yang begitu kuat, manusia menyatakan mampi melakukan tugas tersebut (QS. Al-Ahzab: 72).
Tapi Tuhan, karena besar apresiasiNya pada Tuhan, Dia memberi manusia aneka fasilitas lebih guna manusia dapat menjalankan amanah beser tersebut. Manusia harus terus mengasah inteleknya guna dapat terus meningkatkan pengenalannya dengan Tuhan. Yang membuat Adam-Hawa melanggar Tuhan dengan memakan buah terlarang adalah karena hasrat yang begitu tinggi memenuhi rasa penasaran mereka selaku manusia. Rasa penasaran itu adalah fasilitas untuk melakukan eksplorasi terhadap alam dengan tujuan mengenal Tuhan. Bila manusia mampu menggunakan Fisilitas ini dengan baik, maka dia akan mampu mempertahankan eksistensinya yang murni, namun bila gagal, maka jatuhlah derajatnya ke tingkat, yang menurut Al-Qur'an, lebih hina daripada binatang ternak. Disini saya ingin menganalogikakan kenapa Al-Qur'an memilih 'binatang ternak' sebagai, bukankah lebih banyak jenis binatang lain yang lebih, katakan, hina: Binatang ternak adalah jenis binatang pemakan tumbuhan. Ketika mereka memakan tumbuhan, maka mereka akan mengeluarkan kotoran, dan kotoran itu akan membantu pertumbuhan tumbuhan lainnya. Binatang ternak memberi lebih banyak daripada mengambil dari alam. Sementara manusia yang gagal memanfaatkan potensi penguasaan akan alam secara benar akan melakukan penghancuran terhadap alam. Misalkan pelaku penebangan hutan dalam skala besar akan memusnahkan jutaan jenis hewan karena kehilangan habitat dan menyebabkan bencana alam seperti banjir dan longsor beserta efek yang yang luarbiasa berbahaya bagi manusia akibat bencana tersebut. Disini kita semua dapat melakukan perbandingan antara manusia yang gagal mempertahankan keagungan dirinya dengan seekor binatang ternak.
Bila secara kolektif manusia mampu mempertahankan keagungan dirinya, maka pastinya akan tercipta kebudayaan yang luarbiasa tangguh. Semangat kolektifitas dapat diambil inspirasinya dari shalat berjamaah. Meski kolektifitas mempunyai pengaruh yang sangat berarti, namun apasaja yang dilakukan masing-masing individu, konsekwansinya akan ditanggung masing-masing tanpa sedikitpun melibatkan individu lain. Pertanggungjawaban akan perbuatan masing-masing individu dimungkinkan bila jiwa manusia tidak pernah mengalami kematian. Kematian akan mengakibatkan segala konsekwensi takkan berlaku. Sebab itu, Iqbal menolak pendapat kaum mutakallimi yang menyatakan jiwa itu tidak kekal (Iqbal, 1966:112). menanggung konsekwensi akan perbuatannya sangat memungkinkan bagi manusia sebab dia adalah makhluk istimewa pilihan Tuhan.
Salah satu kelebihan dari manusia adalah kemampuannya untuk memerima berbagai (sebut saja) dimensi kesadaran. Misalkan Muhammad yang mampu 'memasuki' dimensi lain saat beliau menerima wahyu hingga sahabat disisinya tidak menyadari. Dalam hal ini penulis memang masih menaruh perhatian pada perbedaan antara pengalaman kenabian tersebut dengan gejala-gejala psikologis. Iqbal menyatakan bahwa perbedaan antara pengalaman kenabian dengan penyakit psikologis dapat dibedakan setelah pengalaman mistik tersebut berakhir dan bagaimana tindakan aksi dilakukan setelah masa penerimaan dimensi lain itu. Para sufi menemukan dirinya memisahkan jarak dengan realitas dunia setelah mengalami pengalaman tersebut. Nabi menemukan dirinya lebih peka terhadap realitas sosial setelah pengalaman itu. Disini penulis juga menemukan perbedaan antara pengalaman ruh saat sedang tidur dengan pengalaman mistik ini. Melalui penjadian diri sebagai aql, gagal memberi kesan ingatan hingga kita tidak mengingat apa yang kita alami saat sedang tidur.
Ruh tidak disamakan dengan makhluk-makhluk-Nya, asal segala makhluk disebutkan dari proses khalq semertara ruh itu amr. Bila kita mau mendalami makna ini maka jelaslah bahwa sesuatu yang tidak datang dari penciptaan (khalq) maka tidak akan mengalami kematian (baca: kekal). Tapi argumen ini akan bertentangan dengan apa yang diuraikan dalam kitab Daqaikul Akbar.
Mengenai hubungan antara ruh dengan jasad badaniyah, Iqbal menyatakan kedua hal ini tidak memiliki perbedaan yang segnifikan, persamaan antara keduanya adalah sama-sama berdasarkan sistem-sistem dan tindakan-tindakan (Iqbal, 1966:123). Roh akan dapat menguasai segala pengaruh dalam eksistensi di dunia kalau perjanjian primordial dengan Tuhan senantiasa menjadi prioritas. Ruh dengan segala sifatnya (aql, qalb dan nafs) akan senantiasa mengungguli segala macam musuhnya hingga dia mampu dalam keadaan suci saat menghadap pada Tuhannya.
"Sesungguhnya dalam menafsirkan alam setjara begini itumemahami dan menguasai lingkungannja, dan dengan demikian memperoleh dan memperluas kemerdekaannja" (Iqbal, 1966: 126).
Dalam hal ini, pemikiran Iqbal bersamaan dengan Nietzsche secara metaforis, mereka sama-sama menginginkan manusia berkompetisi di dunia termasuk dengan sesama manusia. Untuk mengambil kekuatannya dalam berkompetisi dan melawan musihnya, manusia harus bersembahyang guna berefleksi akan janji primordial dan mengambil kekuatan melaluinya. Melalui sembahyang, kerja ruh sebagai akal akan mampu memenangi kompetisi ini. Memperoleh kekuatan melalui shalat adalah karena Tuhan telah ada dalam dirinya, hal ini hanya berlaku pada Nabi dan pejuang Islam, sementara sufi adalah orang-orang yang dirinya ada dalam Tuhan. Kahlil Gibran pernah berkata: Bila engkau mencinta maka kangan katakan aku dalam diri Tuhan, tapi katakan Tuhan ada dalam diriku. Ini menunjukkan bahwa Iqbal dengan Gibran sama-sama lebih mendukung manusia agar setelah mengalami pengalaman spiritual dia mampu menciptakan dunia sesuai amanah Tuhan.
Iqbal menolak pemikiran Nietzsce mengenai konsep pengulangan waktu, menurutnya pengulangan waktu tidak memungkinkan kekekalan ruh ruh, bahkan malah menghancurleburkan ro itu (ibid.h.135). meskipun demikian, Iqbal mengaku, ruh manusia itu mempunyai permulaan. Iqbal menguatkan pandangannya mengenai kekekalan waktu dengan QS. Az-Zumar: 68). Kematian jasad merupakan satu tempat bagi ruh guna mempersiapkan diri menghadapi realitas nyata yang disebut Kiamat. Penulis sendiri berpendapat hari kiamat itu bukanlah bersifat kekal melainkan pengulangan-pengulangan teratur, mengingat kegiatan-kegiatan yang dilakukan manusia, baik di surga maupun di neraka.
Iqbal lebih sepakan dengan semboyan Immanuel Kant yang menyerukan "aku menjadi" daripada "aku berfikir" milik Rene Descartes(ibid, 229). Bukankah "Al-Qur'an adalah kitab yang mengutamakan amal daripada gagasan" kalimat pembuka 'Pembangunan Kembali Pikiran Islam".
Inilah buku-buku yang saya pakai dalam melakukan analisa manusia menurut beberapa tokoh Timur dan Barat atau Muslim dan non-muslim:
LK. Ara, Taufiq Ismail, Hasyim KS (eds)
A. Hasjmy, Ruba'i Hamzah Fansuri. (Dewan Bahasa dan Pustaka; Kuala Lumpur, 1976)
Abdul Hadi W.M. Hamzah Fansuri Penyair Sufi Aceh, (Lotkala; Jakarta; 1976
Zainal Abidin, Filsafat Manusia: Memahami Manusia melalui Filsafat. (Remaja Rosda Karya; Bandung, 2006)
Paul Strathern, 90 Menit bersama Nietzsche, (Erlangga; Jakarta, 2001).
K. Bertens, Panorama Filsafat Modern, (Teraju; Jakarta, 2005)
Freud, Sigmund, Psikoanalisis Sigmund Frued (Gramedia; Jakarta, 2006)
Seyyed Hossein Nasr, Menjelajah Dunia Modern, (Mizan; Bandung, 1995)
------------, Antara Tuhan, Manusia dan Alam, (Ircisod; Yogyakarta, 2005)
Muhammad Iqbal, Membangun Kembali Pikiran Agama dalam Islam, (Tintamas; Jakarta, 1966) Terj. Ali Audah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar