Kenapa Adnan Buyung Nasution menolak daerah-daerah di Indonesia membentuk Perda-perda yang berbau syariat Islam? (Gatra, 6 Mai 2006 h. 30) Buyung berpendapat demikian Karena dia melihat Islam yang ada sekarang adalah Islam berwajah Timur-tengah, Arab, Persia atau Turki yang memang tidak relevan untuk diterapkan di kawasan manapun di Indonesia. Sebab Itulah saya menawarkan Islam yang diterapkan di Indonesia adalah Islam yang benar-benar bersih dari pencampuran adat-budaya manapun. Lalu Islam yang telanjang itu disandingkan dengan adat-budaya masyarakat masing-masing di Indonesia. Kerena Islam sifatnya statis dan budaya sifatnya dinamis, maka adalah mutlak untuk terus dapat mengenal mana Islam yang telanjang, mana unsur-unsur kebudayaan masyarakat. Hal ini diperlukan untuk agar masyarakat tidak mengikut sertakan agama dalam perubahan kebudayaan yang mutlak harus terjadi.
Buyung memberi alasan Islam tidak boleh jadi hukum agama menjadi hukum negara karena, katanya, agama itu sifatnya statis sementara hukum itu sifatnya dinamis sesuai kebutuhan masyarakat yang selalu berubah-ubah. Dia mengatakan bila Islam menjadi hukum negara maka semuanya harus dikultuskan dan hanya ulama yang berhak menentukan hukum. Dia khawatir ulama-alama itu tidak mampu memberikan solusi konkrit dan tepat atas persoalan-persoalan masyarakat yang kompleks dan selalu berubah-ubah. Alasan ini mengindikasikan Buyung tidak tahu betul tentang sifat hukum Islam. Dalam sebuah negara Islam, persoalan persoalan mutlak seperti aqidah; rukun Islam dan aturan-aturan dalam mu'amalah yang tidak boleh ditawar lagi seperti larangan riba, larangan memakan selain gaji bagi pegawai dan hukuman mati bagi pembunuh dengan sengaja (atau denda sesuai aturan bila keluarga korban menerima) memang harus diterapkan dengan syarat memiliki sistem yurisprudensi yang sehat. Namun pada tataran yang tidak diatur secara jelas dalam Islam boleh dirumuskan sebagai aturan dalam UU sebuah megara Islam. Dan pada tataran ini sajalah Ijtihad berlaku.
Jadi dalam negara Islam, penerapan hukum terbagi dua, yaitu yang mutlak dan tidak mutlak. Lapisan pertama yang mutlak itu. Yang kedua adalah yang tidak mutlak. Jadi ijtihad dalam Islam itu bukan untuk senjata untuk melakukan intrik serta agitasi dalam hukum mutlak Islam. Ijtihad adalah usaha penetapan hukum bagi persoalan persoalan baru. Ijtihad bukan mencari-cari alasan untuk melegalkan perempuan keluar rumah tanpa disertai muhrim dan mencari-cari sebab untuk mengharamkan poligami. Ijtihad adalah usaha mencari jalan keluar terhadap persoalan-persoalan baru yang dihadapi masyarakat akibat dampak, yang mayoritas datangnya dari luar, seperti globalisasi, neoliberalisme dan liberalisme, lalu ditetapkan sebagai aturan hukum. Misalnya pemerintah mengeluarkan UU mewajibkan setiap satu kecamatan memiliki minimal 5 pabrik, UU larangan memakai lebih dari satu jenis produk buatan luar negeri dan UU larangan menganggur, untuk mengantisipasi kekalahan negara dan keterpurukan warganya dalam perdagangan bebas. Lagi pula semakin taat kita pada hukum mutlak Islam, akan makin sedikit persoalan baru yang muncul. Kalau sedikit masalah baru yang muncul, semakin sedikit pula ijtihad diprlukan. Jadi memalsakan dinamisasi adalah memaksakan diri menual masalah-masalah.
Buyung mengatakan aturan hukum suatu agama tertentu tidak boleh dijadikan hukum negara di mana dalam negara itu masyarakatnya plural dan tidak hanya penganut agama tertentu itu saja warganya. Maksud Buyung adalah dalam sebuah negara yang menganut sistem demokrasi tidak boleh ada hak dan suaranya yang terabaikan. Ini lucu, bukankah setiap pemilihan, mulai dari kepala desa hingga presiden, lebih banyak suara yang terabaikan dari pada yang tertampung. Hampir semua pemilihan, yang pilihannya lebih dari tiga, selalu lebih banyak suara yang terabaikan daripada tertampung. Ketidakdemokratisan seperti ini kenapa tidak ada yang mempersoalkan?
Semua manusia telah melakukan perjanjian dengan Allah SWT bahwa akan melakukan yang Dia perintahkan dan meninggalkan yang dilarang. Tidak berhukum selain hukum Allah adalah perintah mutlak.Tapi banyak setelah singgah di alam sementara ini, di perantauan ini, melupakan janjinya. Buyung termasuk didalamnya. Kalau saja Tuhan mau bernyanyi, untuk Adnan Buyung Nasution, Dia akan menyanyikan lagu seperti ini:
aduh Buyuuuung
mengapa lupaaa padaku
ahh
selama engkau dirantau
kutunggu-tunggu dirimu
Karena janjinya berliku-liku, Tuhan mengakhiri lagunya:
seeehingga
aku jemuuu pada dirimuuu
pada dirimuu
Ya, kalau Tuhan jemu, obatnya cuma satu: Neraka. Aduh Buyung.
Pada diskusi yang diselenggarakan oleh Majalah Trust pada 24 Desember 2010 di Hard Rock Cafe, EX Plaza, salah seorang pembicara, Nasir Djamil, Anggota Komisi II DPR-RI, megatakan "Persoalan bangsa ini sangat banyak sekali". "a" pertama pada kata "banyak" agak panjang sedikit. Kira-kira begini: ...Sangat baaaaanyak sekali. Kalimat itu membuat saya kembali pada solusi persoalan bangsa yang terus-menerus terngiyang-ngiyang di dalam kepala saya.
Begini: Sebuah negara besar, agar maju, harus menganut sistem yang sangat ketat seperti Komunisme di Cina dan Rusia atau sistem federasi seperti di AS dan Australia. Islam, sebagai agama mayoritas masyarakat Indonesia, juga dapat di setting menjadi aturan ketat. Komunisme? kasihan masyarakatnya, masih banyak orang Indonesia yang percaya pada Tuhan meskipun sangat banyak yang mengingkari Nya. Lagi pula, sistem ketat apapun, tidak terlalu baik diterapkan di Indonesia.
Solusinya adalah sistem federasi. Sistem ini lebih moderat dan longgar. Pada masa kekuasaan Sukarno, kita boleh khawatir setiap negara bagian berpotensi membangkang pada Pemerintah Pusat. Namun dengan zaman yang sangat berubah seperti sekarang, kekhawatiran itu perlu dibuang jauh-jauh. Sistem komunikasi dan informasi yang tidak berbatas dapat difasilitasi dengan optimal.
Sistem Federasi lebih demokratis sebab akan membuat warga setiap Negara Bagian dapat dengan leluasa mengembangkan kualitas diri; menjaga kearifan lokal; dapat dengan bijak mengelola wilayahnya masing-masing dan; dapat menetapkan aturan-aturan yang dapat melahirkan keinsafan dan kesadaran setiap warga negara di masing-masing Negara Bagian. Inilah demokrasi yang layak, inilah demokrasi yang ideal, inilah demokrasi untuk Indonesia.
Mentra 58, 26 Desember 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar