Link Download

Minggu, 09 Agustus 2015

Saya dan 2154

Tampaknya saya mulai memahami kenapa Usman terlebih dahulu menjelaskan statusnya
''Saya Usman, sudah punya istri dan telah punya seorang putreri''
setiap berkenalan dengan perempuan.
Awalnya saya menganggap cara yang ditempuh Usman kurang cerdas. Akan sulit bagi perempuan mau menjalin hubungan, apalagi percintaan, bila mengaku telah berkeluarga.
Sayang sekali, pikir saya. Sebab bila ingin misi senyap ini berhasil, seharusnya mengaku masih lajang saja.
Bisa jadi Usman memilih jalan ini karena realitanya dia adalah pria paling tampan di Aceh. Dan itu artinya dia adalah pria paling tampan di dunia. Sehingga, dia tidak akan kesulitan membangun hubungan kasih dengan perempuan sekalipun terus terang.
Tetapi setelah membaca By the River Piedra I Sat Down and Wept karya Paulo Coelho, saya menyadari bahwa kejujuran Usman karena dia tahu bagaiman hancurnya perasaan perempuan bila dikhianati laki-laki. Dikhianati yang dimaksud dalam konteks ini khususnya adalah bila setelah terlanjur jatuh cinta, dia mengetahui pria yang ia cintai itu telah menikah. 'Telah menikah' nantinya bukanlah perkara besar yang membuatnya hancur, yang lebih parah adalah kehancuran hati seorang wanita ketika mengetahui dirinya telah ditipu. Perempuan, bila hatinya telah diambil, maka jiwanya akan merajut impian-impian terindah di masa depan. Pada detik pertama jatuh cinta, perembuat telah selesai menggambar denah rumah, interiornya, lengkap dengan anak-anaknya yang sedang berlarian di halaman rumah. Gambar-gambar itu menyatu dan senyawa dengan jiwanya. Begitulah seorang wanita. Kiranya tidak perlu menerangkan teori ittihad aqil wa ma'qul pada seorang perempuan.
Maka pernah bercerita, tampaknya aku hanya menguping saja, bahwa Usman itu sehari-hari hanya naik kendaraan umum. Dia tidak punya tujuan, hanya untuk berkenalan dengan perempuan yang dia tertarik. Dia akan turun bila perempuan sasarannya turun.
Sayal tidak tahu pasti. Mungkin dia akan naik kendaraan umum lainnya dan melakukan hal yang sama.
Nenek, ibunya Mak pernah mengatakan Usman itu sangat pemalas. Orang-orang di rumah menggelarinya Pak Belalang. Tapi saya tetap bangga dengannya. Saya menganggap sikapnya yang pemalas pada tahun-tahun awal menikah adalah karena dia sedang ingin menikmati saat terindah dalam hidup, yang tidak bisa diulang seumur hidup, yakni menikmati pondok mertua indah (pmi). Saya juga pernah menikmatinya. Dan rasanya memang seperti berada di dalam surga. Juga saya sadar bahwa berada di pmi seperti bermain bola salju di sisi terjal gunung. kapanpun bola itu dapat menggelinding, membesar hingga menjadi masalah besar. Hampir semua orang akan mengalaminya. Dan Usman telah mengalaminya. Dia harus pindah dari pmi dan tinggal di desa Paya Cut. Tetapi rumah di desa itu juga milik mertuanya. Rumah itu adalah bekas gudang penyimpanan barang milik Banta Raden, orang yang pernah menjadi paling kaya se Peusangan dan salah satu terkaya di Bireuen. Sekalipun telah berpisah dengan mertua, Usman masih tetap menikmati sisa-sisa kenikmtan di pmi. Dia masih belum mau menyingsingkan lengan baju.
Banta Raden yang sudah mulai bangkrut dan telah kawil lagi, sesekali di datangi oleh Mak meminta kebutuhan dasar hidup. Banta Raden yang baik hati setiap bulannya mengirim beras dan ikan asin supaya anak dan metianya yang super malas itu tidak mati kelaparan.
Menikmati pmi atau memeng berwatak pemalas? Pertanyaan ini memang perlu dialamatkan kepada Usman. Soalnya, ibunya Usman pernah bercerita bahwa putranya itu waktu remaja sangat pemalas. Bila disuruh turun ke sawah pada pagi hari, dia akan menjawa
''Malas sekali. Pagi-pagi sudah disuruh ke sawah. Enbun-embun belum kering. Kedinginan kita.''
Bila sudah agak suang disuruh, akan dijawab
''Sudah siang baru disuruh. Malas kita. Matahari sudah sangat terik.
Dan kalau sore hari disuruh. Akan dijawab
''Sudah sore baru disuruh. Malas kita. Padahal kita sudah mandi dan stedi.''
Tetapi Usman sendiri pernah bercerita pada sejawatnya saat saya di sampingnya. Dengan tujuan sebagai sindiran pada saya.
''Anak jaman sekarang sangat pemalas bila disuruh sekolah olehorang tua. Kita dulu untuk sekolah memanen sendiri sayuran, menghantarnya dengan sepeda. Berangkat jam tiga pagi, jam lima sore tiba di pasar Inpres Lhokseumawe menjual sayuran untuk biaya sekolah.''
Saya tidak mengerti apakah pernyataan itu sepenuhnya benar. Menurut sumber lain, Usman suka mengambil dan menjual hasil kebun untuk dijual dan uangnya buat bersenang-senang. Sementara dia sama sekali tidak mau ambil peran saat proses penanaman dan perawatan. Di rumah panggung besar sebelum dibongkar Ponen untuk diganti dengan rumah beton besar, waktu kecil dulu, saya melihat ratusan bungkus roko Djarum Super bewarna merah. Belakangan saya ketuahui itu adalah sisa Usman. Itu artinya dia punya banyak uang. Dan tampaknya uang-uangnya itu dari hasil mencuri hasil kebun milik orangtuanya.
Mungkin pola hidup yang mudah inilah yang membuatnya masih menjadi pemalas sekalipun telah beberapa tahun menikah.
Ketika Kakak hampir masuk sekolah, barulah Usman bangun dan bekerja. Dia bekerja sepeti orang gila. Bahkan beberapa minggu sebelum meninggal, dia bekerja dengan sangat tekum sekalipun badannya telah menjadi sarang penyakit.
Saya teringat hari-hari terakhirnya saat setelah mandi, rambutnya belum disisir, dia bangun bekerja sekalipun fisiknya sudah sangat lemah. Dia kuat di luar. Di dalam, badannya teh hancur.
***
Saya dan Sebelum Sekolah
seingat saya, meski tidak sekolah TK, saya sudah bisa membaca sebelum masuk sekolah. Saya belajar membaca dari kakak yang setahun lebih tua daripada saya. Saya juga suka mengamati tulisan-tulisan yang ada di mana saja yang saya lihat. Kalau ke pasar, saya paling suka mengeja nama-nama toko. Saya pernah membuat seorang pejabat di kampung saya tertawa terpingkal-pingkal setelah menuruti permintaannya membaca sebuah papan penringatan di pinggir jalan. Dia meminta saya membaca karena ingin membuktikan berita yang beredar saya sudah bisa membaca sebelum sekolah. Tulisannya adalah: Pelan2. Saya mengejanya ''pelan dua''. Seingat saya, sampai saya masuk MIN, setiap melihat saya dia selalu memberi senyum. Mungkin dia teringat ''pelan dua'' itu.
*
Tidak hanya Pak Liyah. Orang terpelajar lainnya di kampung kami, yang juga pegiat dunia pendidikan, Pak Aya, juga menemukan keunikan pada diri saya. Setiap beliau dalam perjalanan pulang atau pergi ke kebunnya melalui lorong dekat rumah kamu, beliau kerap singgah. Bercakap-cakap dengan ayah, atau ibu, tampaknya hanya alasan beliau saja. Beliau suka memperhatikan perilaku saya.
Ibu saya sangat ingat peringatan beliau. Bahwa kalau saya dididik dengan baik akan menjadi orang.
*
Ayah, cinta itu indah, ya.
Kenapa bertanya begitu?
Bukankah ayah yang pergi ke warung kopi itu. Mematikan televisi dan engkau merangkulku.
Malam menjelang pernikahanku. Bukankah ayah yang datang menjemputku. Membawaku pergi dari pengantin perempuan. Kita ke suatu tempat yang sangat sunyi.
Indah sekali.
Dan ayah menunkukkan padaku sebuah cinta yang sebanarnya.
Pada sebuah dusun. Harinya tidak gelap, tidak terang.
Di sana orang-orang biar saja suka menggunjing dan menggibah.
Tetapi ternak-ternak, ayam-ayam, bebek-bebek. Mereka menari bersama dengan rapi. Dengan gerakan yang sama secara bersama.
Aku belum pernah menemukan pria yang lebih tampan daripada ayah.
Aku belum pernah berjumpa manusia yang wajahnya lebih indah daripada ayah.
Belum pernah saya melihat insan yang wajahnya memancarkan cayaha lebih indah daripada cahaya yang keluar dari wajah ayah. Ayah, ananda selalu memenuhi keinginanmu.
Sekalipun tanpa melalui kata, tetapi melalui cahaya mata dan air wajah Ayah, aku tahu Ayah yang memintaku melompat dari atap kendaraan yang sangat tinggi itu. Padahal kita sudah susah payah memanjatnya bersama.
Pada sebuah pantai, saat daratan telah lelah kita tempuh, saat Ayah akan kembali ke laut,- atau akan naik ke langit(?) Saat aku tahu kita akan berpisah, tidak henti-henti kuminta orang memotret kita. Saat kutahu Ayah akan segera pergi. Aku tidak ingin cahaya Ayah itu tidak kupandang lagi.
Sayangnya kemara-kamera itu tidak ada yang bekerja.
Akhirnya Ayah mengeluh kesakitan. Sakit sekali. Jelas sekali, aku bisa turut merasa sakitnya. Dan kutahu Ayah harus segera pergi.
Kukumandangkan zikir ''La ilaha illallah'' berulangkali. Kuharap Ayah mengikuti.
Tetapi yang keluar dari mulut Ayah adalah salawat Nabi. Berkali-kali Ayah mengulangi. Dari Ayah punya ekspresi, dan selalu dari sana saya menemukan pesan sesungguhnya dari Ayah, salawat yang ayah ulang berkali-kali itu jauh lebih penting daripada kumandangan zikir yang ''kuhantarkan''. Tetapi diujung shalawat itu keluar juga ''lailaha illallah''. Demikian berkali-kali.
Saat Ayah menunjukkan ekspresi sangat sakit sekali, aku berusaha melalukan sesuatu untuk meringankan Ayah. Karena hampir kehabisan akal, kutunjukkan selembar daun bewarna hijau yang dicari hampir semua manusia tetapi hanya beberapa saja yang berhasil mendapatkannya.
Selembar itu juga merupakan tanda pendakian yang telah melalui berjuta tantangan dan rintangan telah berhasil dilalui. Melihat itu Ayah bangga sekali. Rasa sakit Ayah tidak kurasakan lagi. Ayahpun tertidur di atas pasir pinggir pantai. Tanpa Ayah ucapkan, tapi entah bagaimana kuketahui ucapan itu dari Ayah, penuh kebahagiaan, kebanggaan, puncak tertinggi
''Anakku akan ke Amerika.''
Aku tidak mengerti apa hubungannya daun hijau itu dengan Amerika. Setahuku tidak ada. Tapi bila disambung-sambungkan ya bersambung. Di sambung-sambungkan begitu-begitu, setiap satu hal dengan hal lain juga bisa berhubungan.
Akan naik ke langit atau ke laut, rupanya keduanya benar. Ruhnya naik ke langit, jasadnya dibawa ke laut. Entah sebaliknya. Entaah. Di sana, langit dan laut adalah sama.
Aku menyadari bahwa ada ruang di mana kita selalu bisa bertemu bersama. Ada juga ruang di mana aku harus pergi sendiri, tempat di mana aku mewujudkan mimpi-mimpimu, mimpi-mimpi kita. Dan itu adalah alam dunia ini.
Aku yakin. Dan itu pasti, suatu hari nanti, kita akan berada di sana bersama selamanya. Mungkin setelah beberapa dari cita-cita kita tertata di alam materi ini.
Wallahu'alam smile emotikon
Pada suatu pagi, 07-07-2015 Zawiyah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar