Link Download

Minggu, 01 Desember 2013

Ithaf al-Dhaki

Oman Fathurrahman
Ithaf adalah naskah yang ditulis Ibrahim Kurani atas permintaan muridnya Abd Rauf Sinkili untuk menyikapi perseteruan masyarakat Aceh tentang penafsiran atas kitab Tuhfah alMursalah karya Burhanpuri yang telah berkembang di Nusantara. 
Naskah ini hanya ditemukan di Betawi untuk koleksi Nusantara dan ini telah diboyong ke Leiden. Miris memang ketikakitab tersebut dimaksudkan untuk Nusantara tetapi tidak ada satupun salinan naskah di Nusantara. (sekalipun Oman mengakui susah mengakses kitab-kitab di perpustakaan dayah Tanoh Abee). Koleksi naskah terbanyak terdapat di Turki yakni 11 naskah. Selanjutnya ada di Mesir, Jepang dan Jerman.
Sebagai filolog, Oman mengakui sangat kesilitan dalam meneliti tiap kata dari tigapuluh satu naskah yang ia dapatkan. Dia menambahkan, dalam disiplin filologi, kesamaan catatan kaki antar tiap naskah adalah menjadi indikator autensitas naskah. Dan ini ditemukan kesamaan pada naskah Mesir. Sementara salinan naskah Leiden yang amburadul adalah konsistensi penyalinan atas kesalahan-kesalahan dari sumber salinan.
Sebab banyaknya koleksi naskah di Turki diperkirakan karena Kurani berasal dari Asia Tengah yang dekat dengan Turki diperkirakan jadi alasan. Tetapi Oman menduga, relasi Kesultanan Aceh dengan Ottoman tidak hanya urusan militer saja tetapi juga keilmuan dan jaringan ulama. Tetapi saya sendiri melihat koleksi naskah tersebut ada banyak di Turki karena Ottoman adalah sebagai Ibu Kota seluruh kesultanan Islam. Misalnya, mudah saja di Jakarta menemukan buku-buku karangan intelektual di dareh manapun di Indonesia.

Haidar Bagir
Ajaran tasawuf falsafi adalah paradoksal karena tidak bisa diungkapkan melalui proposisi ilmiah atau sistem umum logika. Karena paradoksi ini, maka sangat rentan argumentasi-argumentasi kaum sufi untuk disalahpaami. Akibatnya, timbullah konflik sosoal di tengah masyarakat. Haidar mengatakan
Paham hulul, panteisme, panentaisme dapat saja disematkan kepada tuhfah mursalah bila keliru memahaminya. Karena itulah Kurani menulis Ithaf al-Dhaki.
Sekalipun banyak usaha memperjelas karya tasawuf yang tinggi, tetap saja akan sulit dipahami oleh orang kebanyakan. Persiapan yang baik perlu sekali untuk memahami istilah istilah ambigu yang menjadi karakter tulisan dan ucapan kaum sufi.
Meurut Bagir, penempuh jalan sufi yngmengeluarkan kata-kata aneh yang disebut syatahat adalah karena mereka belum selesai proses suluknya. Sufi yang baik adalah yang telah kembali ari pengalaman spirituan. Bagir juga mengatakan tidak ada sufi yang baik keciali mereka mewajibkan syariat. Ibn Arabi yang dikenal sebagai sufi besar adalah yang sangat menganjurkan syariat. Kata Ibn 'Arabi, bila ingin menjadi sudi yang baik, maka cukup mengamalkan syariat yang ditetapkan dalam al-Qurn'an dan Hadits.
Pada akhir pembahasan Bagir mengatakan bahwa tidak boleh kita menggolongkan teolog seperti al-Ghazali dan al-Raniri sebagai teolog yang berseberangan pemikirannya dengan Hamzah Fansuri dan Ibn 'Arabi. Dalmkarya Misykat Anwar, gagasan al-Ghazali sangat terasa sebagai Wahdat al-Wujud. Demikian juga al-Raniri dalam Hujjat al-Siddiq. Dia sangat mengedepankan pandangan Ibn Arabi yang beraliran Wujudiyah. Al-Raniri dalam kitab tersebut hanya berseberangan dengan para filosof peripatetaik dan sufi mulhid yakni sufi sesat yang alah paham terhadap ajaran Wahdat al-wujud. Sufi sesat ini begitu menyepelekan syariat. .


Ithaf al-Dhaki Ibrahim Kurani dan Posisi al-Sinkili
Telah lebih dari satu orang (Om It' 55) yang meminta Ibrahim Kurani untuk menulis sebuah syarah atas Kitab Tuhfah al-Mursalah ila Nabi Saw. yang menjadi perdebatan di Aceh dapat dipahami berbagai kalangan masyarakat Melayu (Jawi) . Maka setelah beristigharah, guru Al-Sinkili itu memutuskan menulis Ithaf al-Dhaki seagai syarah atas Burhanpuri itu. Adapun penulisa kitab ini membuktikan bahwa pada masa al-Sinkili menjadi mufti kerajaan Aceh Dar al-Salam, perdebatan mengenai ajaran wahdat al-wujud masih terus berlangsung.
Perdebatan tentang wahdat al-wujud menurut hemat saya telah berlangsung sebelum Hamzah Fansuri. Buktinya adalah berulangkali Hamzah mengecam ajaran suluk yang sesat seperti uzlat di dalam hutan, mengharamkan yang tidak dilarang Nabi dan mengenyampingkan ajaran syariat. Jadi kehadiran Hamzah sendiri adalah untuk memperjelas ajaran wahdat al-wujud yang benar dan mengemukkan kekaliruan ajaran salik yang buta (mulhit) itu. Tugas ini dilanjtkan kembali oleh Syam al-Din al-Sumatra-i. Setelah Syams, al-Ranini yang menrupakan tamu dari India pada awalnya menduga ajaran Hamzah sendiri termasuk ajaran zindiq yang sesat. Namun setelah berposisi sebagai mufti kerajaan, dia menyadari bahwa kaum zindiq itu berbeda dengan ajarah Hamzah. Maka atas desakan berbagai kalangan, karena posisinya sebagai mufti, Raniri terpaksa mengeluarkan fatwa untuk memaksa kaum zindiq untuk betaubat. Kitab-kitab yang mengajarkan wahdat al-wujudjuga dimusnahkan termasuk kitab kitab Hamzah supaya ajaran ini tidak menyebar luar di masyarakat umum karena dikhawatirkan kesesetan pemahaman dapat semakin berkembang. Berkat aksi Raniri itu, kondisi masyarakat mulai membaik. Ajaran wahdat al-wujud mulai dibaca dengan hati-hati oleh golongan tertentu saja. Tetapi sepeninggalan Raniri, ajaran wahdat al-wujud kembali dipelajari secara massal karena dibenarkan oleh mufti ketika itu yang menganut ajaran wahdat al-wujud yakni Syams al-Rizal. Akibatnya ajaran tersebut kembali melahirkan golongan yang zindiq. Dengan demikian perseteruan kembali terjadi. Kondisi ini masih berlangsung pada masa al-sinkili. Al-Sinkili yang sangat arif karena sudah memahami betul sumber perdebatan itu memilih mendiamkan saja perdebatan tersebut. Kearifan al-Singkili menyikapi ini karena sejak kecil dia sudah melihat dan mengalami langsung perdebatan di masyarakat. Dia juga enguasai inti perdebatannya karena dia berasal dari dayah yang menganut ajaran wahdat al-wujud yakni Dayah Blang Priya yang mana Hamzah dan Syams pernah menjadi guru besar di sana. Kemungkinan Sayf juga belajar dan pernah menjadi guru di dayah tersebut.
Kemungkinan besar bukan al-Sinkili yang mendesak respon Kurani. Sikap seperti ini tidak dimiliki al-Sinkili. Buktinya dia tidak merespon perdebatan keabsahan pemimpin perempuan (azra, jaringan ulama). Hal ini memungkinkan murid dan kolega Kurani dari melayu sangat banyak, tidak hanya al-Sinkili. Tetapi Kurani sangat mempertimbangkan al-Singkili, selain karena dia adalah murid terbaiknya, al-Singkili jaga sebagai mufti.
Wa Allah A'lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar